Kamis, 12 Desember 2013

Karya Terbaru: Novel Embun

Info: Sudah dapat dipesan dan dimiliki. Karya Okyb R. Musashi "EMBUN", Kreasi Cendekia Pustaka (KCP), Jakarta, Rp.48000 diskon 25% Rp. 36.000

Karya Terbaru: POLITICAL EXPLORE, Sebuah Kajian Ilmu Politik

Info: Sudah dapat dipesan dan dimiliki.

Karya Efriza "POLITICAL EXPLORE, Sebuah Kajian Ilmu Politik", Alfabeta, Bandung, Rp.75.000 Lebih lanjut Hub: 0813 80 570 370 diskon 25% Rp. 56.250.

Minggu, 25 November 2012

SUDAH DAPAT DIPESAN

TEENLIT Judul: "SUSAHNYA MENJADI GADIS," Penulis: Ira Puspitasari, Penerbit: Kreasi Cendekia Pustaka (KCP) Tahun Terbit: 2012 Harga: Rp. 25.000

Selasa, 09 Oktober 2012

Risensi Buku

Doktrin Agama dan Pemberontakan Tue, 09/10/2012 - 23:57 WIB http://www.rimanews.com/read/20121009/78031/doktrin-agama-dan-pemberontakan Selama abad ke-19, serentetan pemberontakan di Banten terhadap otoritas kolonial Belanda meletus dalam skala kecil maupun besar, sehingga Banten disebut sebagai tempat persemaian dan gelanggang pemberontakan. Salah satu pemberontakan besar terjadi pada 9 Juli 1888 yang disebut sebagai Pemberontakan Petani Banten. Di tinjau dari segi gerakan sosial, faktor-faktor yang menyebabkan pergolakan dan keresahan sosial sangat kompleks dan beranekaragam. Peristiwa revolusioner itu bisa diletakkan di dalam konteks perkembangan kelembagaan ekonomi, sosial, politik, dan agama. Aspek politik merupakan faktor yang menonjol dalam semua gerakan sosial di Banten, termasuk Pemberontakan Petani Banten 1888. Kebencian rakyat terhadap pamong praja Banten hampir sama mendalamnya dengan permusuhan terhadap penguasa-penguasa asing, yaitu Belanda. Sebab, para pamong praja menjadi agen-agen kolonial sebagai pemungut pajak rakyat Banten. Kegusaran penduduk terhadap pajak berubah menjadi pemberontakan ketika mereka harus menjual hasil pertaniannya dengan harga yang rendah. Ditambah lagi wabah penyakit dan bencana alam menjadi lengkaplah penderitaan rakyat, yang mendorong mereka ingin mengakhiri penderitaan dengan memberontak. Namun, pemberontakan tidak akan pernah meletus, tanpa seorang pemimpin. Para pemimpin pemberontak datang dari kalangan elite agama atau kiai dan kaum aristokrat lama, yang merasa kedudukan istimewanya terancam oleh pemerintah kolonial Belanda. Tersisihnya mereka dari ranah politik rupanya telah menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk melakukan dan menggerakkan pemberontakan, sebagai cara untuk menyalurkan ketidakpuasan dan rasa dendam mereka. Sikap memberontak ini juga diperkuat lagi oleh kebencian religius mereka terhadap kekuasaan “orang-orang kafir.” Tidak disangsikan lagi bahwa hampir semua pemberontakan diwarnai oleh faktor keagamaan. Tokoh penting dalam pemberontakan petani Banten adalah Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani, seorang khalifah tarekat Qadiriyyah-Naqsyabandiyyah. Dia yang lama tinggal dan belajar di Mekah, kembali ke Banten. Dalam waktu tiga tahun di kampung halamannya dia menanamkan doktrin-doktrin agama yang mendorong pecahnya pemberontakan, antara lain kedatangan Imam Mahdi, peringatan terakhir Nabi Muhammad Saw., mendirikan negara Islam (Dar al-Islam), dan Perang Sabil (Jihad fi Sabilillah). Buku karya wartawan majalah Historia ini berusaha menggali peranan Syekh ‘Abd al-Karim dalam menanamkan doktrin-doktrin tersebut. Meskipun Syekh ‘Abd al-Karim tidak ikut dalam pemberontakan karena dipanggil kembali ke Mekah oleh gurunya Ahmad Khatib al-Sambasi, namun dia telah menanamkan doktrin-doktrin keagamaan yang menjadi bekal bagi para pemberontak. Dalam hal ini – meminjam istilah John L. Esposito dalam menjuluki pemikir Iran Ali Syari’ati dalam revolusi Islam Iran – kita bisa menyebut Syekh ‘Abd al-Karim sebagai “perumus dan penyedia ideologi revolusi.” Dengan kata lain, Syekh ‘Abd al-Karim-lah yang telah mempersiapkan doktrin-doktrin agama atau landasan spiritual bagi rakyat Banten untuk melakukan pemberontakan. Doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan Syekh ‘Abd al-Karim kemudian disemaikan oleh murid-muridnya yaitu Haji Marjuki, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid; telah menjadi landasan rasional kepada gerakan pemberontakan. Sehingga mereka memahami pemberontakan tersebut sebagai jalan satu-satunya untuk melakukan protes terhadap penguasa kolonial, di mana sebelumnya mereka tidak memiliki atau tidak tersedia cara-cara yang sah untuk menyatakan protes atau perasaan tidak senang terhadap kebijakan kolonial. Namun yang perlu segera ditegaskan di sini adalah, menukil Endorsment dari Dr. Asvi Warman Adam, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ” Apakah ulama menjadi dalang pemberontakan Banten tahun 1888? Bacalah dalam buku ini. Apakah perlawanan petani terhadap penjajah Belanda yang memakan korban jiwa pada kedua belah pihak kurang dari 50-orang itu dapat dikategorikan sebagai pemberontakan? Renungkanlah setelah membaca buku ini.” Selamat Membaca! *** ________________________________ Peresensi : Efriza, Penulis dan Penikmat Buku, tinggal di Depok II Timur Penulis : Hendri F. Isnaeni Penerbit : Kreasi Cendekia Pustaka Terbit : I, September 2012 Ukuran : 15 x 23 cm Tebal : x + 118 hlm ISBN : 978-602-19987-3-1

Minggu, 30 September 2012

Telah Terbit

Info: Berminat,silahkan pesan. Buku karya Hendri F. Isnaeni Wartawan Majalah HISTORIA "DOKTRIN AGAMA Syekh 'ABD AL-KARIM AL-BANTANI,Dalam Pemberontakan Petani Banten 1888," Penerbit KCP, Jakarta, 2012, Rp. 37.500 Hubungi: 081380570370/Efriza Endorsment: Apakah ulama menjadi dalang pemberontakan Banten tahun 1888? Bacalah dalam buku ini. Apakah perlawanan petani terhadap penjajah Belanda yang memakan korban jiwa pada kedua belah pihak kurang dari 50 orang itu dapat dikategorikan sebagai pemberontakan? Renungkanlah setelah membaca buku ini. Dr. Asvi Warman Adam, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Di Eropa kala senja Abad Pertengahan, agama dikambinghitamkan sebagai pembenar kesewenang-wenangan penguasa, bahkan diusir dari ruang publik, dan fungsi sosial-politiknya dikebiri. Padahal, sejatinya, ruh asli agama hadir sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Ruh inilah yang ditangkap Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani. Dia menafsirkan agama secara kreatif revolusioner, yang diracik menjadi sebuah gugus ideologi perlawanan terhadap kolonial. Racikan ideologi itu –mengutip Ali Shariati– menjelma menjadi “sangkakala Israfil” yang membangkitkan jiwa-jiwa masyarakat Banten untuk berdiri tegak menantang imperialis Belanda. Buku karya Hendri F. Isnaeni ini, layak dicerna bagi siapapun yang ingin belajar dari sejarah bagaimana menjadikan agama sebagai basis pergerakan revolusioner. M. Subhi-Ibrahim, M.Hum, Ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani adalah sosok ulama yang berperan penting dalam menginspirasi rakyat Banten. Kehadiran ajaran-ajarannya yang berasal dari batin Islam mampu menggerakan wong cilik untuk menegakkan keadilan. Meski perannya begitu penting sebagai representasi intelektual Islam di Nusantara, namun sayang kajian yang mendalam mengenai ajaran-ajarannya masih jarang. Kehadiran buku yang ditulis oleh sejarawan muda yang prolifik ini dapat menjadi referensi bagi siapapun untuk melihat khazanah intelektual Islam Nusantara. Aan Rukmana, MA., Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Ketua Harian Nabil Society

Sabtu, 01 September 2012

Kemenangan Suara Rakyat, Tanpa Ambang Batas Nasional

Kemenangan Suara Rakyat, Tanpa Ambang Batas Nasional Oleh: Efriza, Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) Konsep penerapan parliamentary threshold (PT) dalam perkembangannya terdapat peningkatan area ambang batas, tidak hanya di suatu dapil (lokal) namun untuk seluruh dapil (nasional). Memasuki Pemilu 2014, masalah besaran PT menjadi persoalan kunci yang akan menentukan cepat atau lambatnya pembahasan Revisi UU Pemilu Legislatif. Sebab bagi sebagian partai politik besaran PT akan menentukan keberlangsungan mereka ke depan. Terdapat setidaknya 3 (tiga) alternatif usulan dalam pembasan Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan Umum (Pemilu( yaitu: Pertama, usulan mengusulkan agar PT tetap seperti pada Pemilu 2009 yaitu sebesar 2,5%; Kedua, usulan agara PT sebesar 4%; dan Ketiga, PT sebesar 5%. Kalangan partai menengah ke bawah cenderung agar PT tetap 2,5% dengan alasan mengingat luas dan majemuknya bangsa Indonesia maka perlu menjaga keragaman dengan tetap mempertimbangkan efektifitas. Sementara partai besar menginginkan peningkatan besaran PT yaitu 5% dengan alasan untuk meningkatkan efektifitas di parlemen. Di sisi lain, usulan PT 4% dengan alasan kenaikan dibutuhkan namun sebaiknya secara bertahap sehingga kalaupun ada kenaikan tidaklah terlalu tinggi. Menyoal Keputusan MK Perdebatan yang tidak kalah alotnya hingga harus dilakukan pemungutan suara adalah soal penerapan PT. Meski angka 3,5% sudah disepakati untuk tingkat nasional (DPR), namun untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota belum disepakati besarannya. Dari hasil pemungutan suara disepakati bahwa ambang batas 3,5 persen secara nasional, yang didukung oleh 343 suara merupakan dukungan enam fraksi yakni, F-PD, F-PG, F-PPP, F-PKB, F-Hanura dan F-Gerindra. Sementara tiga fraksi lainnya, mendukung ambang batas berjenjang. Misalnya untuk DPR sebesar 3,5%, DPRD provinsi 4% dan kabupaten/kota sebesar 5%. Dengan jumlah sebanyak 187 suara dari tiga fraksi yakni, F-PDIP, F-PKS, dan F-PAN. Upaya DPR tersebut mendapatkan perlawanan dari 14 partai politik gurem dengan mengajukan uji materi. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkannya dengan memutuskan bahwa PT 3,5 persen hanya berlaku untuk DPR. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan kemenangan untuk suara rakyat. Sebab, keputusan itu menyelamatkan suara rakyat. Penerapan ambang batas DPR di Pemilu 2009 lalu saja, menyumbang penurunan partisipasi pemilih terbesar kedua setelah kategori tidak memilih yaitu sebesar 19.086.060 yang disebabkan oleh suara 29 partai yang dihanguskan tersebut. Tak bisa dimungkiri persentase angka partisipasi pemilih (voters turn out) di Indonesia terus meluncur turun hingga sebesar 86.251.717 atau 70,99%. Trend penurunan suara diprediksi masih terus berlanjut bahkan bisa sampai 50 persen pada Pemilu 2014, ini sebelum adanya pengaturan sistem PT flat. Fakta dari hasil Pemilu 2009 juga menunjukkan bahwa pemberlakuan ambang batas parlemen secara flat alias pukul rata bukan solusi tepat. Rekayasa institusional yang dilakukan DPR melalui UU Pemilu perlu dinyatakan dengan tegas merupakan salah kaprah. Lanskap politik nasional dengan lanskap politik di 33 provinsi dan sekitar 500 kabupaten dan kota sangat berbeda. Tak bisa dinafikan bahwa partai politik yang berjaya di DPR belum tentu memperoleh kursi di DPRD. Sebaliknya partai politik yang gagal memenuhi ambang batas DPR tidak sedikit yang meraih suara signifikan di daerahnya. Misalnya berdasarkan hasil simulasi Tim Konsultan Kemitraan bahwa, bagi Partai yang tidak lolos 2,5 PT nasional, berdasarkan penguasaan kursi di DPRD Provinsi setidaknya ada 5 partai terbesar, sebagai berikut: (1) PBB (37 kursi tersebar di 19 DPRD Provinsi atau 58%); (2). PBR (27 kursi tersebar di 16 DPRD Provinsi atau 48%); (3). PDS (37 kursi tersebar di 15 DPRD Provinsi atau 45%); 4. PKPB (21 kursi tersebar di 13 DPRD Provinsi atau 39%); dan 5. PPRN (13 kursi tersebar di 10 DPRD Provinsi atau 32%). Bahkan, partai politik pemenang pemilu DPRD-DPRD di kabupaten dan kota berbeda-beda satu sama lain kendati di provinsi yang sama. Realitas ini juga memperlihatkan tingginya tingkat fragmentasi politik di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, partai politik yang gagal memperoleh dukungan elektoral secara nasional bisa jadi merupakan partai politik harapan masyarakat di provinsi, kabupaten, atau kota. Perbedaan lanskap politik nasional dan daerah ini memperlihatkan, meskipun gagal memenuhi ambang batas DPR, sebagian di antaranya adalah ”partai besar” di tingkat daerah. Realitas politik seperti ini terjadi karena preferensi pilihan masyarakat tidak semata-mata kepada partai politik, tetapi justru kepada para calon anggota legislatif (caleg) yang diajukan partai politik. Semakin populer caleg di suatu dapil, semakin besar pula partai politik yang mencalonkan dapat dukungan. Jangan sampai, Pemilu yang dimaksudkan untuk memilih para wakil melalui berbagai upaya seperti penerapan proporsional terbuka (suara terbanyak), berubah menjadi pemilu untuk memilih partai politik karena kehadiran, kapastitas, dan kualifikasi caleg untuk DPRD dinafikan sistem melalui penerapan PT flat. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini adalah keputusan yang patut diapresiasi, sebab bukan saja menyelamatkan suara rakyat, juga menyelamatkan legitimasi keterpilihan seorang caleg dan legitimasi pemilu itu sendiri. 