Minggu, 22 Februari 2009

Iklan Buku Politik, Yang Akan Terbit

Sinopsis Buku Efriza S.IP & Syafuan Rozi S.IP, M.Si
Menembus Lorong Waktu
PARLEMEN INDONESIA
DOELOE, KINI, & ESOK

Parlemen Nusantara telah dan akan terus menjadi wajah dan gerak nyata perbaikan bangsanya. Upaya kongkret menegakkan nilai mulia kemanusiaan dan memanusiakan umat manusianya. Ibu pertiwi terus memanggil, untuk hilangkan susah hatinya. Untuk menghapus linangan air mata dan darah guna memanfaatkan “emas, intan dan berlian” di buminya. Untuk bertindak adil untuk segenap anak bangsanya, guna sepakat berpadu daya dalam meneruskan do’a dan citanya.
Pertumbuhan Lembaga Perwakilan Politik kita ini terus mengalami proses dan perkembangan dengan wajah haru biru, sesal dan bangga. Dari ribut soal fasilitas, dana dan kinerja. Soal niat, laku dan bakti untuk nusantara. Banyak hal yang bisa diketahui publik kini dengan hadirnya Swara, TV Parlemen yang menjadikan parlemen milik bersama. Namun masih imajinasi tentang apa kemungkinan wajah parlemen kita esok. Bagaimana gelisahnya sebagian pemilih, menyaksikan DPD yang dipilih langsung tidak memiliki gigi yang cukup untuk mengunyah kebijakan yang bermakna buat daerah-daerah yang diwakilinya.
Betapa bangganya para pejuang perubahan dan reformasi menyaksikan ketika ketua MPR mencontohkan penggunaan kendaraan dinas yang sederhana dan kebersediaan hadiah perkawinan dirinya untuk diaudit tim KPK sebagai tauladan adanya akuntabilitas. Betapa Semaraknya dan ucapan salut bagi sejumlah tokoh parlemen kita yang merancang “kabinet bayangan” untuk menambah prestise dan kinerja, bahwa check and balances Legislatif-Eksekutif dan Yudikatif perlu diperkuat agar demokrasi kita produktif dan substansial.
Sesuai dengan ungkapan bahwa yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Hal yang mula penting itu pertanyaan, karena jawaban bisa ada setelah pertanyaan itu ada. Begitu pula-lah untuk dunia parelemen nusantara. Apakah fungsi parlemen dari waktu ke waktu berhasil ditegakkan? Atau hanya baru semu dalam tingkatan mimpi, harapan, pelengkap penyerta, dari suatu sistem dengan lebel demokrasi? Apakah dengan adanya parlemen demokrasi berjalan atau sebaliknya ia cuma menjadi mesin stempel legitimasi atas nama publik–argumentum ad populum-?
Buku ini ingin mengungkap sistem bikameral di beberapa negara dan menyorot tajam bikameral yang berlaku di Indonesia, cenderung masih pincang karena adanya kesenjangan kewenangan DPR dengan DPD. UUD 1945 hasil perubahan tidak merumuskan secara tegas dan jelas fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang tepat dari DPD. Akibatnya, kepentingan dan aspirasi daerah menjadi terabaikan. Bukan mustahil, akan lahir problem dan masalah politik tertentu seperti kekecewaan publik di daerah karena keberadaan wakil DPD mereka di tingkat pusat belum atau “sengaja dikedilkan” agar tidak mampu untuk menghasilkan kebijakan publik yang diperlukan rakyat di daerah yang diwakilinya. Ingatlah, publik pembayar pajak tidak semuanya buta, tuli, dan bisu. Mereka akan bergerak dan merangkak mendesak sesuatu akan ada pada tempatnya.
Rakyat kita sebagian terus makin cerdas, berfikir cermat dan bijak pula. Ada sejumlah asa dan dukungan terhadap DPD seperti tuntutan perjuangan konstitusional DPD untuk perlindungan TKI-TKW asal nusantara di Malaysia, Arab, Korea, dst. Jika perlu mereka bisa pulang bekerja di negeri sendiri tidak lagi menjadi koeli di negeri asing; pembuatan payung hukum nasional untuk jaminan hak informasi masyarakat di daerah menyangkut urusan perizinan, pendanaan sektor pendidikan, kesehatan dan perumahan; kebutuhan pengadaan BUMD perminyakan untuk mencari sumur minyak baru dan pengilingan setempat agar bisa menekan biaya pengadaan minyak agar tidak memerlukan subsidi. Begitu juga hak ulayat dan hutan sosial kemasyarakatan agar warga sekitar hutan lindung bisa mencari nafkah di hutan tanpa membahayakan fungsi hutan.
Peran DPD yang timpang dibanding DPR, tidak memungkinkan DPD untuk membuat kebijakan publik secara nyata, sekalipun banyak gagasan datang berkaitan dengan kepentingan penduduk di daerah yang diwakilinya. Semua fungsi legislasi di monopoli dan diborong habis oleh DPR. Tinggallah DPD menjadi objek peyerta kalau tidak disebut sebagai obyek penderita akibat rumusan konstitusi yang melemahkan fungsi mereka yang seharusnya ada.
Buku ini mendorong rekonstruksi bagi parlemen nusantara. DPD dan DPR perlu memiliki kewenangan mengurus dan memformulasi kebijakan dengan domain yang berbeda. DPR relatif berkaitan dengan wewenang/urusan nasional dan internasional, sedangkan DPD berwenang dengan urusan ranah lokal. Para perubah bisa memproyeksikan pembagian kerja atau domain DPD untuk persoalan legislasi dan budgeting kepentingan publik daerah (perlindungan TKI, hutan kemasyarakatan, pengadaan minyak oleh BUMD perkawasan waktu, partai lokal untuk pemilu lokal, pengadaan perumahan sesuai budaya dan habitat lokal, dsb.).
Sedangkan DPR ke depan perlu dirancang untuk memiliki core-competency dalam kebijakan publik yang bersifat internasional dan nasional (seperti kebijakan pengembangan wilayah perbatasan, solusi pemanasan global, memperbaiki hubungan antarbangsa, memporsikan secara pantas urusan pertahanan dan keamanan, memajukan ilmu pengetahuan, pendidikan, kesehatan dan mutu barang kebutuhan publik di tingkat nasional). Politik adalah seni adiluhung dan melahirkan serta lewat kerja di parlemen mari kita bersama mengawal kebijakan nyata yang demokratis dan akuntabel untuk memajukan kepentingan bersama anak bangsa dan kemanusiaan dengan cara sebaik-baiknya.®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html