Minggu, 22 Februari 2009

Potensi Golput, di Pemilu Legislatif

Oleh: Efriza, Penulis buku Mengenal Teori-teori Politik, dan Ilmu Politik

Golongan Putih (golput) akan menjadi primadona dalam Pemilihan Umum Legislatif pada 9 April 2009. Berbagai penyebab bisa dengan gamblang menjadi potensi timbulnya aspirasi masyarakat tidak memberikan suara, atau yang dikenal dengan istilah Golput tadi.
Kecenderungan masyarakat tidak memberikan suara dilatarbelakangi oleh beberapa hal, Pertama, faktor keagamaan. Misal, Masyarakat di Nusa Tenggara Timur yakni di Ralang Tukai akan mempersiapkan menyambut hari keagamaan kristiani. Kondisi ini juga terjadi di Bali, misal sebagian besar masyarakat kesulitan mengikuti pemilihan umum legislatif disebabkan hari itu tepat bulan purnama, puncak upacara Panca Walikrama di Pura Besakih. Atas kondisi tersebut, di dua Provinsi kita tersebut telah mengajukan permintaan untuk pemilihan umum di tunda, seperti dikemukakan A.H. Hafidz Anshary, Ketua KPU “permintaan mereka itu ditunda sampai tanggal 15 April 2009.” Sementara sudah dapat dipastikan, pengunduran tidak terjadi, alasan tersebut diungkapkan A.H. Hafidz Anshary, “karena sudah ditetapkan secara nasional, dan tidak ada payung hukum yang bisa melindungi kita untuk dua kali pemungutan suara. Kecuali ada bencana alam dll, sementara faktor keagamaan tidak termasuk salah satu yang menyebabkan ada pemungutan suara susulan itu.”
Kedua, kondisi iklim politik pemilu yang belum jelas. Misal, KPU yang sedang menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), tentang sistem centang untuk mensahkan suara masyarakat jika memilih Partai Politik dan Caleg, seperti pemilu di tahun 2004. Keadaan ini dipastikan menimbulkan kebingungan masyarakat tentang cara mencontreng yang benar.
Ketiga, potensi masyarakat tidak menggunakan suara dalam pemilihan umum, misal, di Sukabumi “akan” terjadi disebabkan masyarakat lebih akan menggunakan suara dalam pemilihan umum presiden. Mengapa? Karena kesalahan strategi partai politik. Ini terjadi, disebabkan kesalahan asumsi dari partai politik itu, mereka berpikir bahwa dengan membangun opini siapa calon presidennya akan mendulang perolehan suara signifikan dari masyarakat. Nyatanya, pemikiran ini berbanding terbalik dengan realitas.
Keempat, iklim politik yang dibangun oleh elite politik nasional. Seperti, seruan Gus Dur akibat kekalahan “perebutan” PKB melawan Muhaimin Iskandar. Kebenaran kondisi ini mungkin belum bisa dipastikan, tapi ada kemungkinan menjadi kenyataan dari masyarakat di Jawa Timur yang loyalitas terhadap Gus Dur.
Kelima, masih di Jawa Timur, misal, kondisi ini terjadi karena “kejenuhan” para pemilih akibat dari pemilihan Gubernur provinsi ini yang terjadi sebanyak tiga putaran.
Keenam, para buruh migran dikhawatirkan akan kehilangan hak untuk menggunakan hak pilihnya. Penyebabnya, mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan pada saat hari pencontrengan.
Ketujuh, mereka yang berhalangan hadir, misal, karena tidak terdaftar sebagai pemilih; orang yang absen ditempat pemungutan suara karena mesti mengurus jenazah dan memakamkan kerabatnya; dan terakhir, menguatnya massa mengambang. Kondisi ini melanda kepada kelompok massa yang tidak terikat partai politik tertentu dan calon tertentu atau yang belum menentukan pilihan dalam ajang pemilihan langsung, maupun para loyal voters tak hanya dengan mudah menjadi swinging voters, melainkan telah menjadi massa mengambang.
Realitas ini yang akan terjadi di dalam Pemilihan Umum Legislatif pada 9 April 2009.®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html