Selasa, 24 Februari 2009

Belajar Singkat: Referendum

Oleh: Efriza, Penulis Buku Mengenal Teori-Teori Politik
Istilah referendum berarti proses penjajakan pemilih tentang suatu usulan pemerintah. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang harus ditempuh oleh pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipil beberapa negara menyelenggarakan pemilu sebagai mekanisme penyeleksian kebijakan umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah. Pemilu untuk menentukan kebijakan umum yang fundamental ini disebut referendum.
Referendum dapat digunakan untuk salah satu dari dua tujuan berikut atau kedua-duanya, yaitu meminta persetujuan rakyat untuk amandemen konstitusional dan undang-undang biasa. Artinya, referendum secara potensial mempunyai kekurangan dan kelebihan. Keuntungannya antara lain adalah peran legitimasinya: Pertama, keputusan yang diambil secara langsung oleh rakyat nampaknya akan memberikan legitimasi, bahkan oleh mereka yang menentangnya, dimana mereka mungkin tidak akan menerima hal yang sama apabila hal tersebut dilaksanakan lewat parlemen atau pemerintah; Kedua, referendum mengoreksi kesalahan-kesalahan dari lembaga legislatif yang mungkin bertindak secara korup atau mengabaikan mandatnya; Ketiga, referendum memelihara hubungan yang sehat dan bermanfaat antara pihak yang dipilih dengan para pemilihnya, suatu kontak yang tidak sealu didapatkan dengan pemilihan umum yang hanya dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu; Keempat, referendum menjamin bahwa undang-undang yang bertentangan dengan hati nurani rakyat tidak akan dapat disahkan; dan Kelima, referendum meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan mempunyai pengaruh edukatif terhadap masyarakat, yang mau tidak mau menjadi akan lebih baik perolehan informasinya atas masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
Sementara kerugian dari referendum: Pertama, institusi pemerintahan perwakilan, seperti misalnya parlemen, mungkin menjadi berkurang kemampuannya; Kedua, masyarakat mungkin tidak akan cukup memperoleh informasi untuk dapat membuat keputusan politis yang kuat; dan Ketiga, juga ada kekhawatiran mengenai mayoritarian, yaitu kekhawatiran bahwa kelompok mayoritas akan menggunakan referendum untuk menjegal hak-hak minoritas; Keempat, jika terlalu sering digunakan dapat menyebabkan tertundanya peresmian undang-undang yang mungkin melenyapkan sejumlah manfaat yang telah direncanakan akan diperoleh masyarakat, atau melestarikan kejahatan yang ingin dilenyapkan; dan Kelima, proses pembuatan undang-undang di dalam kondisi modern menjadi sangat terspesialisasikan, bahkan warga negara yang berpendidikan pun hampir tidak dapat memahami detail seluruh rancangan undang-undang yang diajukan untuk dipertimbangkan oleh rakyat―yang di samping itu, sudah mendapatkan banyak manfaat dari berbagai pertimbangan dan debat dalam lembaga legislatif. Kondisi ini menyebabkan ketidaktahuan merajalela atau menciptakan persamaan sehingga segala praktek yang ada menjadi tidak berguna.
Proses pemungutan suara tersebut, misal, Pemungutan suara di Venezuela dilakukan dengan mesin elektronik. Pemilih memberikan suaranya dengan memencet tombol di mesin tersebut. Mesin kemudian akan mencetak kertas tanda terimanya. Nah, kertas ini harus dimasukkan oleh sang pemilih ke sebuah kotak. Kertas akan dihitung untuk mencocokkan hasil perhitungan elektronik dengan perhitungan manual.
Dalam pemungutan suara tersebut, juga diatur sanksi untuk mencegah pengrusakan terhadap kertas suara, misal, dalam referendum di Venezuela beberapa pekan silam, tentang keinginan amandemen konstitusi yang membatasi masa kepresidenan. Para pemilih jika memakan kertas suara dalam referendum tersebut, tindakan ini dianggap ilegal dan pemilih dapat dijebloskan ke penjara.
Para pembangkang kadang kala suka mengunyah kertas itu sebagai simbol penentangan terhadap Hugo Chavez. Dimana pengawas keamanan dalam pemungutan suara tersebut, Jenderal Jesus Gonzales menyampaikan kepada wartawan pada Rabu pekan lalu bahwa para pemilih dalam pemilihan umum daerah pada November 2008 telah merobek tanda terima tersebut, membuatnya jadi bola, atau membuangnya. beberapa pembangkang telah ditahan dalam aksi itu.
“Mereka telah memakannya. Ini kejahatan pemilu,” kata Gonzales.®

Belajar Partai Politik: dari iklan buku Political Explore, Sebuah Kajian Ilmu Politik

Oleh: Efriza, Penulis buku Political Explore
Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern, bahkan ada ungkapan yang ditulis oleh Richard M. Merelmen dalam kata-kata yang puitis pada pendahuluan buku yang" ditulis oleh Maurice Duverger dalam bukunya “Partai Politik dan Kelompok-kelompok Penekan,” yang menggambarkan tentang pentingnya partai politik, bahwa memang benar “politik modern tanpa partai politik sama saja dengan ikan yang berada di luar air.” Namun, seperti ditulis Miriam Budiardjo dalam bukunya “Dasar-dasar Ilmu Politik,” menyatakan, penelitian mengenai partai politik merupakan kegiatan ilmiah yang relatif baru. Sekalipun bermacam-macam penelitian telah diadakan untuk mempelajarinya, akan tetapi hingga sekarang–dekade 1980-an–belum tersusun suatu teori yang mantap mengenai partai politik, sebagai lembaga politik. Sampai dekade tersebut istilah tentang lapangan studi ini pun masih belum ada. Meskipun nama ‘stasiologi‘ kadang-kandang dipakai.
Berkaitan dengan perkembangan studi tentang teori kepartaian, suatu usaha yang sangat serius telah dilakukan oleh salah seorang sarjana bernama Kenneth Janda, yang sudah melakukan usaha untuk menelusuri perkembangan teori tentang partai politik–dalam tulisannya yang berjudul “Comparative Political Parties: Research and Theory” yang terbit pada tahun 1993, telah melakukan kajian dalam menelusuri: Pertama, teori tentang partai politik dan definisi partai politik khususnya dalam perspektif Amerika, baik partai dalam definisi yang sempit maupun dalam definisi yang luas; dan Kedua, konsep-konsep untuk analisa partai politik, yang menurut Kenneth Janda meliputi 10 aspek penting yaitu; Institutionalazation; Issue orientation, Social support; Organizational complexity; Centralization of power; Autonomy; Coherence; Involvement; Strategy and tactics; and Govermental status; dan Ketiga, perumusan tentang teori Partai “The state of party theory” juga ditelaah tentang “The form of a general theory.”
Dari telaah yang dilakukan oleh Kenneth Janda, tentang teori yang berkaitan dengan partai politik ia membuat pernyataan yang sama dengan Duverger yang dikemukakan beberapa puluh tahun sebelumnya. Kenneth Janda menulis “our attention turns now to party theory, focusing on theories that involve individual parties as units of analysis. Its fashionable among party scholars at home and broad to lament the lack of party theory.” (perhatian kita sekarang beralih pada teori partai, memfokuskan pada teori yang melibatkan partai individual sebagai unit dari analisis. Ini sesuai dengan perkembangan terakhir mengikuti teori partai di suatu negara dan meluas menjadi suatu kekurangan dari teori partai). Dari pernyataan ini tersirat adanya semacam keluhan serta sesuatu yang bernada ratapan dikarenakan langkanya teori umum dari partai politik. Seperti lima puluh tahun sebelumnya (sebelum Kenneth Janda) pernah dikeluhkan oleh Maurice Duverger sendiri dengan ungkapannya, “we find ourselves in a vicious circle: a general theory of parties will eventually be construced only upon the preliminary work of many profound studies; but these studies cannot be profound so long as there exists no general theory of parties.” (kita menemukan diri kita sendiri dalam lingkaran: suatu teori umum mengenai partai pada akhirnya akan dibentuk hanya berdasarkan permulaan pekerjaan dari berbagai studi yang mendalam; tapi pembelajaran ini tidak bisa terus mendalam terlalu lama seperti keberadaannya tidak ada teori partai yang umum). Pernyataan Duverger ini nampaknya juga mengungkapkan adanya keluhan dengan tidak tersedianya teori yang berlaku secara umum dari partai politik “general theory party,” sehingga menimbulkan semacam lingkaran setan karena studi tentang partai akhirnya dibangun dengan kerja-kerja yang bersifat permulaan.
Pendek kata, meskipun penyusunan suatu teori yang menyeluruh telah jauh ketinggalan, namun kehadiran partai politik dalam suatu sistem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri menjadi fenomena yang bisa dijumpai.®

Minggu, 22 Februari 2009

Iklan Buku Politik, Yang Akan Terbit

Sinopsis Buku Efriza S.IP & Syafuan Rozi S.IP, M.Si
Menembus Lorong Waktu
PARLEMEN INDONESIA
DOELOE, KINI, & ESOK

Parlemen Nusantara telah dan akan terus menjadi wajah dan gerak nyata perbaikan bangsanya. Upaya kongkret menegakkan nilai mulia kemanusiaan dan memanusiakan umat manusianya. Ibu pertiwi terus memanggil, untuk hilangkan susah hatinya. Untuk menghapus linangan air mata dan darah guna memanfaatkan “emas, intan dan berlian” di buminya. Untuk bertindak adil untuk segenap anak bangsanya, guna sepakat berpadu daya dalam meneruskan do’a dan citanya.
Pertumbuhan Lembaga Perwakilan Politik kita ini terus mengalami proses dan perkembangan dengan wajah haru biru, sesal dan bangga. Dari ribut soal fasilitas, dana dan kinerja. Soal niat, laku dan bakti untuk nusantara. Banyak hal yang bisa diketahui publik kini dengan hadirnya Swara, TV Parlemen yang menjadikan parlemen milik bersama. Namun masih imajinasi tentang apa kemungkinan wajah parlemen kita esok. Bagaimana gelisahnya sebagian pemilih, menyaksikan DPD yang dipilih langsung tidak memiliki gigi yang cukup untuk mengunyah kebijakan yang bermakna buat daerah-daerah yang diwakilinya.
Betapa bangganya para pejuang perubahan dan reformasi menyaksikan ketika ketua MPR mencontohkan penggunaan kendaraan dinas yang sederhana dan kebersediaan hadiah perkawinan dirinya untuk diaudit tim KPK sebagai tauladan adanya akuntabilitas. Betapa Semaraknya dan ucapan salut bagi sejumlah tokoh parlemen kita yang merancang “kabinet bayangan” untuk menambah prestise dan kinerja, bahwa check and balances Legislatif-Eksekutif dan Yudikatif perlu diperkuat agar demokrasi kita produktif dan substansial.
Sesuai dengan ungkapan bahwa yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Hal yang mula penting itu pertanyaan, karena jawaban bisa ada setelah pertanyaan itu ada. Begitu pula-lah untuk dunia parelemen nusantara. Apakah fungsi parlemen dari waktu ke waktu berhasil ditegakkan? Atau hanya baru semu dalam tingkatan mimpi, harapan, pelengkap penyerta, dari suatu sistem dengan lebel demokrasi? Apakah dengan adanya parlemen demokrasi berjalan atau sebaliknya ia cuma menjadi mesin stempel legitimasi atas nama publik–argumentum ad populum-?
Buku ini ingin mengungkap sistem bikameral di beberapa negara dan menyorot tajam bikameral yang berlaku di Indonesia, cenderung masih pincang karena adanya kesenjangan kewenangan DPR dengan DPD. UUD 1945 hasil perubahan tidak merumuskan secara tegas dan jelas fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang tepat dari DPD. Akibatnya, kepentingan dan aspirasi daerah menjadi terabaikan. Bukan mustahil, akan lahir problem dan masalah politik tertentu seperti kekecewaan publik di daerah karena keberadaan wakil DPD mereka di tingkat pusat belum atau “sengaja dikedilkan” agar tidak mampu untuk menghasilkan kebijakan publik yang diperlukan rakyat di daerah yang diwakilinya. Ingatlah, publik pembayar pajak tidak semuanya buta, tuli, dan bisu. Mereka akan bergerak dan merangkak mendesak sesuatu akan ada pada tempatnya.
Rakyat kita sebagian terus makin cerdas, berfikir cermat dan bijak pula. Ada sejumlah asa dan dukungan terhadap DPD seperti tuntutan perjuangan konstitusional DPD untuk perlindungan TKI-TKW asal nusantara di Malaysia, Arab, Korea, dst. Jika perlu mereka bisa pulang bekerja di negeri sendiri tidak lagi menjadi koeli di negeri asing; pembuatan payung hukum nasional untuk jaminan hak informasi masyarakat di daerah menyangkut urusan perizinan, pendanaan sektor pendidikan, kesehatan dan perumahan; kebutuhan pengadaan BUMD perminyakan untuk mencari sumur minyak baru dan pengilingan setempat agar bisa menekan biaya pengadaan minyak agar tidak memerlukan subsidi. Begitu juga hak ulayat dan hutan sosial kemasyarakatan agar warga sekitar hutan lindung bisa mencari nafkah di hutan tanpa membahayakan fungsi hutan.
Peran DPD yang timpang dibanding DPR, tidak memungkinkan DPD untuk membuat kebijakan publik secara nyata, sekalipun banyak gagasan datang berkaitan dengan kepentingan penduduk di daerah yang diwakilinya. Semua fungsi legislasi di monopoli dan diborong habis oleh DPR. Tinggallah DPD menjadi objek peyerta kalau tidak disebut sebagai obyek penderita akibat rumusan konstitusi yang melemahkan fungsi mereka yang seharusnya ada.
Buku ini mendorong rekonstruksi bagi parlemen nusantara. DPD dan DPR perlu memiliki kewenangan mengurus dan memformulasi kebijakan dengan domain yang berbeda. DPR relatif berkaitan dengan wewenang/urusan nasional dan internasional, sedangkan DPD berwenang dengan urusan ranah lokal. Para perubah bisa memproyeksikan pembagian kerja atau domain DPD untuk persoalan legislasi dan budgeting kepentingan publik daerah (perlindungan TKI, hutan kemasyarakatan, pengadaan minyak oleh BUMD perkawasan waktu, partai lokal untuk pemilu lokal, pengadaan perumahan sesuai budaya dan habitat lokal, dsb.).
Sedangkan DPR ke depan perlu dirancang untuk memiliki core-competency dalam kebijakan publik yang bersifat internasional dan nasional (seperti kebijakan pengembangan wilayah perbatasan, solusi pemanasan global, memperbaiki hubungan antarbangsa, memporsikan secara pantas urusan pertahanan dan keamanan, memajukan ilmu pengetahuan, pendidikan, kesehatan dan mutu barang kebutuhan publik di tingkat nasional). Politik adalah seni adiluhung dan melahirkan serta lewat kerja di parlemen mari kita bersama mengawal kebijakan nyata yang demokratis dan akuntabel untuk memajukan kepentingan bersama anak bangsa dan kemanusiaan dengan cara sebaik-baiknya.®

AGAMA, GOLPUT DAN MERAYAKAN DEMOKRASI?

Oleh: Syafuan Rozi, Peneliti P2P LIPI; dan Efriza, Penulis buku Mengenal Teori-teori Politik

Ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menghasilkan fatwa tentang Golongan Putih (Golput) haram ditanggapi secara beragam. Fatwa tersebut menimbulkan pro kontra. Pihak yang pro, terutama kalangan partai menyambutnya penuh bahagia, karena seolah mendapat angin. Pihak yang kontra menganggap MUI telah melampau domainnya. Ranah MUI adalah hukum syariah dan fiqih, bukan hukum kompetisi kursi kekuasaan dalam konteks demokrasi.
Kalau saja RI adalah negara agama, tak ada satupun yang berkeberatan dengan fatwa haram atau makruh MUI bagi fenomena Golput. Di dalam Sistem Politik Indonesia, dimungkinkan atau mubah bahwa memberikan suara adalah hak politik dan bukan kewajiban politik warga negara. Dalam mekanisme demokrasi prosedural, sikap Golput pemilih bisa bermakna ia bermaksud menghukum para politisi dan partai yang ada, yang dianggap satupun tidak layak untuk dipilih karena pernah bertindak one prestasi atau cedera janji. Tingginya angka Golput pun tidak bisa dikambinghitamkan kepada KPU atau KPUD, mereka sewajarnya profesional, netral dan maksimal menyelenggarakan Pemilu dengan transparan serta akuntabel.
Konsekuensi pemilih yang Golput adalah memaksa politisi dan kalangan Parpol untuk berubah dan berbenah diri. Mereka harus dekat sepanjang waktu, tidak hanya menjelang Pemilu. Mereka harus memperjuangkan dari hari ke hari permasalahan masyarakat yang nyata. Kalau itu dilakukan ditingkat yang nyata, tentulah pemilih tidak akan bersikap Golput. Apalagi para politisi dan Parpol bersedia membuat akad politik dengan komunitas yang akan mendukungya, perihal apa yang akan dan tidak akan dilakukan bila terpilih, apa sanksi yang akan diterima, seperti pemotongan gaji dan fasilitas untuk disumbangkan pada komunitas.

Perayaan Agama & Potensi Golput Pemilu Legislatif
Ada praduga bahwa angka Golput lagi-lagi berpeluang naik menjadi primadona dalam Pemilu Legislatif pada 9 April 2009 mendatang jika tidak diantisipasi dengan sikap emphati oleh KPU/KPUD. Pentingnya ritual religiusitas di Indonesia Bagian Timur bisa menimbulkan naiknya angka Golput, ketika hari pemilihan berdekatan atau bersamaan dengan perayaan hari Keagamaan. Masyarakat Nusa Tenggara Timur di Ralantuka, misalnya, pada hari pemberiaan suara tersebut akan mempersiapkan hari keagamaan Kristiani, wafatnya Yesus Kristus. Kondisi ini juga terjadi di Bali, sebagian besar masyarakat Bali akan sibuk menjelang 9 April, karena hari itu tepat bulan purnama, puncak upacara Panca Walikrama di Pura Besakih.
Atas kondisi tersebut, perlu dipertimbangkan agar di dua Provinsi tersebut Pemilu Legislatif ditunda atau diundurkan jadwalnya. Bukankah masa kampanye telah cukup panjang (sekitar 8-9 bulan). Pertimbangannya, inilah nusantara yang multikultural. Kalau di Amerika Serikat pada saat Pilpres ada pemilihan pendahuluan bagi para petugas atau mereka yang akan berpergian jauh, maka tidak salah jika di negeri kita ada pemilihan pendahuluan atau pemilihan pengakhiran, berkaitan dengan prosesi keagamaan. Kini zaman reformasi, tidak boleh ada lagi sikap otoriter dan penyeragaman secara tangan besi.
Posisi A.H. Hafidz Anshary, Ketua KPU dan anggotanya, sebaiknya perlu arif dan bijak dalam menanggapi permintaan pemilih di Indonesia Tengah dan Timur untuk pengakhiran pemberian suara sampai tanggal 15 April 2009. Hal itu janganlah dianggap sebagai penundaan Pemilu. Sementara ini tampak cenderung sudah dapat dipastikan bahwa pengunduran tidak akan terjadi. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh A.H. Hafidz Anshary: “karena sudah ditetapkan secara nasional, dan tidak ada payung hukum yang bisa melindungi kita untuk dua kali pemungutan suara. Kecuali ada bencana alam dll, sementara faktor keagamaan tidak termasuk salah satu yang menyebabkan ada pemungutan suara susulan itu”. Jika sikap pemilih di IBT, sama-sama keras , maka jangan terkejut jika terjadi protes dan pembangkangan sosial. Mereka tidak datang ke bilik suara alias Golput, bukan karena alasan rasional kalkulatif, tapi karena alasan tradisional-ritual kalkulatif. Mari kita buktikan nanti?
Kedua, karena alasan keakhiratan, pemilih tertentu bisa jadi tidak menggunakan hak pilihnya. Penyebabnya, mereka tidak bisa mendahulukan hadir pada saat hari pencontrengan di tempat pemungutan suara, sebab pada hari itu sedang mendapatkan musibah kematian, mesti mengurus jenazah dan memakamkan kerabatnya. Kondisi ini bisa saja terjadi pada pemilih yang tidak terikat partai politik tertentu dan calon tertentu. Mereka akan lebih mementingkan merayakan hari kematian ketimbang menghadiri hari pencontrengan.
Untuk fenomena yang terakhir ini, bisa jadi angkanya kecil, dan mereka tidak bisa dianggap sebagai pemilih Golput. Pemilih Golput yang asli sengaja tidak hadir pada hari pencontrengan karena ingin menghukum para politisi dan Parpol yang selama ini tidak memperjuangkan nasib mereka. Sibuk sendiri memperkaya diri dengan pundi-pundi pribadi. Dalam posisi seperti ini bisa saja ada ijtihad, menjadi Golput fatwanya adalah wajib. Wallahualam Bisawab. Mari kita sambut perayaan demokrasi di negeri kita, Pemilihan Umum Legislatif pada 9 April 2009, dengan kejelasan dalam bersikap mengapa ada yang memilih dan tidak memilih nanti. Mengapa perlu ada ‘pemilhan pendahuluan’ dan atau ‘pemilihan pengakhiran’. Selamat merayakannya dalam damai dan bersahabat.®

Parlemen Mogok Gara-gara Tenis

Oleh: Efriza, Penulis buku Mengenal Teori-Teori Politik

Judul tersebut sangat menarik, ditulis Koran Tempo, 2 Februari 2009. Berikut uraiannya.
Perdebatan di parlemen Serbia tampaknya kalah menarik dibandingkan pertandingan tenis. Mungkin itulah alasan televisi pemerintah, RTS, lebih suka menayangkan pertandingan tenis Australia Terbuka pada Kamis pekan lalu, meskipun petenis jagoan Serbia, Novak Djokovic, sudah gugur di babak sebelumnya.
Tentu saja para anggota dewan perwakilan rakyat yang terhormat itu jadi gusar. Mereka melakukan mogok kerja selama dua jam selama televisi tersebut menyiarkan pertandingan semifinal antara Andy Roddick dan Roger Federer.
Keputusan RTS itu membuat para pemimpin partai besar, yang biasanya mendapat siaran langsung selama sidang parlemen, berhenti untuk kerja untuk ketiga kalinya sejak turnamen tenis itu mulai disiarkan.
Parlemen Serbia terkenal lamban dalam bersidang karena banyak politikus yang berusaha mengagalkan penetapan undang-undang dengan pidato yang panjang-panjang. Akibatnya, jadwal mereka menetapkan undang-undang yang akan mempercepat penggabungan dengan Uni Eropa jadi molor.
Selain itu, televisi akan mendapat uang dari iklan selama siaran pertandingan tenis tersebut. Kalau menyiarkan sidang parlemen, jelas tak ada iklannya, kan?.
Lalu, Bagaimana dengan Indonesia, sepertinya alangkah menarik bila situasi tersebut sempat terjadi atas televisi parlemen yang ada di Gedung DPR/DPD/MPR? Mengapa dari hasil penelusuran Penulis melalui salah seorang Anggota DPR (nama sengaja tidak dihadirkan), ia menjelaskan bahwa Anggota DPR itu tidak perlu menghadirkan rapat-rapat di DPR, “memang anggota DPR itu tidak usah mendengarkan pidato-pidato yang begitu banyak di paripurna itu. Ngapain? Kita cukup melihat tv di sini, kita sambil mengerjakan pekerjaan kita. Waktu mengambil keputusan kita hadir di sana. Parlemen dimana-mana, tidak ada yang kayak anak sekolah, dia harus duduk di ruang paripurna sepanjang rapat itu.” Artinya, jika ada beberapa kali saluran televisi tersebut, tidak menghadirkan siaran langsung selama sidang parlemen, akan sedikit memberikan punishment.
Pendek kata, jika dilihat perbandingan kedua parlemen tersebut, dari sudut Indonesia, ternyata Anggota DPR sudah mulai jenuh dengan rutinitasnya karena adanya 16 partai politik di DPR yang hasilnya menghasilkan 10 fraksi, singkatnya pandangan paripurna begitu berbelit dan lama, begitu juga dalam hal pembahasan-pembahasan RUU yang harus ada pandangan 10 fraksi. Artinya, proses pembuatan UU sangat berbelit, dan menyita waktu. Seperti diungkapkan Nur Syamsi Nurlan, Ketua F-BPD di MPR dari Anggota PBB, “untuk jangka panjang. Sehingga nanti di dalam DPR itu tidak perlu banyak fraksi. Terlalu banyak fraksi dalam proses pengambilan keputusan lama–seperti sekarang ini–10 fraksi dalam hal ini dari 1-10 baca (menyampaikan pandangan pendapat, pen). Jadi mengambil keputusan lama. Bila hanya 5 atau 6, dalam hal ini 5-lah paling banyak fraksi. Jadi cepat mengambil keputusan dan kerja kita juga efektif. Begitu juga dalam hal pembahasan-pembahasan RUU harus ada pandangan 10 fraksi… ” Sementara, di Serbia, bukan prosesnya yang panjang dan berbelit-belit, melainkan karena adanya usaha mengagalkan penetapan undang-undang yang membuat prosesnya menyita pewaktu.®

Ketika Senator Amerika Serikat Menggugat Tuhan

Oleh: Efriza, Penulis buku Ilmu Politik

Ketika Senator kita atau lebih dikenal dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), masih dinilai Setara dengan LSM. Jika DPR mengundang DPD, maka hanya sebagai pembicara dalam rapat dengar pendapat umum saja. Whatever,…itu persoalan klasik. Tetapi Senator di Amerika Serikat, tidak lagi berbicara tentang kekuasaan. Misal, diberitakan Koran Tempo, 22 September 2007, bahwa Senator Amerika Gugat Tuhan.
Pertanyaan dibenak kepala segera membumbung, Apa yang menyebabkan Tuhan di Gugat?, dan Pasti Senator itu sudah Gila? Ceritanya begini. Senator Ernie Chambers dari Negara Bagian Nebraska, Amerika Serikat, mengajukan gugatan hukum kepada Tuhan atas becana yang ia turunkan ke dunia.
Chambers menuding Tuhan dan para pengikutnya di seluruh dunia telah menyebabkan rasa takut, gelisah, terror, dan ketidakpastian sebagai upaya memaksa manusia mengikuti perintah-Nya. “Tuhan telah menyebabkan banjir, badai, gempa, dan tornado yang mengerikan,” kata Senator yang sering mengkritik umat Kristen ini.
Senator dari Partai Demokrat ini meminta pengadilan memberikan putusan sementara atau menggelar proses hearing dalam waktu dekat jika pengadilan menganggap itu tidak sia-sia. Chambers juga mendesak pengadilan mengeluarkan keputusan permanen yang melarang Tuhan mengeluarkan ancaman teror. Entah bagaimana ini bisa berhasil karena Tuhan Mahakuasa atas segalanya.
Chambers mengakui Tuhan mahatahu dan ada di mana-mana. Karena itu, Politikus yang sudah menjadi senator sejak 1970 ini mendaftarkan gugatannya ke pengadilan Nebraska. Karena Mahatahu, ia juga tidak akan memberikan gugatan ini langsung kepada Tuhan..
Gugatan ini menunjukkan bahwa chambers berusaha menghadirkan Tuhan ke dunia. “Keluarlah di mana pun Engkau berada,” mungkin begitu teriak Chambers. Sesuatu yang sangat mustahil. Hingga kita penggugat belum bisa dihubungi untuk dimintai komentar. Tuhan pun belum menanggapi gugatan itu.
Sepintas lalu, tanpa mempersoalkan sisi psikologi dari Senator tersebut, kita bisa melihat bahwa sebuah negara yang sudah maju seperti di Amerika Serikat, para Senator telah mendapatkan posisi yang layak dalam bingkai kekuasaan. Sehingga, Anggota Senator tersebut dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat sudah memperjuangkan perubahan bagi kehidupan masyarakat dengan jangkauan “lompatan” pemikiran yang tinggi.®

Partai Seks Australia

Oleh: Efriza, Penulis buku Ilmu Politik

Ideologi sebagai suatu sistem sebaran ide, kepercayaan (beliefs), yang membentuk sistem norama serta sistem peraturan (regulation) ideal yang diterima sebagai fakta dan kebenaran oleh kelompok tertentu, (Steger, 2002). Dan ketika dikemas untuk mendapatkan kekuasaan dalam masyarakat agar dapat mempengaruhi kebijakan publik, dapat dikatakan bahwa ideologi tersebut adalah ideologi politik. Biasanya perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dalam sistem demokrasi dimanesfasikan dalam institusi formal politik, antara lain: partai politik, (Firmanzah, 2008).
Lalu, Pertanyaannya apa yang menarik dari pembahasan comparatif antara Partai Politik Indonesia, dan Partai Politik Austrlia? Berikut ini penjelasannya.
Ideologi politik dari 38/44 Partai Politik Indonesia sebagai Peserta Pemilu 2009, adalah sebagai berikut:
Aneka Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2009
1. Pancasila tanpa embel-embel: 22 Parpol adalah: Partai Hanura, PKPB, P3I, PPRN, Partai Gerindra, Partai Barisan Nasional, PKPI, PAN, Partai Kedaulatan, PPD, PKB, Pakar Pangan, PPDI, PDK, Partai RepublikaN, Partai Pelopor, Partai Golkar, Partai Patriot, Partai Demokrat, Partai Kasih Demokrasi Indonesia, Partai Indonesia Sejahtera, dan Partai Merdeka
2. Pancasila 1 Juni: 1 Parpol adalah: PDIP
3. Pancasila dan UUD 1945: 4 Parpol adalah: PDP, PDS, PSI, dan Partai Buruh
4. UUD 1945 dan Pancasila: 1 Parpol adalah: PPI
5. Keadilan, Demokrasi, dan Kemajemukan serta Pancasila sebagai landasannya: 1 Parpol adalah: PPIB
5. Islam tanpa embel-embel: 5 Parpol adalah: PKS, PPP, PBB, PBR, dan PPNUI
6. Islam (berkemajemukan): 1 Parpol adalah: PMB
7. Islam Ahlus-Sunnah Wal-Jamah: 1 Parpol adalah: PKNU
8. Marhaenisme ajaran Bung Karno: 1 Parpo adalah: PNI Marhaenisme
9. Nasionalisme: 1 Parpol adalah: Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia
Sementara, ranah politik Australia bertambah meriah, seperti diberitakan Koran Tempo, 21 November 2008, bahwa Kemarin kalangan industri seks di Australia mendeklarasikan berdirinya Partai Seks Australia. Platfrom (baca: biasa dibahasakan ideologi) partai ini jelas: masyarakat bisa menikmati obat disfungsi seks dengan harga miring dan melindungi para pekerja seks dari sensor pemerintah di Internet.
Partai ini yakin, permintaan akan boneka seks dan film biru bakal meningkat tahun depan, tapi tentu saja dengan akses yang murah. “Kami adalah kemewahan murah yang bisa membuat Anda senang,” kata pendiri partai itu, Fiona Patten, dalam peluncuran partai itu berbarengan dengan pameran Melbourne Sexpo.
Menurut Ketua Asosiasi Industri Hiburan Khusus Orang Dewasa Australia (Eros) ini, di Australia kini mulai bermunculan konservatisme, “Kita menjadi negara kambing betina, politikus tidak bicara tentang seks tanpa tertawa atau berkata sesuatu yang negatif.”
Serangan kontan datang dari Australian Chistian Lobby, yang menyebut partai itu mendukung eksploitasi dan degradasi perempuan lewat pornografi dan prostitusi. Namun, Patten tenang saja; dia mengatakan rencana pemerintah menyetop beroperasinya 16 ribu situs porno bakal membangkrutkan 16 ribu usaha industri seks ini.
Slogan yang diusung Patten jelas paten: “Kami serius tentang seks dan juga serius tentang Partai Seks.”
Pendek Kata, bagi Penulis tanpa memperdebatkan sisi negatif dari ideologi partai politik Australia tersebut. Mungkinkah pada Pemilu kita yang selalu menghasilkan sejumlah partai politik baru sebagai peserta pemilu─maksudnya, Pemilu 2014─akan menghasilkan Partai Politik yang BERANI untuk menciptakan ideologi politik baru sebagai bukti kepiawaian para politisi itu. Sehingga menghasilkan trend style politik partai, seperti konsep “Grunnasen” dan “Lilaohren,” yang dikenalkan Matt Resse, salah satu bapak kampanye modern di Amerika Serikat, “Saya selalu bermimpi bahwa cara berpikir politik seseorang bisa dilihat dari penampilannya. Mereka yang hanya perlu saya dorong untuk melakukan sesuatu untuk saya, harus memiliki hidung hijau (Grunnasen). Dan mereka yang harus saya yakini dengan argumentasi agar mereka mengatasi kebimbangan mereka, harus memiliki telinga ungu (Lilaohren). Dengan begitu, dengan sekali lihat saja saya langsung bisa mengetahui siapa yang saya tuju dan bagaimana caranya.”®

Potensi Golput, di Pemilu Legislatif

Oleh: Efriza, Penulis buku Mengenal Teori-teori Politik, dan Ilmu Politik

Golongan Putih (golput) akan menjadi primadona dalam Pemilihan Umum Legislatif pada 9 April 2009. Berbagai penyebab bisa dengan gamblang menjadi potensi timbulnya aspirasi masyarakat tidak memberikan suara, atau yang dikenal dengan istilah Golput tadi.
Kecenderungan masyarakat tidak memberikan suara dilatarbelakangi oleh beberapa hal, Pertama, faktor keagamaan. Misal, Masyarakat di Nusa Tenggara Timur yakni di Ralang Tukai akan mempersiapkan menyambut hari keagamaan kristiani. Kondisi ini juga terjadi di Bali, misal sebagian besar masyarakat kesulitan mengikuti pemilihan umum legislatif disebabkan hari itu tepat bulan purnama, puncak upacara Panca Walikrama di Pura Besakih. Atas kondisi tersebut, di dua Provinsi kita tersebut telah mengajukan permintaan untuk pemilihan umum di tunda, seperti dikemukakan A.H. Hafidz Anshary, Ketua KPU “permintaan mereka itu ditunda sampai tanggal 15 April 2009.” Sementara sudah dapat dipastikan, pengunduran tidak terjadi, alasan tersebut diungkapkan A.H. Hafidz Anshary, “karena sudah ditetapkan secara nasional, dan tidak ada payung hukum yang bisa melindungi kita untuk dua kali pemungutan suara. Kecuali ada bencana alam dll, sementara faktor keagamaan tidak termasuk salah satu yang menyebabkan ada pemungutan suara susulan itu.”
Kedua, kondisi iklim politik pemilu yang belum jelas. Misal, KPU yang sedang menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), tentang sistem centang untuk mensahkan suara masyarakat jika memilih Partai Politik dan Caleg, seperti pemilu di tahun 2004. Keadaan ini dipastikan menimbulkan kebingungan masyarakat tentang cara mencontreng yang benar.
Ketiga, potensi masyarakat tidak menggunakan suara dalam pemilihan umum, misal, di Sukabumi “akan” terjadi disebabkan masyarakat lebih akan menggunakan suara dalam pemilihan umum presiden. Mengapa? Karena kesalahan strategi partai politik. Ini terjadi, disebabkan kesalahan asumsi dari partai politik itu, mereka berpikir bahwa dengan membangun opini siapa calon presidennya akan mendulang perolehan suara signifikan dari masyarakat. Nyatanya, pemikiran ini berbanding terbalik dengan realitas.
Keempat, iklim politik yang dibangun oleh elite politik nasional. Seperti, seruan Gus Dur akibat kekalahan “perebutan” PKB melawan Muhaimin Iskandar. Kebenaran kondisi ini mungkin belum bisa dipastikan, tapi ada kemungkinan menjadi kenyataan dari masyarakat di Jawa Timur yang loyalitas terhadap Gus Dur.
Kelima, masih di Jawa Timur, misal, kondisi ini terjadi karena “kejenuhan” para pemilih akibat dari pemilihan Gubernur provinsi ini yang terjadi sebanyak tiga putaran.
Keenam, para buruh migran dikhawatirkan akan kehilangan hak untuk menggunakan hak pilihnya. Penyebabnya, mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan pada saat hari pencontrengan.
Ketujuh, mereka yang berhalangan hadir, misal, karena tidak terdaftar sebagai pemilih; orang yang absen ditempat pemungutan suara karena mesti mengurus jenazah dan memakamkan kerabatnya; dan terakhir, menguatnya massa mengambang. Kondisi ini melanda kepada kelompok massa yang tidak terikat partai politik tertentu dan calon tertentu atau yang belum menentukan pilihan dalam ajang pemilihan langsung, maupun para loyal voters tak hanya dengan mudah menjadi swinging voters, melainkan telah menjadi massa mengambang.
Realitas ini yang akan terjadi di dalam Pemilihan Umum Legislatif pada 9 April 2009.®

Usul: Perlunya Penerapan Busway Pengalihan

Oleh: Efriza, Kolumnis
Busway menjadi sarana transportasi primadona bagi masyarakat Jakarta. Namun, penumpang Busway harus “terbiasa” menjadi peserta penumpukan di halte busway pada jam sibuk.
Saya sebagai pengguna Busway juga mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, saya mengusulkan kepada Pengelola Trans Jakarta agar dibuat aturan Penerapan Busway Pengalihan. Mekanismenya, misal, jika terjadi penumpukan (antri panjang) di Halte Jembatan Gantung, menuju Harmoni. Maka, penjaga Busway menghubungi penjaga Busway yang berada di Kali Deres.
Lalu, Busway dari Kali Deres, memulai mengangkut penumpang dari Kali Deres, namun untuk halte-halte berikutnya diindahkan atau tidak diangkut, artinya langsung mengangkut Penumpang yang terjadi penumpukan di Jembatan Gantung tersebut. Namun selanjutnya, busway berjalan kembali normal yakni mengangkut penumpang di setiap halte, atau di halte selanjutnya Taman Kota.®

Nikmatnya Menjadi Anggota Parlemen: Komparasi Indonesia dengan Eropa

Oleh: Efriza, Penulis buku Ilmu Politik
Anggota parlemen negara-negara Uni Eropa selama ini memang mendapat begitu banyak fasilitas dan gaji selangit. Mulai dari tiket kereta api gratis hingga biaya untuk pembelian dapur baru.
Tingginya gaji dan besarnya insentif yang didapat anggota parlemen Eropa, sebagai contoh, di Perancis seorang anggota parlemen mendapat gaji pokok 5.180 euro (sekitar Rp 75 juta) plus jaminan keamanan sosial. Mereka juga mendpaat tunjangan sebesar 5.790 euro (Rp 83,8 juta0 untuk berbagai keperluan dalam sebulan, seperti biaya penginapan, perjalanan dinas, bahkan biaya hiburan. Anggota parlemen Perancis juga mendapat kemewahan dengan fasilitas kelas utama dalam perjalanan kereta api ke seluruh negeri.
Mereka juga mendapat tiket 40 kali penerbangan dalam setahun untuk menemui konstituen mereka di luar Paris. Kemewahan tak berhenti sampai di situ. Setelah tak lagi mendapat jatah kursi di parlemen, mereka pun tetap mendapat hak menerima gaji.
Selanjutnya, adanya pinjaman perumahan bagi anggota parlemen dengan bunga yang sangat rendah. Namun, kebijakan ini dikeluarkan untuk membantu anggota parlemen menemukan tempat tinggal yang layak di Paris.
Lain lagi dengan Swedia. Negeri ini patut dicontoh karena setiap anggota parlemen harus secara terbuka meyatakan jumlah kekayaannya dan setiap saat bisa diakses publik dengan mudah. Dalam hal ini, di bawah Undang-Undang Transparansi, setiap warga Swedia diberikan kemudahan mengakses badan negara tanpa sensor, kecuali informasi itu berhubungan dengan dokumen rahasia yang melibatkan negara lain.
Setiap anggota parlemen Swedia juga wajib mempublikasikan kepemilikan mereka atas saham domestik atau asing. Termasuk jika mereka menguasai sebuah perusahaan yang bernilai lebih dari 82 ribu krona Swedia (8.700 euro).
Untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan, seorang anggota parlemen juga harus mempublikasikan keanggotaan mereka dalam jajaran dewan direksi perusahaan atau jabatan lain di sebuah perusahaan.
Riskdag (parlemen Swedia) tak menyediakan dana bagi anggota parlemen. Biaya perjalanan dan urusan kantor di parlemen juga ditanggung oleh negara. Hanya ada syaratnya, setiap biaya perjalanan dibuat semurah mungkin dan harus dipesan lewat kantor travel yang ada di parlemen.
Italia menjadi negara dengan gaji anggota parlemen tertinggi di Eropa. Gaji pokok seorang senator mencapai 5.235 euro (Rp 75,8 juta) per bulan. Ada biaya insentif lainnya, contohnya mereka bisa mengklaim biaya harian, yang rata-rata bisa mencapai 4.000 euro (Rp. 57,9 juta) sebulan.
Anggota parlemen juga menerima tiket penerbangan dan karcis kereta gratis, dari dan menuju Roma. Mereka juga bisa mengklaim biaya perjalanan jika dilakukan dengan mobil.
Total seorang anggota parlemen Italia mendapat 1.49.215 euro (Rp 2,1 miliar) dalam setahun. Angka ini dua kali lipat gaji daripada anggota parlemen Jerman dan Inggris, tiga kali lipat gaji parlemen Portugal, dan empat kali lipat gaji anggota parlemen Spanyol.
Anggota parlemen Jerman juga menerima kemewahan yang hampir sama. Dengan gaji pokok sebesar 7.339 euro, mereka juga mendapat tunjangan mencapai 3.782 euro untuk rumah tinggal atau biaya hiburan dan kartu kereta api.
Parlemen Jerman mengatur ketat setiap anggotanya. Mereka wajib mempublikasikan hartanya. Selanjutnya, mereka wajib menampilkan pekerjaan yang dilakukan sebelum menjadi anggota parlemen. Mereka harus pula mengumumkan uang yang dikumpulkan dari pendapatan tambahan lain, yang dilakukan saat menjadi anggota parlemen. Selain itu, anggota parlemen Jerman itu paling lambat masuk jam 9 pagi. Yang tidak masuk didenda 20 euro per hari (Rp. 296.000).
Jika punya saham atau menjadi dewan pimpinan perusahaan, anggota parlemen Jerman juga harus mempublikasikan. Uniknya, mereka harus menuliskan rencana masa depannya, termasuk aktivitas yang mereka lalukan jika karier di parlemen berakhir.
Semua itu ditampilkan dalam situs milik parlemen. Setiap orang bisa mengakses informasi seorang anggota parlemen secara detail.
Anggota parlemen Inggris juga wajib mempublikasikan secara berkala harta yang mereka peroleh, termasuk kepemilikan rumah dinas, biaya perjalanan, gaji staf, dan alat tulis kantor.
Bagi anggota parlemen yang tak tinggal di Londong, mereka mendapat tunjangan sebesar 23 ribu pound sterling per tahun. Anggota parlemen juga mendapat tunjangan yang tak kalah heboh, mulai dari televisi, furnitur, bahkan mesin cuci. Termasuk renovasi untuk rumah dinas mereka.
Jika sangat dibutuhkan, mereka bisa mengklaim hingga 10 ribu pound sterling untuk pembuatan dapur baru dan 6.335 pound sterling untuk kamar mandi baru.
Nah, untuk para anggota parlemen di Inggris yang berakhir masa jabatannya, akan mendapat biaya pensiun yang berjumlah sekitar 50 persen hingga 100 persen gaji mereka.
Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan parlemen di Indonesia? Misal, Penerimaan Anggota Dewan Per Juli 2008, yakni Take-home pay: Rp 45 juta per bulan, Dana kunjungan ke Konstituen Rp. 2 juta per bulan, Uang reses selama empat kali setahun Rp 31,5 juta per sekali reses; Berbagai Potongan (setiap partai berbeda), misalnya, (1) Setoran ke fraksi Rp 2 juta, (2) Setoran ke DPP Rp 7,1 juta, (3) Setoran ke Dewan Pengurus Wilayah partai Rp 5 juta, (4) Membiayai beragam kegiatan konstituen Rp 10 juta; Perincian Take-Home Pay, yakni (1) Gaji pokok atau uang representasi Rp 16 juta, (2) Tunjangan Listrik dan Telephone Rp 7 juta, (3) Tunjangan rumah Rp 13 juta, (4) Uang legislasi Rp 3,7 juta (pimpinan DPR tidak ikut panitia khusus pembahasan RUU. Namun, setiap kali RUU itu disahkan, pimpinan DPR otomatis mendapat sekitar Rp. 6 juta per UU), (5) Uang anggota komisi Rp. 3,2 juta.®

Perebutan Kursi Senat di Amerika Serikat, Selalu Menarik Di Perbincangkan

Oleh: Efriza, Penulis buku Menembus Lorong Waktu Parlemen Indonesia
Senat AS merupakan perwakilan dari negara bagian, namun senat AS ini sebagian besar berisi perwakilan dari partai sama dengan yang ada di House of Representative. Senat AS beranggotakan 100 orang yang berasal dari 50 negara bagian, dan tiap negara bagian diwakilkan oleh dua senator.
Sejak 1913, pemilihannya dilakukan dengan suara rakyat langsung (direct popular vote), sebelum 1913 senator dipilih oleh legislatif negara bagian. Pemilihan anggota Senat tidak dilakukan sekaligus, melainkan sepertiga bagiannya dipilih setiap dua tahun sekali secara bergantian dengan cara bertingkat/bertahap, dan setiap senator mempunyai satu suara, dijelaskan dalam Article I, Section 3: “The senate of the United States shall be composed of two senator from each State, elected by the people there of, for six year; and each senator shall have one vote. The electors in each State shall have the qualification requisite for electors of the most numerous branch of the senate legislature.” (Senat di USA seharusnya berisikan dua senator dari masing-masing negara bagian, yang terpilih dari masyarakatnya, selama 6 tahun; dan masing-masing senator harus memiliki satu suara. Para pemilih di masing-masing negara bagian harus memiliki kualifikasi yang dibutuhkan para pemilih dari sebagian besar kamar legislatif di suatu negara). Pasal ini merupakan amandemen yang ke-17 pada 1913. Sebelum amandemen bunyi pasal ini adalah: “The Senate of the United States shall be composed of two senators from each State, chosen by the legislature there of, for six years; and each senator shall have one vote.” (Senat di USA seharusnya berisi dua senator dari setiap negara bagian, dipilih dari legislatifnya, selama 6 tahun; dan setiap senator harus memiliki satu suara).
Masa jabatan anggota Senat selama enam tahun, dimana pembagian sepertiga tersebut dimulai setelah mereka terkumpul karena pemilu pertama, mereka dibagi secara sama dalam tiga kelas. Pertama, kursi untuk senator kelas pertama berakhir untuk menduduki jabatan selama dua tahun; Kedua, kamar kedua berakhir untuk jabatan empat tahun; dan Ketiga, kelas ketiga berakhir untuk jabatan enam tahun. Karenanya, lowongan tersebut terjadi karena pengunduran diri, atau sebaliknya selama masa reses, Article I, Section 3: “Immediately after they shall be assembled in Consequence of the first Election, they shall be devided as equally as may be into theree Classes. The Seats of the Senators of the first Class shall be vacated at the Expiration of the fourth Year, and of the third Class at the Expiration of the sixth Year, so that Vacancies happen by Resignation, or ortherwise, during the Recess of Legislature of any State, the Executive there of may temporary Appointments until the next Meeting of the Legislature, which shall then fill such vacancies” Hal ini dilakukan untuk menjaga “stabilitas” senat sendiri sebagai suatu lembaga yang “berkelanjutan” (continuing). Dengan demikian, kedudukan Senat yang diposisikan sebagai “penyeimbang” dalam Congress dapat terjaga.
Syarat-syarat keanggotaan Senat, Pertama, kandidat senator harus seorang warga AS paling tidak selama 9 tahun; Kedua, umur minimal 30 tahun; dan Ketiga, pada saat pemilihan harus sudah bertempat tinggal di negara bagian yang diwakilinya. Pemilihan anggota Senat dilakukan berbarengan dengan pemilihan anggota House of Representative atau yang dikenal dengan pemilihan sela atau bisa juga berbarengan dengan pemilihan presiden atau pemilihan di tengah masa jabatan (mid-term election). Setiap kali pemilihan, biasanya diadakan di sekitar 33 negara bagian, untuk memperebutkan satu atau dua kursi sekaligus.
Dengan jumlah yang lebih sedikit dan masa jabatan yang lama, serta keanggotaan di Senat merefleksikan persamaan untuk semua negara bagian yang tergabung dalam negara federal AS, besar atau kecil setiap negara bagian berhak mengirimkan dua wakil mereka, sehingga negara bagian yang kecil wilayahnya atau sedikit penduduknya tetap memiliki kedudukan yang sama (equal representation) dalam arti menduduki posisi tawar-menawar yang sama dengan negara bagian yang lebih besar jumlah penduduknya dan lebih luas wilayahnya.
Setiap senator mewakili negara bagian dalam bentuk perseorangan, yakni senator tersebut diharapkan memberikan suara menurut pendapatnya sendiri dan ini bersifat wajib, karena tidak jarang 2 (dua) orang senator yang berasal dari suatu negara bagian dan dipilih pada waktu yang berlainan, ternyata berasal dari partai yang berlawanan. Di samping itu, selaku wakil rakyat para anggota selalu menjadwalkan dirinya untuk kembali ke Negara Bagian masing-masing untuk menemui para pendukung (Home Style) sebanyak paling kurang 33 kali dalam setahun, agar harapan dan tuntutan para pemilihnya dapat disalurkan di Washington−pendeknya, kepada anggota Senat disediakan fasilitas transportasi dan akomodasi pulang balik Washington-Negara Bagian, juga disediakan fasilitas kantor di Negara Bagian masing-masing yang dimanfaatkan untuk melakukan kontak dengan pemilih. Berbagai kemudahan ini memungkinkan para anggota untuk selalu dekat dengan konstituen dan mengembangkan berbagai teknik penciptaan citra diri secara terus-menerus sehingga pada akhirnya dapat menjaga popularitasnya di hadapan pemilihnya.
Pertanyaannya, lalu bagaimana perkembangan politik menuju kursi Senator memasuki pemilihan umum tahun 2010? Menarik, misal, dikutip dari Koran Tempo, 12 Februari 2009−Stormy Daniels, aktris blue film, berniat bertarung dengan Senator David Vitter di Negara Bagian Louisiana dalam pemilihan umum 2010. Daniels mengaku geram kepada Vitter. “Suatu kehormatan sekaligus kejutan bagiku untuk masuk kancah pemilihan senator,” kata Stormy seperti dikutip situs The Telegraph, Senin 9 Februari 2009. Stormy, yang mengusung slogan “Menjalin Keintiman dengan Rakyat Secara Jujur,” tak cuma kebelet beradu debat, tapi juga bergelut dengan Vitter.
Maklumlah, Vitter adalah salah satu senator yang getol mendukung amandemen Undang-Undang Perlindungan Perkawinan. Tahun lalu nama Vitter hangat diperbincangkan. Bukan lantaran ia mendukung amandemen itu, melainkan karena namanya masuk ke daftar telephone milik seorang germo, Madam DC, yang biasa menyuplai pelajur papan atas.
Pendek kata, gara-gara muak dan jengkel dengan politikus yang munafik, seorang bintang film porno AS tersebut bertekad mengajukan diri menjadi calon senator dalam pemilihan 2010.®

Belajar Memahami, Bagaimana Prosedur Anggota MPR PAW dilantik

Oleh: Efriza, Kolumnis, dan Penulis buku Mengenal Teori-teori Politik

Prosedur Anggota MPR PAW dilantik, dilalui dengan 4 prosedur
1. Dimulai dari Pembacaan Surat SK.
Surat SK dibacakan Ketua Sekretariat Kepegawaian dan Keanggotaan MPR, Agip Munandar, sebagai berikut:
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 123/P Tahun 2008
Presiden Republik Indonesia
Menimbang, dst
Mengingat, dst
Memutuskan,
Menetapkan,
Pertama, dst
Kedua, Meresmikan Pengangkatan Antarwaktu dalam keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, sampai dengan akhirnya selesai masa jabatan tahun 2004-2009. Mewakili Partai Demokrat, masing-masing atas nama:
1. Saudara Sugiyardi, Daerah Pemilihan Jawa Tengah V
2. Drs. E.B. Sinaga, MM., Ph.D., Daerah Pemilihan Jawa Barat V
3. Drs. Jafar Nainggolan, MM., Daerah Pemilihan Jawa Barat V
4. Dr. Frans Thai, Daerah Pemilihan Sumatera Utara I
5. Bambang Sutjipto Syukur, SH., Daerah Pemilihan Daerah Khusus Ibukota Jakarta I
Ketiga, Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal di tetapkan
Salinan, dst
Petikan Keputusan Presiden ini disampaikan kepada masing-masing yang bersangkutan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan, di Jakarta, pada tanggal 18 Desember 2008
Presiden Republik Indonesia
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
2. Pengucapan Sumpah dan Janji Anggota MPR PAW yang dipandu oleh Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, sebagai berikut:
Peristiwa PAW adalah kondisi yang telah diatur di dalam Tata Tertib MPR di Pasal 6 ayat 3, yang menegaskan bahwa: “Anggota Majelis Pergantian Antarwaktu mengucapkan Sumpah dan Janjinya dipandu oleh Pimpinan Majelis,” Pengucapan Sumpah dan Janji tersebut, dilakukan setelah pembacaan Keppres oleh Ketua Sekretariat Keanggotaan dan Kepegawaian. Bagaimana realitas Bentuk Lafal Pengucapan Sumpah dan Janji tersebut? Kita simak berikut ini, Hidayat Nur Wahid “Sebelum menjabat sebagai Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, saudara-saudara wajib bersumpah dan berjanji. Bersediakah saudara-saudara yang namanya telah disebutkan dalam Keputusan Presiden tadi, untuk bersumpah dan berjanji menurut agama masing-masing, (dilanjutkan jawaban dari Anggota PAW tersebut, yakni Siap). Patut kami ingatkan bagi saudara-saudara yang beragama Islam, lafal sumpah diawali dengan kata-kata Demi Allah saya bersumpah. Dan bagi saudara-saudara yang beragama Kristen dan Katolik, lafal janji diawali dengan kata-kata Demi Tuhan saya berjanji, dan diakhiri dengan kata-kata Semoga Tuhan Menolong saya. Kami harap saudara-saudara mengikuti lafal sumpah dan janji yang akan kami pandu berikut ini.
Bagi Saudara-saudara yang beragama Islam, Demi Allah saya bersumpah (dilanjutkan suara Anggota PAW yang mengikuti). Bagi Saudara-saudara yang beragama Kristen dan Katolik, Demi Tuhan saya berjanji (dilanjutkan suara Anggota PAW). Bagi Saudara-saudara seluruhnya. Bahwa saya (dilanjutkan suara Anggota PAW) akan memenuhi kewajiban saya (dilanjutkan suara Anggota PAW) sebagai Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (dilanjutkan suara Anggota PAW) dengan sebaik-baiknya (dilanjutkan suara Anggota PAW) dan seadil-adilnya (dilanjutkan suara Anggota PAW). Bahwa saya (dilanjutkan suara Anggota PAW) akan memegang teguh Pancasila (dilanjutkan suara Anggota PAW) dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (dilanjutkan suara Anggota PAW) serta aturan perundang-undangan (dilanjutkan suara Anggota PAW). Bahwa saya (dilanjutkan suara Anggota PAW yang mengikuti) akan menegakkan kehidupan demokrasi (dilanjutkan suara Anggota PAW yang mengikuti) serta berbakti kepada bangsa dan negara (dilanjutkan suara Anggota PAW). Bahwa saya (dilanjutkan suara Anggota PAW) akan memperjuangkan aspirasi rakyat (dilanjutkan suara Anggota PAW) dan daerah yang saya wakili (dilanjutkan suara Anggota PAW) untuk mewujudkan tujuan nasional (dilanjutkan suara Anggota PAW) demi kepentingan bangsa (dilanjutkan suara Anggota PAW dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (dilanjutkan suara Anggota PAW). Bagi Saudara-saudara yang beragama Kristen dan Katolik. Semoga Tuhan menolong saya (dilanjutkan suara Anggota PAW).
3. Kata Sambutan untuk Anggota MPR PAW yang baru dilantik
Dilanjutkan dengan Kata Sambutan oleh Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, antara lain: “…pada periode yang akan datang kemungkinan besar akan terjadi kembali perubahan terhadap UUD kita. Kalau kita baca, peta politik pada pengajuan, usulan perubahan pada tahun 2007, seluruh partai politik yang besar maupun yang kecil seluruhnya sepakat untuk terjadinya perubahan kembali UUD kita. Hanya masih berbeda pendapat tentang Kapan dimulainya?, Apa yang di Amandemen?, Tapi semuanya sepakat bahwa perlu adanya perubahan UUD di awal periode…”
4. Diakhiri Penandatangan Hasil Pengangkatan Sebagai Anggota DPR PAW, yang dilakukan oleh Anggota MPR PAW, dan Pemimpin Rohani dari Sumpah Anggota DPR PAW tersebut.
Penandatanganan ini dilakukan perwakilan dari salah satu Anggota MPR PAW berdasarkan Agama masing-masing, misal, seorang Anggota MPR PAW beragama Islam menandatangani perwakilan dari Anggota MPR lainnya yang beragama Islam, bersama Pemimpin Rohani-nya tersebut.®