Kamis, 30 Juli 2009

Cerita Dari Hasil Pengamatan; BUKAN MENGKRITISI MELAINKAN HARAPAN PERUBAHAN, (Busway, Habis)


Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Korupsi”
Dzigkh@*#….Dzigkh@*#…Dzigkh@*#
Alkisah.
Jika kita pergi atau hendak pulang, berjalan dari sisi kanan atau kiri, sama saja.
Jembatan Halte Busway bernama Jembatan Gantung dengan kondisi sehari-harinya. Tampak berjalan sewajarnya meski tidak sepatutnya.
Dzigkh@*#….Dzigkh@*#…Dzigkh@*#
Mari menjelajahinya dari atas hingga ke bawah.
Jembatan Halte Busway terletak di Jalan Jembatan Gantung arah Kali Deres. Dilintasi semua yang berjumlah bilangan 2 (dua). Dari manusia berkaki dua (baca: penafsiran mayoritas) yang ingin menggunakan Busway atau sekedar untuk menyebranginya.
Juga dilalui Ojek Motor untuk mengantarkan penumpang dan menyebrangnya. Pun dilalui oleh pengendara motor lainnya, pengguna Sepeda, untuk penyebrangan mereka pula.
Sehingga, mengalah lah jika Anda tidak ingin kakinya kena knalpot.
Kondisi ini terjadi, disebabkan arah memutar yang terletak di jalan Samsat lumayan jauh dan juga terkendala macet untuk kembali ke tempat semula. Bila dihitung waktu dari pergi hingga kembali ketujuan beserta macetnya, tak kurang 5-7 Menit perjalanan. Ada benarnya juga, bila dianggap memboroskan waktu dan bensin.
Apakah tidak ada penertiban Polisi?
Ya ada lah, ya iyalah, ya iya dong, benar kan, benar dong!
Tetapi cukup You celingak-celinguk….lalu batalkan niat. Sehingga Malaikat Atid tidak jadi mencatat perbuatan non-value, malah Malaikat Rokib mencatat menjadi amal baik untuk You. Mantap Toh, Asyik Toh.
Main Umpet-umpetan lagi…
Saya hitung sampai 5 Ya, 1,2,3,4,5….Udah Belum…Ing gloo!
Dzigkh@*#….Dzigkh@*#…Dzigkh@*#
Ditingkungannya, wow keren!
Jembatan Halte Busway tepat ditikungannya, telah digunakan sebagai tempat parkir motor. Dari pagi entah mungkin sampai malam? Dan juga entah 1 (satu) buah motor itu siapa yang punya? Whatever.
Yang pasti sebuah peringatan perlu disampaikan.
Perhatian. Harap kempiskan badan anda, supaya berhasil melintasi rintangan motor.
Dzigkh@*#….Dzigkh@*#…Dzigkh@*#
Sekarang kita lihat alas jembatan itu.
Akibat setiap hari, dari pagi hingga malam dilalui kendaraan yang sebenarnya tidak semestinya. Jembatan Busway yang bukan merupakan anak tangga (seperti Halte Taman Kota), dengan alasnya berupa seng dengan bantuan penahan berat mur dan baut.
Lambat-laun, mulai ringkih akibat tercerai-berai.
Mur dan Baut tidak ingin lagi “berpoligami” dengan Seng.
Pendeknya, jika kita berjalan melintasinya, terdengar bunyi “merdu,” krakk..kreekk, pun meski pelan namun pasti menghuyungkan tubuh anda.
Dzigkh@*#….Dzigkh@*#…Dzigkh@*#
Jika Anda tidak memilih ke bawah, atau tidak mau naik melalui jembatannya.
Tenang saja, tidak masalah bagi pecinta tantangan.
Pengelola Transjakarta telah memikirkannya dengan memberikan kita jalan tembus (memotong).
Memang bisa dilakukan, dan tidak ada masalah bagi orang-orang yang menggemari tantangan.
Kita hanya perlu menyeberangi dua rintangan, jalan umum baru kemudian jalan khusus Busway. Lalu kita lewat kolong, setelah itu berhenti, ± ditengah mendekati kasir. Kita disuguhi tangga kecil (mirip Halte Busway di Jalan Kostrad) yang anak tangganya berjumlah ± 6 (enam), tetapi hanya satu anak tangga yang masih utuh sebelum menuju alasnya.
Tidak masalah. Karena ada beberapa besi panjang bekas anak tangga yang bisa untuk menaruh kaki kita, lalu raih anak tangga atas itu.
Oooo…Ooooo…ternyata ada Karet Ban untuk mencegah kita (meski tidak tiap hari atau sampai sore/malam).
Santai saja. Loncati aja…karena lumayan jumlahnya tiap hari ± 15 (lima belas) orang loh seperti Anda…LEBIH MENANTANG LAGI!!!! KEREN KAN.
Atau jika kita dari atas mau ke bawah. Cukup loncat saja, tidak sampai 3 (tiga) kaki dari atas permukaan tanah. Yang dibutuhkan hanya keberanian dan keseimbangan, sebab tidak bikin kaki keseleo.
PERINGATAN. Jika Anda menggendong anak, dianjurkan jangan. Sayangi jantung buah hati anda.
Dzigkh@*#….Dzigkh@*#…Dzigkh@*#
Kita sekarang turun ke bawah.
Di sisi kanannya. Iihh… SERAM…
Oh…ternyata!!! Hanya Toilet.
Toilet yang tidak khusus umum melainkan bagi karyawan Transjakarta. Tampak bagi mata Mencekam dan menyeramkan. Karena toilet tidak terawat, sehingga sana-sini mulai tidak menarik mata, Oooppsss maaf, mungkin kebelet menjadi hilang!
Kenapa?
Karena kotor, tidak berpintu lagi, lampu juga lenyap kecuali tempat menyala dan mematikannya, kran air pun sudah tidak ada kecuali pipa yang menjadi bukti bekas kran air itu. Ayo, SIAPA YANG BERANI MENGGUNAKANNNYA (pesan: jangan lupa bawa tissue)?
Tetapi Halte ini masih untung tidak ada tindakan vandalisme-nya. Sebab, Halte Busway ITC Permata Hijau tidak enak lagi dipandang mata. Akibat tindakan vandalisme berupa corat-coret di Ruangan Besi yang kemungkinan juga ada Toiletnya tepat di bawah Halte itu, ya pasti mirip dengan Halte Jembatan Gantung.
Dzigkh@*#….Dzigkh@*#…Dzigkh@*#
Kita lihat di Jalan Jalur Busway-nya.
Ternyata oh ternyata.
Bukan khusus untuk jalan Busway lagi. Tapi kendaraan roda dua juga membantu meramaikan busway. Ibarat, iring-iringan kampanye pemilu kemarin.
Hanya roda dua loh! Bukan seperti dari Halte Jalan PIM (Pondok Indah Mall) hingga jalan Pesing, yang jalan Busway-nya diramaikan kendaraan pribadi roda dua, empat, dan Bus Angkutan Umum.
Namun tenang saja. Jika Anda sedang menggunakan kendaraan roda dua dan ingin melintasinya. Bila ada penertiban Polisi di Jalan Jembatan Busway atau tepat di Indosat. Cukup Anda kembali ke jalur umum karena batu pembatas jalurnya ada beberapa yang sudah tidak ada maupun dengan kata lain kosong atau terlongkap-longkap, jadinya cukup deh untuk satu motor, yang lainnya SELAMAT MENGANTRI BEBEK AJA BISA ANTRI (mungkin juga pesan buat anda).
Dzigkh@*#….Dzigkh@*#…Dzigkh@*#
Penutup.
Apakah ada kesimpulan dan solusinya?
Tentu. Kondisi ini harus diselesaikan dan kita jadikan PR (Pekerjaan Rumah) bersama.
Jika kita Ogah memikirkannya…atau serahkan saja sama Pemda (Pemerintah Daerah) dan Pengelola Transjakarta.
Pasti perubahannya akan berjalan lambat mungkin tidak sama sekali! INI PERINGATAN LOH.
Kenapa?
Pasti sama dengan kita jawabannya, Ogah…………….!!!
YUPS@*#….YUPS@*#…YUPS@*#

Pesan: Tulisan ini hanya menggambarkan keadaan. Tidak untuk ditujukan pihak manapun, maupun dikirimkan ke Surat Pembaca (kecuali dokumen Facebook & Blog). Bahkan tulisan ini bentuk cinta Penulis terhadap lingkungan rumah tempat mengontrak, dan pastinya sebagai pemakai Busway yang sering pula loncat melalui anak tangga tembus. MAAF….MAAF…SEKALI LAGI MAAF DARI HATI TERDALAM.

TTD


Penulis

DPR Sedang Lupa atau Lalai?

okezone.com
Selasa, 07 Juli 2009 17:50 wib
DPR Sedang Lupa atau Lalai?

RUU Susduk akan segera disahkan oleh DPR. Namun sayang, lagi-lagi RUU yang disahkan DPR membawa penyakit bawaan terhadap pola hubungan presiden dan DPR. Ketentuan fraksi tidak banyak diubah DPR, seperti jumlah fraksi disepakati sama dengan partai politik yang memperoleh suara 2,5 persen dari suara secara nasional (parliamentary thereshold).

Niatan DPR melakukan penyederhanaan partai melalui legislasi tampaknya kembali diabaikan demi kepentingan partai politik anggota DPR masing-masing. Pembentukan fraksi berdasarkan suara 2,5 persen dari suara secara nasional, menjelaskan secara nyata bahwa pola hubungan eksekutif-legislatif pascapilpres tidak akan berubah.

Sekedar menyebut contoh, meski SBY telah mengantisipasi dualisme kepemimpinan dengan dipilihnya Boediono yang independen sebagai wakil presiden. Yudhoyono jika terpilih kembali tetap dipusingkan dengan partai-partai pendukungnya yang tidak solid di DPR atau koalisi yang cair seperti periode 2004-2009.

Memang seharusnya DPR bukan sebagai stempel pemerintah. Tetapi juga tidak seenaknya saja hanya karena polling partainya menurun, maka partai itu langsung beralih menjadi oposisi dan selanjutnya mewakafkan anggotanya yang menjadi menteri. Di sini memang tampak anggota DPR membela kepentingan partai politiknya bukan membuat UU Paket Politik untuk jangka panjang.

Seharusnya, jika DPR konsisten terhadap semangat penyederhanaan partai, maka UU Susduk dalam pengaturan pembentukan fraksi adalah terdiri dari tiga fraksi berdasarkan peta koalisi terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusungnya. Misal, fraksi SBY-Boediono, fraksi JK-Win, dan fraksi Mega-Pro. Sehingga ke depannya hubungan eksekutif dan legislatif dilakukan dalam rangka checks and balances bukan hanya teater semata.

Efriza
Jl Musi I No 28, Depok II Timur
08561378307
efriza_riza@yahoo.com (fer)
Diperbarui 49 menit yang lalu · Komentar · Suka

Senin, 27 Juli 2009

RUU Susduk Perlu Dikaji Ulang


detikcom
OPINI ANDA
Rabu, 29/07/2009 17:53 WIB
RUU Susduk Perlu Dikaji Ulang
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - RUU Susduk (Rancangan Undang-Undang Susunan Kedudukan MPR/DPR/DPD) rencananya akan disahkan 3 Agustus 2009. Semestinya aturan RUU Susduk sebelum ditetapkan diperdebatkan kembali. Atau jika perlu direvisi. Untuk mengikuti perkembangan politik agar mendapatkan banyak manfaat daripada mudharat.

Misal, pertama, pembentukan fraksi. Semestinya tidak berdasarkan parliamentary thereshold. Melainkan pengelompokkan fraksi berdasarkan koalisi partai politik pendukung pasangan capres cawapres pada pilpres. Karena, jika keputusan MA tentang perolehan kursi diterapkan maka partai politik yang hanya memiliki 10 anggota saja seperti Hanura dan Gerindra akan menjadi "macam ompong" dalam pengambilan keputusan berdasarkan voting.

Kedua, jumlah pimpinan MPR. Jumlah pimpinan MPR telah ditetapkan berjumlah 5 orang dengan perincian 3 dari DPR dan 2 dari DPD. Kondisi ini dimaklumi terjadi akibat "kekecewaan" dari kekalahan Koalisi Kebangsaan atas komposisi pimpinan MPR pengalaman tahun 2004 lalu. Semestinya, DPD diberikan kedudukan langsung menjadi Ketua MPR. Agar kedudukan DPD menjadi egual bukan inequality atas komposisi pimpinan MPR.

Ketiga, DPD sehari-harinya di daerah. Kondisi ini tidak mendukung checks and balances system. Misal, DPR secara tersurat menunjukkan sikap tidak ingin diawasi oleh lembaga parlemen DPD. Semestinya, jika ingin DPD fokus terhadap daerah cukup dibuat aturan limitatif.

Misal, DPD setiap 2 minggu sekali wajib di daerahnya atau dalam seminggu 3 hari di daerah. Maupun jika perlu menerapkan aturan seperti di Amerika Serikat. Para Anggota Senat selalu menjadwalkan dirinya untuk kembali ke Negara Bagian masing-masing untuk menemui para pendukung (Home Style) sebanyak paling kurang 33 kali dalam setahun.

Efriza
Jl Musi I No 28 RT 006/013 Depok
efriza_riza@yahoo.com
08561378307

Penulis adalah penulis buku "Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan".

(msh/msh)

Problematik Hirarki Peradilan di Indonesia

oleh: Efriza, penulis buku “Mengenal Teori-Teori Politik; Dari Sistem Politik sampai Korupsi”
Penetapan perolehan kursi untuk ke sekian kali menimbulkan problematik. Keputusan perolehan kursi hasil dari persidangan MA adalah kali keempat. Setelah dua kali KPU merevisinya, dilanjutkan revisi oleh MK.
Bagi saya pribadi, keputusan MA sedari awal menyebabkan ketidakpastian hukum, dan menyebabkan hirarkies peradilan menjadi sengkarut. Misal, mengenai lembaga hukum mana yang memiliki kewenangan atas sengketa pemilu. Apakah MK atau MA? Di sisi lain, keputusan MA juga menyebabkan Keputusan MK secara tidak langsung tidak lagi bersifat final dan mengikat.
Oleh karena itu, solusinya kita kembali melihat dan menggunakan Undang-Undang Pemilu, yang telah menyediakan jalur hukumnya. Ada tiga jenis pelanggaran tercantum di sana, yakni pelanggaran administrasi merupakan kewenangan KPU untuk mengatasinya. Pelanggaran pidana adalah domain penegak hukum. Adapun perselisihan pemilu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi.◘

Kamis, 23 Juli 2009

Perlunya Penerapan Busway Pengalihan


Suara Pembaca
Kamis, 16/04/2009 12:05 WIB
Perlunya Penerapan Busway Pengalihan
Efriza - suaraPembaca


Jakarta - Busway menjadi sarana transportasi primadona bagi masyarakat Jakarta. Namun, penumpang Busway harus "terbiasa" menjadi peserta penumpukan di Halte Busway pada jam sibuk. Saya sebagai pengguna Busway juga mengalami hal yang sama.

Oleh karena itu saya mengusulkan kepada Pengelola transjakarta agar dibuat aturan Penerapan Busway Pengalihan. Mekanismenya, misalnya, jika terjadi penumpukan (antri panjang) di Halte Jembatan Gantung menuju Harmoni maka penjaga Busway menghubungi penjaga Busway yang berada di Kali Deres.

Lalu, Busway dari Kali Deres memulai mengangkut penumpang dari Kali Deres. Namun, untuk halte-halte berikutnya diindahkan atau tidak diangkut. Artinya langsung mengangkut penumpang yang terjadi penumpukan di Jembatan Gantung tersebut.

Selanjutnya busway berjalan kembali normal yakni mengangkut penumpang di setiap halte. Atau di halte selanjutnya Taman Kota.

Efriza
Jl Musi I No 28 Rt 06/013
Depok II Timur Jawa Barat 16417
efriza_riza@yahoo.com
08561378307


(msh/msh)

Kondisi Toilet di Halte Busway Memprihatinkan


Suara Pembaca
Jumat, 24/07/2009 09:00 WIB
Kondisi Toilet di Halte Busway Memprihatinkan
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - Luput atau sengaja di setiap halte busway tidak ada toiletnya. Ini pertanyaan dari dan di benak penumpang busway. Jika kita amati di beberapa halte busway ada fasilitas toilet. Tetapi, toilet tidak secara khusus diperuntukkan untuk masyarakat kecuali karyawan Bus transjakarta.

Toilet itu berada di bawah bangunan halte. Dengan kondisi yang tidak didesain sebagai toilet umum. Malah terkesan gudang.

Kondisi toilet di beberapa tempat juga memprihatinkan karena tidak terawat. Misalnya di Halte Jembatan Gantung. Toilet sangat kotor, tidak berpintu, tanpa kran air, sehingga kesan yang tertangkap mata adalah tidak ramah dan menyeramkan.

Pengguna busway dapat memaklumi fasilitas toilet tidak ada jika waktu mengantri tidak lebih dari 3 sampai 7 menit dan waktu tempuh perjalanan bus tidak terhambat macet. Toilet busway bagi saya pribadi penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Untuk itu perlu dipikirkan mendesainnya. Untuk membangunnya pengelola busway membutuhkan anggaran yang cukup besar lagi dan dipastikan juga kenyamanan penumpang akan terganggu. Karena itu solusi yang saya coba tawarkan:

Pertama, untuk membangun dicari halte yang cukup besar dan strategis.
Kedua, pembangunannya hanya untuk di pemberhentian halte central busway. Misal Halte Harmoni.
Ketiga, redesign seluruh toilet khusus karyawan menjadi milik umum.
Keempat, jika masih sulit juga, maka fasilitas toilet dibangun pada pembangunan halte koridor baru.

Efriza
Penulis Buku Politik "Ilmu Politik"
Jl Musi I No 28 RT 006/013 Depok
efriza_riza@yahoo.com
08561378307



(msh/msh)

Lagi Seri Busway: Jembatan Halte Busway, Hanya Untuk Pejalan Kaki

oleh: Efriza, penulis buku politik “Mengenal Teori-Teori Politik”
Jembatan Halte Busway di jalan Jembatan Gantung kondisinya sudah carut-marut dan mulai memperihatinkan. Bukan hanya pejalan kaki saja yang memanfaatkan untuk alat penyeberangan melainkan pekerja ojek motor dan pengendara motor lainnya.
Kondisi ini disebabkan tempat memutar bagi motor letaknya lumayan jauh yakni di jalan Dispenda, tak kurang memakan waktu tempuh 5-7 menit untuk memutar jika tidak terkendala macet. Sehingga Jembatan Halte Busway menjadi pilihan strategis dengan motif keuntungan waktu dan hemat BBM. Akibatnya Jembatan menjadi ringkih karena kehilangan mur dan bautnya, di sisi lain membahayakan pejalan kaki sebab harus bergiliran dengan pengendara motor atau hanya untuk menghindari knalpot, dan juga berbahaya bagi pemakai jembatan akibat mulai ringkih itu.
Memang sudah semestinya Pengelola Busway dan Dinas PU Jakarta Barat mengupayakan solusinya, seperti tempat memutar di-redesign menjadi lebih dekat, dan juga memperbaiki Jembatan Halte Busway tersebut. Sebab jika hanya polisi yang menertibkan pengendara motor, hanya sia-sia belaka; apalagi tidak setiap hari.◘

Toilet dong, Untuk Halte Busway


oleh: Efriza, penulis buku politik “Ilmu Politik”
Luput atau sengaja di setiap halte busway tidak ada toiletnya? Ini pertanyaan dari dibenak penumpang busway. Jika kita amati di beberapa halte busway ada fasilitas toilet. Tetapi toilet tidak secara khusus diperuntukkan untuk masyarakat kecuali karyawan Bus Transjakarta.
Toilet itu berada di bawah bangunan halte, dengan kondisi yang tidak didesain sebagai toilet umum malah terkesan gudang. Kondisi toilet di beberapa tempat juga memperihatinkan karena tidak terawat. Misal di halte Jembatan Gantung, toilet sangat kotor, tidak berpintu, tanpa kran air, sehingga kesan yang tertangkap mata adalah tidak ramah dan menyeramkan.
Pengguna busway dapat memaklumi fasilitas toilet tidak ada, jika waktu mengantri tidak lebih dari 3 sampai 7 menit dan waktu tempuh perjalanan bus tidak terhambat macet.
Toilet busway bagi saya pribadi penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak, untuk itu perlu dipikirkan mendesainnya. Untuk membangunnya Pengelola busway membutuhkan anggaran yang cukup besar lagi dan dipastikan juga kenyamanan penumpang akan terganggu. Karena itu solusi yang saya coba tawarkan: Pertama, untuk membangun dicari halte yang cukup besar dan strategis. Kedua, pembangunannya hanya untuk dipemberhentian halte central busway, misal Halte Harmoni. Ketiga, redesign seluruh toilet khusus karyawan menjadi milik umum. Keempat, jika masih sulit juga, maka fasilitas toilet dibangun pada pembangunan halte koridor baru.◘

Selektif Memilih Menteri

oleh: Efriza, Analis Politik
Presiden SBY sebagai pemenang dalam Pilpres lalu, diharuskan berpikir keras agar tidak salah memilih menteri-menteri sebagai pembantu tugas-tugasnya.
Pemilihan menteri bukan saja hanya ditujukan untuk menterjemahkan program-program pemerintah dalam keluaran out-put kebijakan. Namun juga perkembangan politik ke depan, seperti semangat penyederhanaan partai.
Oleh karena itu saya mencoba menyampaikan aspirasi saya. Pertama, jangan pilih menteri dari bukan partai koalisinya. Jika tidak ingin koalisi pendukungnya keropos sejak dini. Kedua, meski pencalonan SBY-Boediono juga didukung partai-partai yang tidak lolos parliamentary thereshold tetapi menteri jangan dipilih dari partai-partai tersebut. Tujuannya demi mewujudkan semangat masyarakat untuk penyederhanaan partai.
Ketiga, pilih menteri dari mitra koalisinya yang sangat menonjol kepeduliannya terhadap masyarakat dibandingkan partainya. Sehingga sejak awal, pemerintahan kedepannya tidak perlu takut lagi jika menteri itu diwakafkan dari partainya, seperti peristiwa periode lalu. Keempat, pemilihan menteri mengutamakan keahliannya bukan dari titipan partai koalisinya, maupun karena jabatan strukturalnya di partai. Apalagi orang tersebut merupakan anggota DPR terpilih, agar amanat rakyat tidak lagi cepat disingkirkan demi jabatan yang lebih strategis.◘

Jumat, 10 Juli 2009

KEMENANGAN YUDHOYONO & PEMERINTAHAN KE DEPANNYA


Oleh: Efriza, Penulis buku “Menembus Lorong Waktu Parlemen Indonesia”
SELAMAT & HARUS DI AWASI. Kalimat ini sudah pasti ditujukan kepada pemenang SBY-Boediono, yakni berupa pujian beserta peringatan setelah perhelatan besar Pemilu Presiden. Tulisan ini juga ingin menggambarkan dua untaian kalimat tersebut.
Program debat yang diselenggarakan KPU tampaknya hanya kecil menambah lumbung suara pasangan SBY-Boediono. Hanya swing voter yang dapat dipengaruhi sementara sisanya hanya memperteguh keyakinan pemilih yang telah memiliki ketetapan hati memilih SBY.
Dipilihnya Yudhoyono kembali, karena masyarakat menginginkan kestabilan dalam kebijakan pemerintah. Sangat jelas kestabilan didapatkan jika yang menjalankan pemerintahan adalah presiden itu kembali.
Memang kesempatan menjabat presiden hanya dua kali, seperti diamanatkan UUD 1945 Pasal 7 amandemen pertama, yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Kesempatan itu pertama kalinya direngkuh oleh Yudhoyono.
Image SBY yang santun adalah kunci kemenangannya. Meski, rivalnya maupun persepsi segelintir orang menganggap ia sebagai sosok yang jaim ataupun kaku. Namun bagi sebagian besar orang, itu adalah pembawaan Yudhoyono yang santun dan patut diteladani karena ia tidak ambisi kekuasaan.
Sikap santun Yudhoyono, ditampilkan dari sikapnya yang selalu ingin membuka komunikasi pertama kali dengan Megawati maupun digulirkannya wacana koalisi dengan PDIP. Ini yang tersimpan diingatan masyarakat. Namun akan berbeda jika kita bicara dari kacamata pengamat politik. Tindakan Yudhoyono itu merupakan strategi memperkecil gerak PDIP sebagai oposisi dan menegatifkan Megawati sebagai sosok orang jawa yang dipenuhi dendam dan penuh ambisi kekuasaan.
Citra santun Yudhoyono juga menggiring opini yang sama bahwa Prabowo sebagai sosok ambisius kekuasaan. Lagi-lagi citra santunnya juga menghadirkan citra negatif bagi JK. Pandangan mengenai ketidaketisan begitu melekat kuat, akibat sikap JK yang masih sebagai wakil presiden menantang pasangannya yakni Yudhoyono diarena Pilpres. Meski hal ini, juga membawa image positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Masih mengenai santunnya Yudhoyono. Ia tidak menampakan sebagai sosok yang ambisi kekuasaan. Misal, ketika media mulai gencar mencari info tentang siapa calon presiden dari Partai Demokrat, Yudhoyono masih belum bergeming untuk membuat pernyataan melainkan pernyataannya adalah ia ingin tetap fokus dalam masa tugasnya. Sehingga deklarasi Yudhoyono sebagai calon presiden dari Partai Demokrat juga mengalami beberapa kali penundaan.
Yudhoyono juga pandai memadukan strategi politik dengan kultur jawa. Seperti Yudhoyono adalah sosok presiden yang selalu mengindari perselisihan dalam memerintah. Tampak dalam setiap menangani perselisihan dengan parlemen, Yudhoyono lebih menggunakan pendekatan kompromi politik. Sehingga, kegarangan pengawasan parlemen baik yang dilakukan oleh oposisi maupun koalisi pemerintahan yang kritis, selalu berhasil dijinakkan Yudhoyono ditengah jalan, akhirnya DPR dianggap sebagai “banci tampil” oleh sebagian masyarakat.
Yudhoyono juga mahir menampilkan dirinya sebagai sosok penyayang keluarga dan kepala keluarga yang sukses membangun keluarga harmonis. Misalnya, disetiap beliau tampil dalam berbagai event, keluarga, mantu beserta cucunya selalu diikutsertakan.
Pemilihan Boediono sebagai wakil presiden mendampingi Yudhoyono, tanpa bisa dimungkiri juga mendongkrak suara. Meski juga masih diperbedebatkan, seperti jika kita melihat dari kacamata apatisme sebagian orang terhadap partai, misal Pileg 2009 lalu, Partai Demokrat mendesain pendongkrakan suaranya melalui sosok SBY bukan dari calegnya maupun visi-misi serta ideologi yang ditawarkan oleh Partai Demokrat itu sendiri. Namun sebaliknya, akan berbeda jika kita melihat dari sisi sebagian orang yang masih mengganggap mesin partai tetap menjadi handalan, malah yang terjadi adalah Boediono dianggap menurunkan perolehan suara dalam Pilpres itu.
Intinya, Boediono dipilih oleh masyarakat karena memang masyarakat membutuhkannya. Pasangan itu dianggap sanggup menghadapi tantangan perekonomian Indonesia ke depan. Meski Boediono diterpa image sebagai penganut Neolib, tapi tak bisa disangkal sosoknya sebagai seorang profesional ekonom sangat dibutuhkan.
Keyakinan besar masyarakat terhadap sosok Boediono (maupun dipilihnya Boediono oleh Yudhoyono), juga karena ulah DPR yang mendukung Boediono sebagai Gubernur BI pada waktu lalu. Sebelumnya pada saat pemilihan Gubernur BI, mulanya DPR menolak dua pasangan calon yang diajukan SBY karena dianggap tidak layak oleh DPR. Sehingga, nama Boediono akhirnya muncul, selanjutnya DPR pun menyetujuinya untuk menjadi Gubernur BI.
Dukungan terhadap Boediono juga disebabkan oleh sosoknya yang berasal dari profesional dan merupakan calon wakil presiden independen, sehingga dipersepsikan sebagai pembuka trend bagi orang-orang yang profesional tapi independen (baca: maupun apatis terhadap partai) untuk bisa duduk menjadi wakil presiden.
Sikap Boediono yang pemaaf menambah daya tarik, seperti ketika muncul isu yang menerpa istrinya, berupa, “Herawati adalah kristen”. Boediono tidak bergeming untuk menyerang balik penyebar isu tersebut. Sikap Boediono itu dari kacamata politik dianggap sebagai sosok yang memahami kultur masyarakat kita yang berbudaya timur, bahwa dengan tenang menghadapi penghinaan akan melonjakan dukungan.
Program-program SBY yang pro rakyat juga bagian kemenangannya, seperti BLT, Pendidikan Sekolah Gratis, dan program penurunan BBM sampai ketiga kali juga menjadi poin pilihan masyarakat. Yang terbaru adalah Jembatan Suramadu, yang membuat Yudhoyono dianggap berhasil menjalankan program dibidang ekonomi, pendidikan, dan pembangunan sekaligus.
Pilihan terbesar masyarakat terhadap SBY, juga disebabkan keberhasilannya dalam memberantas korupsi. Dengan mempersilahkan KPK untuk memeriksa besannya yakni Aulia Pohan, dan menjelang pemilu akhirnya besannya pun dijatuhi hukuman 4,5 tahun. Kejadian ini semakin memperteguh keyakinan masyarakat bahwa Yudhoyono adalah bapak anti korupsi. Kasus besannya Yudhoyono pun, secara tidak langsung memberikan image negatif bagi pasangan Megawati-Prabowo, karena kasus ini terkait dengan korupsi PDIP dalam proses pencalonan Miranda Goeltom sebagai Gubernur BI waktu lalu.
Di sisi lain lumbung suara SBY-Boediono, juga datang dari kawasan Indonesia timur yang menunjukan sikap “perlawanan” terhadap pernyataan JK yang selalu mengganggap dirinya adalah the real president dalam kasus perdamaian di Aceh, Maluku, atau Kawasan Indonesia Timur; karena bagaimanapun bagi masyarakat kebijakan JK terjadi karena mendapat restu dari presiden Yudhoyono.
Iklan satu putaran dari sukarelawan SBY-Boediono tanpa bisa dimungkiri juga turut membantu, karena telah mengarahkan penggiringan opini masyarakat dalam memilih. Apalagi ditambah dengan hasil survey yang menunjukan kemenangan SBY mutlak hanya melalui satu putaran.
Lanjutkan, Dengan Pengulangan Strategi Dalam Memerintah
Pasangan SBY-Boediono memang sudah menang dan terlihat begitu mudah menang hanya dengan satu putaran. Tetapi kemudahan tidak akan terjadi dalam pemerintahan 5 tahun ke depan. Pasangan ini akan mengalami serangan demi serangan yang sangat dahsyat dari lawan politiknya.
Partai Golkar mungkin sangat sulit memilih menjadi oposisi, karena telah terbiasa dipemerintahan. Tetapi, kemungkinan bergabungnya Partai Golkar dalam koalisi besar antara PDIP, Gerindra, dan Hanura juga kemungkinan dapat terjadi.
Sehingga demikian menghadapi itu semua, maka setelah Agung Laksono kemungkinan besar tidak lagi terpilih sebagai anggota DPR, idealnya kursi pimpinan DPR harus bisa direbut oleh Partai Demokrat sebagai partai yang memperoleh suara terbesar.
Keinginan itu sepertinya telah disiapkan dengan mengajukan Syarief Hasan atau Anas Urbaningrum. Tampaknya, Anas Urbaningrum diberikan jabatan sebagai Ketua Fraksi untuk mengawasi dan mengawal sikap dari anggota-anggota F-PD supaya tetap mendukung presiden. Sementara posisi Ketua DPR, sepertinya Partai Demokrat mempersilahkan Syarief Hasan untuk merebutnya.
Jika peluang pimpinan DPR bandulnya lebih berat ke Partai Golkar. Tampaknya Yudhoyono akan memainkan politik “merebut simpatik”. Partai Golkar yang dipenuhi faksi, seperti JK, Agung Laksono, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Akbar Tandjung. Akan sangat mudah bagi Yudhoyono menarik simpatik dari salah satu faksi, dengan melalui mendukung calon dari faksi tersebut. Dan/atau jika memang sulit menembus diwilayah DPR, maka permainan akan dilakukan diwilayah Rapimnas dalam proses pencarian Ketua Umum.
Jika bandul berada diwilayah koalisi dukungannya. Maka Yudhoyono hanya perlu melakukan komunikasi yang baik dengan rekan koalisinya.
Tetapi, akan berbeda jika bandulnya ke PDIP. Satu-satunya cara membungkam ruang gerak oposisi, adalah Yudhoyono akan selalu menjaga setiap keluaran kebijakan melalui yang terbaik untuk rakyat dan negara. Karena, pengalaman tahun 2004 lalu, oposisi tidak pernah bisa mendapatkan fakta yang jelas-jelas bahwa kebijakan presiden Yudhoyono ada yang membahayakan bagi bangsa dan negara.
Memang F-PD akan sangat sulit untuk menghadapi oposisinya jika ditambah kekuatan Partai Golkar. Meski Partai Demokrat sekarang sebagai peraih suara terbanyak. Tetapi anggota-anggota DPR terpilih mayoritas merupakan pemain baru, sehingga kegamangan berpolitik akan terlihat jelas.
Kalau hanya PDIP, Gerindra, dan Hanura, tidak begitu merisaukan karena hanya PDIP saja yang kawakan. Sementara Gerindra dan Hanura adalah pemain baru sehingga kegamangan berpolitik jelas kentara.
Tantangan terberat adalah jika ditambah dengan Partai Golkar. Meski Partai Golkar diragukan kemampuannya sebagai oposisi tetapi pengalaman Partai Golkar sebagai dedengkotnya partai telah membuat arus keputusan DPR sangat kental akibat dari ‘permainan cantik’ Partai Golkar mempengaruhi keputusan.
Ditambah lagi jika PDIP dan Partai Golkar memainkan peran “menarik simpatik” dengan memasuki wilayah koalisi pemerintahan kemungkinan perpecahan koalisi bisa terjadi atau setidaknya koalisi pemerintahannya akan memilih menjadi partai pendukung kritis seperti pengalaman tahun lalu.
Koalisi Partai Demokrat yang lolos Parliamentary Thereshold yang loyal kemungkinannya hanya PKB. Seperti, Senin 1 Juni 2009, PKB mencopot Effendy Choirie dari jabatan Ketua F-KB DPR, dan digantikan kembali oleh Ida Fauziah. Alasan pencopotannya menurut Muhaimin Iskandar, penggantian ini merupakan rotasi rutin. Apakah pencopotan terkait dengan dukungan F-KB terhadap Hak Angket Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Selasa 25 Mei 2009? Perbedaan pendapat dalam tubuh PKB adalah variasi internal. “Tapi tidak dimungkiri kami memang ingin solid betul mendukung SBY-Boediono dalam Pilpres,” katanya, (Koran Tempo, 2 Juni 2009).
Sementara PKS kemungkinan untuk solid diragukan. Kekecewaan terjadi karena Yudhoyono memilih Boediono sebagai wakil presiden yang bukan dari unsur partai yang berkoalisi. Sementara PKS sudah terlanjur membusungkan dada bahwa kadernya akan ‘dipilih’ oleh Yudhoyono untuk mendampinginya, “kami partai politik peraih kursi ke-4 sudah selayaknya juga berhak menjadi wakil presiden, karena partai politik peraih kursi 1, 2, & 3 juga mempunyai kesempatan untuk menjadi presiden atau wakil presiden”.
PPP juga diragukan komitmennya. Sebab, sebelum menyatakan bergabung dalam koalisi pasangan SBY-Boediono, Ketua Umumnya Suryadharma Ali berupaya untuk mewujudkan koalisi besar bersama Partai Golkar, dan PDIP yakni golden triangle. Bahkan, akibat sikap Suryadharma Ali itu sempat terjadi konflik antara faksi Suryadharma Ali dan Bachtiar Chamsyah.
PAN lebih diragukan lagi. Karena kemungkinan tidak solid begitu besar, seperti Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir secara tersurat telah beberapa kali melakukan manuver untuk menolak berkoalisi mendukung SBY, misal terjadi perang urat saraf antara Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir dengan Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Amien Rais dalam mendukung SBY.
Soetrisno pun sepertinya didera kekecewaan yang dalam. Kekecewaan ini terjadi, karena Soetrisno telah habis-habisan dalam membelanjakan iklan untuk pencitraan dirinya agar masuk dalam daftar peluang menjadi presiden atau wakil presiden, seperti “Hidup Adalah Perbuatan”. Bahkan jika saja PAN sabar, kemungkinannya Soetrisno memiliki peluang menjadi pasangan ke-4 bersama Prabowo dalam pilpres.
Kemungkinan besar PAN untuk tidak solid juga ketika PAN memikirkan “politik balas budi”. Sebab, Ketua Tim Sukses Pemenangan SBY-Boediono adalah Hatta Radjasa yang merupakan kader PAN, sehingga PAN akan mengalami rentan konflik ketika keinginan mengakomodasi permintaan jabatan menteri lebih banyak tidak ditanggapi Yudhoyono. Singkatnya, PAN sangat mudah di”bujuk” misal, untuk bergabung menjadi oposisi atau setidaknya pendukung kritis pemerintahan.
Masih terkait dengan Hatta Radjasa. Jika memang Hatta Radjasa akan berbeda pandangan dengan Soetrisno Bachir tentang koalisi ini (sepertinya mereka ibarat “bara dalam sekap”). Maka kemungkinan pengalaman tahun 2004 dengan mewakafkan kembali menterinya (salah satunya Hatta Radjasa) juga bisa kembali dilakukan PAN. Seperti, Rabu 15 Agustus 2007, dalam acara refleksi kemerdekaan di Rumah PAN di Warung Buncit, Jakarta Selatan. Soetrisno Bachir, mengatakan, “Partainya resmi mencabut dukungan kepada SBY. Alasan pencabutan dukungan itu antara lain partai-partai pendukung SBY mengalami penurunan dukungan dari rakyat. Hasil survei menunjukan partai-partai pendukung pemerintah mengalami penurunan dukungan”, (Warta Kota, 16 Agustus 2007).
Dari berbagai kemungkinan diatas, Yudhoyono akan menggunakan kembali taktik kompromi politik, yakni melalui komunikasi dalam pertemuan-pertemuan penyelarasan pendapat dengan mitra pengawasnya yakni DPR.
Di sisi lain, perjalanan kali kedua Yudhoyono untuk lima tahun ke depan tampaknya akan mengalami surutnya pemberantasan korupsi. Karena langkah-langkah untuk mengebiri kewenangan KPK telah mulai dilakukan. Padahal ini juga merupakan “malaikat penyelamat” bagi Yudhoyono ketika berhadapan dengan DPR. Karena penyelidikan KPK secara langsung maupun tak langsung telah menjadi momok menakutkan bagi anggota-anggota DPR dan partai, sehingga pengawasan terhadap pemerintah akan cepat mengendur karena partai akan fokus menangani masalah anggotanya yang tertangkap KPK.
Dari persaingan antara F-PD dengan oposisi hingga KPK, ke depannya Yudhoyono sifatnya tampak akan lebih ragu-ragu. Karena, tantangannya ke depan adalah bagaimana membuat oposisinya lemah, dan juga tak bisa dimungkiri Yudhoyono telah memikirkan bahwa koalisinya sangat rapuh.
Karena itu, ia lebih memilih Boediono yang profesional dan independen ketimbang kader-kader yang ada dari partai-partai koalisinya. Ini strateginya untuk menghindari adanya dua nakhoda dalam satu kapal, dan “kecemburuan” dari partai koalisinya.
Sehingga partai-partai koalisinya ditempatkan setara hanya menjabat posisi menteri (tidak bicara jumlah), bahkan jika partai itu membangkang akan mudah didepak kader-kadernya yang diposisi menteri, ketimbang diposisi wapres yang ke depannya akan dapat bertarung melawan Yudhoyono seperti telah dilakukan Jusuf Kalla.
Strategi memerintah Yudhoyono untuk kalinya keduanya tampaknya adalah pengulangan (lanjutkan) yakni kompromi politik, kebijakan-kebijakan pro rakyat yang bisa menyelamatkannya, dan pemberantasan korupsi secara besar-besaran dan tidak tebang pilih. Lainnya, Yudhoyono pun akan mengulangi kembali dukungannya untuk Amandemen kelima UUD’ 45 yang akan digulirkan DPD untuk kali keduanya.◘

ANALISIS: KEKALAHAN MEGA-PRO

Oleh: Efriza, Penulis buku “Mutiara Rimba”
Untuk kali keduanya Megawati harus mengakui kekalahannya melawan Yudhoyono dalam Pilpres. Kekalahan sekarang “menyakitkan” dipercundangi dengan satu putaran. Meski, Megawati telah berubah, seorang pendiam menjadi pandai berdebat. Kekalahan Megawati juga bukan tanpa sebab, mari kita simak penyebab kekalahannya.
PDIP bersama Megawati telah membawa perubahan demokrasi kita lebih maju, dengan memilih sebagai oposisi setelah kalah dalam Pilpres lalu. Tetapi sepak terjang oposisi yang dimainkan PDIP bagi segelintir orang bahkan pengamat politik, dianggap akibat dari konflik Megawati dengan Yudhoyono.
Konflik itu menyebabkan Megawati bertingkah laku yang mengecewakan masyarakat. Nilai kenegarawanan Megawati luntur akibat konflik pribadinya, misal Megawati selama lima tahun lalu dalam acara Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak pernah menghadiri acara tersebut meski telah diundang Presiden Yudhoyono. Sikapnya itu, dianggap telah merusak citra bapaknya yakni Soekarno yang merupakan tokoh proklamator bersama dengan Bung Hatta. Meskipun bagi kubu Megawati, ketidakhadiran beliau dimanifestasikan sebagai sikap dari oposisi.
Oposisi yang dimainkan PDIP juga tidak menimbulkan dampak positif yang besar dalam menggalang simpatik masyarakat. Serangan bertubi-tubi dengan menyerang program pemerintah yang dianggap semu pro rakyat bagi pihak PDIP. Malah menghasilkan serangan balik berupa ketidakpercayaan sebagai yang peduli wong cilik, disebabkan PDIP tidak berhasil mewujudkan program kebijakan yang konkrit sebagai pembandingnya.
Misal, ketika PDIP menentang Program BLT yang dianggap hanya mengelabui kesejahteraan masyarakat. Dampaknya masyarakat malah kecewa, karena BLT bagi masyarakat yang menerimanya sedikit banyak telah membantu meringan beban biaya hidup.
Uniknya lagi, PDIP menyerang tanpa menawarkan program tandingan pengganti BLT. Malah diiklan kampanyenya, PDIP sebagai oposisi membantu mengawal program BLT agar sampai ke masyarakat. Citra oposisi sebagai pengawas melalui iklan itu, malah menyebabkan masyarakat mencibirnya akibat dari sikap PDIP yang tidakkonsisten atas kritiknya.
Upaya melemahkan oposisi dimata masyarakat dan menaikan dukungan bagi dirinya dan Partai Demokrat adalah kepiawaian Yudhoyono. Yudhoyono “mengelabui” PDIP dengan mewacanakan koalisi besar antara Partai Demokrat dengan PDIP. Dikatakan mengelabui, karena dari wacana tersebut telah menimbulkan persepsi bahwa PDIP menjadi oposisi karena ambisi kekuasaan. Bahkan Yudhoyono dicitrakan sebagai orang yang tidak ingin memiliki musuh dengan melakukan komunikasi lebih dahulu dengan Megawati dan PDIP.
Image negatif sebagai yang haus kekuasaan semakin disematkan ketika jauh-jauh hari Megawati bersama PDIP (sebelum dimulainya kampanye Pileg) telah melakukan pertemuan-pertemuan guna menjaring massa dengan menjemput bola (baca: bisa dikatakan kampanye terselubung).
Bagi masyarakat Megawati juga meninggalkan keraguan atas kepemimpinannya. Misal, momok menakutkan dari dirinya dibebani dengan citra sebagai penjual aset negara. Meskipun, beliau telah menjelaskan bahwa itu sebuah tindakan yang harus dilakukannya ketika menjabat sebagai presiden demi menyelesaikan krisis di Indonesia. Tapi tetap saja tindakan masa lalu beliau dianggap begitu fatal sehingga memori itu tetap melekat kuat dikepala masyarakat.
Bahkan Megawati telah menaikan “keraguan kepemimpinannya” di mata masyarakat. Serangannya terhadap kebijakan pemerintah melalui pendidikan sekolah gratis. Khas Megawati yang selalu menggunakan bahasa sindiran, pendidikan gratis standar mutu pendidikannya murah, dibandingkan dengan program yang ditawarkannya melalui pendidikan 10 ribu tetapi mutunya bagus. Bagi masyarakat kelas bawah sangat menghina, sebab pendidikan gratis sangat dibutuhkan.
Pemilihan Prabowo sebagai pasangannya juga tidak membawa dampak positif secara besar-besaran. Memang seharusnya kuda hitam dari SBY adalah Prabowo, tetapi nyatanya Prabowo imagenya adalah sosok yang layak jadi presiden bukan sebagai wakil presiden yang hanya “ban serep” pemerintahan. Akibatnya bukan simpatik yang datang melainkan pengalihan dukungan.
Pengalihan dukungan simpatik terhadap Prabowo juga terjadi karena Prabowo dianggap sebagai orang jawa yang tidak lagi memiliki sifat santun, dikarenakan ia selalu menyerang secara frontal terhadap Yudhoyono. Image negatif sebagai sosok yang haus kekuasaan juga disematkan kepadanya.
Prabowo pun dianggap sebagai monster” bagi investor asing dengan program pro-rakyatnya dan masa lalu HAM beliau yang belum tuntas. Sehingga tercipta opini, jika pasangan Mega-Pro yang berhasil memenangi Pilpres maka kemungkinannya adalah krisis kembali membesar bagi Indonesia.
Di sisi lain, kekalahan Megawati juga disebabkan tidak bersatunya keluarga Soekarno dalam memberikan dukungan. Meskipun Sukmawati telah memilih mendukung Megawati dan juga dukungan (turun gunung) Guntur Soekarnoputra yang selama ini tidak terdengar dalam hiruk-pikuk politik. Tapi kita tidak bisa melupakan begitu saja Rachmawati, karena ia yang merupakan anggota wantimpres malah mendukung Yudhoyono.
Perpecahan ditubuh PDIP pun telah banyak menurunkan kantong suara, misal PDP sebagai partai baru akibat perpecahan juga memberikan dukungan kepada Yudhoyono.
Terakhir, penurunan simpatik masyarakat juga terjadi karena dibukanya kembali (atau dibaca: adanya titik terang) dari Korupsi yang banyak menyeret PDIP terhadap kasus pemberian dukungan bagi Miranda Goeltom untuk menjadi Gubernur BI lalu.◘

Kamis, 09 Juli 2009

ANALISIS: KEKALAHAN JK



Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik”
JK sangat menarik dalam setiap penampilan didebat, sosoknya penuh humor, tidak jaim (jaga image), dan penampilannya sangat sederhana. Tanggal 8 Juli kemarin, Pemilih telah menentukan pilihannya dalam Pilpres, dengan memilih SBY kembali. Dari proses pemilu telah jelas bahwa JK kalah. Lalu apa yang menyebabkan kekalahannya? Berikut ini adalah realitasnya.
JK memang pantas diacungkan jempol. Ia telah menjalankan demokrasi yang lebih maju, dengan sangat beraninya ia yang berada di pemerintahan sebagai wakil presiden memilih bertarung dengan presiden. Namun sayang, langkah JK menjadi calon presiden dianggap oleh masyarakat kita yang berbudaya timur sebagai tindakan tidak etis, juga telah menjadi momok menakutkan karena memiliki sifat “ambisius” akan kekuasaan. Bahkan, tampaknya masyarakat begitu memperlihatkan sikap kekecewaannya terhadap JK, dimana ia suaranya menduduki peringkat ketiga (dari polling/exit poll, karena belum diumumkan KPU). Yang secara logika ia seharusnya peringkat kedua karena masih dipemerintahan, penyebabnya tak lain adalah sebelum JK memutuskan menjadi presiden masyarakat mengharapkan SBY berpasangan lagi dengan JK.
Pemilih tidak menentukan pilihannya terhadap JK, juga disebabkan masyarakat menginginkan kestabilan pemerintahan. Patut diingat setelah Presiden Soeharto lengser, pemerintahan selalu berganti-ganti presiden. Hingga akhirnya rakyat sendiri yang menentukan pilihannya melalui Pilpres tidak lagi suara rakyat diserahkan kepada MPR. Namun dalam kurun waktu sampai 2004 lalu, kondisi pemerintahan selalu diwarnai penerapan kebijakan yang selalu berubah-ubah dikarenakan berganti-gantinya presiden. Kondisi inilah yang dinilai oleh masyarakat, bahwa jika ingin pemerintahan fokus dalam langkah mensejahterakan masyarakat, maka kebijakan presiden perlu dilanjutkan kembali untuk kedua kalinya supaya upaya mensejahterakan rakyat bisa dikedepankan dan kondisi inipun didukung oleh Konstitusi bahwa jabatan presiden dapat dua periode.
Misal, langkah BLT yang seharusnya tidak pantas lagi dari segi peraturan karena program BLT dilakukan sebagai dampak dari kenaikan BBM, sementara BBM sudah turun 3x. Tapi upaya pemerintah untuk terus melanjutkan program BLT melalui visi yang baru yakni untuk membantu rakyat miskin, akhirnya mengandung pencitraan positif karena sangat membantu dan telah lama juga dinikmati oleh mereka.
Isu SARA. Seperti pentingnya ibu negara menggunakan jilbab, dan Istri Boediono, Herawati yang di “isu” kan beragama kristen. Entah darimana asalnya, pelan tapi pasti telah menjerumuskan kampanye JK penuh nuansa negative campaign bahkan black campaign. Meski bangsa Indonesia mayoritas masyarakatnya adalah Islam, tapi masyarakat secara tersurat telah menempatkan agama sebagai pembeda yang jelas dengan politik, sebagai wujud semangat pluralisme. Jadi isu ini malah mengurangi simpatik masyarakat.
JK yang telah memilih menjadi rival SBY, mencoba untuk menawarkan perubahan dengan jargon “Lebih Cepat Lebih Baik”. Tampaknya, jargon ini kurang diperhatikan oleh Tim Sukses JK. Jargon tersebut banyak membuka peluang untuk diperbaiki dan disinergikan dengan jargon dari rivalnya. Sehingga menunjukan jargon JK “Lebih Cepat Lebih Baik” diartikan penuh kekhawatiran, bahwa pengambilan keputusan akan bersifat terburu-buru. Dibandingkan dengan jargon tandingan dari rivalnya, “Lebih Tepat, Lebih Baik, dan Lebih Amanah”.
Bahkan, jargon “Lebih Cepat Lebih Baik” memiliki citra negatif bagi aparat birokrasi. Diartikan akan ada reformasi birokrasi besar-besaran, sementara selama ini birokrasi kita telah lama mengidap penyakit “Kalau Bisa Diperlambat Buat Apa Dipercepat”.
Pencitraan JK yang dianggap terburu-buru oleh rivalnya, secara tak langsung juga ada benarnya. Misal, ketika JK secara terburu-buru melakukan kebijakan konversi gas. Terlihat bahwa program ini yang begitu digaung-gaungkan sebagai keberhasilan JK, kurang diperhatikan, bahwa program ini sejatinya terlampau dipaksakan atau terlalu dini sehingga “amat” memberatkan masyarakat. Dimana masyarakat harus mengganti kompornya dengan gas, bahkan pertama-tama program ini digulirkan tabung gas penuh dengan resiko kebocoran dan kebakaran, lebih dari itu bagi masyarakat miskin minyak tanah lebih murah dibandingkan gas karena jika mereka tidak memiliki uang maka minyak tanah bisa membeli dengan harga per-liter sementara gas setiap pembeliannya harus memiliki uang sebesar 15 ribu untuk 3 kilo-nya, belum lagi proses pembakarannya yang lebih bagus adalah minyak tanah.
Kesuksesan JK dalam mendamaikan Aceh, bagi masyarakat secara keseluruhan juga tidak menjadi poin penting menggiring untuk memilihnya. Bagi masyarakat kesuksesan di Aceh terjadi tanpa bisa dilepaskan dari campur tangan presiden. Analisis ini ada benarnya, karena tanpa bisa dimungkiri bahwa wakil presiden selalu diposisikan sebagai “ban serep” bukan the real president. Bahkan, masyarakat menganggap bahwa keberhasilan itu hanya sebuah kesuksesan untuk daerah itu saja, maksudnya tidak menyentuh secara keseluruhan bahwa NKRI tidak akan lagi dirong-rong disintegrasi lagi. Misal, uniknya, di Aceh sendiri masyarakatnya “memberikan” dukungan terbesar untuk pasangan SBY-Boediono, karena mereka merasakan kedamaian tak bisa dilepaskan dari campur tangan Presiden Yudhoyono.
JK sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan terobosan baru agar orang-orang dari Indonesia Timur pun bisa menjabat sebagai presiden. Tapi lagi-lagi dampaknya tidak terlalu besar, karena orang-orang dari Indonesia Timur yang berada di daerah Jawa kurang menjadi garapan yang penting bagi Tim Sukses JK.
Sehingga mereka pun “kurang” yakin JK yang berasal dari Kawasan Timur Indonesia yang sama seperti mereka, mampu menjadi Presiden. Apalagi jargon JK hanya “Pasangan Nusantara” atau hanya ‘menjual’ kesuksesan karena berhasil mendamaikan kawasan Indonesia Timur yang berkonflik seperti Aceh, Maluku, dsb. Sementara yang diperlukan adalah kebijakan konkrit bagi Pembangunan yang lebih maju di Kawasan Indonesia Timur, atau dalam bahasa Penulis adalah langkah kedua setelah berhasil mendamaikan.
Dukungan terhadap JK juga sulit diberikan oleh masyarakat, karena Wakil Presidennya adalah Wiranto yang “masih” membawa beban masa lalu akan isu Pelanggaran HAM. Meski, kebenarannya belum terbukti.
JK yang sebagai saudagar, tampak secara tak langsung juga “menghilangkan” nilai penting untuk memilihnya. Bagi masyarakat, saudagar tetap dianggap akan menyebabkan pertarungan kepentingan antara bisnis dan jabatan sebagai presiden, jika ia dipilih. Momok menakutkan itu pun juga membawa “citra” akan munculnya Orba Jilid II, yang telah menyengsarakan kehidupan masyarakat.
Partai-partai di DPR sekarang, tampaknya juga telah melakukan hukuman untuk JK karena partai-partai tersebut akhirnya tersingkir dari DPR disebabkan aturan parliamentary thereshold (PT). Sehingga, caleg-calegnya yang gagal juga melakukan langkah menggiring massanya untuk tidak memilih JK–apalagi JK juga dalam kampanyenya berniat menaikan parliamentary thereshold menjadi 5 persen pada Pemilu Legislatif berikutnya.
Tanpa bisa dimungkiri, proses parliamentary thereshold yang melalui bargaining politics dengan adanya Aturan Peralihan (pasal 316 huruf d) di UU No. 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, yang membolehkan parpol berkursi DPR berhak langsung ikut pemilu 2009 (meski pada akhirnya MK dalam Keputusan No. 12/PUU/VI/2008 tanggal 11 Juli 2008, mengabulkan permohonan hak uji materi terhadap Pasal 316 huruf d UU No. 10/2008 tentang Pemilu Legislatif). Juga terjadi karena adanya campur tangan JK.
Sedikit mengulas perjalanan peristiwa ini sebelum memasuki judicial review di MK. Diakhir pembahasan, dua pasal krusial usul Partai Golkar masih ditolak, yakni sisa suara ditarik ke provinsi dan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Upaya kompromi terancam gagal karena F-PAN, F-PD, dan F-PPP berkukuh kursi sisa suara habis di daerah pemilihan, dan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Namun, meskipun setuju voting, upaya JK Ketua Umum Partai Golkar sekaligus wakil presiden, untuk berkompromi belum berhenti. Malamnya pada ahad bulan Maret itu, sebelum sidang paripurna terakhir, JK menggelar “hajatan besar” secara tertutup di rumah dinas Jalan Diponegoro No. 2, Menteng, Jakarta Pusat. Politikus teras di parpol dan empat menteri masuk daftar hadir seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Widodo A.S, Mensesneg Hatta Rajasa, Mendagri Mardiyanto, serta Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta. Acara selama empat setengah jam menghasilkan satu keputusan. “Penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut telah disepakati semalam,” kata Ketua DPR Agung Laksono dalam rapat paripurna 3 Maret lalu.
Bahkan, keterlibatan JK tak hanya menjelang sidang paripurna terakhir. Enam hari sejak 23 Februari lalu JK terlibat dalam forum lobi. Tak berada di Indonesia, JK menggunakan telepon pribadinya dari Korea dan Jepang. Saat itu JK sedang dalam kunjungan dinas di dua negara itu. “Suatu Ketika sempat baterai handphonenya habis,” kata sumber Tempo peserta rombongan Kalla.
Sumber lain menyebut hubungan lewat ponsel saat itu salah satunya dengan petinggi Partai Demokrat. Sumber Tempo tak tahu pembicaran lewat telepon JK itu. Lobi politik ketika itu membicarakan enam pasal krusial. Para pemimpin fraksi selama 12 kali lobi gagal mencari titik temu. Selain dua aturan krusial, empat pasal lainnya antara lain soal besaran parliamentary thereshold dan electoral thereshold, alokasi kursi daerah pemilihan, jumlah kursi di DPR, serta mekanisme pemungutan suara.
Forum lobi kemudian mengakomodasi kepentingan sejumlah parpol berkursi di bawah 3 persen electoral thereshold, syarat menjadi peserta pemilu 2009 dalam UU Pemilu Legislatif 2004. Partai yang masuk kategori minim suara adalah PBR, PDS, dan PBR. “Mereka bermain cantik,” kata sumber Tempo yang hadir. Mereka mendukung partai besar, “Sebelum pertemuan di rumah dinas JK.”
Partai politik “minim suara” mendukung setelah UU baru membuat aturan peralihan dari pemberlakuan syarat electoral thereshold dan parliamentary thereshold. Aturan peralihan itu membolehkan parpol berkursi DPR berhak langsung ikut pemilu 2009.
Terhadap dua pasal krusial ini, suara partai kecil beralih mendukung PDIP, Partai Golkar, dan PKB. Andi Yuliani Paris dari PAN membenarkan usaha partai kecil menggolkan aturan peralihan dengan mendukung tiga fraksi besar. “Padahal aturan ini menguntungkan Partai Golkar dan PDIP,” kata dia (Koran Tempo, 17/3/2008/h. A.4).
Terakhir faktor terbesar kekalahan JK adalah tidak solidnya mesin Partai. Harapan dulang suara terbesar untuk JK adalah solidnya mesin Partai Golkar. Tetapi harapan tinggal harapan.
Partai Golkar sebagai partai terbuka, memiliki masalah klasik, ia memiliki 5 faksi seperti JK, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung. Sehingga tidak bisa dimungkiri setiap “keputusan” JK dapat menimbulkan konflik, seperti penolakan JK, terhadap arus kepentingan daerah ditubuh partai golkar yang meminta Golkar untuk bersikap sebagai oposisi.
Keputusan Tim 7 yang dipimpin JK dalam proses pencalegan juga menimbulkan konflik, karena beberapa orang yang berjasa (dalam proses UU Paket Politik) tidak mendapatkan nomor urut peci bahkan dipindahkan dari dapil tempat ia semula dipilih. Ini sangat menyakitkan bagi mereka, karena sebelum keluarnya Keputusan MK tentang suara terbanyak, yang diterapkan adalah nomor urut.
Analisis dari mereka yang tersingkir adalah hanya karena mereka sempat menjadi pendukung Akbar Tandjung. Atau sebuah “konflik pribadi” antara JK dan Akbar Tandjung dalam perebutan Ketua Umum Partai Golkar dalam Rapimnas lalu, yang dimenangkan JK. Maupun JK menerima berpasangan dengan Yuhoyono dalam Pilpres 2004 lalu, meski Partai Golkar telah memilih Wiranto dalam mekanisme konvensi.
Faksi-faksi tersebut bersaing keras bahkan bila kita amati secara seksama dari luar begitu kentara perpecahannya. Misal, ketika JK memutuskan untuk tidak menggunakan Konvensi dalam penjaringan presiden melainkan diganti riset. Telah menimbulkan konflik. Apalagi pada akhirnya, sebelum riset digunakan, entah berawal darimana, tiba-tiba riset yang nantinya akan mengerucut kepada 7 nama akhirnya dihapuskan, dan JK dimajukan sebagai calon presiden tunggal dari partai golkar. Hingga akhirnya timbul juga penolakan “ibarat api dalam sekap” dari arus bawah partai golkar.
Lainnya, jika Aburizal Bakrie telah yakin akan pendiriannya untuk tidak lagi memilih berpartisipasi dalam pemerintahan ke depan, sementara faksi Akbar Tandjung telah memilih SBY melalui organisasi Barisan Indonesia (Barindo)-nya.
Hanya tersisa tiga faksi, yang diharapkan mendukung penuh JK. Namun lagi-lagi faksi ini perlahan tapi pasti mulai mengendur kekuataannya dengan keluarnya ketetapan keputusan MK agar KPU merevisi Penentuan Perolehan Kursi Legislatif. Dampak dari Keputusan MK adalah Agung Laksono terancam gagal menjabat kembali sebagai anggota DPR. Akibatnya, Agung Laksono yang sekarang menjabat Ketua DPR, dapat dikatakan sulit merangkul anggota-anggotanya di DPR untuk mendukung JK secara penuh.
Sehingga tampak di media elektronik maupun media cetak, bahwa Anggota-anggota DPR sekarang yang terpilih kembali tetapi sempat “sakit hati” akibat nomor urut buncit (disingkirkan), dapat dipastikan tidak solid mendukung JK. Bahasa lugasnya, jika dapat dikatakan merupakan dukungan, itu disebabkan kepatuhan mereka terhadap Keputusan DPP Partai Golkar untuk mendukung JK.
Akibatnya, pendukung JK sekarang ini adalah yang fanatik dengan JK dan anggota-anggota DPR yang gagal terpilih (baik yang gagal meskin nomor urut peci maupun yang gagal karena “disingkirkan” dengan diberi nomor urut buncit). Namun lagi-lagi, JK juga tidak sepenuhnya didukung oleh anggota-anggota DPR yang gagal terpilih itu, sebab jika mereka merenung diri dalam kesendirian khususnya bagi yang disingkirkan, dihatinya mendukung isu untuk rapimnas khusus mencopot JK dari kursi Ketua Umum akibat kegagalan JK dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Lebih dari itu, anggota-anggota dari Partai Golkar yang tidak solid itu juga bukan tidak mungkin akan memilih mendukung Yudhoyono di DPR nanti. Bahkan, tahun 2014, penulis memprediksi anggota-anggota DPR dari Partai Golkar yang karena sakit hati akibat (disingkirkan) nomor urut buncit maupun yang gagal, akan berbondong-bondong memilih mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Meskipun bagi mereka yang pemilu 2014 masih memiliki kesempatan untuk dicalonkan kembali sebagai anggota DPR (baca: akibat aturan regenerasi berbeda-beda disetiap partai).®

Sabtu, 04 Juli 2009

KAMPANYE...OH KAMPANYE


Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik”
Tak bisa dimungkiri, dianggap tertindas dan teraniaya, menyebabkan salah satu pemicu peningkatan popularitas Yudhoyono dalam pemilihan presiden tahun 2004 lalu. Dengan mengambil sepenggal ucapan dari pasukan musuhnya, seperti, Taufiq Kiemas, Suami Megawati, menyatakan Yudhoyono sebaiknya segera melapor dan meminta izin kepada Presiden Megawati jika memang ingin mencalonkan diri dan tidak usah ribut-ribut di koran. “Jenderal bintang empat kok seperti anak kecil,” begitu kira-kira ucapan Taufik (Koran Tempo, 3 Juli 2009).
Pemilu 2009 pun kembali strategi ini ingin dimanfaatkan. Tapi bedanya dua pasangan dari incumbent dipemerintahan yang pernah satu pasangan pada tahun 2004 SBY-JK, sama-sama berusaha memanfaatkan atau sama-sama memahami perlunya pemanfaatan issu tersebut berdasarkan pengalaman tahun lalu.
Bermula dari kampanye pasangan JK di Medan, dimana terjadi insiden adanya kampanye black campaign yang menyerang kubu SBY-Boediono, “Apakah PKS Tidak Tahu Bahwa Istri Boediono Katolik?” Sehingga, memicu kedua tim saling mengadukan laporan ke polisi. Lalu, pertanyaannya siapakah yang bisa memanfaatkannya?
Tak lain adalah Boediono. Bagi pasangan JK-WIN issu ini menyebabkan pencitraan dimasyarakat sebagai pihak yang terlampau optimistis dan tidak egaliter. Meskipun, jika ternyata bukan Tim Kampanye JK-WIN yang melakukannya. Namun, resiko fatalnya, pasangan JK-WIN kurang mendapat simpatik. Sementara Boediono menanggapi serangan itu dengan tidak melawan, akibatnya dapat menyebabkan simpatik publik.
Ternyata, usaha pencitraan lewat tertindas. Diserang balik oleh kubu JK-WIN dengan menyerang soal iklan ajakan menggelar pemilihan umum presiden satu putaran, karena iklan itu dibuat sukarelawan pendukung calon presiden Yudhoyono. Serangan ini dilancarkan JK sejak awal kepada Yuhoyono, yakni ketika JK diberi kesempatan menyampaikan visi-misinya tentang tema “Negara Kesatuan Republik Indonesia, Demokrasi, dan Otonomi Daerah”, JK mengatakan, “Iklan satu putaran untuk menghemat itu sama halnya memandang demokrasi sama dengan uang. Nanti 2014, saya khawatir ada iklan ‘[Lanjutkan]’, terus tanpa pilpres demi menghemat Rp 25 Triliun.” Di sini terlihat, bahwa JK ingin memanfaatkan issu bahwa pasangan SBY-Boediono sebagai pasangan yang memanfaatkan segala cara (unfair) demi terpilih kembali sebagai presiden untuk kali keduanya.
Menariknya lagi, dua kubu SBY-Boediono dengan JK-WIN juga memainkan strategi kampanye saling menggembosi. Misal, meski pasangan SBY-Boediono didukung oleh Partai Islam seperti PKS, PAN, PPP. Namun, JK-WIN ingin menunjukan kekuatan tandingan dengan didukung FPI yang merupakan Ormas Islam yang selalu melakukan action untuk menunjukkan kepeduliannya akan kemaslahatan umat Islam. Misal spanduk FPI, “Ayo…, Pilih JK-Wiranto Lebih Cerdas, Tegas & Lugas.”
Lalu, bagaimana strategi kampanye Mega-Prabowo? Rupanya, pasangan ini memanfaatkan strategi kampanye yang sama dengan JK. Tetapi Mega-Prabowo tidak membawa issu sebagai pihak tertindas melainkan memainkan issu menggiring opini sebagai pasangan yang layak terpilih dan pengembosan suara dari koalisi pasangan SBY-Boediono sebagai berikut: Pertama, menggiring opini sebagai pasangan yang layak terpilih, “Pilpres Satu Putaran, Pilih Nomor 1 Saja Mega-Prabowo” Kedua, penggembosan suara dari koalisi pasangan SBY-Boediono yakni dengan membuat spanduk (dari sukarelawan) yang menonjolkan, misal, lambang mirip dengan PAN yakni “Prabowo Amanat Nasional.” Lainnya, menonjolkan bahwa pasangan Megawati dan Prabowo sebagai pasangan yang sama-sama tangguh, misal, spanduk (dari sukarelawan) “Ingin Perubahan? PRABOWO, Solusinya.” Namun disatu sisi kampanye ini sangat rentan karena bisa mencitrakan dualisme kepemimpinan, sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa mungkinkah pasangan ini akan akur dipemerintahan nanti? .◘

BINGGUNG, PILIH YANG MANA?


Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik”
Pertanyaan dari judul diatas, pasti menghinggapi kepala pemilih. Meski kita disuguhi oleh media cetak dan media elektronik tentang siapa dan apa yang akan dilakukan oleh tiga pasangan itu.
Bagi saya ada yang sangat krusial yakni, pertimbangan memilih lebih diukur dari sekecil mungkin kerugiannya. Karena pertanyaan ini sangat minim didapatkan jawabannya dari penyampaian kampanye saja atau dari dialog para capres maupun cawapres yang diselenggarakan KPU. Sebab hakikat jawabannya hanya bisa dirasakan setelah dijalankan oleh pasangan capres-cawapres terpilih.
Ketiga pasangan calon memiliki masalah yang mengitarinya. Meski SBY telah mengantisipasi dualisme kepemimpinan dengan dipilihnya Boediono yang independen sebagai wakil presiden. Tetapi pasangan SBY-Boediono, akan tetap mengalami kesulitan dengan koalisi cair dari partai pendukungnya apalagi secara limitatif akan diatur dalam UU Susduk bahwa jumlah fraksi disepakati sama dengan partai politik yang memperoleh suara 2,5 persen dari suara.
Pengalaman pahit pada tahun 2004 kemungkinan akan kembali dihadapi pasangan ini. Seperti karena polling partainya menurun, maka partai itu langsung beralih menjadi oposisi dan selanjutnya mewakafkan anggotanya yang menjadi menteri. Disini, saya bukan ingin mengatakan bahwa DPR harus kembali lagi menjadi stempel pemerintah. Tetapi hubungan eksekutif dan legislatif dilakukan dalam rangka checks and balances bukan hanya teater semata.
Belum lagi, pasangan ini sama-sama lamban dan penuh kehati-hatian. Jika memerlukan langkah cepat dalam situasi tertentu, kita sulit berharap dari mereka, karena “sense of urgency-nya, kurang.” Sehingga kembali diwarnai kekisruhan hubungan eksekutif-legislatif, yang juga berasal dari koalisi cair tersebut. Harapan digantungkan dari Fraksi Partai Demokrat yang sekarang menduduki peringkat pertama dalam perolehan kursi untuk bermain cantik menghadapi gempuran-gempuran dari Senayan. Dan, kemampuan presiden untuk kompromi politik dengan legislatif kembali menjadi harapan terakhir. Jika itu semua gagal, wacana presiden untuk melepaskan jabatan struktur partai menjadi “semestinya”.
Di sini memang tampak anggota DPR membela kepentingan partai politiknya bukan membuat UU Paket Politik untuk jangka panjang. Seharusnya, jika DPR konsisten terhadap semangat penyederhanaan partai, maka UU Susduk dalam pengaturan pembentukan fraksi adalah terdiri dari tiga fraksi berdasarkan peta koalisi terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusungnya, misal, fraksi SBY-Boediono, fraksi JK-Win, dan fraksi Mega-Pro. Sehingga ke depannya hubungan eksekutif dan legislatif dilakukan dalam rangka checks and balances bukan hanya teater semata.
Sementara bagi Mega-Pro, akan kembali terjadi dualisme kepemimpinan seperti pengalaman tahun 2004 lalu. Tanpa dimungkiri, Megawati dan Prabowo merupakan dua pasangan ibarat bara dalam sekap. Layaknya pasangan SBY-JK tahun lalu. Sehingga demikian, diprediksikan pemerintahan akan mulai tidak efektif memasuki tahun ketiga menjelang persiapan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Dimana, Prabowo mempersiapkan diri menjadi calon presiden dari Partai Gerindra.
Beda pasangan akan beda pula tantangannya. Meskipun bagi JK-WIN, juga sangat rentan terjadi dualisme kepemimpinan seperti pengalaman tahun 2004 lalu. Namun, bagi JK-WIN masalahnya yang terpenting adalah Apakah akan muncul Orde Baru Jilid II? Jusuf Kalla dan Wiranto meski diusung dari dua partai berbeda yakni Partai Golkar dan Partai Hanura. Tapi, kita sudah mengetahui bahwa Partai Hanura bukan semata berasal dari orang awam melainkan lebih utama (besar) berasal dari kader-kader Partai Golkar. Di sini, sangat sulit membedakan diantara kedua partai itu atau bisa saja anggapan yang berkembang menjadi dibenarkan bahwa Partai Hanura merupakan ‘sekoci’ dari Partai Golkar.
Dari elemen ini mungkin tidak begitu menakutkan karena adanya penerapan secara limitatif dari UUD tentang masa jabatan presiden untuk dua periode. Tapi, ingatan kolektif kita akan Orde Baru dengan Partai Golkar tidak sekejap mata terlupakan. Karena bagaimanapun Orde Baru melalui Partai Golkarnya berhasil menguasai seluruh pemerintahan.
Belum lagi kita menyadari bahwa JK ‘dituding’ membawa semangat double kepentingan antara jabatan publik dan pebisnis. Mungkinkah pernyataan Yudohoyono yang mengkritik bisnis keluarga pejabat itu menjadi kenyataan. “Ingat, gurita bisnis pejabat masa lampaulah (Orde Baru, pen) yang membuat kita semakin terpuruk ekonominya,” (Koran Tempo, 6 Juni 2009).
Pendek kata, dari kedua elemen itu gejala Orde Baru Jilid II sangat mungkin terwujud, meski waktunya yang tidak akan lebih dari dua kali periode jabatan presiden itu.◘

ANALISIS HUBUNGAN EKSEKUTIF - LEGISLATIF PASCA PILPRES

Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik”
RUU Susduk akan segera disahkan oleh DPR. Namun sayang, lagi-lagi RUU yang disahkan DPR membawa penyakit bawaan terhadap pola hubungan Presiden dan DPR.
Ketentuan fraksi tak banyak diubah DPR, seperti jumlah fraksi disepakati sama dengan partai politik yang memperoleh suara 2,5 persen dari suara secara nasional (parliamentary thereshold).
Niatan DPR melakukan penyederhanaan partai melalui legislasi tampaknya kembali diabaikan demi kepentingan partai politik anggota DPR masing-masing. Pembentukan fraksi berdasarkan suara 2,5 persen dari suara secara nasional, menjelaskan secara nyata bahwa pola hubungan eksekutif-legislatif pasca pilpres tidak akan berubah.
Sekedar menyebut contoh, meski SBY telah mengantisipasi dualisme kepemimpinan dengan dipilihnya Boediono yang independen sebagai wakil presiden. Yudhoyono jika terpilih kembali tetap dipusingkan dengan partai-partai pendukungnya yang tidak solid di DPR atau koalisi yang cair seperti periode 2004-2009.
Memang seharusnya DPR bukan sebagai stempel pemerintah. Tetapi juga tidak seenaknya saja hanya karena polling partainya menurun, maka partai itu langsung beralih menjadi oposisi dan selanjutnya mewakafkan anggotanya yang menjadi menteri.
Di sini memang tampak anggota DPR membela kepentingan partai politiknya bukan membuat UU Paket Politik untuk jangka panjang. Seharusnya, jika DPR konsisten terhadap semangat penyederhanaan partai, maka UU Susduk dalam pengaturan pembentukan fraksi adalah terdiri dari tiga fraksi berdasarkan peta koalisi terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusungnya, misal, fraksi SBY-Boediono, fraksi JK-Win, dan fraksi Mega-Pro. Sehingga ke depannya hubungan eksekutif dan legislatif dilakukan dalam rangka checks and balances bukan hanya teater semata.◘