Kamis, 29 Oktober 2009

Sulitnya Nama Suamiku

Oleh: Ira Puspitasari
Untuk dilafalkan, atau dijabarkan dalam tulisan..sebenarnya tidaklah sulit. Mungkin ada yang pernah mengalami hal seperti ini? Atau mungkin hanya dia seorang yang paling sering mengalaminya. Dulu, ada dosen yang panggil dia sewaktu absen dengan panggilan Elvira, atau pernah juga, Evita. Tulisannya yang jelek atau mata itu dosen yang udah rabun? Tapi ada juga teman-teman di Kampus yang panggil dia Ja'i, Eja, Rija..pada bissa ajah! Lalu Kalau dalam undangan-undangan forum ada yang menulis namanya Elfrizal, ada pula dalam kwitansi uang sampah RT, tertulis Bp Afrizal, belum lagi tetangga-tetangga yang panggil dia Rizal atau Om Rizal untuk anak-anaknya. Jadi memang bukan cuma ditulisan tapi juga untuk lisan. Mertuanya sendiri saja panggil dia Reza, itu masih lebih mendingan daripada si bude di warteg yang pernah tanya, "siapa nama suaminya?" Aku jawab, Riza. sambil belalakan matanya,dia tanya lagi,"Rizal?" aku jawab,"bukan, riza." Si bude konfirmasi ulang,"Rija pake k (Rijak)?" Ko bisa Rijak yaa?...Hmm..ternyata ada yang lebih unik lagi dalam menyebutkan nama suamiku. Baiklah, apalah arti sebuah nama?..pastinya sangat berarti bagi empunya dan sangat dihargai jika dilafalkan dengan benar. Nama suamiku di akte, ataupun KTP singkat saja, EFRIZA, Thats all (kalo kata suamiku) hanya 6 huruf tapi tidaklah mudah untuk diingat, ditulis, atau dilafalkan. Tapi.. selama 5 tahun pacaran aku juga melakukan hal yang sama. Maaf ya Pa, selama pacaran aku panggil kamu 'Epitha' xixixiixi..yah ketahuan deh!... Itulah berbagai macam turunan dari nama suamiku, ternyata satu nama bisa jadi beraneka ragam ya!.

SBY Jangan Salah Pilih Pembantu Presiden

Oleh: Efriza, Penulis buku, “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan melakukan pengisian posisi pejabat-pejabat negara yang kosong. Antara lain, Wakil Menteri, Sekretaris Kabinet, Staf Khusus Kepresidenan, dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Dalam memilih orang-orang yang akan menduduki jabatan tersebut, diharapkan presiden tidak salah pilih. Untuk itu melalui catatan kecil ini Penulis berusaha mengajukan beberapa pertimbangan.
Pertama, untuk jabatan Wakil Menteri diharapkan posisi enam wakil menteri yaitu Wakil Menteri Luar Negeri, Wakil Menteri Keuangan, Wakil Menteri Perindustrian, Wakil Menteri Kesehatan, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, dan Wakil Menteri Pertanian; tidak dijabat oleh orang dari partai politik meskipun memiliki kemampuan profesional. Sebab hanya ada tiga pilihan ketika diberikan kepada Partai Politik, yaitu pilihan pertama tidak terjadi keberimbangan dalam bekerja jika pilihan dari partai politiknya berbeda karena yang terjadi malah menjadi kompetitor; pilihan kedua jika dipilih lagi dari partai yang sama dengan menteri tersebut akan terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan partai politik dan kepentingan masyarakat, dan ketika kabinet memasuki tahun ketiga menjelang pemilu maka anggota partai tersebut akan menjadi penyebab tidak harmonisnya kabinet.
Kedua, jangan memberikan posisi apapun untuk partai politik gurem atau sekarang dikenal partai non-parlemen seperti posisi Sekretaris Kabinet, Staf Khusus Kepresidenan, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden maupun jabatan seperti Duta Besar dan BUMN. Jika ini terjadi gagalnya keinginan membangun sistem kepartaian sederhana, melalui bentuk konkrit punishment terhadap partai politik. Jangan sampai pengalaman tempo lalu terulang, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan jabatan Watimpres dalam bidang Politik kepada Rachmawati Soekarnoputri, yang notabenenya dari partai politik gurem. Meski akhirnya Partai Pelopor yang hanya memiliki tiga anggota di DPR memilih pindah fraksi dari Fraksi BPD (Bintang Pelopor Demokrasi) ke Fraksi Partai Demokrat, tapi nyatanya tidak membawa dampak apapun dalam setiap pengambilan keputusan diparlemen yang sangat mengutamakan suara terbanyak. Apalagi ini sudah jelas-jelas konteksnya partai-partai tersebut gagal masuk parlemen.
Ketiga, Presiden juga dalam memilih Wakil-Wakil Menteri, Sekretaris Kabinet, Staf Khusus Kepresidenan, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden maupun jabatan seperti Duta Besar dan BUMN. Semestinya juga mempertimbangkan suara rakyat, sehingga tidak dipilihnya lagi tokoh-tokoh yang jelas-jelas telah gagal merebut suara rakyat di pemilu seperti kasus ini terjadi dengan dipilihnya Agung Laksono, Helmy Faishal Zaini, dan Patrialis Akbar sebagai Menteri.®

Hanya Untuk Tetap Eksis Di Politik

Oleh: Efriza, Penulis buku, “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
Perpolitikan di Indonesia tidak mengenal batas waktu bahkan tidak pula mengenal level jenjang kekuasaan. Para politisi di negara kita tampak kasat mata memperlihatkan nafsu kekuasaan berjalan beriringan dengan hasrat diri untuk tetap eksis dalam panggung politik.
Lihat saja, tingkah laku politisi kita yang terpilih di KIB II sebut saja Agung Laksono. Tanpa malu Agung mengemban jabatan Menteri, memang tak ada yang salah! Ia terpilih atas hak prerogatif presiden, tapi jika kita telusuri semestinya Agung Laksono berhenti untuk tampil di panggung politik bukan saja karena tak dikehendaki lagi oleh rakyat dengan bukti konkrit kegagalannya untuk kembali menduduki kursi parlemen, di sisi lain ia telah “mencibirkan” dirinya secara tak langsung, lihat saja dari jabatan Ketua DPR dimana ia berperan sebagai pengawas presiden bahkan dalam negara-negara berbahasa Inggris ketua parlemen biasanya disebut “speaker” of the parliament/house, begitu prestise-nya, tapi demi hasrat untuk tidak terlupakan dipanggung politik ia rela untuk menjadi pembantu presiden.
Pola politisi seperti ini banyak dinegara kita, ada Muhaimin Iskandar Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Industri, Perdagangan dan Pembangunan (Korindagbang), ia pun merelakan dirinya sebagai pembantu presiden. Hidayat Nur Wahid yang merupakan Ketua MPR pun rela untuk menjadi Ketua BKSAP (Badan Kerjasama Antar Parlemen) DPR. Begitu pula bekas Calon Wakil Presiden yang diusung PAN yaitu Siswono Yudhohusodo, agar tetap eksis ia memilih menjadi Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah I.
Tersebut lainnya, Patrialis Akbar yang memilih menempuh jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) disebabkan peraturan internal PAN yang membatasi setiap anggota untuk dicalonkan kembali sebagai anggota DPR, ia memilih hijrah ke DPD, namun sayang ia gagal merebut suara rakyat Provinsi Sumatera Barat, lagi-lagi demi nafsu kekuasaan pula ia memilih sebagai pembantu presiden. Begitu pula, Hemy Faisal Zaini memilih sebagai pembantu presiden ketika gagal terpilih kembali dikursi DPR melalui Daerah Pemilihan Jawa Barat IX.
Fenomena seperti ini bukan hanya di level DPR saja, tapi juga dilevel struktur lembaga lainnya, misal Taufiequrrahman Ruki ketika gagal di DPD memperebutkan suara rakyat Provinsi Banten melalui pemilu akhirnya memilih jalur BPK karena dianggap lebih “mudah” hanya memperebutkan suara anggota DPR. Ditingkat BPK juga ada Ali Masykur Musa, akibat konflik internal PKB, ketika ia tidak lagi menjadi calon legislatif maka jalur BPK dipilih melalui bantuan kawan-kawannya di Partai tempat dimana ia pernah menandingi partai tersebut, maka terpilihlah ia dengan cara yang sedikit “cacat,” dimana DPR sendiri akhirnya menganulir fit and proper test demi masuknya kawan lainnya dari DPR ke BPK.
Tingkah laku ini juga diperlihatkan dalam perebutan kekuasaan di Daerah, sebut saja Nurmahmudi Ismail setelah tak lagi menjabat Menteri Perkebunan & Kehutanan (era Abdurrahman Wahid) pilihannya beralih ke level daerah dengan terpilih menjadi Walikota Depok. Level daerah juga menjadi pilihan bekas Calon Wakil Presiden yang diusung PPP pada tahun 2004 yaitu Agum Gumelar, dimana akhirnya ia gagal dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat.
Tampaknya politisi kita lupa akan batas waktu, suara rakyat, bahkan level jenjang kekuasaan, baginya pilihan tetap eksis menjadi pilihan utama.®

Senin, 26 Oktober 2009

Lanjutkan, Tradisi Tidak Rangkap Jabatan

Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
PKS menjalankan tradisi yang positif yaitu melepaskan jabatan di partai untuk menjalankan jabatan publik, langkah ini ditunjukkan dengan dialihkannya jabatan Presiden PKS dari Tifatul Sembiring yang sekarang menjabat Menteri Komunikasi dan Informasi kepada Lutfi Hasan Ishaaq yang sebelumnya menjabat Ketua Badan Hubungan Luar Negeri DPP PKS.
Tindakan ini juga dilakukan atas dua anggota PKS lainnya yang menjadi menteri seperti Suharna Surapranata Menteri Riset dan Teknologi yang juga menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) DPP PKS diganti oleh Untung Wahono yang sebelumnya sebagai Ketua Bidang Polhukam DPP PKS, Suswono Menteri Pertanian yang juga menjabat Wasekjen Bidang Organisasi DPP PKS dan Ketua Wilayah Dakwah Jateng dan DIY, diganti oleh dua kader lainnya, yaitu untuk Jabatan Wasekjen Bidang Organisasi diisi Budiyanto yang sebelumnya mejabat Sekretaris Biro Hubungan Luar Negeri (BHLN) PKS sedangkan jabatan Ketua Wilayah Dakwah Jateng dan DIY diganti oleh Agus Purnomo yang sebelumnya menjabat Wasekjen PKS. Sementara, Salim Segaf Al Jufri Menteri Sosial salah satu pendiri PKS yang jabatan sebelumnya adalah Duta Besar Republik Indonesia untuk negara Arab Saudi dan Oman, sehingga tidak menduduki kursi jabatan struktural di kepengurusan partai, maka tidak ada kader lain yang menggantikannya.
Menteri yang sekaligus ketua umum atau pengurus partai politik adalah sumber awal konflik. Konflik tersebut terjadi bukan saja di internal partai melainkan juga berdampak menghilangkan daya kritis Anggota Dewan dari partai tersebut. Konflik bisa meluas hingga mengganggu stabilitas kabinet, misal ketika terjadi reshuffle terhadap Yusril Ihza Mahendra yang menjabat Sekretaris Kabinet hingga dampaknya menganggu hubungan sinergis Pemerintah dengan Menteri dari Partai Bulan Bintang (PBB) lainnya yaitu M.S. Kaban yang menjabat Meteri Kehutanan. Bahkan, dampak luas dari konflik ini menteri tersebut tidak bisa total bekerja untuk Negara.
Sebuah tradisi yang pertama kali ditunjukan PKS, seharusnya juga dilakukan partai lain. Sebut saja PKB, perlu mencontohnya, jika partai tersebut tak ingin terjebak lagi dalam konflik internal, solusi ini cukup manjur bagi PKB yang telah menunjukkan gejala perpecahan akibat penunjukan wakil sekretaris jenderal Helmy Faishal Zaini untuk dicalonkan menjadi menteri yang dianggap dilakukan oleh pimpinan partai tanpa pembahasan terbuka.
Tradisi ini semestinya juga diterapkan bagi Presiden dan Wakil Presiden, tapi saat ini hanya Presiden SBY karena Boediono sebagai Wakil Presiden bukan dari partai politik. Meski Yudhoyono hanya sebagai Dewan Pembina di Partai Demokrat, tapi Partai Demokrat seharusya menempatkan Yudhoyono menjadi milik publik bukan milik partai. Agar bukan saja konflik internal bisa dihindari melainkan juga persepsi negatif di masyarakat, seperti kepentingan partai akan lebih didahulukan ketimbang kepentingan publik dalam kebijakan pemerintah.
Tradisi tidak merangkap jabatan juga akan menyelamatkan partai dari kecenderungan Presiden mengintervensi partai yang nantinya berdampak buruk bagi daya kritis anggotanya yang pada akhirnya partai terkungkung dalam arus persepsi partai ketokohan. Di sisi lain, Presiden Yudhoyono juga akan lebih total dalam bekerja tanpa harus tersangkut paut atas setiap kelakuan anggota partainya maupun setiap keputusan partainya yang mungkin malah membuat citra buruk bagi Presiden. Misal, kasus pemecatan anggota DPR atas putusan BK DPR, yakni kasus Aziddin dari F-PD, karena diduga terlibat praktek percaloan pemondokan dan katering haji. Namun, Keppres pemberhentian Aziddin baru turun pada 21 Desember 2006. Akibat kasus ini sempat tersebar isu, lamanya proses ini yang memakan waktu 6 bulan dimulai dari pengaduan sejumlah LSM pada 14 Juni 2006 hingga keluarnya Keppres pada 21 Desember 2006, akibat adanya “campur tangan” Presiden yang tidak lain adalah Dewan Pembina Partai Demokrat.
Ini kesempatan besar bagi Yudhoyono untuk mencatatkan dirinya dengan tinta emas dalam segi positif sebagai Presiden “milik publik bukan milik partai,” lebih dari itu Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu dan juga sebagai Ketua DPR akan tampak obyektifitasnya ketika berhadapan dengan pemerintah. Sehingga demikian, persepsi negatif yang mulai hadir di masyarakat bahwa DPR ke depan akan menjadi stempel pemerintah, tidak akan disematkan kepada Partai Demokrat dan Presiden Yudhoyono, melainkan jika DPR sebagai pengawas pemerintah tidak bisa kritis itu dikarenakan anggota dewannya yang tidak memiliki kepiawaian ketika berhadapan dengan pemerintah, seperti tempo lalu.®

Sabtu, 24 Oktober 2009

detikcom


Opini Anda
Selasa, 27/10/2009 18:11 WIB
'Api dalam Sekam' di KIB II Harus Tetap Terjaga
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - Pada 21 Oktober 2009 Presiden Yudhoyono telah mengumumkan susunan kabinet dan selang sehari kemudian calon menteri dilantik. Susunan menteri dan pos menteri tak ada perubahan signifikan dari prediksi di media cetak maupun elektronik kecuali dibatalkannya calon Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek akibat dianggap gagal dalam tes kesehatan dan digantikan oleh Endang Rahayu Sedyaningsih.

Namun, tiga hari terhitung sejak diumumkan komposisi kabinet pemberitaan pesimistis lebih cenderung muncul disebabkan keraguan publik akan penempatan menteri beserta pos menteri yang akan ditempati mereka. Bukan itu saja. Pemilihan calon menteri yang berasal dari partai politik pendukungnya pun mulai memanaskan suhu konflik internal partai. Hal ini dikarenakan gesekan konflik kepentingan diinternal partai tersebut.

Dari persoalan ini memicu pertanyaan mengapa Yudhoyono memilih kebijakan yang tidak populis. Dan, apakah menguntungkan atau rugi?

Yudhoyono pada periode 2009-2014 ini merupakan kali terakhirnya memangku jabatan sebagai Presiden seharusnya tidak lagi memikirkan kompromistis dengan partai pendukungnya dalam menentukan menteri. Apalagi Partai Demokrat merupakan partai pemenang di pemilu legislatif kemarin. Analisis maupun komentar ini banyak disuarakan dari kalangan pengamat hingga masyarakat.

Ketidaknyamanan Presiden Yudhoyono sehingga begitu kompromistis tampaknya lebih disebabkan tak ingin selesai masa jabatannya di tengah jalan. Yudhoyono juga ingin meraih sukses sebagai presiden agar jabatan presiden selanjutnya dapat dipegang kembali oleh Partai Demokrat di mana Yudhoyono sebagai Dewan Pembina. Untuk meraih mimpi tampaknya Yudhoyono menggunakan strategi yang berbahaya namun menguntungkan jika dapat mengelolanya.

Sun Tzu ahli strategi menegaskan "Bentuk yang terbaik dalam memimpin perang adalah menyerang strategi lawan." Sepertinya strategi ini yang dimainkan Yudhoyono. Yudhoyono telah mengenali strategi lawannya. Lihat saja, bagaimana Yudhoyono telah memanaskan situasi ditubuh PKB.

Penunjukan Helmi Faisal Zaini sebagai Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) menyebabkan 12 DPW melakukan penolakan tehadap penunjukannya sebagai menteri karena pencalonannya tidak dikonsultasikan dengan Dewan Syuro PKB KH Azis Mansyur. Kasus ini sepertinya mengulang sejarah KIB I. Syaifullah Yusuf dan Lukman Edi sebagai Menteri PDT tidak didukung Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid hingga konflik meluas.

Di sisi lain Yudhoyono juga menempatkan partai-partai pendukungnya di pemerintahan dengan pos-pos kementerian yang strategis. Yudhoyono memahami akan diperolehnya keuntungan dari apa pun situasi yang terjadi. Misal jika Menteri dari partai itu gagal menjalankan tugasnya sebagai menteri maka Yudhoyono akan melakukan reshuffle kabinet. Ini berarti kegagalan menteri itu akan berimbas turunnya popularitas si menteri yang ke depannya dapat menyebabkan turun pula perolehan suara partainya.

Jika sebaliknya menteri itu berhasil maka klaim-mengklaim keberhasilan menteri yang dibawa partai ketika kampanye nanti sepertinya tidak akan berdampak terhadap rasionalitas pemilih dalam memilih disebabkan asumsi mereka bekerja di bawah kendali presiden. Kenyataan ini yang mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat hingga menjadi pemenang pertama.

Bahkan, situasi ini terjadi secara kasat mata, ketika pemilihan presiden terjadi saling klaim dalam Perdamaian Aceh antara JK dengan Yudhoyono dalam Pilpres. Namun, ternyata meski JK dianggap sebagai orang yang di balik perdamaian itu dan didukung partai lokal (Partai Aceh) peraih suara terbanyak di Pemilu Legislatif kenyataannya Yudhoyono yang memenangkan perolehan suara terbanyak di NAD.

Namun, strategi di atas tidak mudah. Seperti Presiden Yudhoyono tidak dapat menerapkannya terhadap Partai Golkar. Karena Partai Golkar telah memahami situasi tersebut. Misal ketika partai-partai pendukung pemerintah Ketua Umumnya dijadikan sebagai Menteri tampaknya Partai Golkar telah memahami sehingga kebijakan internal partai setelah Aburizal Bakrie terpilih sebagai Ketua Umum. Tidak memperkenankan Ketua Umum menjadi menteri.

Bukan hanya itu saja. Jika kita menilik tempo lalu Partai Golkar begitu terampil memecah ketahanan partai pendukung untuk akhirnya kritis terhadap pemerintah. Dan, Partai Golkar secara lugas sebagai partai tengah telah berhasil menjadi partai pendukung pemerintah yang kritis.

Bila kita melihat perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I akan terulang di KIB II. Seperti reshuffle kabinet yang akan menyebabkan partai-partai yang sebelumnya konsisten akan berbalik arah. Contohnya PBB mulai bersikap kritis ketika Yusril Ihza Mahendra di-reshuffle dari posisi Sekretaris Negara. Bahkan, di tahun III partai-partai pendukung akan mulai melakukan posisi kritis terhadap pemerintah seperti pengalaman tempo lalu.

PAN pada 15 Agustus 2007 dalam acara refleksi kemerdekaan di Rumah PAN di Warung Buncit Jakarta Selatan. Secara resmi mengumumkan partainya mencabut dukungan kepada SBY. Alasan pencabutan dukungan itu antara lain partai-partai pendukung SBY mengalami penurunan dukungan dari rakyat.

Hasil survei menunjukkan partai-partai pendukung pemerintah mengalami penurunan dukungan. Sehingga, sepertinya Yudhoyono akan selalu memilih kebijakan tidak populis demi tetap menjaga 'Api dalam Sekam'. Bahkan, ia akan mencoba supaya api tersebut lebih menyala-nyala. Seperti tersulutnya Partai Golkar akibat diprediksi suaranya dapat menurun hingga 2,5%. Melalui strategi ini keuntungan Yudhoyono maupun Partai Demokrat akan berlanjut di periode tahun 2014-2019.

Efriza
Jl Musi I No 28 Depok
efriza.riza@gmail.com
081380570370

Penulis buku "Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan".



(msh/msh)

Jumat, 23 Oktober 2009

detikNews


Kamis, 22/10/2009 17:56 WIB
Strategi Politik Baru SBY
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - Susilo Bambang Yudhoyono dilantik kedua kalinya sebagai presiden. Tampaknya dalam memerintah ke depan ia memainkan strategi politik baru. Belajar dari pengalaman buruknya periode lalu. Yudhoyono tak ingin salah langkah.

Dalam memilih wakil presiden ia mengutamakan tidak ada dua nahkoda dalam satu perahu. Pilihan terhadap Boediono tampak jelas maksud dan tujuannya. Selain Boediono bukan dari kalangan partai juga diharapkan dia sebagai wapres tidak dianggap the real president seperti tempo lalu. Hal ini terlihat dari sikap santun Boediono yang enggan mendahulukan pemberitaan terhadap suatu masalah sebelum disampaikan Yudhoyono.

Dalam memilih dan menempatkan menteri sebagai pembantu presiden dalam pemerintahan Yudhoyono tampak hati-hati. Jika periode lalu Yudhoyono tak melibatkan banyak ketua umum partai. Misal dari Ketua Umum Partai, Meutia Hatta (PKPI); MS Kaban (PBB); dan Suryadharma Ali (PPP). Sementara sekarang untuk mencegah partai-partai koalisi balik haluan menjadi kritis terhadap pemerintah maka dipilih Ketua Umum partai dari mitra koalisinya seperti, A Muhaimin Iskandar (PKB), Tifatul Sembiring (PKS), dan Suryadharma Ali.

Bukan hanya itu saja. Menteri yang dipilih juga dari pejabat teras partai seperti Sekjen PAN Zulkifli Hasan, Wasekjen PKB Helmy Faishal, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono, dan Ketua MPP PKS Suharna Surapranata. Yudhoyono pun telah berhitung. Bahwa, anggota kabinet dari partai koalisinya ada yang memiliki kans besar sebagai Ketua Umum. Seperti Hatta Rajasa memiliki kans besar di PAN.

Bahkan, Yudhoyono juga telah berhitung dari kebijakannya memilih menteri. Namun, tidak populis. Seperti dipilihnya calon menteri yang gagal dalam perebutan kursi anggota DPR di Pileg, semisal Agung Laksono yang gagal di DKI I (Jakarta), dan Helmy Faishal gagal di Jabar IX.

Aspek mereka dipilih lebih dikarenakan jabatan strategis di Partai yang dapat mengontrol anggota DPR. Lagi pula jika kebijakannya harus populis cenderung sia-sia meski calon tersebut menang di Pileg tapi mereka akan mengalami Pengganti Antarwaktu di DPR dan MPR akibat rangkap jabatan.

Langkah Yudhoyono bukan hanya dalam memilih tapi juga penempatan para petinggi partai di kabinet. Wilayah yang strategis yaitu pos-pos di bidang perekonomian. Di kelompok ini fungsi koordinasi akan dipegang Hatta Rajasa, politikus PAN. Dia diproyeksikan menjabat Menteri Koordinator Perekonomian.

Tiga belas (13) menteri atau pejabat setingkat menteri juga akan diisi wakil-wakil partai politik. Misalnya, Menko Kesra Agung Laksono (PG), Menteri Agama Suryadharma Ali (PPP), Menkominfo Tifatul Sembiring (PKS), Mensos Salim Segaf al-Jufri (PKS), Menakertrans Muhaimin Iskandar (PKB), Menteri Perindustrian MS Hidayat (PG), Menristek Suharna Surapranata (PKS), Menkumham Patrialis Akbar (PAN), Menteri Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah Zulkifli Hasan (PAN), Menteri PPDT Helmy Faisal (PKB), Menpera Suharso Monoarfa (PPP), Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (PG), dan Menteri Pertanian Suswono (PKS).

Strategi baru lainnya, ketika Yudhoyono menghadapi PDIP yang telah menyatakan sebagai "oposisi." Tampaknya PDIP akan disulitkan untuk memperoleh hasil memuaskan dari setiap proses pengajuan hak-hak anggota dewan seperti Interpelasi maupun Hak Angket.

Jika selama ini hak interpelasi dan hak angket DPR baru dapat dilumpuhkan melalui komunikasi Yudhoyono. Misalnya, dari kedua hak tersebut, dapat dikatakan DPR periode 2004-2009 telah menggunakan sebanyak 24 kali haknya, yakni 11 Kali digunakan untuk hak interpelasi, 13 kali untuk hak angket.

Berikut perinciannya: Pertama, DPR menggunakan hak interpelasi sebanyak 11 kali. Dengan ragam proses yaitu 6 hasil yang diperoleh dari pengajuan hak interpelasi tersebut: Pertama, Diterimanya Keterangan Pemerintah 4 Kasus; Kedua, Prosesnya tidak berlanjut 2 Kasus; Ketiga, Menolak hak Interpelasi 2 Kasus, Keempat, Menolak Hak Interpelasi dan Hak Angket 1 Kasus; Kelima; Jumlah Pengusul tidak lengkap 1 Kasus; dan Keenam, 1 Kasus yang masih dalam proses tentang Hak Interpelasi terhadap Kasus Lumpur Lapindo Brantas.

Kedua, Hak Angket digunakan oleh DPR sebanyak 13 kali dengan 5 Kasus, berikut perinciannya: Pertama, 2 Kasus keputusannya menyerahkan kepada alat kelengkapan yang memprosesnya; Kedua, 2 Kasus menerima laporan hasil pengawasan; Ketiga, 2 Kasus Menolak Hak Angket; Keempat, 1 Kasus menolak Hak Angket dan Hak Interpelasi; dan Kelima; 6 Kasus Hak Angket yang Masih Dalam Proses yakni Hak Angket tentang Penyelesaian Kasus Kredit Likuiditas Bank Indonesia dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia; hak angket tentang BBM, yakni Hak Angket terhadap Kenaikan Harga BBM Bersubsidi, Hak Angket terhadap Kebijakan Pemerintah menaikkan Harga BBM tanggal 23 Mei 2008; Hak Angket terhadap Dugaan Penyelidikan terjadinya Pengabaian dan Pelanggaran atas Kewenangan Konstitusional KPU dengan diterbitkannya Keppres Nomor 85/P tanggal 27 September tentang Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara; Hak Angket terhadap Pelaksanaan Penyelengaraan Ibadah Haji Tahun 1429 H/2008 M (Kasus Pemondokan dan Transportasi Jemaah Haji Indonesia dan Arab Saudi); dan Hak Angket atas Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara untuk memilih.

Namun, sekarang ini PDIP untuk menggalang dukungan terhadap anggota partai lainnya dalam pengajuan hak anggota dewan saja tidak mudah kecuali Partai Hanura, dan Partai Gerindra yang tidak diikutkan dalam kabinet. Bukan hanya itu saja. Strategi menjinakkan PDIP juga diubah.

Bila sebelumnya Presiden Yudhoyono menjadikan Amris Hassan sebagai Dubes Selandia Baru dan Samoa yang bukan merupakan pejabat teras partai hanya sebagai Balitbang DPP untuk menjinakkan PDIP. Tapi, sekarang Yudhoyono menggunakan politik "pecah belah" dengan memberikan dukungan kepada Dewan Pertimbangan Pusat PDIP Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR.

Strategi ini dilakukan agar seumpamanya dari Hak Angket telah berubah menjadi proses pemakzulan presiden di Paripurna MPR, PDIP kemungkinan besar akan mengalami konflik internal, karena Taufik Kiemas akan mengalami dilema, di mana dia terpilih merupakan hasil bermitra dengan Partai Demokrat namun di sisi lain PDIP segala keputusannya tergantung dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang tak lain adalah istrinya yang "cenderung" keputusannya kontra dengan Yudhoyono dilatarbelakangi bebas psikis atas kekalahannya di pilpres hingga dua kali. Sehingga demikian, keputusan pemakzulan memakan proses berkepanjangan.

Efriza
Jl Musi I No 28 RT 006/013 Depok
efriza.riza@gmail.com
081380570370

Penulis Buku "Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan".



(msh/msh)

Rabu, 21 Oktober 2009

Mencegah Pengguntingan Redaksional Atas Legislasi

Oleh: Efriza, Penulis Buku “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
DPR periode 2004-2009 tidak bernafas lega dari purna tugasnya, diakhir masa jabatan terkuak kisah penghilangan ayat tembakau. Tak dipungkiri perjalanan produk legislasi DPR periode itu banyak menjadi sorotan publik.
Diawali dari kisruh tentang legislasi dalam prolegnas, misalnya DPR mentargetkan sebanyak 284 RUU akan dibahas hingga akhir masa jabatannya pada September 2009. Namun, secara prinsipil jika kita menilik 284 RUU Prolegnas tersebut. Kita temukan keteledoran DPR maupun staf pegawai DPR memverifikasi data RUU dengan sempurna.
Karena, angka 284 tersebut jika kita hilangkan keteledorannya akan mengalami pengurangan jumlah menjadi 279 RUU Prolegnas. Seperti, RUU Kembar, RUU Perkreditan Perbankan nomor 13 dalam Daftar Prolegnas juga tertulis hal yang sama dinomor 127. Begitu juga RUU Badan Hukum Pendidikan, ada dinomor 30 dan 195. Selanjutnya Pengesahan Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dinomor 180 dan 206.
Di sisi lain juga terdapat RUU yang kalimatnya bergabung tapi juga ada yang terpisah, misal, RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan dinomor 227 menjadi RUU Peternakan dinomor 230 dan RUU Kesehatan Hewan dinomor 231.
Dari mulai perencanaan yang kisruh, berlanjut hingga diakhir masa jabatan terkait dengan hilangnya ayat dalam UU kesehatan, yang pada 14 September lalu, telah disahkan dalam sidang Paripurna. Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan menyebutkan “Zat adiktif sebagaimana disebutkan pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, produk yang mengandung zat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya.” Ketentuan itu hilang saat soft copy UU tersebut diterima Setneg. Namun, dalam bagian Penjelasan UU tersebut, Pasal 113 masih tetap memiliki 3 ayat penjelasan pasal.
Hilangnya ayat dalam sebuah UU bukan kali ini saja terjadi. Kejadian serupa antara lain terjadi pada 2 UU yang terdaftar dalam Prolegnas misal, Perubahan UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, berubah judul menjadi Perkeretaapian; Perubahan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Sementara itu diluar prolegnas atau biasa disebut non-prolegnas terjadi pada, Perubahan UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam sebuah document, terungkap pernyataan Ribka Tjiptaning bahwa kesalahan teknis seperti ini bukan baru pertama terjadi. Dia mencontohkan RUU Transmigrasi. Setelah disahkan Sidang Paripurna DPR menjadi UU dan draftnya dikirim ke Setneg untuk dicatat di lembaran negara, ternyata ada kesalahan redaksional. “'Dalam hal Sanksi, lima juta ditulis lima miliar rupiah. Tapi, nggak sampai ribut-ribut. Kalau UU Kesehatan kan dari awal sudah diributkan,” ujarnya.
Skandal besar juga terjadi saat proses pembentukan UU Pemilu Anggota Legislatif 2009. Berdasarkan penelusuran Cetro, Pasal RUU yang disetujui berjumlah 316, tapi yang kemudian diserahkan ke presiden, ditandatangani, dan kemudian diundangkan berjumlah 320. Meski tidak ada menambah substansi, penambahan pasal jelas mengubah struktur yang telah ditetapkan paripurna. Penyebab dari penambahan pasal tersebut, adalah sinkronisasi yang dilakukan tim sinkronisasi.
Seusai paripurna juga terjadi penambahan kata “sisa” dalam UU Pemilu Legislatif 2009. Dikarenakan, ditemukan ada kekurangan kata “sisa” pada penghitungan perolehan kursi tahap kedua bagi anggota DPRD. Sehingga Pasal 212 ayat (3) menjadi, “…maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.” Sehingga penambahan kata sisa, untuk “merapikan” hasil paripurna, maka dilakukan penyisipan kata “sisa” tersebut. Celakanya, penambahan itu menjadi misteri sebab kata “sisa” tidak muncul untuk penghitungan perolehan kursi tahap kedua anggota DPR.
Lalu, tindakan apa yang perlu dilakukan menghadapi kisruh pengguntingan redaksional setelah rapat paripurna selesai? Pertama, Badan Kehormatan yang sekarang periode 2009-2014 dipegang PDIP diketuai Topanne Gayus Lumbun harus mengusut tuntas anggota DPR dan staf Sekretariat DPR yang berpotensi terlibat. Sanksi tegas harus dikenakan terhadap personel tersebut yang bertindak sembrono dan jahat.
Kedua, aparat kepolisian maupun KPK perlu mengusut kasus ini, sebab kasus ini bukan sekedar kasus alasan teknis administratif semata, patut diduga ada hidden agenda yang bertujuan menumpuk pundi-pundi diakhir masa jabatan.
Bahkan, penambahan pundi patut dicurigai dilakukan industri rokok, mereka khawatir usahanya akan tergopoh-gopoh ketika WHO membeberkan penelitiannya terkait dengan 10 Negara dengan jumlah Perokok Terbesar di Dunia. Dalam penelitian tersebut, Negara Indonesia tercatat sebagai 65 juta perokok atau 28 % per penduduk (225 miliar batang per tahun). Sebuah dokumen juga mengungkapkan, sejarah berulang tidak dimasukkannya istilah tembakau, karena istrilah tembakau juga tidak masuk UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Ketiga, pencegahan terjadinya pengguntingan redaksional dilakukan pemerintah sebelum disahkan presiden, lalu diundangkan di Lembaran Negara. Pada tahap ini, saat RUU di tangan pemerintah, DPR sulit mengecek. Mengingat ini adalah tahap akhir, kemungkinan terjadi pengguntingan redaksional baru terlacak setelah diberlakukan UU tersebut. Karena itu, pencegahan dilakukan dengan cara UU yang disahkan dibacakan secara utuh dalam sidang paripurna, misal kita mencontoh di Mahkamah Konstitusi semua putusan ­ setebal apapun ­ akan dibacakan secara terbuka, bahkan saat itu juga soft copy putusan langsung bisa diakes oleh publik di website mahkamah.
Keempat, untuk mencegah pengguntingan redaksional dilakukan di DPR. Perlu dilakukan dengan dua cara, Pertama, menjelang rapat paripurna seharusnya semua draft telah sempurna. Tidak hanya jumlah pasal dan kata-kata yang tercantum dalam pasal, bahkan sampai titik dan koma, termasuk huruf kapital dan huruf kecil. Titik-koma dan penggunaan huruf kapital-huruf kecil bukan perkara sepele dalam legal drafting. Penggunaan tanda baca yang berbeda akan menimbulkan arti yang berbeda pula. Kedua, tindakan jangka panjang namun secara menyeluruh, yakni adanya perubahan dalam pengaturan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam UUD 1945. Misalnya, Pasal 20 ayat (5) “Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjadi RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.” Aturan tersebut adalah pasal dilematis, sebab justru membuat hak veto (hak tolak) Presiden terhadap sebuah RUU menjadi tidak berarti.
Sehingga demikian, untuk melakukan pencegahan tersebut perlu adanya perubahan amandemen kelima atas UUD 1945. Karena kenyataannya, DPR bisa saja mengacuhkan hak veto dari presiden, dan DPR cenderung memaksakan keinginan kepada pemerintah untuk tercapainya tujuan bersama, misal tidak adanya kewajiban memberikan keterangan ketika sebuah RUU tidak ditandatangani oleh Presiden (baca: sikap presiden tidak menandatangani RUU yang sudah disetujui legislatif ini disebut “hak veto,”); misal setidaknya ada empat UU terlanjur diundangkan pada periode 1999-2004 meski tanpa pengesahan Presiden,UU tentang Kepulauan Riau; UU tentang Penyiaran; UU tentang Keuangan Negara; dan UU tentang Advokat.
Begitu juga diperiode tersebut DPR cenderung memaksakan keinginannya kepada pemerintah seperti, kasus RUU Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Pemerintah melalui Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra telah menolak dengan tegas, namun Rapat Paripurna 14 September 2004 RUU tersebut disetujui secara bulat oleh kesembilan fraksi yang ada di DPR.
Dengan demikian, mekanisme “persetujuan bersama” “presiden dan DPR” di Indonesia tidak diadopsi secara penuh, karena tidak adanya proses pembahasan ulang di parlemen ketika jatuh veto dari presiden, akibatnya hak veto yang dimiliki presiden layaknya macan tidak bergigi, tidak memiliki daya paksa atau implikasi apapun, terhadap kekuasaan DPR.®

Minggu, 18 Oktober 2009

detikNews


Senin, 19/10/2009 08:29 WIB
Perjalanan Pemangku Jabatan Presiden
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 20 Oktober 2009 dilantik untuk kedua kalinya sebagai presiden. Itu berarti perjalanan pemegang jabatan presiden sampai dengan 20 Oktober akan datang tersebut adalah untuk ke-7 kalinya.

Namun, pada dasarnya jabatan presiden telah disematkan sebanyak 10 kali. Oleh 9 orang berbeda yakni, Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Soesilo Bambang Yudhoyono. Sementara ke-3 orang lainnya adalah Sjarifuddin Prawiranegara, Mr Assat, dan Mr Sartono.

Dalam perjalanan Soekarno memegang jabatan presiden ia telah tiga kali menyerahkan jabatannya sebagai presiden kepada ketiga orang yang disebutkan terakhir untuk menangani situasi darurat kala itu.

Ini adalah fakta sejarah yang tidak boleh kita lupakan. Meskipun, memang tak bisa dipungkiri ke-3 orang yang pernah memegang jabatan presiden pada akhirnya hanya bersifat sementara yang kemudian dikembalikan lagi kepada Soekarno sehingga demikian mereka bertiga "tidak" dianggap sebagai Presiden kecuali pernah memangku jabatan Presiden.

Sjarifuddin Prawiranegara
Perubahan politik yang berdampak pada perubahan sistem pemerintahan adalah diberlakukannya K-RIS yang menggantikan UUD 1945. Dengan K-RIS, Indonesia menjadi negara federasi dengan sistem parlementer.

Perubahan politik itu terjadi sebagai hasil diadakan perundingan Ronde Tofel Conferentie atau Konferensi Meja Bundar (KMB) di Ridderzaal, Den Haag, Belanda, 23 Agustus - 29 Oktober 1949 antara Delegasi Republik Indonesia dan sejumlah negara bentukan Belanda yang tergabung dalam Bijeenkomst Federal Overleg (BFO–Pertemuan Musyawarah Federal); dan dalam perundingan itu juga dihadiri Nederland serta sebuah komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Indonesia.

Sebelum diadakan perundingan tersebut Belanda melakukan penyerangan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1945 (agresi militer Belanda kedua) dan menahan pimpinan RI. Hatta, Mr Assaat, MR AG Pringgodirdo, Suryadharma, Mohammad Rum, dan Ali Sastroamidjojo dibuang ke Bangka. Sementara Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim dibuang ke Brastagi Sumatera Utara.

Jika sebelumnya pada hari itu presiden dan wakil presiden tidak mengirimkan telegram kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi maka pemerintahan ini akan bubar. Namun, telegram dengan maksud yang sama, yaitu agar membentuk pemerintahan di pengasingan juga dikirimkan kepada Dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis yang sedang berada di India.

Tapi, telegram yang ditujukan kepada Sjafruddin tidak sampai ke Bukittinggi. Namun, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin telah mengambil inisiatif yang senada. Dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat pada 19 Desember 1948 untuk menunjukkan Republik Indonesia masih eksis meskipun para pemimpinnya telah ditangkap Belanda.

Setelah pendudukan berakhir gencatan senjata terjadi. Presiden dan wakil presiden serta pimpinan republik kembali ke Yogyakarta. Pada 23 Juli 1949 Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan mandatnya kembali. Dengan demikian PDRI berakhir dalam masa tugasnya selama 7 bulan dalam melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.

Acting Presiden Mr Assat
Pada 16 Desember 1949, wakil-wakil negara bagian–sesuai kewenangan yang diberikan K-RIS dalam Pasal 69 ayat (2) berbunyi: Beliau dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam pasal 2. Dalam memilih Presiden, orang-orang yang dikuasakan itu berusaha mencapai kata sepakat menetapkan Presiden Republik Indonesia Soekarno menjadi Presiden RIS dalam sidang Senat RIS yang diselenggarakan di Kepatihan Yogyakarta. Kemudian, Presiden Republik Indonesia Soekarno mengangkat sumpahnya menurut K-RIS pada 17 Desember 1949.

Dalam ketatanegaraan RIS tidak ada jabatan Wakil Presiden. Pada hari itu juga Presiden Soekarno menunjuk empat orang formatur kabinet untuk membentuk pemerintahan RIS, dua dari Republik Indonesia, yaitu Moh Hatta dan Sri Sultan Hamengkubowono IX, dan dua orang dari negara bagian bentuk Belanda, yakni Anak Agung Gde Agung (Indonesia Timur) dan Sultan Hamid II (Kalimantan Barat). Kemudian Moh Hatta ditunjuk sebagai Perdana Menteri RIS pada 19 Desember 1949.

Karena kekosongan jabatan Presiden Republik Indonesia (negara bagian), berkenaan dengan Soekarno ditetapkan menjadi Presiden RIS maka Negara Republik Indonesia dipimpin Acting Presiden Mr Assat (Ketua KNP, istilah yang masih dipakai untuk Negara Republik Indonesia). Prosedur tersebut berdasarkan UU No 7/1949 (Republik Indonesia negara bagian) tentang Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, yang terdiri dari dua pasal: "satu-satunya pasal, 1. Jika Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka Ketua DPR menjalankan kewajiban itu sampai ada ketentuan tentang penggantian pemangku jabatan Presiden. 2. Jika Ketua DPR tidak dapat pula menjalankan kewajiban itu, maka ia digantikan oleh Wakil Ketua DPR; dan Pasal Penutup, UU ini mulai berlaku pada hari diumumkan."

Namun, pada 15 Agustus 1950 (setelah dinyatakan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan) jabatan Presiden yang dipegang Mr Assat selama 8 bulan tersebut diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno.

Mr Sartono
Pemegang jabatan presiden berikutnya Mr Sartono terjadi dalam perkembangan perpolitikan Indonesia tahun 1955. Dengan adanya pemikiran Soekarno tentang demokrasi terpimpin. Secara jelas Moh Hatta mulai menampakkan perbedaannya dengan Soekarno melalui jalan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956, dengan tujuan memberi kesempatan (fair chanche) kepada Soekarno untuk melaksanakan gagasannya.

Akibat adanya kekosongan kursi Wakil Presiden maka DPR hasil Pemilu 1955 bersama Pemerintah berusaha mencari solusi apabila presiden berhalangan sedang wakil presiden tidak ada. DPR dan Pemerintah berhasil mencari solusi tersebut dengan membentuk UU No 29/1957 tentang Pejabat Yang Menjalankan Pekerjaan Jabatan Presiden, Jika Presiden Mangkat, Berhenti Atau Berhalangan, Sedang Wakil Presiden Tidak Ada Atau Berhalangan.

Pasal 1 yang terdiri dari dua ayat pada UU itu menyatakan: ayat (1) Dalam hal Wakil Presiden tidak ada atau berhalangan, maka jika Presiden berhalangan, Ketua DPR menjalankan pekerjaan jabatan Presiden sehari-hari. Ayat (2) Dalam hal Wakil Presiden tidak ada, maka jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, Ketua DPR menjalankan pekerjaan jabatan Presiden hingga ada Presiden.

Ketentuan tersebut telah dijalankan dalam dua kali kesempatan yakni Ketua DPR Sartono menduduki Jabatan sebagai Pejabat Presiden ketika Presiden Soekarno mengadakan perjalanan ke luar negeri pada 6 Januari - 21 Februari 1959, dan pada 23 April - 2 Juli 1959 karena ke luar negeri juga.

Efriza
Jl Musi I No 28 Depok
efriza.riza@gmail.com
081380570370

Penulis buku "Mengenal Teori-Teori Politik, Dari Sistem Politik sampai Korupsi".



(msh/msh)

Rabu, 14 Oktober 2009

detikNews


Opini Anda
Senin, 12/10/2009 18:17 WIB
Menyoal MPR
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - Selama perjalanan parlemen periode 2004-2009 hingga pilpres 2009 PDIP begitu kukuh menyatakan sebagai partai oposisi. Namun, pasca pilpres 2009 cercaan negatif menghampiri PDIP yang dianggap "bergabung" bersama kelompok pemenang pemilu 2009 yakni kubu SBY - Boediono.

PDIP dipandang sangat pragmatisme politik sehingga mengecewakan grass root maupun masyarakat Indonesia yang tetap menginginkan PDIP sebagai oposisi pemerintah agar tercipta keberimbangan kekuasaan. Apakah PDIP begitu dangkal pemikirannya sehingga lebih memilih sebagai pendukung pemerintah. Atau PDIP sedang memainkan smart politics.

Rapat Paripurna MPR pada 3 Oktober 2009 secara aklamasi dipilih paket pimpinan MPR. Mereka adalah Ketua MPR Taufiq Kiemas dengan empat wakil ketua yakni Hajriyanto Thohari (Golkar), Melani Lemeina Suharli (Demokrat), Lukman Hakim Saefuddin (PPP), dan Ahmad Farhan Hamid (DPD). Di mana Farhan Hamid adalah anggota PAN di DPD.

Dari sinilah muncul anggapan PDIP bersikap pragmatisme melalui dukungan Partai Demokrat keterpilihan PDIP begitu mudah dan sukes. Namun, tidak semudah seperti kita membalikkan telapak tangan bahwa PDIP akan mendukung setiap kebijakan pemerintah. Atau berhenti sebagai oposisi. Sebab, dengan didapatkannya jabatan Ketua MPR sulit bagi kita terburu-buru membenarkan kesimpulan tersebut.

Presiden dan wakil presiden terpilih juga belum dilantik dan kabinet belum tersusun. Sehingga, masih menyisakan pertanyaan. Apakah Kabinet akan terdiri dari partai-partai pendukung sebelum pilpres atau partai-partai yang pada pilpres kemarin merupakan rival politiknya juga mendapatkan posisi di kabinet.

Secara gamblang PDIP juga tidak terlihat sangat pragmatis. Bisa saja PDIP mengambil posisi seperti musang berbulu domba. Di mana PDIP untuk menggolkan agenda tersembunyi mereka maka bersikap lunak terlebih dahulu kepada SBY dan Partai Demokrat sampai waktunya menunjukkan perjuangan yang sebenarnya.

Jabatan Pimpinan MPR begitu strategis sehingga menjadi alat bagi perjuangan PDIP ke depan. Pimpinan MPR memiliki kewenangan yang diatur dalam UUD 1945. Pertama, MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD; Kedua, MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan Ketiga, MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

Melalui kewenangan ini telah jelas PDIP lebih menegaskan posisinya berhadapan dengan pemerintah. Melalui kewenangan MPR mengenai memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, atau istilah populernya impeachment.

Demi menyukseskan misi impeachment PDIP melalui anggotanya di DPR akan kerap kali menggunakan hak angket. Seperti kita ketahui dari empat hak yang digunakan DPR periode 2004-2009 lebih banyak DPR menggunakan hak angket, dengan perincian: hak menyatakan usul dan pendapat sebanyak 4 kasus, 5 kasus tentang hak mengajukan pertanyaan, 11 kasus adalah hak interpelasi, dan hak angket sebanyak 13 kasus.

Dari 13 kasus hak angket, sebanyak 6 kasus masih dalam proses atau dapat dilanjutkan DPR periode 2009-2014, yakni Hak Angket Penyelesaian Kasus Kredit Likuiditas BI dan BLBI; Hak Angket BBM; Hak Angket Kenaikan Harga BBM Bersubsidi; Hak Angket terhadap Kebijakan Pemerintah menaikkan Harga BBM tanggal 23 Mei 2008; Hak Angket terhadap Dugaan Penyelidikan terjadinya Pengabaian dan Pelanggaran atas Kewenangan Konstitusional KPU dengan diterbitkannya Keppres Nomor 85/P tanggal 27 September tentang Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara.

Hak Angket terhadap Pelaksanaan Penyelengaraan Ibadah Haji Tahun 1429 H/2008 M (Kasus Pemondokan dan Transportasi Jemaah Haji Indonesia dan Arab Saudi); dan Hak Angket atas Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara untuk memilih. Meskipun hanya satu kasus yang tidak melibatkan PDIP, yakni Hak Angket terhadap Kebijakan Pemerintah Menaikan Harga BBM tanggal 23 Mei 2008.

Memang dalam proses impeachment tidak mudah karena juga melibatkan MK. Di mana DPR secara kelembagaan dapat mengajukan kepada MK agar dilakukan pemeriksaan dan pengadilan. Keputusan untuk meminta proses tindak lanjut kepada MK ini harus diambil dengan dukungan minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Selanjutnya apabila setelah maksimal 90 hari MK memutuskan bahwa presiden dan/ atau wakil presiden bersalah. Di sinilah DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna DPR untuk menindaklanjuti secara politis putusan dari MK. Berupa pengajuan secara kelembagaan kepada MPR untuk melakukan Sidang MPR.

Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Menghadapi dilema prosedur impeachment, PDIP telah "mengamankannya". Lihat saja, setelah Partai Demokrat menunjukkan dukungannya kepada Taufik Kiemas dalam Pemilihan Pimpinan MPR, koalisi pendukung pemerintah "melakukan" intropeksi terhadap kesepakatan mendukung pemerintah seperti dilakukan PKS dan PKB. Sehingga, kedua partai tersebut ke depannya akan kembali menjadi pendukung pemerintah yang kritis. Artinya, ada kemungkinan menerima keputusan MPR jika Presiden dianggap telah bersalah.

Partai-partai lain juga tidak terlampau sulit diajak bermitra dengan PDIP. Semisal Partai Gerindra, dan Partai Hanura sebagai partai baru akan lebih memilih mengenai pilihan mana yang lebih menguntungkan bagi kelangsungan partai ke depan. Sementara PPP, dan PAN telah jelas dari awal sikapnya tidak "tertarik" bermitra dengan pemerintah, kecuali keuntungan pragmatis saja. Begitu juga, Partai Golkar cenderung bersikap kritis, jika perlu bermain "dua" kaki.

Ketiga partai ini akan menggunakan hitung-hitungan yang tidak terlampau berliku dan
menguras waktu. Apalagi ketiga partai ini merupakan bagian dari Pimpinan MPR, cenderung keputusannya pragmatis demi kepentingan partai, dengan catatan PAN tidak secara lugas menyatakan dukungan kepada Farhan Hamid yang merupakan anggota DPD.

Begitu pula, jika kita melihat perkembangan ke depan yang bersifat "politik bebas", di mana SBY tidak bertanding lagi sebagai calon presiden 2014-2019. Cukup mudah bagi 8 partai politik di parlemen untuk mengambil keputusan pragmatis, yang mungkin menyetujui eksekusi politik impeachment di paripurna MPR. Di sisi lain mengenai impeachment, anggota DPD tidak terlibat dalam proses pembahasan dan pengusulan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebelum proses perkara tersebut diproses di MPR.

Pada Pasal 7B disebutkan, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diajukan oleh DPR. Namun, mungkin DPR dapat meminta DPD memberikan pertimbangannya, berkaitan dengan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Khususnya jika usul DPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan daerah, misalnya dugaan penyuapan yang melibatkan pejabat daerah, atau dugaan korupsi dana APBN untuk daerah tertentu.

Pertimbangan DPD ini diberikan apabila DPR memintanya. Pertimbangan DPD tidak bersifat mengikat dan dilaksanakan dengan tidak mengurangi sedikit pun wewenang DPR untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam Pasal 7A dan 7B dalam UUD 1945.

Ketidakseimbangan wewenang DPD dalam konteks impeachment begitu kentara. Gagasan awal proses ini adalah adanya joint session agar keputusan akhir yang penting diambil kedua kamar. Seharusnya tampak posisi DPD sebagai penyeimbang dalam MPR, karena awalnya DPR yang berinisiatif menginisiasi proses impeachment.

Namun, UUD hanya mengatur. Persetujuan mengenai impeachment diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, tanpa adanya sebaran kuorum antara DPR dan DPD.

Sementara, Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 menyatakan: "Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga anggota DPR." Sehingga, tanpa adanya keseimbangan antara suara DPR dan DPD, keputusan untuk memecat presiden dan/ atau wakil presiden dapat diambil. Bahkan, dalam bentuk yang ekstrim, tanpa adanya kehadiran anggota DPD pun, DPR dapat memecat presiden/ wakil presiden dalam Sidang Paripurna MPR.

Di sinilah terlihat strategi perjuangan baru PDIP dengan menempatkan Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR. Agar memudahkan proses impeachment yang telah berubah dari proses hukum menjadi proses politik melalui "palu" pimpinan MPR. Di kala seluruh proses telah dilalui dengan sukses.

Efriza
Jl Musi I No 28 RT 006 RW 013 Depok
efriza.riza@gmail.com
081380570370

Penulis buku Ilmu Politik, dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan.

detikNews


Minggu, 04/10/2009 08:51 WIB
Evaluasi DPR 2004-2009
Fraksi Partai Golkar Paling Korup, F-KB Paling Banyak Konflik
Shohib Masykur - detikNews

Jakarta - Jika kita ingin memberi penghargaan kepada fraksi di DPR yang paling korup, siapakah yang berhak mendapatkannya? Jawabannya adalah Golkar! Sementara FKB berhak menyandang predikat paling banyak berkonflik.

Hal itu disimpulkan dari tren pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2004-2009. Anggota DPR yang diganti karena kasus korupsi paling banyak berasal dari Golkar, sedangkan yang diganti karena konflik partai paling banyak dari PKB.

Dari 8 anggota DPR yang diganti karena tersandung kasus korupsi, 5 di antaranya berasal dari Golkar. Di partai beringin ini secara keseluruhan ada 20 anggota yang diganti karena berbagai alasan.

"Persentase terbesar PAW karena korupsi dari Partai Golkar sebanyak 5 kasus. Menariknya lagi, ada anggota DPR yang berhasil mendapatkan suara terbanyak pada pemilu lalu yang tersangkut kasus korupsi saat menjadi Gubernur Riau, yakni Saleh Djasit," kata peneliti parlemen, Efriza, saat menyampaikan hasil penelitiannya kepada detikcom, Minggu (4/10/2009).

Lima anggota F-PG yang terganjal kasus korupsi itu adalah Anthony Zeidra Abidin, Adiwarsita Adinegoro, Nurdin Halid, Saleh Djasit, dan Hamka Yandhu YR. Sedangkan 3 orang lagi yang juga di-PAW karena kesandung kasus korupsi adalah anggota F-PPP M Al Amin Nur Nasution, anggota F-PD Sarjan Taher, dan anggota F-PDIP Dharmono K Lawi.

Sebenarnya secara total jumlah anggota dewan yang tersandung kasus korupsi bukan 8, melainkan 11. Tiga orang lagi dipecat dari keanggotaan tapi tidak diganti dengan anggota lain atau tidak di-PAW. Mereka adalah anggota F-PAN Abdul Hadi Jamal yang tersangkut kasus korupsi terkait proyek dermaga dan pelabuhan di kawasan Indonesia Timur, politisi PBR Bulyan Royan yang tersangkut kasus korupsi pengadaan kapal patroli Dephub, dan anggota F-KB Yusuf Amir Faisal yang tersandung kasus korupsi Tanjung Api-api.

Selain korupsi, kasus yang lain yang membuat anggota FPG di-PAW adalah karena rangkap jabatan (9 orang), konflik partai (4 orang), dan skandal seks (1 orang, yakni Yahya Zaini). Yang menarik, ada 1 lagi anggota FPG yang mengundurkan diri karena trauma akibat adanya peluru nyasar ke ruangan kerjanya. Dia adalah Marliah Amin, anggota Komisi VIII dari Dapil NAD I.

Dari F-KB, sebanyak 15 anggota mengalami PAW, dan 8 di antaranya di-PAW sebagai imbas dari konflik partai. Ada 2 konflik besar yang menerpa PKB, yakni konflik yang berujung pada pembentukan PKNU dan konflik yang berujung pada munculnya PKB Pro-Gus Dur dan PKB Pro-Cak Imin. Selain itu ada pula konflik kecil lainnya misal, akibat dari pemberian nomor urut sepatu di Pileg 2009.

Delapan anggota menjadi 'tumbal' akibat konflik ini. Mereka adalah Zunatul Mafruchah, Ahmad Anas Yahya, R. Saleh Abdul Malik, Idham Cholied, dan M AS Hikam yang 'terpental' karena tidak mengakui kepemimpinan PKB Cak Imin hasil Muktamar Semarang. Dua orang lagi diganti karena konflik terkait nomor urut, yakni Tony Wardoyo dan Arsa Suthisna, dan 1 lagi adalah Imam Buchori Cholil yang diganti karena pindah ke PKNU menjelang pemilu.

Dari PAN, 9 orang mengalami PAW dengan berbagai macam sebab. Ada yang karena menjadi menteri (1 orang, yakni Hatta Rajasa), meninggal dunia (1 orang, yakni Tubagus Rizon Sofhani), imbas kekalahan di Kongres (1 orang, yakni Fuad Bawazier), mengundurkan diri untuk ganti jabatan (2 orang).

Selain itu juga 2 anggota F-PAN di-PAW karena perjanjian paruh waktu. Mengingat pada periode lalu sistemnya masih nomor urut, PAN menggunakan perjanjian paruh waktu untuk mengakomodir kepentingan caleg-calegnya. Dua orang yang diganti karena perjanjian ini adalah Jumanhuri dan Tristanti Mitayani.

Sisanya 2 kasus lagi cukup unik karena berkaitan dengan 'hobi' anggota dewan bepergian ke luar negeri. Pertama adalah Djoko Edhi Soetjipto Abdurrahman yang dianggap melanggar etika dan AD/ART partai karena kunjungannya ke Mesir bersama 24 anggota DPR pada 16-23 Desember 2005 lalu dalam rangka penyusunan naskah akademis RUU Al-Meisyer (perjudian). Obyek studinya menekankan pada proses pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan RUU perjudian di Indonesia, sementara PAN melarang keras perjudian.

Kedua adalah Ishaq Shaleh yang di-PAW lantaran melakukan shopping di Belanda usai kunjungan kerja ke Prancis untuk penyusunan RUU Penghapusan Diskriminasi Etnis dan Ras serta RUU Keuangan Negara. Ishaq berbelanja ke Belanda karena pesawatnya mengalami delay.

Dari Partai Demokrat, sebanyak 14 anggota mengalami PAW. Mayoritas alasannya adalah karena pindah partai (6 orang). Alasan lain adalah meninggal dunia (3 orang), rangkap jabatan (3 orang), dan korupsi (1 orang, yakni Sarjan Tahir).

Satu orang lagi di-PAW karena direkomendasikan oleh Badan Kehormatan (BK) DPR akibat tersangkut dugaan kasus percaloan pemondokan dan katering haji, yakni Aziddin. Namun karena hingga saat ini tidak ada proses pengadilan yang menghakimi dirinya, di sini kasus Aziddin sengaja tidak dimasukkan ke dalam kategori korupsi.

Dari PKS, 3 orang di-PAW karena alasan meninggal dunia (1 orang) dan rangkap jabatan (2 orang). Sedangkan dari PPDK, 1 orang di-PAW karena pindah ke PAN. Kasus yang agak unik menimpa PKPI yang hanya memiliki 1 anggota DPR. Satu-satunya perwakilan PKPI di DPR yang bernama Harman Benediktus Kabur itu rupanya lebih memilih kabur ke Partai Demokrat sehingga di-PAW.

PDIP melakukan PAW terhadap 15 anggota DPR-nya. Dua di antaranya karena meninggal dunia, 3 karena rangkap jabatan, 1 karena korupsi yang dilakukannya sebelum menjabat menjadi anggota DPR, dan 1 lagi karena skandal seks (Max Moein).

Alasan PAW paling sering di PDIP adalah konflik partai yang mencapai 8 kasus. Meski jumlahnya sama dengan PKB, namun PDIP lebih mendingan karena konfliknya tidak sebesar PKB. Konflik itu antara lain terkait nomor urut, keikutsertaan di Pilkada tanpa restu partai (Marissa Haque), upaya pengungkapan kasus aliran dana BI (Agus Condro), dan sikap sentralistis partai dalam pemilihan Ketua Umum di Kongres sehingga menyebabkan lahirnya PDP.

Dari FPPP, 7 orang anggotanya mengalami PAW. Satu kasus karena mengundurkan diri dan menjabat sebagai menteri, 1 kasus mengundurkan diri dan menjabat sebagai Dubes RI untuk India, 2 kasus karena meninggal dunia, 1 kasus karena mencalonkan diri sebagai Bupati Bogor tanpa restu partai.

Dua kasus yang lain cukup menghebohkan. Pertama adalah kasus korupsi Tanjung Api-api yang melibatkan Al Amin Nur Nasution. Kedua adalah kasus ijazah palsu yang melibatkan Muhammad Anwar bin Marzuki yang berujung pada diskualifikasi oleh KPU.

Dari PBR, ada 8 anggota dewan yang mengalami PAW. Dua orang di antaranya karena meninggal dunia, 2 orang akibat konflik partai, yakni di Pilkada maupun karena kekalahan di pemilihan ketua umum partai, dan 4 orang karena pindah partai. Jumlah yang sama dialami oleh PDS. Dari 8 kasus PAW di PDS, 5 di antaranya dilakukan karena pindah partai. Sedangkan 3 yang lain adalah karena sakit (1 orang), perjanjian paruh waktu (1 orang), dan mengundurkan diri karena berbeda pendapat dengan partai soal ideologi partai. Sedangkan PPDI yang hanya memiliki 1 perwakilan di DPR melakukan PAW sebagai imbas dari konflik perebutan posisi Ketua Umum, hingga sebanyak 2 kali.

Dari 16 partai yang memiliki kursi di parlemen, hanya 3 yang tidak melakukan PAW. Mereka adalah Partai Pelopor yang memiliki 3 anggota dan tergabung dengan Fraksi Partai Demokrat, PKPB yang memiliki 2 anggota dan bergabung dengan F-PG, dan PNI Marhaenisme yang memiliki 1 anggota dan bergabung dengan F-BPD.

Dalam proses PAW ini, alasan bersifat negatif lebih banyak dibanding alasan
positif. Misalnya tersandung kasus korupsi, konflik partai, pindah partai,
skandal seks, buntut studi banding, dan lain-laian. "Kalau dipersentasekan
mencapai 55,66 persen," kata Efriza.

(sho/irw)

detikNews


Minggu, 04/10/2009 08:05 WIB
Evaluasi DPR 2004-2009
114 Wakil Rakyat Di-PAW, Golkar Raih Top Score
Shohib Masykur - detikNews

Jakarta - Berapa jumlah anggota DPR dan DPD periode 2004-2009? Jawabannya 678, dengan perincian DPR 550 dan DPD 128. Berapa yang mengalami pergantian antarwaktu (PAW) di MPR? Cukup fantastis, yakni 114 orang atau sekitar 17 persen. Jumlah paling banyak diraih Golkar.

"Selama perjalanan Periode 2004-2009 ini, terjadi PAW MPR sebanyak 114 kali dengan perincian PAW DPR sebanyak 106 anggota dan PAW DPD sebanyak 8 anggota," kata peneliti parlemen, Efriza, kepada detikcom, Minggu (4/10/2009).

Dari penelitian yang dilakukan Efriza, tercatat Partai Golkar merupakan partai yang paling banyak mengganti wakilnya di parlemen. Dari total 127 perwakilannya di DPR, 20 di antaranya mengalami PAW. Posisi berikutnya ditempati oleh PDIP dan PKB yang sama-sama mengganti 15 anggota fraksinya. PDIP memiliki total 109 anggota, sedangkan PKB 52 anggota.

Selanjutnya secara berturut-turut adalah Partai Demokrat yang mengganti 14 dari 56 anggotanya, PAN 9 dari 53 anggota, PBR 8 dari 14 anggota, PPP 7 dari 58 anggota, PDS 8 dari 13 anggota, PKS 3 dari 45 anggota, PBB 3 dari 11 anggota, PPDK 1 dari 4 anggota, PPDI 2 dari 1 anggota, dan PKPI 1 dari 1 anggota.

Hanya 3 partai yang tidak mengganti wakilnya di DPR. Mereka adalah Partai Pelopor yang memiliki 3 anggota dan tergabung dengan Fraksi Partai Demokrat, PKPB yang memiliki 2 anggota dan bergabung dengan F-PG, dan PNI Marhaenisme yang memiliki 1 anggota dan bergabung dengan F-BPD.

Sebagai catatan, PNI Marhaenisme, PPDI, PBB, dan PPDK bergabung menjadi 1 fraksi bernama Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (F-BPD). Sebelumnya Partai Pelopor juga bergabung dengan fraksi ini, tapi di tengah jalan keluar dan bergabung dengan F-PD.

Menurut Efriza, ada banyak alasan mengapa partai mem-PAW wakilnya di DPR. Alasan paling sering adalah rangkap jabatan yang mencapai 29 kasus atau sekitar 27,3 persen. Selanjutnya secara berturut-turut adalah konflik dengan partai (26 kasus atau 24,5 persen), pindah partai menjelang pemilu (18 kasus atau 17 persen), meninggal dunia (13 kasus atau 12,2 persen), dan korupsi (9 kasus atau 8,4 persen).

Sisanya adalah perjanjian paruh waktu (3 kasus), skandal seks (2 kasus), buntut studi banding (2 Kasus), trauma akibat peluru nyasar, sakit, dan diskualifikasi KPU (masing-masing 1 kasus).

Sedangkan untuk DPD, 7 dari 8 anggota yang diganti disebabkan karena meninggal dunia. Perinciannya adalah 2 orang meninggal karena serangan jantung, 2 orang mengalami kecelakaan pesawat, 2 orang sakit, dan 1 orang mengalami kecelakaan mobil. Sedangkan yang 1 lagi diganti karena terpilih sebagai Wakil Bupati Tanggamus, Provinsi Lampung.

3 Meninggal Saat Tugas

Lebih jauh Efriza menyebutkan, dari total 20 anggota DPR dan DPD yang diganti karena meninggal dunia, 3 di antaranya menghembuskan nafas terakhir saat menjalankan tugas. Dua orang dari DPR dan 1 dari DPD.

Yang dari DPR adalah anggota F-PD Budi Prihandoko yang mengalami kecelakaan mobil saat kunjungan kerja di DIY pada 13 Desember 2004 dan anggota DPR dari PBR Andi Djalal Bachtiar yang meninggal karena serangan jantung saat mengikuti sidang Bamus DPR pada 5 Mei 2006.

Sedangkan dari DPD adalah Sagap Usman yang meninggal dunia karena Sakit jantung saat kunjungan kerja ke Serang sebagai narasumber seminar pemekaran Kota Serang di Serang, Banten. "Ini patut diapresiasi karena mereka meninggal saat menjalankan tugas," kata alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) ini.

4 Kursi DPR Kosong

Selain kasus-kasus PAW, ada juga kasus di mana anggota DPR berhenti menjabat di tengah jalan namun tidak digantikan oleh anggota lain. Ada 4 anggota DPR yang mengalami kasus semacam ini.

Mereka adalah anggota F-PDIP Sutradara Gintings yang meninggal dunia pada 22 Maret 2009, anggota F-PAN Abdul Hadi Jamal yang tersangkut kasus korupsi terkait proyek dermaga dan pelabuhan di kawasan Indonesia Timur, politisi PBR Bulyan Royan yang tersangkut kasus korupsi pengadaan kapal patroli Dephub, dan anggota F-KB Yusuf Amir Faisal yang tersandung kasus korupsi Tanjung Api-api.

"Artinya, jumlah anggota MPR di akhir masa jabatannya adalah 546 anggota DPR dan 128 anggota DPD atau tinggal 674 anggota dari 678 anggota,” kata penulis buku "Ilmu Politik, Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan" ini. (sho/irw)

Jumat, 02 Oktober 2009

detikNews


Kamis, 01/10/2009 10:30 WIB
Evaluasi DPR 2004-2009
Prolegnas Tak Maksimal, 268 RUU Jadi Tanggungan DPR 2009-2014
Shohib Masykur - detikNews

Jakarta - Program legislasi yang dilakukan anggota DPR periode 2004-2009 dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tidak berjalan maksimal. Akibatnya, anggota DPR baru mendapat getahnya. Belum apa-apa mereka sudah dibebani dengan tanggungan 268 RUU yang belum selesai digarap.

"Anggota DPR Periode 2009-2014 sebelum dilantik telah memikul beban di punggungnya sebanyak 268 RUU," kata pemerhati parlemen, Efriza, kepada detikcom, Kamis (1/9/2009).

Secara formal DPR menargetkan pembuatan 284 UU dalam kurun waktu 5 tahun. Namun jika ditelisik lebih teliti, jumlah yang tepat adalah 279. Sebab ada beberapa RUU yang sama yang ditulis 2 kali, seperti RUU Badan Hukum Pendidikan yang ditulis di nomor 30 dan 195 dalam daftar prolegnas. Ini merupakan saalah satu bentuk ketidakcermatan Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam menyusun prolegnas.

Dari total 279 RUU yang masuk dalam prolegnas itu, hanya 74 atau sekitar 26 persen saja yang berhasil dirampungkan menjadi UU. Sisanya sebanyak 205 belum berhasil disahkan. Bahkan 115 di antaranya sama sekali tidak diproses.

Namun pada saat yang sama, DPR justru mengerjakan RUU yang tidak masuk dalam prolegnas. Jumlah RUU non-prolegnas yang dibahas adalah 174, dan 111 di antaranya berhasil disahkan menjadi UU. Sisanya sebanyak 63 RUU belum rampung digarap.

Sebanyak 268 RUU yang menjadi tanggungan DPR periode baru merupakan gabungan dari 205 RUU prolegnas dan 63 RUU non-prolegnas. Sedangkan total UU yang disahkan DPR periode 2004-2009 adalah 185 buah.

37 UU Digugat ke MK

Dari 185 UU tersebut, menurut Efriza, 37 atau sekitar 20 persen di antaranya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Antara lain UU UU No. 36/2004 tentang APBN TA. 2005, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 10/2008 tentang Pemilu, dan lain-lain.

"UU yang paling banyak dimintakan pengujiannya adalah UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. UU tersebut 10 kali dimohonkan dengan keputusan 8 kali dikabulkan/dikabulkan sebagian, dan 2 keputusan ditolak," kata lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta ini.

Abaikan Kesejahteraan Rakyat

Menurut Efriza, DPR periode 2004-2009 lebih mengutamakan pembahasan RUU yang tidak langsung bersentuhan dengan kesejahteraan rakyat. Mereka lebih terdorong membahas RUU bidang politik, terutama pemekaran wilayah. Sebagai misal, pada 8 Desember 2006 dalam satu hari saja terjadi pengesahan 16 RUU terkait pemekaran wilayah.

"RUU pemekaran wilayah dipandang lebih menarik karena dijadikan sumber 'proyek' baru di DPR untuk menumpukan pundi-pundi sakunya, dan dengan adanya pemekaran akan menyebabkan penambahan daerah pemilihan untuk dijadikan basis baru bagi partai dalam pemilu ke depan," ujar penulis buku ‘Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan’ ini. (sho/yid)