Senin, 27 Desember 2010

Taktik Manipulatif Partai Golkar

lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]
Selasa, 28/12/2010 | 10:47 WIB

Taktik Manipulatif Partai Golkar
Oleh: Efriza *)

Partai Golkar mengusulkan memberlakukan Presidensial Thereshold atau batas minimum perolehan suara partai politik untuk mengajukan calon presiden pada Pemilu 2014 mendatang. Usulan ini memang belum menjadi keputusan partai, masih merupakan usulan yang akan diperjuangkan oleh Tim Kajian dan Pembahasan RUU Paket Politik Fraksi Partai Golkar.

Usulan ini tidak lain adalah untuk memudahkan partai-partai mengajukan calon presiden. Presidensial Thereshold ini digagas agar sejalan dengan pemberlakuan Parliamentary Thereshold atau ambang batas perolehan suara partai politik untuk menempatkan wakilnya di DPR.

Pada dasarnya wacana yang digulirkan oleh Partai Golkar merupakan taktik manipulatif yang dimainkannya alias politik dagang sapi dalam tukar-menukar pasal dalam pembahasan UU Paket Politik, bahwa Partai Golkar menegaskan akan berjuang keras agar ambang batas parliamentary thereshold dapat dinaikkan sesuai keinginan mereka menjadi 5-7 persen. Keuntungan semu yang ditawarkannya, partai yang lolos parliamentary thereshold bisa mengajukan calon presiden.

Revisi UU Paket Politik yang dibahas secara bersamaan, yaitu UU Partai Politik, UU Penyelenggara Pemilu, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden, dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), memang menimbulkan konsekuensi akan terjadi tukar-menukar pasal dalam pembahasannya.

Lagi-lagi taktik manipulatif ini didorong oleh Partai Golkar, sebelumnya ulah Partai Golkar ini pernah dilontarkan oleh Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC) Sulastio, Fraksi di DPR ingin agar pembahasan paket UU itu dibahas secara paralel sehingga lebih mudah untuk melakukan dagang pasal indikasi dagang pasal di paket RUU itu saat pembahasan draf revisi UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang membuka peluang anggota parpol untuk menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), terkait dengan aturan parliamentary threshold dalam revisi UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif. “Jika dulu Golkar ingin ambang batas parlemen hingga 10% bisa menjadi 5% karena telah didukung fraksi lain dalam RUU Penyelenggara Pemilu,” (Media Indonesia, 6 Desember 2010).

Sebelumnya, Partai Golkar juga dalam menggolkan usulan Parliamentary Thereshold melakukan dagang pasal. Misal, pemberitaan di Koran Tempo, 17 Maret 2008, di jelaskan keterlibatan Jusuf Kalla dalam melobi untuk menggolkan usulan tersebut, bahwa keterlibatan Kalla tak hanya menjelang sidang paripurna terakhir. Enam hari sejak 23 Februari lalu Kalla terlibat dalam forum lobi. Tak berada di Indonesia, Kalla menggunakan telepon pribadinya dari Korea dan Jepang. Saat itu Kalla sedang dalam kunjungan dinas di dua negara itu.

Sumber lain menyebut hubungan lewat ponsel saat itu salah satunya dengan petinggi Partai Demokrat. Sumber Tempo tak tahu pembicaraan lewat telepon Kalla itu. Lobi politik ketika itu membicarakan enam pasal krusial. Para pemimpin fraksi selama 12 kali lobi gagal mencari titik temu. Selain dua aturan krusial, keenam pasal antara lain soal parliamentary thereshold dan electoral thereshold serta mekanisme pemungutan suara.

Forum lobi kemudian mengakomodasi kepentingan sejumlah partai politik berkursi di bawah 3 persen electoral thereshold, syarat menjadi peserta pemilu 2009 dalam UU Pemilu Legislatif 2004. Partai yang masuk kategori minim suara adalah Fraksi Partai Bintang Reformasi, Fraksi Partai Damai Sejahtera, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi. “Mereka bermain cantik, mereka mendukung partai besar” kata dia.
Partai politik “minim suara” mendukung setelah UU baru membuat aturan peralihan dari pemberlakuan syarat electoral thereshold dan parliamentary thereshold. Aturan peralihan itu membolehkan partai politik berkursi DPR berhak langsung ikut Pemilu 2009.

Mari kita kembali membedah ide Presidential Thereshold, sebenarnya wacana ini akan melahirkan calon presiden yang sangat banyak, yang mencapai 6 calon dari partai politik yang lolos parliamentary thereshold, jika parliamentary thereshold dinaikkan menjadi 5 persen. Kondisi ini akan menyulitkan pemilih, terlalu ramai, biaya politik tinggi karena pemilu presiden diperkirakan berlangsung dua putaran.

Usulan Partai Golkar juga bias, sebab telah jelas ketentuan yang dimaksud Presidential Thereshold sebagai syarat mengusung calon presiden dan wakil presiden sudah diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dalam Pasal 9 yang berbunyi: “Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”

Sehingga dengan demikian, usulan dari Partai Golkar tersebut tak ada hal yang baru dari gagasan itu, kecuali hanya untuk dagang pasal agar aturan Parliamentary Thereshold sebesar 5-7% didukung partai kecil, tetapi pada dasarnya aturan Parliamentary Thereshold jika dinaikkan sebesar 5% akan melenyapkan Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Kebangkitan Bangsa dan yang sangat kurang pas adalah mengorbankan suara rakyat yang tidak terwakili di parlemen menjadi lebih besar jika sebelumnya Parliamentary Thereshold 2,5% suara yang tidak terwakili adalah 19.086.060 suara (atau 18.33%) menjadi Parliamentary Thereshold 5% suara yang tidak terwakili 32,813,175 suara (atau 31,52%).•

*) Oleh: Efriza - Penulis buku Politik “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD, Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti”.

Selasa, 07 Desember 2010

Kisruh BK DPR Dibiarkan? lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]


Rabu, 08/12/2010 | 08:27 WIB
Kisruh BK DPR Dibiarkan?
Oleh: Efriza *)

KISRUH di Badan Kehormatan (BK) DPR RI tidak akan selesai. Karena PDIP setelah merasa ‘dikerjai’ oleh partai-partai lain di DPR, juga berprinsip dua anggotanya ditarik dari BK DPR sampai fraksi-fraksi lain merombak total keanggotaannya. Semua bermula dari Rapat Pimpinan DPR yang dihadiri pemimpin DPR dan pemimpin fraksi-fraksi pada 25 November lalu. Rapat membahas kisruh di tubuh BK DPR akibat konflik antara anggota BK dengan ketuanya, yakni Prof Gayus Lumbuun.

Kisruh ini juga terkait adanya laporan dari sepuluh LSM pada Kamis (18/11), yang mengatasnamakan Civil Society mengadukan delapan anggota BK DPR kepada Ketua BK DPR Gayus Lumbuun, karena ke delapan anggota BK DPR itu diduga melanggar etika Dewan ketika melakukan kunjungan kerja ke Yunani. Sepuluh LSM tersebut antara lain Komite Pemilih Indonesia (Teppi), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Transparency International Indonesia (TII) dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).

Sedangkan, delapan anggota DPR yang dilaporkan adalah Nudirman Munir dan Chaeruman Harahap (Golkar), Salim Mengga (Partai Demokrat), Darizal Basir (Partai Demokrat), Anshori Siregar (PKS), Abdul Razak Rais (PAN), Usman Jafar (PPP), dan Ali Machsan Moesa (PKB). Lalu diputuskan dalam Rapat Pimpinan DPR, semua fraksi harus menarik anggotanya dan menggantinya dengan yang baru.

Namun kenyataannya, mayoritas fraksi ternyata tidak mau menganti anggotanya yang duduk di BK DPR. Hanya PDIP yang benar-benar mengganti anggotanya di BK dengan anggota baru. Gayus Lumbuun (Ketua BK) digantikan Moh Prakosa. Wakil PDIP lainnya M Nurdin digantikan Sri Rahayu.

Fraksi Partai Golkar hanya mengganti satu dari anggota BK. Chairuman Harahap diganti oleh Edison Betaubun. Sedangkan Nudirman Munir tetap diusulkan sebagai anggota BK, yang akhirnya juga menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Kehormatan. Partai Demokrat pun mengganti hanya satu dari tiga anggota BK. Darisal Basir digantikan Abdul Gafar Patappe. Sementara, Abdul Wahab Dalimunthe dan Salim Mengga tetap. Dan yang disebutkan terakhir, termasuk yang diadukan oleh kesepuluh LSM tersebut.

Fraksi lain, seperti PKS dengan anggotanya Ansori Siregar, PPP dengan anggotanya Usman Jafar, PKB dengan anggotanya Ali Maschan Moesa, dan PAN dengan Abdul Razak Rais, tetap menduduki kursi anggota BK. Padahal, kader mereka ini sebelumnya diadukan ke BK karena dugaan ‘jalan-jalan’ ke Turki, saat kunjungan kerja di Yunani.

Kemudian pada tanggal 30 September 2010, Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan melantik anggota DPR yang baru. Dari sinilah persoalan berlanjut, PDIP akhirnya menarik dua anggotanya. Persoalan tidak mencair karena partai-partai lain bersikukuh tidak akan mengganti anggotanya di Badan Kehormatan. Mereka merasa tidak melanggar kesepakatan yang dibuat pimpinan dewan dan fraksi, setiap fraksi hanya diminta mengevaluasi anggotanya, serta tidak ada kesepakatan yang meminta fraksi harus mengajukan nama baru di BK.

Persoalan semakin semerawut, karena berdasarkan Pasal 234 ayat (2) Tata Tertib Anggota DPR berbunyi, “Rapat pimpinan Badan Kehormatan adalah rapat pimpinan Badan Kehormatan yang dipimpin oleh Ketua Badan Kehormatan atau salah seorang wakil ketua Badan Kehormatan yang ditunjuk oleh Ketua Badan Kehormatan.” Sehingga, rapat-rapat Badan Kehormatan DPR terancam tidak sah dan melanggar Tata Tertib anggota DPR, jika Fraksi PDIP sebagai Ketua Badan Kehormatan tetap tidak mau menaruh anggotanya kembali.

Untuk menyelesaikan proses ini, sepertinya DPR harus belajar dari sikap Mahkamah Konstitusi (MK), ketika Refly Harun menulis dikolom opini dalam Koran Kompas berjudul ‘MK Masih Bersih?’ Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD langsung menunjuk Refly Harun untuk membentuk Tim Investigasi atas isu suap di Mahkamah Konstitusi tersebut dan hasil investigasinya akan segera dilaporkan oleh Refly Harun dalam beberapa hari ini.

Sebenarnya, bisa saja Mahfud MD memeriksa sendiri para hakim konstitusi tersebut. Atau membuat opini balasan untuk klarifikasi terhadap opini yang dibuat oleh Refly Harun. Tetapi karena Mahfud MD punya itikad baik untuk membersihkan lembaga yang dipimpinnya dari isu suap tersebut, serta agar kepercayaan rakyat terhadap Mahkamah Konstitusi tidak hilang, maka ia pun mempersilahkan Refly Harun melakukan investigasi.

Bahkan, jika ada hakim yang terbukti menerima suap dan pemerasan. Mahfud MD juga siap menjalankan sumpahnya untuk mundur jika ada hakim yang terlibat, sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai pemimpin, karena dia secara tidak langsung dianggap gagal. Tetapi, jika hasil investigasi antiklimaks, MK tetap meminta tanggungjawab Refly Harun secara moral.

Ini mungkin jalan keluar yang terbaik dari kisruh di BK DPR, yaitu membentuk Tim Investigasi dari kesepuluh LSM yang melaporkan itu. LSM-LSM itu juga pasti akan senang mendapatkan tantangan untuk melakukan investigasi atas laporan mereka, sebab ini menyangkut nama baik lembaga mereka dan kredibilitasnya ke depan.

Jadi, partai-partai tidak usah sama-sama bersikukuh hanya untuk saling mengganti anggotanya di BK atau merasa telah melakukan pemeriksaan terhadap kadernya, tetapi permasalahan yang sebenarnya yaitu laporan Koalisi LSM ‘jalan-jalan ke Turki,’ tetap tak tersentuh atau bila perlu dihilangkan, bahkan yang juga tak masuk akal adalah jika aduan itu diperiksa oleh kepengurusan BK yang baru, artinya mereka akan memeriksa dirinya sendiri.

Selain itu, pelajaran yang bisa dipetik dari kasus investigasi di MK, untuk mengantisipasi dari opini anggota DPR bahwa tidak ada ketentuannya di Tata Tertib DPR atau UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), cukup berkaca di MK bahwa juga tidak ada dalam aturan di MK mengatur seperti itu, tetapi itu berasal dari iktikad baik dan semacam konvensi membangun lembaga yang bersih.

Sehingga dengan demikian, persoalan benang kusut di BK DPR dapat segera terselesaikan, bahkan jika memang yang dilaporkan tidak bersalah tetap dapat dipertahankan tanpa ada perselisihan dan penilaian negatif dari masyarakat, atau Gayus Lumbuun sekali pun jika ingin tetap ditempatkan kembali di BK dapat dilakukan karena perselisihannya sebagai mantan ketua BK dengan bekas anggotanya telah selesai. (•)


*) Efriza - Penulis buku “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti”.

Keistimewaan Yogya Jangan Diganggu Gugat lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]


Selasa, 07/12/2010 | 21:17 WIB
Keistimewaan Yogya Jangan Diganggu Gugat
Oleh: Efriza *)

Kisruh di seputar keistimewaan Yogyakarta, mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus berlangsung, dan memasuki ranah yang lebih serius mengenai keinginan masyarakat Yogyakarta untuk referendum terhadap permasalahan tersebut, jika dibiarkan berlarut-larut ke depannya akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perdebatan ini berawal dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang kabinet, soal monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi, pada 26 November lalu.

Dalam perkembangan kasus ini, Pemerintah tetap bersikeras agar kepala daerah dipilih melalui pemilihan yang demokratis. Dengan alasan menghargai dan menghormati UUD 1945, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Sehingga, draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan, tetap dipertahankan.

Mekanisme pemilihan merupakan sikap resmi yang disampaikan pemerintah, yang kini dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Sikap ini juga ditunjukkan oleh Fraksi Partai Demokrat di DPR. Sedangkan, fraksi-fraksi lain, seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan PDI Perjuangan, setuju dengan penetapan.

Perdebatan ini masih akan terus bergulir, karena pemerintah mengulur waktu menyampaikan draf rancangan undang-undang ini. Sehingga tugas parlemen untuk mulai memperdebatkannya, menyempurnakan draf itu, termasuk juga menolaknya dan membuat versi lain, terhambat oleh sikap pemerintah yang menunda tersebut.

Terhadap sikap pemerintah ini yang merujuk kepada Pasal 18 ayat (4) tersebut, masih dapat diperdebatkan. Memang tak bisa dipungkiri, pemilihan kepala daerah telah diselenggarakan atas adanya klausul pasal 18 ayat (4) tersebut melalui amandemen UUD 1945 pada tahun 2000 lalu. Namun, untuk Pemilihan Gubernur di Yogyakarta, semestinya pemerintah membaca kembali rujukan UU No. 32 Tahun 2004 yang telah mengatur secara limitatif dalam Pasal 226 ayat (2) yang berbunyi, “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 Tahun 1999, adalah, tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini.” Jadi penyelenggaraan pemerintahan tetap merujuk UU ini.

Rujukan UU No. 32 Tahun 2004 itu tepat dengan semangat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18B ayat (1) yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dengan undang-undang.”

Jika pemerintah tetap memaksakan untuk menggunakan Pasal 18 ayat (4) tersebut, dengan argumentasi bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Sepertinya Pemerintah melupakan, bahwa rujukan tersebut sekarang ini masih tetap diperdebatkan oleh banyak kalangan, terutama yang menolak untuk Pemilihan Gubernur di seluruh Indonesia dipilih langsung, bagi mereka rujukan Pasal 18 ayat (4) itu hanya mencantumkan kata-kata dipilih secara demokratis, yang menimbulkan asumsi bahwa DPRD tempo lalu dalam memilih Gubernur juga demokratis.

Misal, bagi Mantan Anggota KPU Mulyana W. Kusumah, bahwa “Tidak ada perintah konstitusi bahwa pilkada harus dipilih oleh rakyat secara langsung. Aturan itu beda dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat.” Bahkan Mulyana menegaskan, Pasal 18 ayat (4) juga menyatakan, kepala daerah dan wakilnya tidak dipilih dalam satu paket (pasangan). “Dengan kata lain konstitusi memang tidak mengamanatkan dilakukannya pilkada langsung (Warta Kota, 29 Januari 2008).

Asumsi mereka memang dapat dibenarkan karena rujukan Pemilu dalam konstitusi kita tidak seragam. Misal, Dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 dirumuskan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Kemudian Pasal 18 ayat (4) dikatakan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat (1) disebutkan: “Anggota DPR dipilih melalui pemilu.”

Lalu Pasal 22C ayat (1) disebutkan bahwa “Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu.” Dengan demikian tampak jelas tidak adanya keseragaman dalam merujuk kepada hal yang sama, yaitu pemilu. Seharusnya kata-kata tersebut diseragamkan dengan menggunakan istilah yang baku: “dipilih melalui pemilu.”
Dari perdebatan ini, mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta semestinya tetap dipertahankan.

Selain untuk penghormatan pemerintah terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga pelestarian kebudayaan kita. Yang semestinya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR, bukan memperdebatkan sesuatu yang telah disepakati tetapi membuat aturan yang terperinci tentang UU Keistimewaan Yogyakarta, misal, tentang prosedur mangkat, atau mekanisme jika terjadi perebutan kekuasaan antara Kesultanan dan Paku Alam dikemudian hari. Banyak lagi, persoalan ini yang semestinya harus dijawab dan dimasukkan dalam UU Keistimewaan Yogyakarta ke depan. (•)

*) Efriza, Penulis buku “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD, Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Esok”.

Selasa, 23 November 2010

Jakartapress.com

Senin, 22/11/2010 | 15:10 WIB

DPR Terjebak Kepentingan Parpol yang Kemaruk
Oleh: Efriza*)

PERSAINGAN kepentingan partai politik (parpol) terus merebak dalam rangka menggegolkan kepentingan parpol masing-masing dalam perdebatan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu).

Kebuntuan pembahasan muncul karena perbedaan pendapat antar partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PAN menginginkan anggota KPU Netral. Sementara itu tujuh fraksi lainnya yaitu Fraksi Partai Hanura, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PPP, Fraksi PKB, Fraksi PKS, Fraksi PDIP, dan Fraksi Partai Golkar menginginkan keterlibatan partai dalam KPU.

Perdebatan hanya berkutat pada rekrutmen keanggotaan KPU yang independen atau tidak. Kepentingan parpol adalah keinginannya memasukkan anggota partainya yang gagal dalam pemilu legislatif 2009, apalagi anggota partainya yang gagal rata-rata tak bisa dipungkiri merupakan mantan anggota DPR periode 2004 lalu, yang juga merupakan anggota Pansus UU Paket Politik.

Namun, keinginan tersebut ditutupinya dengan argumentasi atas kasus Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati yang merupakan dua mantan anggota KPU yang setelah pemilu langsung duduk sebagai pemimpin partai dalam Partai Demokrat, artinya independensi tidak menjamin ketidakberpihakan.

Permasalahan yang sama tentang independen atau tidak, juga pernah dilakukan oleh Partai Politik yang menginginkan masuk dalam lembaga DPD, akhirnya melalui UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, keinginan tersebut berhasil tercapai hingga sekarang tak dapat diganggu gugat dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit.

Lagi-lagi alasannya waktu itu, karena keanggotaan DPD periode 2004 lalu juga tidak sepenuhnya independen. adahal alasan yang sebenarnya, di partai ada ketentuan yang menyatakan orang yang sudah dua kali di DPR atau lebih, di partai-partai tertentu, dia tidak boleh lagi masuk di DPR. Sementara, kalau misalnya orang ini mau berkiprah lagi di politik, di Senayan. Dia bisa masuk kesempatannya hanya melalui DPD.

Yang patut digarisbawahi dari perdebatan dalam pembahasan revisi UU Penyelenggara Pemilu adalah Partai Politik telah salah dengan mempersalahkan kelembagaan misal KPU yang dianggap tidak netral. Padahal jika dianggap ada yang tidak netral, adalah orangnya bukan institusinya. Bahkan, kita juga telah memahami perdebatan yang dilakukan Komisi II DPR selama ini jelas menunjukkan hanya untuk kepentingan jangka pendek setiap partai politik. (•)

*) Efriza - Penulis buku politik 'Parlemen Indonesia Geliat Volksraad Hingga DPD; Menembus Lorong Waktu'

Jumat, 12 November 2010

BUNUH DIRI = PEMBUNUH

Oleh: Efriza, Penulis buku "MENGENAL TEORI-TEORI POLITIK, Dari Sistem Politik sampai Korupsi"
Apakah Aku Telah Membunuhnya?
Tergeletak, bersimbah darah, dengan perut terhunus pisau yang digenggamnya.
Siapa yang mempertanyakan kejadian itu?
Oh...itu adalah Aku dan juga yang tergeletaknya.•

Kamis, 11 November 2010

TELAH TERBIT


Bagi Kawan-kawan yang berminat terhadap karya-karya Efriza kini dapat menikmati seluruhnya, yaitu karya Pertama, Toni Andrianus Pito, Efriza, Kemal Fasyah, berjudul: “MENGENAL TEORI-TEORI POLITIK, Dari Sistem Politik sampai Korupsi,” Nuansa, Bandung, Rp. 80.000. Kedua, Efriza, berjudul: “ILMU POLITIK, Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan,” Alfabeta, Bandung, Rp. 50.000, (BEST SELLER). Ketiga, Efriza, Syafuan Rozi, berjudul: “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD, Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti,” Alfabeta, Bandung, Soft Cover: Rp. 125.000,- Hard Cover: Rp. 160.000,-

TELAH TERBIT


Bagi Kawan-kawan yang berminat terhadap karya Toni Andrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah yang berjudul: MENGENAL TEORI-TEORI POLITIK, Dari Sistem Politik sampai Korupsi, kini dapat menikmatinya kembali. Dengan harga Rp. 80.000,-

Sabtu, 06 November 2010

Kisah dari Seorang Teman

Sehabis pulang dari nyalon untuk persiapan besok hari memenuhi undangan pernikahan sobatnya Mickey, Amanda membuka handphonenya, ternyata ada 3 pesan dari seniornya Sonny. Pesan tersebut sebuah cerita. Bagaimana kisahnya, sebagai berikut.
Kebahagiaan personal yang membuatnya terus mau hidup ada diluar sana; kekasihnya menunggu. Tak peduli sedikitpun dengan nasib seluruh penduduk kota Oran, menurutnya menemui kekasihnya dan segera menikahinya adalah tujuan utama dalam hidupnya…Manusia hanya bisa mati atau hidup untuk apa yang dicintai…
Berbeda dengan Rambert yang seorang wartawan yang kebetulan saja berada di kota Oran yang pada saat itu dinyatakan tertutup. Dia berusaha keluar dari kota dengan berbagai cara lewat jalur illegal hanya untuk mewujudkan cita-cita pribadinya yang sempit untuk menikahi pacarnya.
Rambert selalu berpikir bahwa dirinya adalah orang luar, Ia bukan bagian dari kota itu…
Tarrou seorang yang agak misterius dan tidak seorangpun tahu darimana Ia berasal. Sejak warga kota Oran ditimpa wabah sampar yang merenggut ribuan jiwa. Tarrou tanpa basa-basi menawarkan bantuan menjadi relawan, dan tanpa lelah Ia bekerja sampai akhirnya memakan dirinya sendiri menjadi korban…
Kisah dari Sonny tersebut ditulis ulang oleh Amanda, kemudian dikirimkannya kembali kepada Sonny tapi melalui pesan di facebook, dengan sebuah harapan kisah ini akan dilanjutkan lagi oleh Sonny di kemudian hari.•

Jumat, 05 November 2010

Politik Bagi Amanda

Oleh: Efriza, Penulis buku Politik, “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
“Tak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik.”
Dahi berkerut, otak berputar-putar menyerap kalimat tersebut. Amanda, mencoba kait-mengaitkan apa yang dia pernah pelajari, amati, baca, dan teliti.
Rupanya Amanda ketika membuka facebooknya, Oni sahabat kuliahnya mengirimkan pesan tersebut dalam chat-nya.
Oni memang sobat yang unik, dalam setiap membuka percakapan tidak seperti kawan-kawan lainnya yang sering membuka kalimat dengan “Bos,” “Girls,” “Mbak,” atau menyapa berdasarkan waktu, “Pagi,” “Siang,” “Sore,” “Malam.”
Amanda masih mencoba untuk mengerti kalimat itu, dengan mengumpamakan seperti Oni dan Amanda yang bersahabat tetapi juga mengalami pertengkaran dan bahkan sampai lama tidak saling mengenal namun mereka tetap kembali bersahabat lagi.
Amanda pun mulai mensejajarkan kalimat yang masih berputar dimemori otaknya dengan kata-kata seperti Bargaining Politics, Politik ‘Dagang Sapi,’ Politik Pencitraan, Politik Basa-Basi, dan juga kata-kata dari seorang seniornya Sonny yang seringkali berkata ‘Bermain’ di politik!
Akhirnya Amanda memberanikan diri untuk membalas chat dari Oni, setelah 10 menit menjelajahi kalimat, Amanda membalas dengan menulis, “Itulah Politik,” analisis pemikiran Amanda dari kalimatnya itu bahwa Politik Adalah Bagaimana Kita Menyikapi Setiap Peristiwa.•

Kamis, 04 November 2010

Amanda dan Soeharto


Efriza, “Penulis buku, PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti”
Jari-jari lentiknya berseluncur di papan netbook, tiba-tiba Amanda tersentak ketika terdengar bunyi teeettt handphonenya mengirimkan pesan pendek. Ia membacanya, aduh…besok ketemuan lagi, jam 13.00 di toko buku, tempat ia menjadi member.
Sebelum membalas, Amanda bangkit dari tempat duduknya, buru-buru Ia melihat jadwal kuliahnya di organizernya, sekarang sampai besok tidak kuliah ini. Jari-jarinya lalu pindah berseluncur ke handphonenya, dibalasnya, Oke.
Esok harinya, Amanda berangkat menuju ke tempat diskusi. Amanda masuk Lewat jalan belakang, maklum Ia dari arah Jakarta menuju arah depok, meski turunnya di Lenteng Agung.
Ketika melewati rel-rel kereta, matanya yang semenjak di kursi belakang mobil berwarna jingga yang setia menganternya pulang-pergi. Tak pernah luput, dari ketertarikan tulisan ditembok jalan, “M E D I A L E G A L,” maklum Indonesia seperti di film-film Amerika aksi aspirasi melalui semprot cat. Amanda berjalan beberapa meter, bukan tertarik sama Kerbau yang disiapkan untuk hari Raya Idul Adha, yang diibaratkan ‘pahlawan untuk manusia,’ tetapi akan sebuah lukisan jalan bertema saling menghormati sesama manusia, bertuliskan “KERJA KERAS BUKAN KUDA, PRT JUGA MANUSIA,” ditulisan tersebut digambarkan seekor kuda yang menjadi pelayan seperti manusia.
Amanda tersadar, oh…ini aspirasi dari kekecewaan menuntut perlakuan sama bagi Pembantu Rumah Tangga (PRT). Mestinya, RUU ini berhasil ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional 2010 yang dibahas di DPR dengan Pemerintah, ternyata deadlock dan berhenti pembahasannya ketika memasuki tentang hal-hal krusial mengenai perlakuan keadilan, misalnya waktu, tenaga, dan lain-lainnya.
Amanda mengetahui hal tersebut karena sering ikut dialog yang diundang oleh kawan-kawannya yang pengamat. Maklum, meski kuliah Amanda banyak belajar politik praktis di luar. Karena sikapnya yang ramah, ingin tahu dan terus belajar, membuatnya mudah bergaul, sering silaturahmi ke lembaga-lembaga penelitian, demi sebuah informasi yang bisa menempanya dikemudian hari mempelajari kehidupan dan perpolitikan atau belajar untuk menjalankan dunia pekerjaan seperti di jurusan yang dia ikuti, ya seperti menjadi peneliti, itu pemikiran Amanda dalam bergaul.
Click…Ehmm, hasilnya bagus, langkah Amanda pun diteruskan memasuki sudut toko buku tersebut, akhirnya Amanda bertemu dengan teman-temannya yang juga sedang libur di toko buku yang dimaksud untuk membicarakan topik sesuai dengan pesan yang diterimanya.
Seniornya di kampus dan sering dianggapnya ‘guru’ dalam berorganisasi memulai diskusi. Sonny mengatakan, ada wacana menarik belakangan ini dan juga tidak lama lagi tanggal 10 November merupakan hari pahlawan, yakni mengenai Layakkah Soeharto yang Presiden kedua republik ini mendapatkan gelar pahlawan.
Amanda, memang rutin mengikuti rapat-rapat kawan dari satu jurusannya Ilmu Politik. Ketika pembicaraan mulai seru, Amanda yang merupakan mahasiswa semester 1, itu hanya menyimak tanpa memberikan komentar.
Di kepala Amanda hanya muncul satu kata dari pembicaraan lima orang kawannya yang turut hadir yaitu Layakkah. Meski diskusi itu telah selesai membahas tema tersebut tanpa saling menyimpulkan siapa yang benar, seperti biasa mahasiswa hanya ingin belajar berdemokrasi dengan mengeluarkan pendapat. Karena Amanda kurang menyimak argumentasi mereka, Ia hanya binggung mengapa ada yang mendukung dan tidak ya? Dan, apakah ini juga mencerminkan aspirasi masyarakat ya? Mungkin masyarakat juga masih binggung tentang jawabannya?
Ketika kebinggungan Amanda membuncah, di saat Ia menunggu mobil di halte kampusnya untuk pulang ke home sweet home. Iseng-iseng Ia pencet speed dial angka 6 di handphonenya, asyik dapat bonus 100 SMS karena sudah kirim 10 SMS. Berarti aku bisa SMS-san untuk mencari tahu Layakkah mantan Presiden RI ke-2 tersebut mendapatkan gelar Pahlawan Nasional?
Diketiknya, “Menurutmu Soeharto Layak Gak Jadi Pahlawan Nasional? Alasannya? Trims…hehe. Pertama-tama di SMS-nya untuk 1 orang seniornya yang badannya besar seperti tokoh-tokoh di Yakuza, Seram gitu deh, tapi yang pasti tokoh di Yakuza diibaratkan tegas dan juga bersahabat makanya mereka sangat menghargai persaudaraan. Hasil jawabannya, Gak…alasannya sih cuma masalah jasa-jasanya yang perlu diteliti kembali keasliannya, biasa deh anak politik dikit-dikit penelitian.
Tidak puas, Amanda pun langsung ingin buat survei, lagi-lagi karena SMS gratis. Kalau 12 orang sahabat seru nih, sempelnya acak aja, intinya sahabat, tapi dengan beragam pekerjaan. Kalau sih Yakuza kan seorang desainer dari pekerjaan kuli tinta. Berarti 11 lagi, oh ya, peneliti, penulis, Pegawai Negeri Sipil, mahasiswa yang masih kuliah, juga mahasiswa S2, sama pekerja dari instansi televisi deh.
Ternyata, keterwakilan perempuan juga harus ya, pikir Amanda pula. Dicarinya dari daftar teman dihandphonenya ternyata sedikit juga ya, ada sih tapi cukup tiga kali aja, teman SMA, teman kuliah satu semester dan satu jurusan, terus sama senior yang katanya dia sendiri kulitnya seperti udang rebus…ups..becanda ya kawan…hehe.
SMS kedua dari perwakilan perempuan, kawan satu semesternya, jawabannya masuk kategori ragu-ragu. Meski yang dibicarakannya juga sama dengan Yakuza tentang jasa.
Tidak lama kemudian, senior yang lagi kuliah S2 menjawab dengan tegas, layak…lagi-lagi alasannya tentang jasa. Handphone Amanda pun berdering berlanjut, sekarang temannya dari Pegawai Negeri Sipil dari dua orang hanya menjawab satu, dengan tegas pula tidak layak, tetapi tetap soal jasa.
Amanda makin penasaran, menunggu balasan yang lain, tidak muncul-muncul, ternyata ada balasan dari sobat, seorang penulis, cukup singkat jawabannya tapi beda dengan yang lain, dia hanya menjawab enggak lah, meski Amanda minta balasan alasannya, tetap tidak ditanggapi. Tak apalah, bathin Amanda, paling juga soal jasa.
Wow, kawan dari instansi televisi, balas SMS, pantas. Alasannya, tetap soal jasa. Tak lama kemudian, SMS bunyi lagi…anehnya teman yang satu diskusi di sebuah toko buku itu, malah tidak memberikan jawaban, karena ngelantur balasan SMS-nya, tidak sesuai topik.
Membuat Amanda nyengir membacanya, dan dia ingat bahwa temannya itu habis jemput cewenya anak universitas negeri ternama, katanya ya, sehingga lagi falling in love, jadi bacanya tidak jelas, mungkin juga kaca matanya yang harus diganti dengan plus…bathin Amanda untuk menghibur dirinya. Sesaat kemudian, Amanda teringat, kok sisanya setengah lagi tidak membalas SMS-nya ya.
Amanda, akhirnya sampai juga di rumahnya, perjalanannya ditempuh satu jam setelah bertarung dengan macet, dan serobot-serobot jalur busway, plus ngebut ngejar setoran.
Setelah mandi, Ia pun langsung nonton televisi dikost-annya, Amanda senang sekali nonton film action. Tapi Ia binggung, film action adanya hanya di dua stasiun televisi. Nonton televisi yang baru berulang tahun ke-8, action sih action, tetapi setiap ada sadis dipotong, padahal namanya tembak-tembakan atau perkelahian ya sedikit sadis. Mengganggu kenikmatan aja, padahal di sana serunya, gerutunya. Kalau stasiun televisi yang ada di Mampang, film action sih, tapi yang itu lagi, itu lagi. Tetapi nonton yang di Mampang lah, aksi balap-balapan nih, pikirnya.
Lagi enak-enak nonton, ada SMS lagi dari kawannya yang peneliti, tepat pukul 23:09 WIB, jawabannya tidak…lagi-lagi masalah jasa atau hasil kinerja maupun kebijakannya yang masih perlu diperdebatkan.
Dari jawaban itu, membuat Amanda tertarik merangkup hasil iseng-iseng belajar dari SMS gratis tersebut, hasilnya adalah 4 orang mengatakan tidak atau sebesar 33.33%, sementara 2 orang mengatakan ya, berarti sebesar 16.67%; sementara 1 orang ragu-ragu sebesar 8.33% dan sisanya 5 orang memilih tidak menjawab atau sebesar 41.67% lah.
Amanda semakin binggung, tetapi kebingungannya segera reda, ketika nonton film aksi mobil balap-balapan. Seorang sahabat dari jagoan, harus berkelahi dengan kawan dari musuh bebuyutan si jagoan. Sahabat itu kalah, tetapi jagoan datang melerai, sehingga membuat marah kawan dari si musuh bebuyutan tersebut. Ketika diketahui ternyata si musuh, i-pad nya rusak oleh kesalahannya sendiri tetapi menuduh sahabat dari si jagoan dan minta digantikan. Si jagoan pun melerai, menengahi, dan memberi uang.
Sahabat itu pun marah karena sikap si jagoan tersebut, dan berkata, jika barang orang-orang di sekolah ini juga rusak nantinya pasti minta ganti ke kita. Seorang wanita yang diperebutkan dan awal atau inti film aksi balap mobil berupa permusuhan antara si jagoan dengan musuhnya tersebut, berkata “Ternyata sulit jadi Pahlawan Kan?” Si jagoan hanya berkata, “Ajari Aku Ya, Kapan-kapan?”•

Minggu, 03 Oktober 2010

UCAPAN TERIMA KASIH DARI PENULIS KEPADA PEMBACA


UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA PEMBACA

Bismillahhirrahmanirrahim


ALHAMDULILLAH ATAS RAHMAT ALLAH SWT & TERIMA KASIH PEMBACA, karena buku karya ke-2 Efriza yang berjudul: "ILMU POLITIK; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan" Telah memasuki cetakan ke-2-2009 dan Atas Dukungan Pembaca Membeli Buku Tersebut, sehingga buku tersebut menjadi BUKU BEST SELLER.


Bahkan, Ucapan TERIMA KASIH kepada Pembaca, Penulis sampaikan juga atas karya ke-1 Efriza yang berjudul "MENGENAL TEORI-TEORI POLITIK; Dari Sistem Politik sampai Korupsi" karena buku tersebut bersama dengan buku ke-2 "ILMU POLITIK; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan" juga telah dipercaya sebagai risensi untuk kampus-kampus.


Sekali lagi Terima Kasih, dan Selamat Menikmati buku ke-4 Efriza yang berjudul "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti" harapan Penulis dapat diterima oleh Pembaca dan juga mengikuti karya-karya sebelumnya Semoga buku ini menjadi buku risensi untuk kampus-kampus, (Amin).


Akhir kata, jika masih diperkenankan oleh Allah SWT untuk Penulis menulis kembali, tunggu karya ke-5 Efriza di bulan Oktober "SPEKULATIF PEMILU 2009; Mengungkap Fakta Seputar Pemilu" (Amin)


Depok, 3 Oktober 2010

Penulis

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahhirrahmanirrahim

Konstruktivist Michael Foucault pernah berbicara tentang “genealogi” atau ’ilmu soal asal-usul,’ bahwa penulisan alternatif tentang masa lalu, tersirat di sana bukan saja pernyataan bahwa yang dituju bukanlah sekedar “pengetahuan” dan “kebenaran” tentang masa lalu itu, tapi apa alternatif pilihan atau sebuah tindakan terpenting yang akan ditawarkan terhadap masa kini. Masa lalu adalah ‘cermin aktif’ untuk hari ini dan esok hari.* Bicara soal nasib Bikameral Parlemen Indonesia, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) membutuhkan penguatan dan dukungan seluruh elemen anak bangsa untuk bisa menjalankan fungsi konstitusional dan menjawab tantangan zamannya. Jangan setengah hati memberi peran DPD yang telah dipilih langsung oleh pemilih untuk mewakili kebutuhan daerah membangun demokrasi susbstansial: kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan seluruh rakyat nusantara. Anggota DPD sudah saatnya memiliki hak legislasi (policy formulation) dan hak budget berkaitan dengan ‛penumbuhan pemerataan pembangunan’ dalam mekanisme checks and balances di parlemen kita, kini, dan masa depan.

Alhamdulillah, puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan buku ini yang berasal dari Penelitian mengenai Lembaga Perwakilan Indonesia akhirnya dapat terselesaikan.
Penelitian ini mengambil judul, “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini dan Nanti.” Dengan gagasan awal mengetahui dan memahami tentang sejarah beserta perkembangan dari sistem Lembaga Perwakilan Indonesia. Melalui tinjauan Konstitusi yang mengatur mekanisme kinerja lembaga perwakilan tersebut.
Dari implikasi untaian kalimat judul, tersimpan maksud dan tujuan bukan saja ingin menggambarkan sejarah dan kondisi sekarang, tetapi juga mengenai kondisi di masa depannya. Karena itu dalam penelitian ini, Penulis berusaha menembus “dinding” dari kata hingga tingkah laku para politisi. Dengan juga mengungkapkan bagaimana pandangan para politisi, elite partai, maupun pengamat politik dari luar parlemen. Sehingga demikian, dari hasil Penelitian didapatkan kesimpulan, strong bikameral sebuah keharusan bagi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Amandemen Kelima sebuah kepastian. Jika ingin mewujudkan sistem perwakilan dengan semangat checks and balances.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu suatu pelaksanaan dalam penelitian yang terjadi secara alamiah, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, dan menekankan pada deskripsi secara alami. Dalam penelitian ini menggunakan wawancara, melalui kegiatan komunikasi verbal yang bertujuan mendapatkan informasi sehingga memberikan gambaran secara menyeluruh. Hingga akhirnya, dihimpun, dirangkai, menjadi sebuah gambaran seutuhnya dengan teknik penulisan analisis data primer.
Walaupun Penelitian ini terdiri dari anggota fraksi-fraksi DPR namun bukan untuk menilai pendapat fraksi terhadap mekanisme kerja antar lembaga perwakilan. Tetapi, merupakan pandangan pendapat pribadi dari para anggota DPR tersebut.
Narasumber dalam penelitian adalah, Mantan Pelaku PAH I BP MPR, Mantan Pelaku Tim Ahli PAH I BP MPR Ketua Bidang Politik, Ketua MPR, Politisi DPR, Politisi DPD dan Sekretariat PPUU DPD, Politisi DPRD Provinsi Jawa Barat, Politisi DPRD Kabupaten/Kota Depok, dan Ketua KPU. Selanjutnya, Pengamat Politik LIPI/Tim Perumus Naskah Akademik Perubahan Kajian Bidang Politik LIPI-Depdagri, Pengamat Politik CSIS, CETRO, FORMAPPI, Indo Barometer, Indonesian Parliamentary Center (IPC), Staf Hakim MK, Ketua Umum dan Sekretaris Umum Partai Pelopor, Wakil Sekretaris Jenderal PAN, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Sekretaris Jenderal PKPB, Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum PNI Marhaenisme, Ketua Bidang Hubungan Antar Partai Politik dan Penyelesaian Konflik Internal (Dewan Pengurus Nasional Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK)), Sekretaris Jenderal PKNU, dan Pengurus DPP PPDI (Versi Mentik & Versi Endung). Serta Pengamat Politik dari akademisi yakni, UI, UNAS, dan UNPAD.
Dengan suatu keyakinan yang besar Penulis merasakan penelitian ini mungkin akan lebih bermanfaat bila hasilnya dipublikasikan. Agar bukan hanya penulis yang dapat merasakan manfaatnya tetapi juga para pembaca umumnya dan khususnya pemerhati lembaga parlemen Indonesia. Dan, Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih utuh mengenai hubungan yang terjalin dari lembaga perwakilan tersebut. Sehingga nantinya diharapkan mampu menjadi wacana menarik dalam melanjutkan Reformasi Demokrasi di Indonesia.
Hasil penelitian ini mustahil dapat terselesaikan tanpa bantuan dukungan dari seluruh pihak yang terkait. Maka untuk itu, Penulis perlu mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini.
Teristimewa, untuk Keluarga Besar Penulis yang tanpa kenal lelah memberikan semangat dan kasih sayangnya yang tak terhingga.
Tak kalah penting untuk Narasumber atas keikhlasannya meluangkan waktu dan memberikan jawaban yang diperlukan. Sehingga tanpa mereka tulisan ini tak bisa diluruskan dalam kalimat dan kata-kata, dalam arti sebuah kebenaran dari sejarah itu sendiri.
Kepada sahabat Penulis, Ira Puspitasari yang telah membantu menerjemahkan bahan-bahan. Helmi Fithriansyah yang telah merelakan waktu serta mencurahkan seluruh pikirannya dalam mendesain cover yang imajinatif dan sarat makna. Kemal Fasyah dan Oscar Gurmilang yang telah rela mengantarkan Penulis untuk mencari data dan mewawancara narasumber. Juga untuk Tony Andrianus Pito, Hayatun Nufus, Dedi Irawan, Bivitri Susanti, Siti Maryam Rodja, Ronald Rofiandri, Sebastian Salang, T.A. Legowo, M. Djadijono, Yuristinus Oloan, Ilham Kusumah, Ericson Sintong M. Hutabarat, Bayu, Kennorton Hutasoit, dan Adisurya Abdy atas persahabatan dan sebagai kawan diskusi yang selalu membuka cakrawala berpikir. Last but not least, ‘Si Mungil’ Sovie Carla Rizayra, teman baru yang selalu menceriakan hari.
Kepada para pengajar di Kampus IISIP, Ibu Sadariah Saragih, Bp. I Gde Wisura, dan Bp. Nazimin Saily, terima kasih atas bantuannya; dan Khusus ditujukan, kepada Ibu Lelita Yunia atas saran dan bantuannya untuk wawancara dengan narasumber.
Terimakasih juga untuk yang telah membantu memberikan data, mencarikan Narasumber dan Mengatur Jadwal Wawancara yaitu, Staf MPR/DPR/DPD, FORMAPPI, DPP PDIP (khususnya, Mas Agung), KPU, MK, DPRD Kabupaten/Kota Depok, DPP PAN, DPP Pelopor, LIPI, CSIS, PSHK, CETRO, dan IPC. Terimakasih juga ditujukan untuk yang telah banyak membantu yaitu, Staf Sekretariat Kelompok DPD di MPR antara lain, Susi Mulyani, Ferry, Nunie, Lutfi, Bp. Nana, dan Bu Ami. Untuk Staf Kepegawaian dan Keanggotaan DPD; Staf Kepegawaian dan Keanggotaan MPR; Staf Media Center MPR; Foto Copy DATA; dan H@dun.NET atas browsing internetnya. Untuk yang terlupa, maaf atas kekhilafan ini.
Terimakasih kepada Bp. Irman Gusman, Ketua DPD RI dan Bp. Wahidin Ismail, Ketua Kelompok DPD RI atas Kata Pengantarnya yang Singkat, Padat, dan Penuh Makna. Juga untuk Komentar Pembaca dari Pengamat Politik, yang isinya sarat makna dan membangun dalam kritikannya yakni: Bp. Eryanto Nugroho, Direktur Eksekutif PSHK; Bp. Prof. Dr. Dede Mariana, M.Si., Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran; Bp. DR. Andi Irmanputra Sidin, SH, MH., mantan Koordinator Staf Ahli Mahkamah Konstitusi RI; Ibu Valina Singka Subekti, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI dan mantan Anggota MPR RI Perumus Perubahan UUD 1945; Bp. Dedi Irawan, Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Nasional; Bp. Ronald Rofiandri, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK; Bp. Daryani El-Tersanaei, Kepala Laboratorium Ilmu Politik IISIP Jakarta; Bp. Sulastio, Direktur IPC; dan Bp. Sebastian Salang, Koordinator FORMAPPI.
Terimakasih juga untuk Pembaca, semoga kita semua dalam lindungan-Nya. Dalam penelitian ini Penulis menyadari hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kemajuan penelitian ini ke depannya.
“Struggle between heart and mind in the reality makes this book finished, and at last Out of Exile.”
Jakarta, April 2010
Penulis

* http://caping.wordpress.com/, “Obituary mengenang Sejarawan Ong Hok Kam.”

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


KATA SAMBUTAN
PROF DR. MOH. MAHFUD MD
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Buku yang sedang berada di tangan pembaca ini merupakan hasil penyajian fenomena tertentu dengan menggunakan dua perspektif sekaligus yakni perspektif das sein dan perspektif das sollen. Perspektif das sein berarti membicarakan kenyataan empiris secara apa adanya terhadap suatu fenomena yang terjadi. Dalam perspektif ini, catatan kronologis sejarah mengenai satu fenomena tersebut dirunut dan dikemukakan apa adanya. Sementara, perspektif das sollen berarti membicarakan fenomena tertentu dalam kerangka “yang seharusnya” atau keadaan baik yang diidealkan di masa mendatang. Dalam perspektif ini tentu saja kenyataan empirik yang terjadi belum dapat mencapai kondisi ideal tersebut.
Dalam buku ini, fenomena yang sedang diminati secara serius oleh kedua penulis buku ini yakni Saudara Efriza dan Syafuan Rozi adalah mengenai sistem perwakilan terutama soal eksistensi lembaga parlemen Indonesia, baik DPR maupun MPR. Kedua penulis buku ini berhasil merunut dan mengemukakan secara baik kenyataan sejarah parlemen Indonesia dulu dan kini. Lintasan sejarah parlemen Indonesia sejak periode Volksraad dan periode-periode di bawah lima konstitusi berbeda yakni UUD 1945 hasil sidang PPKI, Konstitusi RIS, UUD 1950, UUD 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan UUD 1945 Pasca Amandemen. Di samping merekam lintasan sejarah, pada bagian lain tampaknya penulis juga telah secara baik menyulam berbagai gagasan yang berkembang menjadi rekonstruksi atas pikiran-pikiran ideal mengenai bagaimana seharusnya lembaga dan sistem perwakilan di masa-masa mendatang.
Buku ini cukup komprehensif dalam hal menggali dan menampilkan informasi yang boleh dikatakan tingkat otentisitasnya cukup tinggi dan masuk kategori sahih. Tingkat otensitas dan kesahihan yang tinggi itu dikarenakan informasi yang didapatkan berasal dari narasumber yang sebagian besar adalah para pelaku sejarah itu sendiri, seperti para mantan anggota PAH I MPR, Ketua MPR, Politisi DPR, Anggota DPD, KPU dan lain sebagainya.
Harus diakui, buku ini berisi informasi yang sangat informatif bagi pembaca terutama pada bahasan mengenai lintasan sejarah yang berkaitan dengan dinamika parlemen Indonesia. Sangat boleh jadi, informasi dari buku ini jarang atau malah belum pernah ditampilkan dalam buku-buku yang lain sehingga ini menjadi nilai lebih buku setebal 601 halaman ini.
Hanya saja, entah disadari atau tidak oleh penulisnya, buku ini ternyata lebih banyak memberikan ruang bagi pemikiran untuk merekonstruksi DPD secara kelembagaan ketimbang lembaga perwakilan DPR atau MPR. Sepertinya penulis cukup dibuat prihatin dan gelisah dengan keterbatasan kewenangan yang dimiliki DPD, sehingga merasa perlu menjadikannya sebagai bahasan atau isu dominan dalam buku ini. Dari total enam bab buku ini, empat bab di antaranya digunakan untuk mengulas kedudukan dan peran DPD yang secara konstitusional memang sangat terbatas. Bahkan pada Bab 5, penulis secara terang-terangan melancarkan kritik terhadap sistem bikameral Indonesia. Penulis mengeksplorasi berbagai sistem bikameral yang berlaku di berbagai negara seperti AS, Inggris, Jerman, Belanda dan Swiss sebagai referensi untuk menunjukkan bahwa sistem bikameral Indonesia memang berbeda dan boleh jadi memang sistem yang tak lazim. Di Bab 6, penulis mengemukakan pemikiran untuk mencapai idealita tertentu dengan berupaya mencari format baru kapasitas dan peran DPD, termasuk juga mengenai langkah-langkah membangun strong bikameral.
Saya sangat mengapresiasi pemikiran-pemikiran semacam itu, apalagi yang datang dari kalangan cendekiawan muda seperti Efriza dan Syafuan Rozi. Pemikiran-pemikiran kritis muncul sebagai ekspresi atas ketidakpuasan akan keadaan atau kondisi yang sedang berlaku. Ketika pemikiran disampaikan secara elegan dengan argumentasi yang kuat, seperti halnya disampaikan dalam buku atau karya ilmiah, maka ia akan sangat membantu menuntun ke arah kebaikan.
Namun demikian, terkait dengan itu, saya hanya ingin sedikit mengingatkan bahwa soal sistem dan lembaga perwakilan lebih khusus lagi mengenai keterbatasan kewenangan DPD semuanya adalah ketentuan konstitusi. Betapapun ketentuan konstitusi yang berlaku sekarang ini tidak sesuai dengan pikiran-pikiran ideal, tidak sama dengan teori tertentu, tidak sejalan dengan yang berlaku di negara lain, tetapi sepanjang sudah disepakati dan ditetapkan dalam konstitusi maka itulah hukum yang berlaku. Menyebut konstitusi kita tak sempurna tentu sah-sah saja, akan tetapi menyebut konstitusi kita lemah hanya karena tak sejalan dengan yang dipraktekkan di negara lain tentu tidak dapat dibenarkan.
Sebagai wacana, boleh saja teori atau pendapat pakar dan sistem yang berlaku di negara lain dikemukakan, sekedar menjadi referensi bagi pembaruan. Tetapi kita tidak wajib mengikutinya karena kita punya tuntutan, situasi dan kebutuhan sendiri sebagaimana yang telah dituangkan dalam konstitusi. Yang perlu diingat, keadaan sistem dan lembaga perwakilan kita sekarang ini, termasuk lemahnya kedudukan dan peran DPD adalah karena konstitusi memang mengatakan demikian. Perbaikan terhadapnya mungkin saja diperlukan dan bukan sesuatu yang mustahil, dengan catatan perubahan itu dilakukan dengan cara dan mekanisme yang juga konstitusional.
Saya menyambut gembira atas terbitnya buku ini dengan dua alasan sekaligus. Pertama, buku ini lumayan sukses memotret secara komplit mengenai dinamika sejarah dan perkembangan parlemen Indonesia sejak Volksraad sampai sekarang. Sehingga dengan membaca buku ini, pembaca akan segera menjumpai tulisan-tulisan yang sangat informatif sifatnya. Kedua, penerbitan buku ini melengkapi segenap ikhtiar yang dilakukan anak-anak bangsa ini dalam rangka membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Saya meyakini dengan diterbitkannya buku PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini dan Nanti ini maka masyarakat yang haus akan pengetahuan dan informasi dari buku ini, akan segera terpenuhi meskipun mungkin belum akan terpuaskan.
Semoga bersama dengan segenap pembacanya, buku ini akan dapat berperan strategis dalam meretas upaya menuju terwujudnya sistem dan lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang lebih demokratis dan benar-benar aspiratif. Selamat membaca.



Jakarta, 27 Juli 2010
Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia



Prof. Dr. Moh. Mahfud MD

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


KATA PENGANTAR
IRMAN GUSMAN
KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, lembaga perwakilan di Indonesia telah mengalami berbagai pergulatan konsep. Berbagai penyempurnaan dan perubahan sesuai dengan konteks zaman, kondisi politik, dan tentunya didasarkan pada konstitusi negara UUD 1945 telah dilakukan. Penyesuaian dari periode ke periode tersebut memberikan pelajaran dan pengalaman bagi terwujudnya sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik dan lebih mapan lagi. Saat ini, lembaga perwakilan Indonesia telah menemukan konsep terbarunya yang disesuaikan dengan tuntutan zaman, dengan melahirkan sebuah lembaga baru yang bertugas mewakili dan menyuarakan aspirasi daerah, dengan nama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia.
Keberadaan lembaga perwakilan merupakan syarat penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Jika kita melihat kembali perjalanan lembaga perwakilan di Indonesia sejak Indonesia belum merdeka pun lembaga perwakilan sudah dibentuk oleh kolonial Belanda yang pada masa itu bernama Volksraad. Ketika negara Indonesia telah berdiri, Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan terbentuknya lembaga perwakilan yang dapat mengaktualisasikan karakteristik Indonesia. Namun, pada saat itu lembaga MPR belum sempat dibentuk dan keberadaannya digantikan dengan Badan Pekerja Komite Nasional. Pada masa Republik Indonesia Serikat 1949, atas keinginan Belanda dibentuk negara Federal dengan struktur organisasi parlemen Bikameral, dengan Senat sebagai perwakilan teritorial.
Memasuki masa UUD Sementara 1950, Indonesia kembali dengan struktur organisasi Parlemen unikameral. Selanjutnya melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 UUD 1945 diberlakukan kembali. Pada masa itu dibentuk MPRS walaupun kedudukannya masih merupakan kepanjangan tangan dari Presiden, tapi Pemerintah Indonesia mulai mengikuti struktur Parlemen yang diperintahkan UUD 1945.
Tekad melaksanakan amanat UUD 1945 pada masa orde baru dilakukan dengan cara mengembalikan memfungsikan MPR. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat secara penuh. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances) pada institusi ketatanegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi pada MPR merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat. Sejalan dengan desakan masyarakat untuk penyempurnaan aturan dasar mengenai tatanan negara dan jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat, maka pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 MPR telah melakukan 4 (empat) kali perubahan UUD 1945. salah satu perubahan penting adalah dibentuknya DPD RI yang anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Kehadiran lembaga legislatif DPD RI, sebagai buah reformasi dan hasil amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, dalam format sistem perwakilan politik menandai fase baru hubungan antara institusi kekuasaan dengan warga negara. Keberadaan DPD telah mengubah sistem perwakilan politik, menegaskan supremasi “kedaulatan rakyat,” serta mengubah pola hubungan antar lembaga negara, termasuk lembaga negara dalam lingkup legislatif.
Namun perubahan UUD 1945 telah menegaskan kesejajaran lembaga-lembaga negara yakni Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, KY, BPK, dan MA. Tiga lembaga negara baru yakni DPD, MK, dan KY merupakan lembaga negara yang lahir dari proses reformasi. Kelahiran lembaga-lembaga negara baru ini menandai era “supremasi konstitusi” bukan lagi “supremasi kekuasaan” seperti yang pernah dipraktekkan di masa Orde Baru. Kekuasaan tidak lagi bersifat mutlak di tangan satu-dua lembaga, melainkan kekuasaan itu di-share bersama pada tiga cabang kekuasaan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan posisi yang sejajar. Hal ini dimaksudkan untuk saling kontrol dan menyeimbangi sehingga terbangun institusi kekuasaan yang kuat.
Dalam konteks perwakilan politik, keberadaan DPD telah memberi warna baru atas perubahan sistem parlemen. Utusan Daerah yang dulunya diangkat untuk duduk di MPR ditransformasi menjadi lembaga perwakilan yang berbasis pada representasi daerah dan keanggotaannya dipilih secara langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilihan umum bersama dengan pemilihan anggota DPR.
Perlahan namun pasti Indonesia melakukan penyempurnaan dalam format lembaga perwakilan politiknya. Jika dilihat secara teoritis, perwakilan politik hadir karena adanya keterbatasan manusia dalam menyalurkan kepentingannya. Lahirnya pandangan-pandangan para pemikir negara seperti J.J. Rousseau, John Lock, Montesquie, Thomas Hobbes, hingga para pemikir demokrasi perwakilan seperti Edmund Burke (1779), John Stuart Mill (1861), Karl Loewistein (1922), Alfred de Grazia (1968) dan Pitkin tak dapat dipisahkan dari semangat membangun institusi negara yang akomodatif terhadap keragaman kepentingan masyarakat modern. Hal ini berkembang karena kelemahan sistem pemerintahan feodal yang hanya menguntungkan para tuan tanah (lords) sementara rakyat kebanyakan hanya menjadi objek.
Dalam konteks perwakilan politik di Indonesia, DPD RI lahir dari konsensus politik nasional untuk memperkuat fungsi perwakilan politik di tingkat nasional, disamping perwakilan politik DPR. Tujuan dari keberadaan DPD adalah menjembatani kepentingan daerah dengan kebijakan nasional sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan langsung dengan daerah.
Salah satu alasan atas penyempurnaan struktur lembaga perwakilan Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah, mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah-daerah secara serasi dan seimbang. Lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum memiliki fungsi yang berkaitan dengan representasi aspirasi masyarakat. Melalui buku ini masyarakat akan memiliki gambaran secara utuh dan jelas tentang pentingnya keberadaan sebuah lembaga legislatif dalam sebuah negara. Dalam konteks Indonesia, MPR, DPR dan DPD merupakan wadah terbaik untuk menyerap aspirasi dalam upaya pemecahan berbagai persoalan bangsa. Lembaga legislatif Indonesia dapat menjadi fasilitator dan mediator berbagai hambatan yang sedang dihadapi oleh masyarakat saat ini.


Jakarta, 21 Juli 2010
Ketua Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia,


Irman Gusman

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


KATA PENGANTAR
DRS. H. WAHIDIN ISMAIL
KETUA KELOMPOK DPD RI

Terbitnya buku “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti” di tengah hiruk pikuk persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini, telah memunculkan harapan baru, bahwa masih ada pihak yang secara serius memperhatikan sistem kelembagaan negara, khususnya sistem perwakilan yang pernah dan tengah ada serta format ideal sistem perwakilan Indonesia di masa yang akan datang.
Melihat ketebalan buku ini, sudah barang tentu penulis hendak menyatakan bahwa dalam buku ini menyajikan uraian secara komprehensif tentang parlemen Indonesia. Hal ini terlihat dari penyusunan buku ini yang menggambarkan keberadaan bentuk perwakilan dari zaman ke zamannya. Mulai dari zaman Hindia Belanda dengan terbentuknya volksraad, sampai terjadinya Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 dengan terbentuknya Komite Nasional Pusat (KNP), kemudian beralih menjadi Sistem Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan terbentuknya semacam SENAT, serta akhirnya kembali ke UUD 1945 dengan terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara definitif.
Tuntutan reformasi yang terjadi pada tahun 1998 telah menjadi momentum penting dalam sistem ketatanegaraan kita, desakan kuat terhadap perubahan UUD 1945, diantaranya karena dalam konstitusi yang ada dianggap tidak memenuhi aspirasi demokrasi, belum mewadahi pluralisme dan kurangnya check and balances.
Implikasi dari amandemen UUD 1945, khususnya pada perubahan ketiga adalah lahirnya DPD sebagai kamar kedua dalam sistem perwakilan di Indonesia. Kehadiran DPD, beriringan dengan kemauan politik untuk melakukan reformasi terhadap konstitusi (constitutional reform), juga reformasi terhadap sistem demokrasi dan politik di Indonesia. DPD hadir sebagai lembaga perwakilan kedaerahan yang mencerminkan keterwakilan daerah-daerah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah, yang diharapkan akan mendorong kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan daerah, serta mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Dalam pandangan kami, buku ini layak menjadi referensi bagi para pelaku dan akademisi dalam melakukan kajian-kajian terhadap konsep yang ada. Buku ini telah menggambarkan secara kelembagaan bagaimana praktek keparlemenan di Indonesia, terlebih setelah adanya DPD. Selain kelembagaan juga dikupas tentang sistem perwakilan yang dijalankan selama ini, termasuk permasalahan-permasalahan dan kekurangannya serta ajakan untuk berfikir terhadap format ideal keparlemenan tersebut dengan memberikan perbandingan yang cukup lengkap tentang sistem perwakilan di beberapa negara besar.
Dalam membahas keberadaan DPD, buku ini mencoba menggambarkan secara lengkap sejak terbentuknya DPD sebagai hasil dari perubahan ketiga UUD 1945 yang tercantum dalam Pasal 22D UUD 1945. Dalam pasal tersebut, secara eksplisit DPD memiliki fungsi-fungsi keparlemenan pada umumnya yakni fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang seharusnya terkait erat dengan sistem Check and Balances yang nyata dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan fungsinya selama hampir enam tahun berjalan, DPD belum mampu “membayar” espektasi masyarakat dan daerah yang menginginkan permasalahan yang ada di daerah dapat diangkat dan diperjuangkan pada level nasional. Ironis memang, lembaga yang notabenenya dibentuk dengan biaya negara yang besar, tetapi kenyataannya belum mampu menjawab artikulasi politik dan aspirasi masyarakat daerah.
Di sinilah kegelisahan penulis melihat potret DPD secara mendalam, hingga memberikan point penting bagi kita tentang pentingnya memperkuat kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan kita sebagai solusi bagi efektifnya keberadaan DPD sebagai kamar kedua. Dengan demikian, keberadaan DPD di tengah masyarakat Indonesia akan terasa lebih bermakna dalam memperkuat ikatan-ikatan daerah dalam wadah NKRI, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam merumuskan kebijakan secara nasional, sehingga proses ini dapat mendorong demokratisasi di Indonesia, dapat memajukan gerak pembangunan dan kemajuan daerah-daerah secara adil serta berkesinambungan.
Terakhir, kami ucapkan SELAMAT atas terbitnya buku ini, apresiasi yang mendalam juga kami sampaikan semoga buku ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak, khususnya dalam menata bangsa dan negara.



Jakarta, 21 Juli 2010





Drs. H. Wahidin Ismail
Ketua Kelompok DPD RI

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


KOMENTAR PEMBACA
“Saya mengenal karya Efriza melalui berbagai tulisannya terkait parlemen. Ketertarikannya yang kuat pada isu parlemen membuat tulisan Efriza selalu sarat dengan informasi dan analisis yang menarik. Dalam buku ini ia menulis berdua dengan dosennya, Syafuan Rozi. Duet guru-murid dalam buku ini menghasilkan ulasan yang menyeluruh tentang DPR, DPD, dan MPR-RI. Buku ini tidak hanya menyajikan teori yang lengkap, namun juga memuat paparan cerita di balik layar mengenai beberapa kebijakan terkait lembaga perwakilan kita. Upaya ini jelas merupakan suatu kontribusi nyata yang bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan tentang parlemen di Indonesia.”
— Eryanto Nugroho
Direktur Eksekutif PSHK - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
“Buku “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti” yang ditulis Sdr. Efriza dan Syafuan Rozi, yang memuat ikhwal seluk beluk dan dinamika pasang surut lembaga perwakilan rakyat yang pernah ada dan masih sedang berjalan di Indonesia, mulai dari sejak volksraad di masa pemerintahan kolonial Belanda hingga era MPR-DPR-DPD di masa pasca reformasi 1998 yang telah hampir berjalan satu dekade lebih, merupakan salah satu karya tulis yang baik dan layak untuk dibaca secara kritis bagi para peminat dan penstudi ilmu pemerintahan, ilmu politik, ilmu hukum, dan ilmu ekonomi politik, serta bidang ilmu lainnya yang secara langsung atau tak langsung berhubungan dengan keberadaan lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Terlepas dari aktivitas bongkar pasang sistem perwakilan tersebut dari zaman ke zaman, dari rezim ke rezim yang mengalami pasang surut, apa pun sistem perwakilan yang dianut: sistem satu kamar, sistem dua kamar, sistem dua setengah kamar, ataupun sistem tiga kamar, maka efektivitas lembaga perwakilan akan sangat bergantung kepada kualitas individu-individu para wakil rakyat yang mengisi lembaga perwakilan tersebut di dalam menyuarakan dan keberpihakannya kepada kepentingan-kepentingan rakyat (public interest). Jadi keberanian dan nurani untuk senantiasa tetap berpihak kepada rakyat yang diwakili merupakan esensi kualitas yang harus dimiliki para wakil rakyat dari setiap zamannya. Buku ini paling tidak, akan dapat dijadikan cermin bagi para wakil rakyat kita untuk mengukur apakah mereka lebih baik daripada para pendahulunya ataukah malahan lebih mundur dari para pendahulunya. Ataukah sudah pas dengan tuntutan zamannya.”
— Prof. Dr. Dede Mariana, M.Si
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran
“Tidak banyak buku yang bisa mengulas metamorfosa parlemen di Indonesia. Buku ini adalah satu yang bisa menggambarkan proses metamorfosa itu, tentunya buku ini akan sangat bermanfaat dalam tumbuh kembangnya sistem demokrasi konstitusionalisme kita, sebagai sebuah inspirasi sejarah dan kontemporer guna memperbaiki benang kusut perilaku ketatanegaraan kita.”
—Dr. Andi Irmanputra Sidin, SH, MH
mantan Koordinator Staf Ahli Mahkamah Konstitusi RI
“Hubungan legislatif-eksekutif Indonesia mengalami fluktuasi akibat politisasi yang tinggi di era reformasi. Buku ini penting dibaca kalangan akademisi, praktisi dan pemerhati politik karena berusaha menempatkan peran dan kedudukan legislatif seperti yang dimaksudkan oleh UUD 1945 hasil amandemen.”
—Valina Singka Subekti
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI dan
mantan Anggota MPR RI Perumus Perubahan UUD 1945
“Sejarah perpolitikan di negeri ini sangat diwarnai oleh dinamika kehidupan parlemennya. Sebab, perubahan politik apapun yang terjadi, sejatinya berasal dari parlemen. Betul di tahun 1998, mahasiswa menggelorakan tuntutan reformasi dan keterbukaan sistem politik, namun itu tidak akan berarti jika parlemennya tidak bersuara sama sekali. Karena itu, kehadiran buku ini amat membantu bagi siapapun untuk memahami kontribusi signifikan dari parlemen terhadap arus dinamika demokrasi di negeri ini. Apalagi, para penulisnya adalah sosok peneliti muda yang begitu dekat dengan kajian aktivitas parlemen, sehingga mampu mencerdaskan siapapun yang membaca buku ini.”
— Dedi Irawan
Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Nasional
“Ketika proses penelusuran terhadap wajah parlemen Indonesia dimulai, maka secara tidak langsung kita akan dihadapkan pada serangkaian fakta yang mengungkapkan karakter demokrasi yang (pernah) muncul dan teradopsi dalam kerja-kerja institusi politik, khususnya setelah kemerdekaan. Bahkan di saat konstitusi mengalami beberapa kali pergantian hingga amandemen, konstruksi parlemen Indonesia turut bergeser. Pilihan sistem politik bukanlah satu-satunya penjelasan terhadap fenomena tersebut. Konteks perjalanan parlemen Indonesia tidak pernah linear, melainkan beragam faktor turut mempengaruhi, mulai dari upaya melepaskan diri dari sisa belenggu penjajah, ekstensialisme ideologi, pengukuhan status quo, hingga proses transisi demokrasi.
Mendokumentasikan dinamika keparlemenan Indonesia dengan merangkum keseluruhan konteks menjadi sebuah identitas tersendiri dari buku PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti. Sebagai sebuah karya, buku ini memperhatikan aspek kronologi serta mengandung sejumlah data dan informasi yang memperkaya wawasan pembaca, meskipun akhirnya tidak ramah untuk “digenggam” karena ketebalannya.
Misi menyingkap sejarah parlemen Indonesia menjadi keunggulan minimalis dari buku ini. Sesuatu yang patut diapresiasi adalah kajian terkini yang mengulas relasi institusi keparlemenan pasca amandemen 1945 yang menjadi tonggak lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Beberapa bagian dari buku ini mencoba mengajak imajinasi pembaca untuk terus menerus terlibat dalam panggung penemuan (discovery) tentang format ideal mekanisme perwakilan di Indonesia.”
—Ronald Rofiandri
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK
“Komprehensif, informatif, dan kritis adalah 3 (tiga) kata kunci yang tepat untuk menggambarkan kekuatan buku yang ditulis oleh saudara Syafuan Rozi dan Efriza ini. Komprehensifitas buku ini tergambar dalam uraian tentang parlemen Indonesia mulai dari masa kolonial (volksraad) sampai sekarang, pasca amandemen UUD 1945. Informatif karena kaya wacana, informasi dan data historis seputar eksistensi lembaga parlemen Indonesia dan juga menyajikan sistem parlemen negara-negara lain sebagai pembanding, sehingga dapat menjadi latar yang inspiratif bagi kajian-kajian lain terkait dengan lembaga perwakilan negeri ini. Disebut kritis karena penulisnya tidak hanya memaparkan realitas eksistensi parlemen tetapi juga mengkritisinya seraya menawarkan alternatif perbaikan bagi sistem bikameral yang dianut Indonesia saat ini. Saya kira buku ini wajib dibaca oleh para akademisi dan mahasiswa, para politisi dan praktisi pemerintahan, serta setiap orang yang ingin memahami sejarah dan sistem parlemen Indonesia.”
— Daryani El-Tersanaei
Kepala Laboratorium Ilmu Politik IISIP Jakarta
“Buku ini sangat informatif dan memberi gambaran terkait keberadaan dan geliat dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, sehingga harapannya masyarakat secara luas mendapat gambaran tentang pentingnya peran DPD dalam konteks check and balances terutama dalam konteks perumusan kebijakan sehingga pandangan dan warnanya tidak semata didominasi oleh kepentingan DPR yang cenderung sarat kepentingan Partai Politik. Terlepas dari minimnya kewenangan dalam buku ini juga cukup diulas geliat DPD dalam berperan sehingga dapat menghasilkan sejumlah produk kebijakan dan pengawasan. Di tengah kewenangannya tersebut buku ini juga secara baik memberikan rekomendasi perbaikan dan peningkatan kapasitas DPD ke depan baik melalui pembaharuan kewenangan di “Konstitusi” maupun peningkatan citra sebagai lembaga tinggi negara di mata publik. Namun dalam sejarah lembaga perwakilan di Indonesia keberadaan perwakilan daerah belum secara banyak diulas baik secara kelembagaan maupun kiprahnya sehingga masyarakat dapat mengetahui bahwa keberadaan perwakilan daerah dalam berbagai bentuk telah mewarnai perjalanan lembaga perwakilan bahkan sejak pendirian Republik ini. Dukungan atau kritik terhadap DPD memang sudah selayaknya lahir dari daerah-daerah di Nusantara sebab dalam kepentingan tersebutlah DPD dilahirkan dan dalam kepentingan tersebut jua DPD seharusnya bekerja sehingga jawaban terhadap peningkatan atau peniadaan murni berasal dari kepentingan tersebut dan bukan karena perasaan “takut tersaingi,” buku ini telah secara baik menjelaskan hal tersebut.
Akhir kata selamat dan sukses kepada para penulis semoga tulisannya dapat menjadi sumbangsih yang berharga bagi perbaikan kiprah DPD ke depan.”
—Sulastio
Direktur Indonesian Parliamentary Center
“Buku ini merupakan buah kerja keras dan ketekunan kedua penulis. Tidak banyak orang yang memiliki kemampuan merajut serpihan sejarah, dokumen yang berserakan dimana-mana, apalagi Indonesia bukanlah negara yang memiliki tradisi dokumentasi yang baik. Penulis berhasil menyajikan informasi yang begitu kaya dokumen sejarah yang penting, karena itu menjadi referensi penting bagi siapapun yang menaruh perhatian pada studi keparlemen di Indonesia. Kerja keras, ketekunan, kajian yang berhasil dirangkai menjadi sebuah buku Parlemen Indonesia merupakan sumbangsih paling berharga bagi proses demokrasi dan upaya mendorong perlemen Indonesia yang fungsional, efektif dan demokratis. Semoga.”
—Sebastian Salang
Koordinator FORMAPPI

TELAH TERBIT


Efriza & Syafuan Rozi
PARLEMEN INDONESIA
GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD
Menembus Lorong Waktu
Doeloe, Kini, dan Nanti
Alfabeta, 2010
(Hal: xxiv-620)
Soft Cover: 125.000; dan Hard Cover: 160.000

Jumat, 30 Juli 2010

Jakartapress.com, Jumat, 30/07/2010 | 10:12 WIB Gagapnya Politisi Senayan Oleh: Efriza, Direktur Program dan Riset FD.I

Politisi DPR kian menampakkan kegagapan mereka dalam melaksanakan kerjanya sebagai legislator, realitas ini disaksikan penulis sendiri bersama-sama rekan-rekan penulis di ruang press room DPR RI melalui siaran langsung Sidang Paripurna yang disiarkan oleh TV Parlemen, kemarin (Kamis 29/7/2010).

Kinerja DPR dalam proses seleksi bagi pengisian jabatan-jabatan publik mengalami preseden buruk terhadap penetapan Gubernur BI. Meski Komisi Keuangan dan Perbankan DPR pada 23 Juli 2010 telah secara bulat menetapkan Darmin Nasution menjabat Gubernur BI, tetapi kemarin dalam Laporan Komisi XI mengenai hasil pembahasan calon Gubernur Bank Indonesia terjadi preseden buruk, meski akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Darmin Nasution sebagai Gubernur Bank Indonesia.

Perdebatan sengit di rapat paripurna dalam penetapan Darmin Nasution sebagai Gubernur Bank Indonesia. Menunjukkan kegagapan para politisi DPR, lihat saja preseden buruk yang dilakoni Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso dan politisi DPR lainnya dalam rapat paripurna tersebut. Seharusnya penetapan Darmin dilakukan secara voting terbuka, Wakil Ketua DPR RI yang memimpin sidang pun setelah proses skorsing langsung mengetuk palu untuk voting terbuka, namun F-PDIP melakukan aksi walk out karena menginginkan voting tertutup kemudian diikuti F-Hanura.

Atas aksi Walk Out tersebut, secara spontan Priyo Budi Santoso yang memimpin sidang langsung melakukan aksi aklamasi tanpa mencabut keputusan untuk voting terbuka tersebut. Aksi ini menunjukkan, Wakil Ketua DPR gagap dalam menunaikan tugasnya memimpin sidang.

Kegagapan Wakil Ketua DPR juga telah ditunjukkan sebelumnya dalam sidang tersebut. Ketika Ketua DPR mengetuk palu menyatakan voting terbuka, lalu dihujani interupsi, keputusan tersebut mencair kembali hingga berulang sampai 2 kali. Pada kepastian ketiga kalinya, Wakil Ketua DPR akhirnya mengetuk palu untuk voting terbuka, setelah aksi tersebut, Pimpinan Sidang secara spontan menyuruh anggota-anggota Fraksi Partai Demokrat berdiri untuk dihitung suaranya, anggota dewan pun berdiri, kejanggalan ini diprotes anggota Dewan karena mekanisme persidangan untuk voting pun belum dibacakan bahkan penghitungan anggota berdasarkan fraksi juga belum dilakukan oleh biro persidangan DPR.

Dalam menyampaikan interupsi dalam persidangan pun tampak anggota DPR banyak yang gagap dalam melaksanakan tugasnya, seperti adanya interupsi yang meminta voting untuk memutuskan apakah voting terbuka atau tertutup. Realitas ini menunjukkan, anggota Dewan sebagai peserta sidang tidak memahami Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

Kegagapan inilah yang mereka pertunjukkan di panggung Senayan sebagai wakil rakyat. Atas kegagapan politisi Senayan, penetapan Darmin Nasution sebagai Gubernur BI, meninggalkan preseden buruk perjalanan parlemen Indonesia.•

*) Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD-I)

DPR KEMBALI MENGABAIKAN LEGISLASI Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan”

Proses Legislasi lagi-lagi tak menjadi perioritas, faktanya hingga penutupan masa sidang ke-4 tahun 2009-2010 yang jatuh hari ini, DPR sama sekali tak menghasilkan satu pun RUU yang telah disahkan.
Meski sebelumnya pada Kamis 24 Juni 2010, Pimpinan DPR telah memutuskan Rabu dan Kamis menjadi hari legislasi. Keputusan ini bertujuan untuk mengejar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Dan, akan diberlakukan seusai reses anggota DPR yang akan berakhir 11 Juli 2010 atau pada masa siddang ke-4.
Dalam kurun waktu 2010-2014 Prolegnas menargetkan pengesahan 248 RUU. Dari jumlah itu, 70 RUU diprioritaskan selesai dibahas pada 2010. Namun dalam perkembangannya, prioritas pun diturunkan menjadi 40 RUU pada 2010.
Nyatanya, harapan itu penulis meyakini hanya sebuah mimpi belaka, bahkan prioritas prolegnas ini dikhawatirkan akan merosot dibandingkan periode lalu, misal, pada tahun 2005, DPR dan Pemerintah sepakat menetapkan sebanyak 72 RUU menjadi prioritas prolegnas namun berhasil diselesaikan sebanyak 14 RUU.
Sementara tahun 2010, dari 70 RUU yang ditargetkan rampung dibahas tahun ini, hingga kini baru sembilan RUU yang telah masuk dalam pembicaraan tingkat pertama yakni RUU Protokol, RUU Mata Uang, RUU Komponen Cadangan Negara, RUU Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, RUU Keimigrasian, RUU Tindak Pidana Pencucian Uang, RUU Transfer Dana, RUU Informasi Geospasial, dan RUU Akuntan Publik. Artinya, sembilan RUU tersebut telah dibahas bersama oleh DPR dan pemerintah. Sisanya, RUU masih dalam tahap penyusunan draf atau proses harmonisasi. Bahkan, terdapat RUU yang belum ada draftnya, seperti RUU perubahan atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Hingga penutupan masa sidang ke-3 DPR telah menyelesaikan lima RUU, satu ditolak yakni RUU tentang PERPPU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Empat RUU yang sudah disahkan menjadi UU adalah RUU Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan APBN 2008, RUU Pencabutan PERPPU No. 4 Tahun 2009 tentang perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK; RUU APBN-P 2010; dan RUU Ratifikasi Perjanjian Antara Repulik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura 2009.
Namun, DPR yang pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2009-2010 mempunyai target legislasi akan menyelesaikan pembahasan RUU sebanyak 70 RUU, sementara Masa Sidang IV Tahun Sidang 2009-2010 prioritas prolegnas tersebut diturunkan menjadi 40 RUU, faktanya Dewan Perwakilan Rakyat teracam gagal dalam melaksanakan fingsi legislasinya. Sampai dengan penutupan Masa Sidang ke-4, pada realisasinya DPR baru dapat menyelesaikan 5 (lima) RUU, itu pun bukan berasal dari Prolegnas 2010 (atau RUU yang berasal dari kumulatif). Artinya DPR belum menyelesaikan satu pun RUU yang ditargetkan dalam Prolegnas. Tentu saja, melihat kinerja legislasi DPR hingga akhir masa sidang ke-4 tersebut sangat memprihatinkan bagi kita semua.●

Jumat, 02 Juli 2010

Diskusi Publik Peran dan Keberpihakan Kaum Intelektual Dalam Pembangunan Tangerang Selatan

Pembicara:
H. Benyamin Davni, SE, M.Si
(Kepala Bappeda Kabupaten Tangerang Periode 2005-2010)
Alan Pamungkas (Menteri Luar Negeri BEM UIN Jakarta)
Amarno Y. Wiyono (Direktur Non Reguler Universitas Pamulang
Moderator: Patar Nababan (FD.I

Pembicara: Benyamin Davni
Ada beberapa deskripsi yang harus kita pahami. Pertama, geostrategis tangsel terletak diantara pusat pertumbuhan Jakarta Selatan. Momen yang sangat berharga, dan sangat saying dilewatkan. Selain Jaksel, Bogor, dia juga terletak diantara Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten, kondisi ini bermanfaat bagi Tangsel. Kedua, pertumbuhan ekonomi di wilayah selatan, lebih dari 7% kendati tidak selalu harus dibaca investasi pemerintah daerah tetapi juga swasta. Kasat mata dapat dilihat dari juga yang diusung swasta. Ketiga, laju pertumbuhan cukup tinggi. Terakhir belum diketahui angkanya. Tetapi berdasarkan migrasi masuk maupun keluar kurang lebih dari 3% sementara di Tangerang 3,5% artinya ini sangat menarik. Tergantung bagaimana kita mengelola.
Pemekaran Tangsel, diawali pemikiran Bp. Bupati 3,4 juta penduduk yang besar bukan persoalan yang mudah. Di sini ada sedikit ruang untuk masuk dalam mengelola management yang praktis. Jumlah daya dan masyarakat, solusinya adalah pemekaran wilayah. Awalnya dimulai dari transformasi desa menjadi kecamatan. Dengan dasar ini, bahwa keseimbangan managemen pemerintahan daerah dan jumlah masyarakat yang luas pemekaran wilayah merupakan jawabannya untuk pembentukan Tangsel.
Ke depan Tangsel seluruh reoursces harus menyiapkan diri untuk menatap hari depan yang lebih baik. Bagaimana membangun daya saing di Tangsel? Kondisi geostrategis, persoalan ketahanan ekonomi berbicara beberapa hal sector ekonomi yang dikelola oleh sector masyarakat. Dan juga tidak melupakan sector swasta. Krisis ekonomi yang sudah kita hadapi, ketahanan ekonomi berada di sector riil. Ketahanan ekonomi antara produksi dan konsumsi. Di sini ada mekanisme pasar yang tidak disentuh pemerintah daerah, hukum ekonomi berlangsung. Pertumbuhan ekonomi yang cepat, sudah bisa dilihat seperti pertumbuhan mahasiswa di Unpam. Ini berarti ada geliat ekonomi dan masyarakat.
Berikutnya, daya saing. Ditentukan pengembangan kapasitas sumber daya manusianya. Tugas dasar pemerintah daerah, apakah itu pemda tangsel, tangerang, dll. Tugasnya adalah pertama, mendorong dan membangun kesejahteraan masyarakat. Maka 1 juta lebih dari masyarakat merupakan titik akhir persoalan. Ada indicator ekonomi yang menunjukkan kesejahteraan tercapai. Kedua, pelayanan public. Tugas ini wajib dilaksanakan, seperti pelayanan KTP merupakan salah satu factor saja. Semuanya harus diusung oleh pegawai pemerintahan daerah. Bicara pelayanan dasar tidak lepas dari infrastruktur bukan hanya jalan, tetapi juga seperti pendidikan. Ketiga, bagaimana peran dasar pemerintah bisa ditengahkan. Usia yang masih muda ini, juga penuh harapan, bagaimana tangsel dikelola dengan tepat. Sekali peluang ini tidak ditangkap maka akan berbahaya. Bicara daya saing, berarti sumber daya manusia, dari segi qua moralnya, fisiknya, dll.
Flash back ke yang dulu, bahwa pilar dalam manusia adalah otak dan intelektual adalah dari Allah, selanjutnya fisik, dan keterampilan. Peningkatan sumber daya manusia maka potensi dari Tangsel harus menjadi factor penyeimbang ke depannya, masyarakat ilmiah tidak harus di tengah masyarakat, tetapi konkritnya misal, KKN diperpanjang menjadi 6 bulan. Tetapi tidak perlu jauh-jauh cukup tetangga kita saja. Misal, bagaimana ekonomi riil bagi tetangga kita. Dengan cara apa yang ada dari mereka kita kembangkan.
Kendati di tangsel hadir perumahan masyarakat yang mewah dan miskin. Karakter kompleks perumahan seperti apa, misal interaksi yang terlalu dini. Ini merupakan tantangan bagi kita semua.
Berikutnya, daya saing dengan ketahanan ekonomi dapat kita kelola dengan persyaratnya. Yang paling dominant peran pemerintah local dapat hadir di masyarakatnya. Misal, dapat dihadir di masyarakat seperti di Cileduk saya pernah menjadi camat di cipadu, pada waktu itu daerahnya belum tumbuh tetapi bisa tumbuh melalui peran dari masyarakatnya. Seperti di Bandung adanya outlet-outlet. Dulu kekuasaan pemerintah merupakan absolute, korps pegawai didoktrin bahwa birokrasi dipayungi dengan kekuasaan yang begitu besar. Sekarang masih tersisa kultur-kultur itu. Dalam era modern kekuasaan birokrasi tidak sebegitu besar pada zaman orde baru.
Posisi pemerintah hanya memberikan dorongan karena akan terjadi konflik horizontal jika masyarakat dipaksakan. Pekerjaan ke depan kita adalah, menjadi Tangsel yang mampu bersaing dengan masyarakat di daerah-daerah lainnya.
Saya ikut juga dalam proses pemekaran tangsel, satu hal yang penting pemerintah mempunyai otoritasnya, kalau tidak mampu kita berdayakan, maka kita bisa dilebur misalnya dengan daerah parung, jika ini terjadi sangat tidak kita inginkan.
Kembali ke topic tadi, bagaimana memberdayakan sumber daya manusia, dll kabupaten tangerang bagaimana memanagemen pelayanannnya. Kabupatan tangerang utara ini adalah letupan yang kita dengar, tetapi ini merupakan keinginan supaya dapat mengelola rumah tangganya sendiri. Karena otonomi daerah bukan merupakan hak dan kewajiban tetapi merupakan hak dan kewenangan seperti bagaimana hak dan kewenangan yang dimiliki masyarakat tadi. Tentunya ada kesulitan yang tidak bisa kita lewati dengan waktu yang begitu singkat. Dalam perspektif yang lebih luas, diperlukan managemen pemerintahan akan mengakar.
Skenario yang saya bawakan, bagaimana teman-teman kampus dapat hadir dalam lingkungan yang bermanfaat bagi kawan-kawan untuk masyarakat. Masyarakat di Tangsel perlu berinovasi, mampu invensi, dan mampu berdaya saing dengan tetangganya.
Moderator: Patar Nababan
Ini masukan bagi kaum intelektual, misal sumber produktif apa yang harus dikembangkan oleh Tangerang Selatan ke depan.
Pembicara: Amarno
Sebegitu gamblangnya Pak Benyamin memberikan pencerahan apa yang terjadi di Tangerang Selatan. Saya hanya menambahkan, seperti harapan masyarakat terhadap Tangerang Selatan.
Tujuan dari Pemekaran adalah kesejahteraan masyarakat. Pertanyaannya, apakah sebelum pemekaran belum sejahtera? Mungkin sudah. Pada zaman dulu daerah ditata secara sentralisasi. Oleh karena itu, menyadari bahwa sentralisasi bukan konteks yang tepat maka dirubah menjadi desentralisasi dalam hal ini konteksnya adalah otonomi daerah.
Otonomi daerah maksudnya daerah diberikan kesempatan mengurusi rumah tanggannya sendiri. Konteks otonomi daerah memang luar biasa. Bahkan gubernur tugasnya tidak besar. secara teknis kewenangannya ada di Bupati dan walikota.
Faktanya kita sebagai masyarakat awam. Tangsel yang baru seumur jagung, dalam masalah social, yang menjadi harapan dari masyarakat Pertama, percepatan pembangunan infrastruktur. Misal, jalan, coba kita lihat, kita mau lewat mana. Sulit mencari jalan yang bagus. Sekarang sudah kita mulai ada tanda-tandanya setelah dua bulan yang lalu. Ini harus dikejar untuk mengejar ketinggalan dari kota tangerang. Kota tangsel akan menyusul saudara tuanya. Selain itu juga, pelayanan public perlu segera dibangun.
Kedua, pengurusan segala macam dari masyarakat seperti KTP, dll harapannya harus cepat. Ada satu daerah di Jembrana dan Sragen luar biasa, jembrana PAD-nya sangat kecil tetapi dapat membangun gaji karyawan sampai ke-14 karena semua pejabatnya tidak ada yang pakai mobil plat merah. Ini disebabkan no corruption. Lalu menyusul, di Sragen, 10 menit saja, ongkosnya murah. Kapan Pak Benyamin kita bisa melakukan itu? Kalau pelayanan masyarakat bisa dilakukan seperti di sana sangat luar biasa. Pelayanan public perlu ditingkatkan, persoalannya adalah mindnya, pengelolaan daerah seharusnya seperti pengelolaan perusahaan. Pertanyaannya, kita datang untuk mempepanjang KTP ada tidak seperti pegawai Bank ketika kita datang mengatakan apa yang bisa saya Bantu. Kuncinya adalah reformasi birokrasi.
Ketiga, harapan dari kota baru akan terciptanya lapangan kerja. Ini diharapkan betul, oleh masyqarakat tangsel.
Keempat, tangsel akan mendapatkan APBN. Ada beberapa hal yang penting juga adalah pelayanan kesehatan, tangsel sekarang sudah mempunyai RSUD. Semoga itu bisa menjadi rumah sakit besar nantinya dalam melayani masyarakat lebih baik. Pelayanan pendidikan, belum baik. Ini perlu dikaji. Kami sebagai perguruan tinggi sudah banyak mengadakan kajian cuma belum dipublish. Seharusnya akademisi memang turun, kita juga ingin turun tetapi peluangnya belum. UIN, UNPAM kita ini menjadi think-tank ini harapan semoga kita dipercaya.
Kelima, semoga tidak terjadi salah urus. Antara tata kota dengan tata pemerintahan. Disebabkan birokratnya belum berjiwa reformis. Semoga ini tidak salah urus.
Terakhir, penghijauan. Tangsel bisa dibangun untuk penghijauan bisa dikerjakan birokrasi dengan beberapa pengembang di tangsel.
Solusinya, untuk melaksanakan otonomi pembangunan tangsel harus dikerjakan oleh tiga pilar. Untuk menjadi good governance diperlukan tiga pilar birokrasi, privat sector (pengusaha), dan masyarakat madani (masyarakat sipil). Sekarang tiga pilar dilaksanakan bersama, di sini ada keterlibatan masyarakat. Di Tangsel sudah dilibatkan dengan baik. Lalu, keterlibatan masyarakat intelektual. Kami sangat siap untuk memberikan kontribusi peningkatan bagi Tangerang Selatan.
Yang tidak kalah penting adalah Tangsel akan sangat baik dipimpin oleh seseorang yang berjiwa enterprenur, kreatif, inovatif, dan berani mengambil resiko. Keempat, kunci keberhasilan reformasi birokrasi. Ini harus. Birokrasi itu merupakan penyakit masyarakat berkembang, ini harus direformasi atau diwirausahakan. Artinya adalah seorang birokrasi harus mampu mengelola perusahaan seperti jiwa entrepreneur. Kalau birokrasi modelnya sudah kaya Bp. Benjamin maka akan maju.
Terakhir, adalah yang modern adalah dipimpin oleh pasangan yang berasal dari entrepreneur dan birokrasi. Ini sagat penting. Sebab kalau birokrasi semua maka akan sulit mindset dari entrepreneur begitu pula sebaliknya.
Moderator: Patar Nababan
Seperti customer service ini tidak begitu sulit. Kalau di Tangsel sepertinya yang mahir bahasa sunda yang perlu melakukannya.
Pembicara: Alan Pamungkas digantikan Ayib Tayana, BEM UIN Menteri Kemahasiswaan
Saya yakin orang yang berada disebelah kiri merupakan yang kompeten. Karena bagi saya, ketika berbicara perguruan tinggi, maka kita perlu mengarisbawahi tentang pengabdian. Kalau Pak Armano berbicara tentang Tangsel. Sementara Bp. Benyamin berbicara tentang hal yang telah dilakukan.
Diakui atau tidak kalau dulu kita masih sentralisasi sekarang desentralisasi. Kalau menyimak pendapat dari Bp. Benyamin bahwa kalau berbicara tentang Tangerang Selatan maka sangat menarik. Tetapi saya ingin bicarakan tentang peran mahasiswa. Hari ini yang kita lakukan adalah peran dari kaum intelektual. Saya kira tidak sampai hanya seminar saja. Kalau harapan Bp. Benyamin tentang KKN mahasiswa perlu enam bulan. Saya yakin semakin lama agak proses asimilasi seseorang dengan budaya lokal akan lama. Kalau satu orang mampu memegang 10 keluarga. Ini yang diperlukan. Artinya, tidak cukup peran kaum mahasiswa tidak cukup seminar atau menulis di surat kabar. Yang perlu dilakukan adalah kaum intelektual harus bisa memberikan penyadaran kepada masyarakat. Baik secara politik dan hukum. Ini perlu dilakukan walaupun banyak yang bilang masyarakat telah pintar tetapi banyak dibodohi.
Sekarang ini bukan merupakan penurunan terhadap kemiskinan tetapi peningkatan terhadap kesejahteraan ini menurut saya. Saat ini penyadaran politik, seperti pelatihan politik menjadi sangat penting ketika saat ini masyarakat terus-terusan di bodohi dengan permasalahan seperti itu. Persoalan mengorganisir massa juga menjadi persoalan. Ini sangat penting, ketika mau menyadarkan terhadap masyarakat. Ketiga, kita mencoba memberikan alternatif-alternatif pelatihan-pelatihan yang riil. Kalau kita bicara ada 14 dinas di Tangsel yang banyak sekali menyerap disiplin ilmu. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kaum intelektual memberikan peran alternatif yang riil. Kalau Bp. Benjamin bilang mekanisme pasar tidak dikendalikan, sebenarnya ini bisa dikendalikan, karena mekanisme awal ada di tangan pemerintah.
Tentang kepemimpinan Tangsel ke depan. Titik ukur pertama, bukan kepemimpinan. Saya baca Koran Tangsel bahwa ada tujuh nama sebagai walikota tangsel, mereka mengklaim pro-rakyat. Ketika si calon mau tidak mau program yang dicanangkan atau dia harus keliling untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat. Bagaimana seorang pemimpin menjadi pemimpin alternatif. Ketika pemilihan kepala desa, seorang calon berkata saya siap menjadi pembantu rakyat. Tetapi sekarang ini tidak ada yang berani mengatakan seperti itu.
Bicara pemimpin yang aspiratif adalah harus yang melayani masyarakat, lalu yang progresif atau melihat peluang-peluang ke depan. Ketiga, membutuhkan pemimpin yang inovatif. Kalau berbicara infrastruktur kita harus memperbaiki ini.
Kemudian, ketika pemimpin kita raih maka pemimpin juga harus mandiri. Kalau bicara otonomi daerah, mau tidak mau semua sumber daya di Tangsel harus dibiayai oleh daerah itu sendiri. Asset yang dimiliki daerah harus dikelola sendiri tanpa campur tangan dari pihak luar. Karena kita bicara otonomi daerah, kita sebagai kaum intelektual harus mampu berbicara itu.
Moderator: Patar Nababan
Ada satu hal yang sama dari ketiga pembicara. Dari pelayanan dan pemimpin yang terbaik untuk mengabdi kepada masyarakat.
Penanya: Tommy P., bekerja di Rektorat UIN
Ketika melakukan pembelajaran perlu disampaikan ke pemerintah. Pokok pemikiran saya, bahwa isi dari perencanaan di sini tidak kapabel. Sebenarnya kalau dari Bappenas dan didaerah adalah Bappeda. Persoalan terjadi, pemerintah tidak melayani dari designnya. Si walikota hanya sebagai pengatur saja dia tidak datang ke masyarakat, cukup sampaikan ke Bappeda. Persoalannya, SDM yang lemah. Seperti dicomot dari Banten, lalu ditaruh di Tangsel. Jadi tunggu pemerintah. Peran intelektual harus mendorong bukan hanya diam saja. Artinya, dimana peran dari intelektual ke mana? Kontrol sosial adalah tidak murni. Seharusnya murni, misal ikatan dosen yang ada di UNPAM bagaimana menjadikan reformasi birokrasi? Tetapi ini tidak ada yang peduli. Kontrol harus diperkuat ini penting. Tetapi kalau besok bulan November, begitu terpilih dia menjadi walikota, maka ini penting, untuk kita mengawasinya.
Rekrutmen CPNS Tangsel ini tidak jelas. Sebab orang-orang yang masuk berbeda jurusannya tetapi lebih karena persoalannya dekat dengan siapa. Kalau kita tidak berpikir tentang permasalahan Tangsel, bagaimana kita memposisikan diri sebagai kaum intelektual.
Penanya: Suharto, UIN
Kemarin sempat saya menghadiri tentang bimtek. Ternyata dari pembahasan, banyak sekali permasalahan tentang perizinan? Mereka sebenarnya ingin taat dalam bidang perizinan tapi ternyata dipersulit. Terutama masalah perizinan. Kalau pemerintah berperan aktif, sebenarnya banyak masyarakat kaum intelektual untuk berperan aktif dengan pemerintah tetapi bermasalah dengan perizinan. Pengusaha pun akan mudah masuk ke Tangsel kalau perizinannya mudah. Dengan banyaknya pengusaha maka di sini akan mengurangi pengangguran juga. Dampak juga akan terkait dengan penambahan APBD. Mungkin itu.
Saya setuju dengan Bp. Armano seperti terciptanya lapangan pekerjaan baru dan masalah perizinan. Mungkin itu saja dari saya. Saya berharap ini tidak hanya sebagai diskusi biasa tetapi lebih berdampak kepada pemikiran untuk perkembangan ekonomi masyarakat Tangsel.
Syaiful Hidayat, Praktisi Hukum Tangerang
Bp. Armano memaparkan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Dari mahasiswa keinginannya banyak sekali dari masyarakat. Menjelang pemilukada apakah kaum intelektual mau berperan atau tidak mendapatkan pemimpin yang ideal. Saya kira sederhana, kalau kaum intelektual mau berperan maka sudah harus sekarang melayani ke masyarakat atau service tentang apa yang seharusnya dilakukan.
Kalau kita mau mendapatkan pemimpin yang benar-benar kita bisa mencontoh gorontalo, seperti apa yang kita bisa ambil dari positifnya. Kaum intelektual harus turun ke masyarakat dan mempengaruhi masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik.
Moderator: Patar Nababan
Kesepakatan kita adalah kita lanjutkan.
Pembicara: Benyamin Davni
Kalau boleh usul kita break dulu untuk mendengarkan adzan.
Kalau berbicara kinerja mereka PNS terkait dengan pola rekrutmennya. Tantangan ke depan bagaimana mengelola isi, seperti satu pelayanan dilayani melalui satu pengelola. Tetapi dalam tahap berikutnya, pola rekrutmen harus mendapatkan tempatnya, kalau pada persoalan hukum, ekonomi, transportasi, maka opsi ini harus diisi oleh orang yang pas. Ini harus dirancang sedemikian rupa terhadap rekrutmen pegawai.
Efisiensi birokrasi harus dilakukan. Apakah itu tepat seluruh kewenangan daerah dilakukan misal apakah sudah tepat berjumlah 14 atau harus merger misal menjadi 8-10 dinas. Ini menyangkut efisiensi. Kembali kepada penanganannya. Kalau satu pelayanan bisa diberikan sector swasta perlu diberikan, kalau diberikan seluruhnya kepada dinas maka sangat mahal biayanya.
Mahasiswa atau kaum intelektual, ini disebut dengan kelas menengah dalam keilmuan maupun masyarakat. Press group di sini bukan dalam rangka meneriakkan yel-yel tetapi memberikan konse perbaikan untuk masalah. Misalnya, dengan dinas dan kaum intelektual. Seperti, kalau penanganan sampah hanya benar dari Pemda saja, ini tidak betul, tetapi harus juga mendengar dari masyarakat. Bahwa pemerintah memang harus mendengar, dan hadir secara manfaat bagi masyarakatnya. Ini harus ditengahkan.
Mungkin diskusi seperti ini dilakukan secara intens. Dan diperlukan perencanaan yang lebih luas terhadap solusi. Musrenbang perlu tepat secara relnya. Masyarakat perlu berbicara tentang daerahnya, dalam bahasa komunikasi yang lebih luas ada interaksi sosial antara masyarakat dan pemerintah daerahnya. Ini harus ada salurannya.
Bagaimana situasi ini bisa kita selesaikan. Dengan cara kebesaran hati, bahwa pemerintah mau mendengar aspirasi dari masyarakat.
Soal perizinan saya sependapat bahwa izin yang lancar dapat melajukan pembangunan. Artinya di sini, penyediaan lapaangan pekerjaan dengan meningkatkan daya beli kepada masyarakat adalah dengan meningkatkan lapangan pekerjaan. Alatnya adalah kebijakan publiknya dan kebijakan anggarannya. Kebijakan public misal mau membuka pabrik sepatu tolong diproses. Izin harus memenuhi standar seperti 1 bulan.
Kedua, dalam belanja langsung seperti sekolah dll. Ini anggaran biaya modal. Dalam klausul kontrak pimpinan dengan pemenang tander misalnya, 20% untuk masyarakat local. Jadi ada alatnya. Dalam rangka meningkat daya beli. Jadi perizinan dengan ekonomi memang berkaitan erat. Kalau di Sragen memang ada standar operasi dan prosedur, ini yang harus dimiliki oleh Tangsel.
Dalam administrasi, dalam lingkaran administrasi ada lingkup managemen, lingkup kecilnya kepempinan, lalu pengambilan keputusan. Ini adalah momen awal dalam pemilukada untuk menentukan kelanjutan otonomi daerah. Tapi bagaimana kita tidak diintervensi oleh pihak lain. Bagaimana sang manajer melakukan managemennya. Karena tangsel tahun ini akan melakukan pemilukada. Karena ini momentum untuk meningkatkan pembangunan tangsel.
Seorang calon harus berani untuk melakukan standar seperti KTP dibuat tidak lebih dari 2 bulan.
Pembicara: Amarno
Sebenarnya peran untuk keluar telah kita lakukan, seperti pengelolaan sampah telah kita lakukan. Tetapi pemerintah beralasan bahwa tidak ada dana. Kedua, pemahaman dalam pengelolaan keuangan, seperti kita punya program studi tentang akuntansi, seperti relatif memudahkan user. Kalau kita buatkan sistem cukup untuk mempermudahnya. Ini salah satu bentuk yang diharapkan. Bahwa intelektual turun ke lapangan.
Bahkan, setiap periodic di tempat kami, setiap bulan ada yang turun dalam rangka mengindentifikasi masalah-masalah di tangsel. Setelah diindetifikasi di bawa ke kampus untuk dicarikan solusinya. Tetapi karena masih baru terbentur soal dana.
Seharusnya ketika terjadi pemekaran butuh lapangan pekerjaan baru. Tetapi ini terbentur ke masalah rekrutmen. Ketika ada daerah baru maka akan menjadi gula bagi pengusaha. Selain itu, kita juga punya tempat untuk lapangan pekerjaan seperti bekerjasama dengan BSD, dll. Dalam hal ini kita pernah menjembatani untuk melakukan segitiga dalam bekerja itu pernah, lagi-lagi kekahwatiran kita terjadi seperti tidak dilanjuti. Ini persoalannya. Mudah-mudahan tidak lagi setelah di Pemilukada.
Ditawarkan untuk memilih pemimpin yang baik, itu bagus juga untuk kita lakukan.
Pembicara: Ayib Tayana
Soal rekrutmen lemah. Inilah yang menjadi permasalahan besar, dan harus segera diselesaikan di pemerintahan tangsel. Setiap pejabat dinas memang saya dapat berita bahwa pejabat dinas mendapatkan jatah satu. Jadi ada kursi-kursi tertentu yang sudah dimiliki oleh pejabat dinas.
Selain itu persoalan tunggu pemerintah. Menjadi persoalan terhadap permasalahan di tangsel.
Soal perizinan sulit memang menyebabkan pengangguran, saya sepakat.
Soal service, memang perlu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan.
Moderator: Patar Nababan
Memang diperlukan diskusi-diskusi yang selanjutnya.