Kamis, 01 April 2010

Detik News Selasa, 06/04/2010 17:51 WIB PDIP: Dilema dan Keinginan Perubahan Efriza - suaraPembaca


Jakarta - Kongres III PDIP dengan agenda utama memilih ketua umum akan diselenggarakan di Bali pada 6-9 April 2010. Tensi politik di internal PDIP mulai memanas bukan dalam memilih ketua umum tetapi wacana pembentukan Wakil Ketua Umum.

Posisi Ketua Umum dipastikan dipegang kembali Megawati Soekarnoputri. Sebab, dalam Kongres III ini, tidak mungkin terjadi perpecahan di PDIP seperti tempo lalu yang memunculkan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). Wacana Wakil Ketua Umum meski kemungkinan tidak akan gol di kongres karena di steering committee tidak disepakati. Namun, tetap menarik karena adanya "tawaran" dari Partai Demokrat untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan.

Sejak PKS, PPP, dan Partai Golkar sebagai Koalisi Pemerintahan memilih opsi C dalam keputusan Hak Angket Century menimbulkan wacana akan adanya perombakan koalisi. Dari ketiga Partai tersebut sasaran yang dianggap sudah tidak sejalan adalah PKS dan PPP. Kedua partai tersebut sedari awal melakukan kontrak politik dengan Partai Demokrat maupun Presiden SBY juga selaku Dewan Pembina Partai Demokrat.

Sementara Partai Golkar adalah penumpang terakhir yang memang dipastikan akan sulit untuk dipercaya. Oleh karena itu Partai Golkar sejak awal dianggap "tidak begitu penting". Kecuali hanya membesarkan prosentase suara pendukung pemerintah.

Lagi pula, Partai Golkar bukan ancaman. Meski sering bermanuver selama di pemerintahan. Tapi, jika kita flash back Partai Golkar yang telah memainkan politik dua kaki semasa Jusuf Kalla menjabat Wakil Presiden juga gagal menaikkan prosentase suara malah menurun.

Sebaliknya, bila PKS dan PPP tetap di pemerintah seperti "duri dalam daging" di pemerintahan. Kedua partai ini berbahaya jika dibiarkan memainkan politik dua kaki. PKS dan PPP temperamen pimpinan dan anggotanya tidak meledak-ledak bila disulut. Bahkan, soliditas kuat yang mana faksi-faksi partai tidak banyak.

Inilah kenyataan berbeda dengan Partai Golkar yang cepat tersulut oleh Ahmad Mubarak pada tempo lalu, dan pertarungan faksi-faksi yang menginginkan Partai Golkar sebagai partai tengah atau yang ingin solid di pemerintahan. Dari hitungan inilah pemerintah memerlukan tambahan pendukung.

Karena, kekuatan akan berimbang jika dibiarkan ketiga partai seperti Hanura, Gerindra, PDIP yang memilih berada di luar pemerintahan mendapatkan tambahan dari "disingkirkannya" PKS dan PPP yakni menjadi 35.46%. Sementara pendukung pemerintah menurun menjadi 46.25% (atau sebesar 13.20%).

Dari sinilah Partai Demokrat mencoba melirik PDIP. Agar meski "dibuangnya" PKS dan PPP malah prosentase suara koalisi bertambah dari 59.45% menjadi 60.28% (atau 10.83%). Tapi, kita telah memahami. Perseteruan SBY-Megawati dalam dua kali pilpres telah menimbulkan "bekas" mendalam di hati Megawati. Karena itu, Megawati selaku Ketua Umum PDIP telah menyatakan tegas menolak untuk berkoalisi.

Namun, cerita ini menjadi berbeda ketika Taufik Kiemas yang merasakan adanya pamrih dengan mana tanpa adanya dukungan Partai Demokrat "sulit" ia menjabat Ketua MPR. Maka dari itu ia getol mendorong PDIP mendukung pemerintah. Karena menguntungkan PDIP untuk mengisi pundi kasnya dalam melanjutkan sistem kepartaian.

Apalagi, isu korupsi yang membawa beberapa nama petinggi PDIP, membuat PDIP panas-dingin, dengan mana ada di balik "punggung" pemerintahan setidaknya ada harapan untuk tidak melorotkan suara PDIP di Pemilu 2014. Karena, beroposisi tetapi juga banyak yang kena korupsi lebih buruk dibandingkan menyukseskan program pemerintah tetapi juga kena korupsi, karena memang sudah korupsi.

Pilihan terakhir ini diharapkan bisa membuat suara PDIP setidaknya tetap, daripada tidak menghasilkan karya, tetapi ketika beroposisi yang sudah punya stigma negatif di mata masyarakat sebagai "haus panggung". Ditambah dengan korupsi maka akan menambah citra buruk partai dan penurunan suara pula di pemilu 2014.

Lamban laun, keinginan ini mendapatkan dukungan dari Puan Maharani anak kandung dari Taufik Kiemas-Megawati. Pertarungan ini, membuat Megawati merasa "sakit hati". Apalagi bersama isu tersebut juga muncul wacana adanya posisi baru yakni wakil ketua umum dalam kepengurusan PDIP.

Posisi ini, dapat diasumsikan untuk sedikit "nakal" dalam memperlihatkan adanya jurang pemisah antara pro-pemerintah dan oposisi. Melalui posisi ini dapat memperlihatkan adanya dua nakhoda dalam satu kapal.

Untuk membendung dua perseteruan tersebut dihadirkannya Prananda Prabowo (putra kedua Megawati dari suami pertamanya, Lettu Surindo Supriarso) untuk menduduki posisi Wakil Ketua Umum.

Supaya tidak terjadi dua nakhoda dalam satu kapal. Apalagi menjadi PDIP sebagai pendukung pemerintah. Inilah di balik wacana Wakil Ketua Umum.

Efriza
Jl Musi I No 28 RT 006 RW 013 Depok
efriza_riza@yahoo.com
08561378307

Penulis buku "Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan"



(msh/msh)

Mengukur Kandidat Ketua Umum Partai Demokrat

Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
Kongres Partai Demokrat yang baru akan digelar pada 21-23 Mei 2010 di Bandung sudah mulai dipanaskan dengan deklarasi calon ketua umum. Andi Mallaranggeng yang kini menjabat Menpora meresmikan pencalonannya melalui sebuah acara deklarasi megah di Wisma Proklamasi, Menteng, Jakarta pusat.
Deklarasi Andi tampak meriah, dihadiri oleh 4 menteri dari Partai Demokrat dan wakil ketua MPR. Tidak hanya itu saja, 26 Anggota DPR dari F-PD juga memberikan dukungan termasuk Edi Baskoro putra Presiden SBY. Juga dihadiri 20 DPD namun tanpa dihadiri pengurus-pengurus DPC.
Sementara itu, malamnya, Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, di Hotel Sultan, Jakarta, mengumpulkan 380 orang pengurus Demokrat seluruh Indonesia yang mewakili 331 DPC serta 13 DPD. Tokoh partai yang hadir pro ke Anas adalah mantan ketua umum pertama Demokrat, Budhi Santoso; Wakil Ketua Umum Demokrat. Ahmad Mubarok; Sekjen Demokrat, Amir Syamsuddin.
Hari berikutnya, giliran Marzuki Alie, Ketua DPR dan Mantan Sekjen Demokrat yang memetakan dukungan terakhir baginya, kubu Marzuki menggelar diskusi di Hotel Mercure, Ancol. Namun, Marzukie tidak mengklaim data tentang siapa-siapa saja yang hadir.
Dari kehadiran ini, semestinya kita bisa analisis awal bahwa Andi memiliki kekuatan di level pejabat pembangku presiden di tingkat menteri karena hanya 1 menteri yaitu Darwin Z. Saleh yang tidak hadir, juga memiliki jumlah terbesar 60% di level DPD dibandingkan Anas maupun Marzuki. Namun, Anas memiliki jumlah terbesar dari total DPC yang hadir sebesar 73.23% dibandingkan Andi dan Marzuki.
Sementara untuk pejabat teras partai di level DPP, maupun Anggota DPR masih terjadi perebutan kepentingan yang mana akan dipilih oleh mereka dari ketiga kandidat tersebut. Namun, semestinya perebutan terbesar adalah di level DPC sebanyak 456. Karena di DPC inilah kekuatan aspirasi masyarakat bawah, bisa diketahui lebih memilih kandidat mana, misalnya, dari berbagai pandangan pendapat tentang ketiga tokoh tersebut oleh para lembaga suvei maupun pengamat politik, tak dapat dipungkiri Anas lebih menonjol dibandingkan kedua kandidat lainnya, karena ia merupakan mesin politik partai. Sementara Andi dapat diasumsikan lebih sebagai “pembantu presiden” yang sangat loyal, dan orang baru dari kader Demokrat.
Di sisi lain Marzuki sebenarnya juga punya prestasi dan kekuatan, bagaimanapun juga ia mesin dari Partai Demokrat, jabatannya sebagai Mantan Sekjen telah membuat jaringan struktur partai berkembang pesat, dan ini mengasumsikan kedekatan personal dengan DPC lebih mengakar pada diri Marzuki.
Tapi kembali lagi, pertarungan yang sebenarnya akan terjadi setelah semua kandidat menyatakan kesiapannya untuk bertarung melalui deklarasi karena baru Andi yang sudah terang-benderang mendeklarasikan diri. Sebab, ketika itulah kekuatan dan kecenderungan pilihan dari peserta kongres yang meliputi 33 DPD, 456 DPC, Pengurus DPP, dan 5 onderbouw partai akan mengerucut dan memilih pada satu calon terlihat.®