Senin, 29 Maret 2010

MENYOAL KETIGA NAMA DALAM BURSA KETUA UMUM PARTAI DEMOKRAT

Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
Menjelang Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat telah menimbulkan suasana panas klaim dukung-mendukung makin terasa. Sudah tiga nama yang terang-benderang menyatakan keinginannya untuk maju sebagai Ketua Umum yakni, Andi Alifian Mallarangeng, Anas Urbaningrum, dan Marzukie Ali.
Dari analis ketiga nama tersebut, menimbulkan pertanyaan sudah layakkah mereka membesarkan Partai Demokrat untuk menjadi tetap terdepan pada Pemilu 2014? Tulisan ini ingin mencoba menguraikan analisis awal terhadap nama-nama tersebut dalam kancah Pemilihan Kongres.
Apakah Tiga Nama Ini Sudah Layak?
Ketiga nama tersebut memang sangat loyal dengan SBY sebagai Dewan Pembina Partai Demokrat dan sekaligus Presiden dari negara kita Indonesia. Misalnya, Andi Alifian Mallarangeng sangat terkenal loyalitasnya semenjak menjabat Juru Bicara Kepresidenan, bahkan loyalitasnya ditunjukkan melalui bergabungnya ke Partai Demokrat.
Andi memang sebelumnya berjuang di Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) bersama dengan Ryass Rasyid, namun setelah menjadi Juru Bicara Kepresidenan ia memilih bergabung dengan Partai Demokrat. Memang tidak salah jika loyalitasnya kepada Partai Demokrat dan SBY ingin ditunjukannya sekali lagi melalui jabatan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Tampaknya dari sisi kewajaran, Andi Mallarangeng belum layak menjadi Ketua Umum. Mengapa? Karena ia bukan sebagai orang yang sedari awal membesarkan Partai Demokrat, karena Andi Mallarangeng seperti telah dijelaskan di atas juga sering disebut “politisi kutu loncat.” Ia memang telah banyak memberikan sumbangsih pemikirannya bersama dengan Trio Mallarangeng-nya, dan dibuktikan pula dengan keberhasilan Partai Demokrat menempati suara terbanyak di Pemilu 2009.
Tapi, kiprah “kutu loncat” tidak bagus untuk kader-kader partai yang sudah dari awal berpeluh keringat memperjuangkan strategi pembesaran partai. Jika Andi sebagai “kutu loncat” terpilih sebagai Ketua Umum, kemungkinan besar akan terbangun persepsi bahwa untuk apa kita menjadi kader ikut pelatihan segala macamnya jika ke depannya ada orang baru yang langsung tiba-tiba memegang posisi puncak.
Andi pun memiliki catatan yang kurang baik pada Pilpres 2009, bagi masyarakat Makassar, Andi telah mencoreng kemampuan Putra Makassar dengan menyindir Jusuf Kalla sebagai Presiden yang diusung Partai Golkar belum layak sebagai Presiden. Apalagi, Andi juga bukan keturunan Jawa, yang kemungkinan besar jika kepemimpinan dipegang Andi maka dukungan terhadap Partai Demokrat di daerah Jawa akan menyusut meski ia didukung oleh Putra SBY Edi Baskoro yang terpilih sebagai Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa. Pendek kata, suara Partai Demokrat di Daerah Jawa dan Luar Pulau Jawa, akan mengalami penyusutan.
Lagi pula, kiprah Andi Mallarangeng sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, juga patut dipertanyakan, dalam solusinya untuk kasus Sepak Bola Indonesia, Bagaimana membenahi struktur organisasi persepakbolaan kita, mengenalkan sepak bola kita di kancah dunia, dsb.
Lalu, pertanyaan berikutnya bagaimana dengan Marzukie Ali? Sosok yang satu ini kurang pandai untuk menyenangkan hati masyarakat Indonesia, jika ini terjadi bagaimana membesarkan Partai Demokrat untuk tetap terdepan pada Pemilu 2014. Marzukie sebagai Pimpinan DPR telah memiliki beban sedari awal. Sebelum terpilih sebagai Pimpinan DPR yang mewakili Partai Demokrat, Marzukie telah dipertanyakan terhadap kasus korupsinya Semasa Menjabat Direktur Komersial PT Semen Baturaja, yang memang telah dihentikan melalui SP3.
Namun, masalah yang sangat krusial adalah Marzukie diadukan ke BK DPR oleh beberapa LSM yakni Lima Indonsia, FORMAPPI, ICW, Tepi Indonesia, KRHN, Pukat UGM, KIPP, SSS; dan SPD pada beberapa Minggu yang lalu (yakni11 Maret 2010), atas Kepemimpinannya sebagai Ketua DPR yang dianggap malah merusak citra DPR di mata masyarakat. Ada 8 Dosa yang diadukan ke BK terhadap Marzukie Ali, seperti Pertama, secara sepihak Ketua DPR membuat pernyataan publik, DPR menyetujui rencana kenaikan gaji para menteri padahal belum pernah dibahas di internal DPR. Kedua, secara sepihak membatalkan Raker Komisi IX dengan Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih. Ketiga, secara sepihak membatalkan Raker dengan Menteri Agama. Keempat, mengikuti pertemuan dengan sejumlah petinggi negara di Istana Bogor dengan Presiden SBY tanpa koordinasi apalagi persetujuan dari unsur pimpinan DPR dan atau angota DPR. Kelima, surat himbauan penonaktifan Boediono dan Sri Mulyani dari pansus century tidak dibahas dalam rapat pimpinan dengan alasan surat tersebut tidak diterimanya. Keenam, menutup sidang paripurna DPR tentang penetapan rekomendasi pansus Century DPR secara sepihak tanpa terlebih dahulu menghimpun kesepakatan apakah sidang dapat ditutup atau dilanjutkan. Akibatnya rapat paripurna berakhir ricuh. Ketujuh, Dalam rapat paripurna DPR tentang penetapan rekomendasi Pansus, pak Marzuki Alie terlihat tidak bertindak netral. Berkali-kali melalui mikrofon memuji soliditas demokrat dalam mendukung rekomendasi poin A. Padahal pimpinan sidang seharusnya memperlihatkan sikap adil dan independen dalam persidangan; dan Kedelapan, mengeluarkan pernyataan, hasil paripurna tentang penetapan rekomendasi poin C hasil pansus Century tidak mengikat. Dengan begitu pemerintah tidak perlu menerima rekomendasi yang dimaksud.
Dari kasus ini, sangat riskan bagi Partai Demokrat untuk dipimpin oleh Marzukie. Karena? Proses pengaduan ini semestinya harus terus didorong, bahkan dorongan terbesar seharusnya dari Marzukie Ali sebagai Ketua DPR, untuk membersihkan namanya dan membuat persepsi masyarakat bahwa tindakan Marzukie telah sesuai prosedur. Singkatnya, sebelum kasus ini selesai nama Marzukie telah memiliki cacat bawaan.
Bahkan, tanpa kasus ini pun semestinya Ketua DPR bukan Ketua Umum Partai, karena ke depannya andai Marzukie terpilih pertarungan bukan diranah eksekutif-legislatif, tapi antar Ketua DPR dan Anggotanya ini membahayakan citra DPR di mata publik, selain itu dampaknya dapat meluas menurunkan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2014 karena masyarakat merasa bahwa Presiden SBY telah otoriter untuk menjadikan DPR hanya stampel pemerintah.
Mungkin pilihan, yang cukup ringan adalah Anas Urbaningrum. Meski Anas juga secara tidak langsung telah mengecewakan Dewan Pembina yang tidak lain adalah Presiden SBY dalam tugasnya mengawal Hak Angket sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat. Di sini memang Anas Urbaningrum, tidak piawai dalam melobi Fraksi-fraksi dari koalisi yaitui Partai Golkar, PKS, dan PPP dalam mendukung hak angket untuk memilih Opsi A.
Memang ketiga nama tersebut memiliki peluang dan juga cacat bawaan untuk membesarkan Partai Demokrat atau malah mengempiskan Partai Demokrat seperti balon kehilangan udara, namun ini semua sangat tergantung dari pilihan peserta Kongres Partai Demokrat dan Pilihan Hati Dewan Pembina Partai Demokrat. Meskipun semestinya Dewan Pembina bersikap netral untuk tidak mendukung salah satu calon agar tidak antiklimaks pemilihan tersebut, dan jangan sampai akhirnya Dewan Pembina akan mengusulkan untuk keterpilihan secara Aklamasi seperti Pemilihan PAN.®