Rabu, 23 Juni 2010

Hasil Wawancara Toni Ginting, Pelaku Properti

Berpasangan dalam politik gampang-gampang susah. Gampang kalau punya modal. Susah kalau tidak punya modal hanya mengharapkan dari organisasi. Tetapi beda jika tidak punya modal tetapi gampang dijual itu figur, misal, Rano Karno sangat gampang dijual meski modalnya minim.
Jika Airin maju lagi, ia akan mengalami kekalahan kedua kalinya. Dulu juga begitu Airin dipasangkan dengan entrepreneur juga. Ini tidak jelas siapa yang menyuruh terjadinya duet ini. Tetapi apakah duet ini efektif? Jawabannya tergantung penggeraknya nanti.
Lalu, kalau ada orang dari pemerintahan ingin berpasangan dengan Airin. Yang menjadi pertanyaan, apa yang dimilikinya? Karena orang-orang di sekeliling Airin berpikir logistik, tetapi sesaat. Meski sebenarnya sebelum mereka mendaftar ke KPUD, mereka-mereka ini masih bakal calon yang belum pasti, jadi sekarang mereka hanya memerlukan konsolidasi di kantong-kantong suara saja dari masyarakat Tangsel. Namun menariknya, Airin ini sudah populis, dan ia hanya butuh 3 (tiga) kecamatan saja.
Sementara jika kita ingin menaikkan misal, Benjamin Davni maka pertanyaannya Packing-nya apa dari Benjamin? Ini yang perlu kita cari. Karena kalau untuk menang saja, Airin sudah pasti menang, sebab dari camat sampai lurah mendukung Airin. Bahkan, lurah-lurah banyak yang diatur posisinya demi pemenangan Airin contohnya Lurah Balaraja dipindah menjadi lurah Saruah.
Memang Airin dikaum pendidikan dipandang minus karena semua ditangani oleh bapaknya. Sementara itu bapaknya bisa menjadi terkenal di Banten karena jawaranya juga bukan karena faktor pendidikan. Begitu juga di Tangerang kotanya, Airin tidak diterima oleh masyarakat, karena itulah, dimekarkannya Tangerang Selatan untuk “mainan” Airin saja.
Namun untuk Tangsel meski Airin mendapatkan respon kurang didukung, tapi penduduk local dikasih uang Rp. 15.000,- sudah hutang budi mereka. Jadi, dukungan Airin memang sangat kuat misal, DPRD Tangsel sebagian dari Tangerang lebih disebabkan karena titipan untuk membantu Airin, dan level lurah dan camat juga mendukung Airin.
Sehingga demikian, Benjamin Davni jika ingin berpasangan dengan Airin maka ia harus menjadi ancaman bukan tantangan sehingga Airin akan memilihnya ketimbang entrepreneur tersebut. Misal, kalau majelis taklim ini bagi Airin adalah ancaman sebab bila tidak didekati akan memberikan efek domino yakni penolakan dukungan terhadap Airin makin menguat. Ini yang dimaksud sebagai ancaman karena memiliki efek domino tersebut. ●

Hasil Wawancara Amarno, Koordinator Kelas Non Reguler Universitas Pamulang (UNPAM)

Tangerang Selatan (Tangsel) merupakan daerah pemekaran, ekspasi dalam lapangan kerja APBD Tangsel setelah dimekarkan adalah 60%. Dengan adanya pemekaran akan ada pemetaan kota yang baik seperti BSD, Bintaro akan menjadi kota dalam kota.
Tapi dalam secara politik bersifat konfius. Misal, ketika membentuk KPUD banyak yang tidak setuju karena dari intervensi Banten sangat kuat. Secara politis pula masyarakat tidak menghendaki Airin menjadi Walikota Tangsel. Tapi Airin ini begitu populis di masyarakat dibanding calon yang lain seperti Wahidin.
Antara Wahidin dan Airin, bagi Universitas Pamulang (UNPAM) tidak membantu siapapun. Namun, yang menjadi catatan secara politis adalah Pertama, soal KPUD; dan Kedua, soal populis dan tidak populis.
Tokoh-tokoh asli tidak menghendaki Airin. Meski sering terjadi pertemuan-pertemuan di Tangsel tapi belum ada tanda-tanda kondusif dari Airin dalam perbaikan kesejahteraan masyarakat. Usaha ini sepertinya masih jauh.
Isu-isu yang penting untuk diangkat dalam Pemilukada adalah, pembangunan jalan tidak ada dari Universitas Islam Nasional (UIN) ke Bintaro. Bahkan, di Tangsel jalan-jalan rusak, sementara Kota Tangerang bersifat kebalikannya yaitu tidak ada jalan-jalan yang rusak.
Selain itu, pemerintah Tangsel mau diletakkan di mana belum ada lokasi yang cocok. Di BSD tidak ketemu lokasinya dan juga mahal, sementara di daerah sekitar UNPAM tidak ada lokasi yang cocok.
Permasalahan lainnya, adalah seperti tadi diuraikan adalah terkait dengan KPUD. Masyarakat menghendaki KPUD diganti atau diulang dari awal. Karena KPUD semuanya merupakan orang Partai Golkar dan Airin juga dari Golkar. Terhadap permasalahan ini, Gerindra protes meski sebagai pemilik 2 kursi di Tangsel.
Juga protes masyarakat terhadap KPUD dengan menyarankan jika KPUD Provinsi tidak terbentuk yang baru maka KPUD Kota yang akan menjalankan penyelenggaraan Pemilukada. Tapi bagi saya, baiknya dikocok ulang dan menempatkan di KPUD perwakilan dari Akademisi.
Upaya Airin untuk lolos dalam Pemilukada begitu besar bagi duitnya. Sementara dalam kecerdasan Airin sangat minim. Karena itu bila tidak didampingi oleh masyarakat Tangsel maka pertumbuhan pembangunan Kotamadya Tangsel akan terpuruk? Sebab Airin telah memilih untuk didampingi oleh pengusaha, kalau ia berduet oleh orang dari birokrasi maka boleh diperhitungkan lagi Airin. Sebab sekali lagi karena Airin adalah entrepreneur dan jika wakilnya enterpreneur ini sangat berbahaya bagi pertumbuhan pembangunan Tangsel.
Sementara Iskandar merupakan adik kandungnya Wahidin Halim, tapi permasalahannya ia tidak memiliki dana, meski Wahidin orang birokrasi di Tangsel. Jadi kalau Airin ingin maju harus berpasangan atau dipaksakan dengan birokrat misal dari Asisten Daerah atau Sekretaris Daerah.
Jadi sekali lagi, sebaiknya duet Airin adalah pengusaha-birokrat. Tapi permasalahannya Airin ini disetir oleh bapaknya. Sementara Airin tidak secerdas kakaknya dalam berpikir dan bertindak, meski Airin lulusan kuliah kampus hebat dibanding dengan Atut.
Di sisi lain, seperti telah dijelaskan dari Partai Gerindra belum menentukan pilihan. Meski Airin juga mendekati, tapi sekali lagi kalau tidak dengan Birokrat maka tidak usaha didukung duet Airin tersebut.●

PEMIMPIN PROFESIONAL MEMBANGUN TANGERANG SELATAN

Pemilukada yang akan berlangsung bulan Oktober di Tangerang Selatan mendapat respon begitu besar, dengan munculnya beberapa calon kandidat seperti: Airin, dan Iskandar.
Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) melihat untuk sebuah Kotamadya yang baru dimekarkan perlu dipimpin kandidat dari Birokrat. Mengapa? Karena seorang birokrat lebih memahami kebijakan pembangunan Tangerang Selatan ke depan yang memiliki berbagai persoalan seperti: Pembangunan Infrastruktur misalnya membangun jalan-jalan dan memperbaiki 98 ruas jalan yang rusak, pembangunan pusat pemerintahan daerah dan kantor dewan, pembangunan infrastruktur jalan untuk feeder busway Lebakbulus-Ciputat-Tangerang-Serpong, dan pembuatan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah karena Kota Tangerang selatan yang menghasilkan sampah hingga 500 kubik perhari.
Seorang Birokrat seperti H. Benjamin Davni, SE. M.Si sangat diharapkan mau maju sebagai kandidat dalam Pemilihan Umum Walikota Tangerang Selatan. Bagi Forum Demokrasi untuk Indonesia alasannya antara lain, karena pernah menjabat sebagai Bappeda Kabupaten Tangerang, sehingga dia memahami tujuan dan harapan dari Pemekaran Tangerang Selatan ini. Sampai sekarang pun Benjamin Davni masih bergelut dalam dunia Birokrasi.
Kemudian, Benjamin Davni sangat dekat dengan kalangan intelektual dan mahasiswa sehingga FD.I meyakini Benjamin dapat membangun Tangerang Selatan dengan bersinergi pada kaum intelektual tersebut•

Selasa, 22 Juni 2010

Rabu, 09/06/2010 09:07 WIB Pancasila Setelah 65 Tahun Indonesia Merdeka Efriza S IP - suaraPembaca


Jakarta - Memaknai Pancasila merupakan pekerjaan partai politik dan pemerintah dalam merealisasikannya melalui kebijakan publik. Bagi partai politik seharusnya menyibukkan diri dalam selera publik. Ironis ini merupakan sebuah pekerjaan partai politik tapi gagal melaksanakan perannya.

Partai politik tidak memikirkan azas dari Pancasila. Tapi, hanya memikirkan kekuasaan melalui bentuk keberhasilan memenangkan pemilu. Partai politik tampaknya tidak memiliki ideologi yang bisa diimplementasikan sesuai kebutuhan masyarakat melalui kinerja-kinerjanya.

Misal, para anggota Dewan dari Partai Politik tidak memiliki kepekaan terhadap masyarakat. Seperti di saat masyarakat kita sedang merasakan betapa sulitnya untuk membiayai sekolah anak tapi mereka malah sibuk untuk menambah pundi-pundi kantongnya dengan mengatasnamakan rakyat.

Seperti partai politik meminta dana untuk konstituen sebesar 15 miliar per anggota. Tanpa disertai kejelasan program apa yang akan diberikan oleh anggota dewan kepada konstituennya. Setelah misal mereka mendapatkan dana tersebut? Tidak adanya kejelasan program.

Ini artinya tidak adanya pendidikan politik. Dan, tanpa adanya pendidikan politik berarti anggota dewan telah absen sebagai wakil rakyat untuk menjalankan tugas dan wewenang kepada konstituen yaitu menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat (UU MD3, Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang, Pasal 71 butir (s)).

Posisi masyarakat hanya dianggap sebagai pemilik suara dalam pemilu saja. Dengan demikian pemilu hanya ritualistik berkala saja. Dari para pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Tanpa makna lain yang terkandung di harapan masyarakat memilih itu sendiri yakni "proses mewakili dengan mana wakil bertindak dalam rangka bereaksi kepada kepentingan terwakil berdasarkan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil pada saat kampanye".

Di sisi lain sorotan dari sisi pemerintahan. Bahwa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan kebijakan baru kebutuhan masyarakat dan pasar. Pandangan ekonomi baru yang mungkin bisa diimplementasikan dalam Pancasila. Tapi, ekonomi jalan tengah yang ditawarkan oleh SBY perlu mendapatkan jawaban untuk tujuan kesejahteraan rakyat?

Jangan-jangan konsep jalan tengah yang ditawarkannya ditemukan Partai Demokrat hanya karena adanya pandangan dalam melihat kurva yang terbanyak adalah di tengah. Karena, keberhasilannya meraih 20,85% suara pada pemilu 2009.

Belum lagi ditambah hambatan yang terjadi di Pemerintah. Bahwa kondisi partai politik mengarah pada kartelisasi politik pada aspek politik? Sehingga, partai politik menjadi benalu dalam pemerintahan. Misal, munculnya Seketariat Gabungan (Setgab) menjadi dilematis karena dianggap hanya menjadi alat bagi partai politik pendukung pemerintah untuk melakukan transaksional dalam mengawal setiap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Ke depan yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menawarkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Dan, kebijakan ini tidak perlu selalu memerlukan pengawalan oleh partai pendukung pemerintah jika akan dijadikan alat untuk proses transaksional mereka. Sebab, bagaimanapun Presiden harus berani untuk menghadapi serangan-serangan dari partai politik pendukung pemerintahan.

Keberanian presiden ini seharusnya dipahami bahwa ia telah dipilih oleh rakyat, dan secara langsung rakyat mempercayakan kebijakan-kebijakan yang diharapkan oleh presiden terpilih tersebut. Dari perspektif pemikiran di atas Pancasila setelah 65 tahun dimaknai bagaimana partai politik, parlemen, dan pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Inilah makna yang terkandung dalam Pancasila.

NB: Tulisan ini merupakan hasil intisari diskusi terbatas yang ditulis oleh penulis dan juga berdasarkan analisa penulis sendiri. Dengan tema: "Pancasila Setelah 65 Tahun Kemerdekaan: Apakah Keadilan dan Kesejahteraan Sudah Tercapai?" pada Sabtu, 5 Juni 2010, di Bakoel Koffie Cikini Jakarta Pusat yang diselenggarakan oleh FD.I (Forum Demokrasi untuk Indonesia) yang dihadiri oleh 12 orang yakni: Panangian Simanungkalit (Wakil Dewan Pakar Partai Demokrat), Direktur Eksekutif FD.I, hingga anggota-anggota. Aktivis NU Halim Pohan, Aktivis Prodem, Anggota-anggota Partai Demokrat Miftah Pohan, dan Media yakni Arjuna, Jurnas, Agus Koran Jakarta.

Efriza S IP
Jl Musi I No 28 RT 006/013 Depok II Timur
efriza_riza@yahoo.com
08561378307

Direktur Program dan Riset FD.I

PKS Bekerjasama Dengan Amerika Serikat: Politik Blunder atau Politik Cerdas

Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan menyelenggarakan Munas ke II pada 16-20 Juni 2010, menjelang Munas PKS ini ada hal yang menarik, yaitu PKS akan menjalin hubungan dengan Amerika Serikat.
Langkah ini ditunjukkan dengan penyelenggaraan Munas diselenggarakan di Hotel Ritz-Carlton Pacific Place, Jakarta. Ritz-Carlton selama ini dianggap simbol Amerika dan berkali-kali menjadi target teroris anti-Amerika. Bukan hanya itu saja, juga diundangnya Duta Besar Amerika Cameron R. Hume untuk menjadi salah satu pembicara, mengenai Sikap Politik Presiden Barack Obama terhadap dunia Islam. Selain itu, Panitia Munas juga akan menyelenggarakan lomba menulis surat untuk Obama.
Undangan juga bukan hanya ditujukan untuk kedutaan Amerika Serikat, tapi juga undangan serupa dikirim kepada Duta Besar Cina, Australia, dan Jerman atau sekitar 40 perwakilan negara Asing yang diharapkan hadir.
Dari strategi ini menampakkan makna bahwa PKS ingin konsisten menjadi Partai Terbuka, sebab pada pemilu 2009 PKS telah menyatakan terbuka. Terbuka di sini bukan hanya dilihat massa PKS tidak lagi menjadi full konstituen dari kategori Islam saja. Namun maksud dari terbuka di sini adalah, PKS bukan garis Islam tertutup atau radikal, maupun garis Islam yang dipegang teguh oleh keyakinan para teroris yang sangat memusuhi Amerika Serikat.
Langkah strategis bekerjasama dengan Amerika Serikat atau negara-negara lainnya, bukan hanya dilihat dari skup itu saja, melainkan PKS ingin mengambil kesempatan momentum Pemilu 2014, dengan memperluas konsentrasi perolehan suara dengan demikian langkah PKS menjadi pemenang ketiga dapat terwujud.
Strategi ini juga diharapkan nantinya pada Pemilu 2014 yang merupakan sebuah Pasar Bebas dalam penentuan calon presiden. PKS dapat mencalonkan kadernya sebagai calon presiden. Sebab jika PKS sebagai partai berbasis Islam masih identik dengan ketertutupan, maka negara-negara lain tidak akan memberikan sinyal mendukung calon presiden yang diusung dari kader PKS. Dengan tidak adanya sinyal dukungan dari negara-negara lain, maka masyarakat pun akan bersikap antipati terhadap calon tersebut.
Namun strategi ini memerlukan pembuktian, karena pengalaman Pemilu 2009 kenaikan perolehan PKS tidak begitu besar sebab tidak sampai 5%. Misalnya, Pemilu 2004 perolehan suara PKS 7,34% sementara Pemilu 2009 menjadi 10,18%. Dari sini terlihat, Masyarakat kurang mengapresiasi keputusan PKS menjadi Partai Terbuka.
Sehingga demikian, jangan-jangan keputusan PKS menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat secara terang-benderang malah menurunkan perolehan suara di Pemilu 2014, karena masyarakat Islam merasa resah atas ulah Amerika Serikat yang semena-mena terhadap negara-negara lain khususnya yang berbasis masyarakat Islam.●

Partai Golkar (Tidak) Keluar Dari Koalisi Pendukung Pemerintah

Oleh: Efriza, Penulis buku Politik “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
Setelah gagal dalam merealisasikan keinginan memasukkan anggaran Dana Aspirasi 15 miliar per-anggota atau 8,4 Triliun dalam APBN 2011. Partai Golkar menebar ancaman akan angkat kaki dari Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi. Namun, bukan hanya ancaman saja, tapi Partai Golkar sepertinya tak kehabisan akal untuk mengerogoti APBN, misalnya, Paartai Golkar menawarkan penggelontoran dana Rp. 1 miliar per desa/kelurahan.
Penggelontoran ini memang sangat membenani APBN, jumlah desa di Indonesia lebih dari 70 ribu sehingga anggaran yang digelontorkan bisa mencapai Rp. 70 Triliun lebih. Penggelontoran tersebut juga bukan hanya membebani APBN saja, tapi pengelontoran ini pada intinya memperlihatkan partai pendukung pemerintah seperti Partai Golkar, secara tersurat ingin menyatakan bahwa Pemerintah telah gagal dalam melakukan pembangunan di daerah-daerah. Dari makna tersebut, menunjukkan Partai Golkar, ingin memperlihatkan kembali aksinya sebagai partai tengah, yang mana memainkan peran sebagai oposisi tapi juga sebagai pendukung koalisi pemerintah.
Partai Golkar memang sejak 2004, meski berada di pemerintahan dan mendapatkan kekuasaan sebagai wakil presiden melalui Ketua Umum sekaligus Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, partai ini tetap memainkan sebagai partai tengah, perlu ditegaskan kembali, bahwa Partai Golkar tidak tegas mengatakan sebagai oposisi pemerintah seperti PDIP tapi selalu mengkritisi pemerintah bahkan bukannya mengawal kebijakan pemerintah. Misalnya, dari 13 kasus Usul Penggunaan Hak Angket DPR, sekitar 7 jenis (53,8%) usulan, yang mana Partai Golkar selalu sebagai inisiasi usulan seperti Hak Angket terhadap Kebijakan Pemerintah Menaikan Harga BBM tanggal 23 Mei 2008.
Menariknya lagi, Partai Golkar sepanjang periode 2004-2009 lebih dari 10 kali, selalu menebarkan ancaman dengan menyatakan ingin keluar dari Koalisi Pemerintah. Begitu pula, yang terjadi sekarang telah dua kali partai Golkar menebarkan ancaman tersebut, misal pada saat bergulirnya kasus century dan setelah gagalnya usulan tentang dana aspirasi.
Namun, lagi-lagi ini hanya taktik lama Partai Golkar untuk meminta perhatian pemerintah bahwa Partai Golkar akan selalu menjadi partai tengah, yakni berada di pemerintahan dan juga menjadi krikil dari pemerintah, sehingga demikian ancaman Partai Golkar untuk keluar dari Koalisi Pemerintah hanya bualan semata. Tapi sangat disayangkan, bualan ini direspon serius, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Setgab harus berkomunikasi dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, yang juga menjabat Ketua Harian Setgab, untuk membahas masalah tersebut.
Padahal jika memang benar Partai Golkar akan keluar dari Koalisi, maka Partai Golkar tidak akan memilih bergabung dengan pemerintah setelah pasangan yang diusungnya sebagai calon presiden dan wakil presiden Jusuf Kalla-Wiranto kalah, mereka pasti akan memilih bersama PDIP berkoalisi menjadi oposisi, kondisi ini juga persis sama ketika akhirnya kader-kader Partai Golkar melalui Kongres memilih Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum dan “mengesampingkan” kandidat lainnya seperti Akbar Tandjung atau Surya Paloh yang akan memilih menjadi oposisi.
Kondisi ini bisa dipahami bahwa Partai Golkar memang tidak pernah bisa di luar pemerintahan karena strategi yang dimilikinya hanya menjadi partai tengah.●

Detikcom/jakartapress.com-Kamis, 24/06/2010 18:55 WIB Mencermati Parliamentary Threshold Efriza - suaraPembaca


Jakarta - Usulan Parliamentary Threshold (PT) dari 2,5 persen menjadi 5 persen pada Pemilihan Umum 2014 perlu diperhatikan dengan cermat. Bukan hanya untuk logika pembenaran argumentasi bahwa multipartai menyebabkan pemerintahan tidak efektif. Sebab, kualitas dari pemilu terkait partisipasi di pemilu sangat dipertanyakan.

Misalnya berdasarkan hasil simulasi Cetro dengan memakai hasil pemilu 2009 mengakibatkan anjloknya jumlah suara pemilih yang terwakili di parlemen. Dari total suara sah yang diraih 38 partai politik nasional pada pemilu 2009 sekitar 104.099.785 suara, yang terwakili dalam ambang batas 2,5% adalah 81,67%. Sedangkan pada ambang batas 5%, suara yang terwakili hanya 68,48% sekitar 71.286,610 suara. Jika kualitas pemilu semakin dipertanyakan berarti legitimasi dari setiap anggota dewan terpilih juga dipertanyakan.

Jangan sampai usulan PT ini juga hanya untuk menyingkirkan tiga partai yang saat ini berada di urutan bawah. Seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 4,95 persen, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 4,48%, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 3,77 persen. Sehingga, dengan menaikkan ambang batas perolehan suara menjadi 5 persen hanya enam partai besar yang akan bertahan di DPR.

Urutannya dan prediksi dari simulasi itu adalah Partai Demokrat dengan asumsi dari 148 kursi (26,4%) menjadi 173 kursi (30,9%), Partai Golkar 106 kursi (18,9%) menjadi 123 kursi (21,9%), PDIP 94 kursi (16,6%) menjadi 110 kursi (19,6%), PKS 57 kursi (10,18%) menjadi 65 kursi (11,6%), PAN 46 kursi (8,2%) menjadi 48 kursi (8,6%), dan PPP 38 kursi (6,8%) menjadi 41 kursi (7,3%).

Semestinya PT tetap 2,5 persen tapi di legislatif daerah PT perlu diterapkan. Misalnya 2,5% meski akan terjadi anjloknya suara di daerah-daerah. Kondisi ini tidak bisa dihindari karena memang itu yang telah kita pilih dan disepakati sejak pemilu 2009. Tapi, kualitas partisipasi masih besar, dan legitimasi dari setiap anggota dewan terpilih juga masih cukup besar.

Namun, yang pasti adalah penerapan ini memberikan dua efek positif sekaligus. untuk menyederhanakan partai dan mempererat hubungan pusat-daerah. Sebab, jika Partai Gurem masih diberikan kesempatan mendapatkan kursi legislatif di daerah-daerah proses penyederhanaan partai tidak mungkin tercapai. Karena, partai-partai itu akan cenderung berpikir tetap eksis meski hanya di daerah.

Lagi-lagi efektivitas kinerja pemerintah dalam menyosialisasikan kebijakannya untuk diimplementasikan di daerah-daerah akan terbentur oleh berbedanya struktur partai koalisi di legislatif tingkat nasional dan legislatif di tingkat daerah. Ini artinya lagi-lagi penyederhanaan partai tetap gagal.

Efek lainnya adalah di pemilukada Partai Gurem tidak lagi diperhitungkan oleh para calon kepala daerah. Tidak seperti sekarang yang memberikan dampak ketidakjelasan antara elite partai pemegang kekuasaan di tingkat pusat dengan di tingkat daerah-daerah. Kondisi ini, menyebabkan pemerintah akan carut-marut mengelola hubungan pusat-daerah.

Efriza
Jl Musi I No 28 RT 006 RW 013 Depok
efriza_riza@yahoo.com
08561378307

Penulis buku politik "Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan".



(msh/msh)