Minggu, 03 Oktober 2010

UCAPAN TERIMA KASIH DARI PENULIS KEPADA PEMBACA


UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA PEMBACA

Bismillahhirrahmanirrahim


ALHAMDULILLAH ATAS RAHMAT ALLAH SWT & TERIMA KASIH PEMBACA, karena buku karya ke-2 Efriza yang berjudul: "ILMU POLITIK; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan" Telah memasuki cetakan ke-2-2009 dan Atas Dukungan Pembaca Membeli Buku Tersebut, sehingga buku tersebut menjadi BUKU BEST SELLER.


Bahkan, Ucapan TERIMA KASIH kepada Pembaca, Penulis sampaikan juga atas karya ke-1 Efriza yang berjudul "MENGENAL TEORI-TEORI POLITIK; Dari Sistem Politik sampai Korupsi" karena buku tersebut bersama dengan buku ke-2 "ILMU POLITIK; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan" juga telah dipercaya sebagai risensi untuk kampus-kampus.


Sekali lagi Terima Kasih, dan Selamat Menikmati buku ke-4 Efriza yang berjudul "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti" harapan Penulis dapat diterima oleh Pembaca dan juga mengikuti karya-karya sebelumnya Semoga buku ini menjadi buku risensi untuk kampus-kampus, (Amin).


Akhir kata, jika masih diperkenankan oleh Allah SWT untuk Penulis menulis kembali, tunggu karya ke-5 Efriza di bulan Oktober "SPEKULATIF PEMILU 2009; Mengungkap Fakta Seputar Pemilu" (Amin)


Depok, 3 Oktober 2010

Penulis

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahhirrahmanirrahim

Konstruktivist Michael Foucault pernah berbicara tentang “genealogi” atau ’ilmu soal asal-usul,’ bahwa penulisan alternatif tentang masa lalu, tersirat di sana bukan saja pernyataan bahwa yang dituju bukanlah sekedar “pengetahuan” dan “kebenaran” tentang masa lalu itu, tapi apa alternatif pilihan atau sebuah tindakan terpenting yang akan ditawarkan terhadap masa kini. Masa lalu adalah ‘cermin aktif’ untuk hari ini dan esok hari.* Bicara soal nasib Bikameral Parlemen Indonesia, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) membutuhkan penguatan dan dukungan seluruh elemen anak bangsa untuk bisa menjalankan fungsi konstitusional dan menjawab tantangan zamannya. Jangan setengah hati memberi peran DPD yang telah dipilih langsung oleh pemilih untuk mewakili kebutuhan daerah membangun demokrasi susbstansial: kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan seluruh rakyat nusantara. Anggota DPD sudah saatnya memiliki hak legislasi (policy formulation) dan hak budget berkaitan dengan ‛penumbuhan pemerataan pembangunan’ dalam mekanisme checks and balances di parlemen kita, kini, dan masa depan.

Alhamdulillah, puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan buku ini yang berasal dari Penelitian mengenai Lembaga Perwakilan Indonesia akhirnya dapat terselesaikan.
Penelitian ini mengambil judul, “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini dan Nanti.” Dengan gagasan awal mengetahui dan memahami tentang sejarah beserta perkembangan dari sistem Lembaga Perwakilan Indonesia. Melalui tinjauan Konstitusi yang mengatur mekanisme kinerja lembaga perwakilan tersebut.
Dari implikasi untaian kalimat judul, tersimpan maksud dan tujuan bukan saja ingin menggambarkan sejarah dan kondisi sekarang, tetapi juga mengenai kondisi di masa depannya. Karena itu dalam penelitian ini, Penulis berusaha menembus “dinding” dari kata hingga tingkah laku para politisi. Dengan juga mengungkapkan bagaimana pandangan para politisi, elite partai, maupun pengamat politik dari luar parlemen. Sehingga demikian, dari hasil Penelitian didapatkan kesimpulan, strong bikameral sebuah keharusan bagi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Amandemen Kelima sebuah kepastian. Jika ingin mewujudkan sistem perwakilan dengan semangat checks and balances.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu suatu pelaksanaan dalam penelitian yang terjadi secara alamiah, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, dan menekankan pada deskripsi secara alami. Dalam penelitian ini menggunakan wawancara, melalui kegiatan komunikasi verbal yang bertujuan mendapatkan informasi sehingga memberikan gambaran secara menyeluruh. Hingga akhirnya, dihimpun, dirangkai, menjadi sebuah gambaran seutuhnya dengan teknik penulisan analisis data primer.
Walaupun Penelitian ini terdiri dari anggota fraksi-fraksi DPR namun bukan untuk menilai pendapat fraksi terhadap mekanisme kerja antar lembaga perwakilan. Tetapi, merupakan pandangan pendapat pribadi dari para anggota DPR tersebut.
Narasumber dalam penelitian adalah, Mantan Pelaku PAH I BP MPR, Mantan Pelaku Tim Ahli PAH I BP MPR Ketua Bidang Politik, Ketua MPR, Politisi DPR, Politisi DPD dan Sekretariat PPUU DPD, Politisi DPRD Provinsi Jawa Barat, Politisi DPRD Kabupaten/Kota Depok, dan Ketua KPU. Selanjutnya, Pengamat Politik LIPI/Tim Perumus Naskah Akademik Perubahan Kajian Bidang Politik LIPI-Depdagri, Pengamat Politik CSIS, CETRO, FORMAPPI, Indo Barometer, Indonesian Parliamentary Center (IPC), Staf Hakim MK, Ketua Umum dan Sekretaris Umum Partai Pelopor, Wakil Sekretaris Jenderal PAN, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Sekretaris Jenderal PKPB, Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum PNI Marhaenisme, Ketua Bidang Hubungan Antar Partai Politik dan Penyelesaian Konflik Internal (Dewan Pengurus Nasional Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK)), Sekretaris Jenderal PKNU, dan Pengurus DPP PPDI (Versi Mentik & Versi Endung). Serta Pengamat Politik dari akademisi yakni, UI, UNAS, dan UNPAD.
Dengan suatu keyakinan yang besar Penulis merasakan penelitian ini mungkin akan lebih bermanfaat bila hasilnya dipublikasikan. Agar bukan hanya penulis yang dapat merasakan manfaatnya tetapi juga para pembaca umumnya dan khususnya pemerhati lembaga parlemen Indonesia. Dan, Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih utuh mengenai hubungan yang terjalin dari lembaga perwakilan tersebut. Sehingga nantinya diharapkan mampu menjadi wacana menarik dalam melanjutkan Reformasi Demokrasi di Indonesia.
Hasil penelitian ini mustahil dapat terselesaikan tanpa bantuan dukungan dari seluruh pihak yang terkait. Maka untuk itu, Penulis perlu mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini.
Teristimewa, untuk Keluarga Besar Penulis yang tanpa kenal lelah memberikan semangat dan kasih sayangnya yang tak terhingga.
Tak kalah penting untuk Narasumber atas keikhlasannya meluangkan waktu dan memberikan jawaban yang diperlukan. Sehingga tanpa mereka tulisan ini tak bisa diluruskan dalam kalimat dan kata-kata, dalam arti sebuah kebenaran dari sejarah itu sendiri.
Kepada sahabat Penulis, Ira Puspitasari yang telah membantu menerjemahkan bahan-bahan. Helmi Fithriansyah yang telah merelakan waktu serta mencurahkan seluruh pikirannya dalam mendesain cover yang imajinatif dan sarat makna. Kemal Fasyah dan Oscar Gurmilang yang telah rela mengantarkan Penulis untuk mencari data dan mewawancara narasumber. Juga untuk Tony Andrianus Pito, Hayatun Nufus, Dedi Irawan, Bivitri Susanti, Siti Maryam Rodja, Ronald Rofiandri, Sebastian Salang, T.A. Legowo, M. Djadijono, Yuristinus Oloan, Ilham Kusumah, Ericson Sintong M. Hutabarat, Bayu, Kennorton Hutasoit, dan Adisurya Abdy atas persahabatan dan sebagai kawan diskusi yang selalu membuka cakrawala berpikir. Last but not least, ‘Si Mungil’ Sovie Carla Rizayra, teman baru yang selalu menceriakan hari.
Kepada para pengajar di Kampus IISIP, Ibu Sadariah Saragih, Bp. I Gde Wisura, dan Bp. Nazimin Saily, terima kasih atas bantuannya; dan Khusus ditujukan, kepada Ibu Lelita Yunia atas saran dan bantuannya untuk wawancara dengan narasumber.
Terimakasih juga untuk yang telah membantu memberikan data, mencarikan Narasumber dan Mengatur Jadwal Wawancara yaitu, Staf MPR/DPR/DPD, FORMAPPI, DPP PDIP (khususnya, Mas Agung), KPU, MK, DPRD Kabupaten/Kota Depok, DPP PAN, DPP Pelopor, LIPI, CSIS, PSHK, CETRO, dan IPC. Terimakasih juga ditujukan untuk yang telah banyak membantu yaitu, Staf Sekretariat Kelompok DPD di MPR antara lain, Susi Mulyani, Ferry, Nunie, Lutfi, Bp. Nana, dan Bu Ami. Untuk Staf Kepegawaian dan Keanggotaan DPD; Staf Kepegawaian dan Keanggotaan MPR; Staf Media Center MPR; Foto Copy DATA; dan H@dun.NET atas browsing internetnya. Untuk yang terlupa, maaf atas kekhilafan ini.
Terimakasih kepada Bp. Irman Gusman, Ketua DPD RI dan Bp. Wahidin Ismail, Ketua Kelompok DPD RI atas Kata Pengantarnya yang Singkat, Padat, dan Penuh Makna. Juga untuk Komentar Pembaca dari Pengamat Politik, yang isinya sarat makna dan membangun dalam kritikannya yakni: Bp. Eryanto Nugroho, Direktur Eksekutif PSHK; Bp. Prof. Dr. Dede Mariana, M.Si., Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran; Bp. DR. Andi Irmanputra Sidin, SH, MH., mantan Koordinator Staf Ahli Mahkamah Konstitusi RI; Ibu Valina Singka Subekti, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI dan mantan Anggota MPR RI Perumus Perubahan UUD 1945; Bp. Dedi Irawan, Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Nasional; Bp. Ronald Rofiandri, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK; Bp. Daryani El-Tersanaei, Kepala Laboratorium Ilmu Politik IISIP Jakarta; Bp. Sulastio, Direktur IPC; dan Bp. Sebastian Salang, Koordinator FORMAPPI.
Terimakasih juga untuk Pembaca, semoga kita semua dalam lindungan-Nya. Dalam penelitian ini Penulis menyadari hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kemajuan penelitian ini ke depannya.
“Struggle between heart and mind in the reality makes this book finished, and at last Out of Exile.”
Jakarta, April 2010
Penulis

* http://caping.wordpress.com/, “Obituary mengenang Sejarawan Ong Hok Kam.”

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


KATA SAMBUTAN
PROF DR. MOH. MAHFUD MD
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Buku yang sedang berada di tangan pembaca ini merupakan hasil penyajian fenomena tertentu dengan menggunakan dua perspektif sekaligus yakni perspektif das sein dan perspektif das sollen. Perspektif das sein berarti membicarakan kenyataan empiris secara apa adanya terhadap suatu fenomena yang terjadi. Dalam perspektif ini, catatan kronologis sejarah mengenai satu fenomena tersebut dirunut dan dikemukakan apa adanya. Sementara, perspektif das sollen berarti membicarakan fenomena tertentu dalam kerangka “yang seharusnya” atau keadaan baik yang diidealkan di masa mendatang. Dalam perspektif ini tentu saja kenyataan empirik yang terjadi belum dapat mencapai kondisi ideal tersebut.
Dalam buku ini, fenomena yang sedang diminati secara serius oleh kedua penulis buku ini yakni Saudara Efriza dan Syafuan Rozi adalah mengenai sistem perwakilan terutama soal eksistensi lembaga parlemen Indonesia, baik DPR maupun MPR. Kedua penulis buku ini berhasil merunut dan mengemukakan secara baik kenyataan sejarah parlemen Indonesia dulu dan kini. Lintasan sejarah parlemen Indonesia sejak periode Volksraad dan periode-periode di bawah lima konstitusi berbeda yakni UUD 1945 hasil sidang PPKI, Konstitusi RIS, UUD 1950, UUD 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan UUD 1945 Pasca Amandemen. Di samping merekam lintasan sejarah, pada bagian lain tampaknya penulis juga telah secara baik menyulam berbagai gagasan yang berkembang menjadi rekonstruksi atas pikiran-pikiran ideal mengenai bagaimana seharusnya lembaga dan sistem perwakilan di masa-masa mendatang.
Buku ini cukup komprehensif dalam hal menggali dan menampilkan informasi yang boleh dikatakan tingkat otentisitasnya cukup tinggi dan masuk kategori sahih. Tingkat otensitas dan kesahihan yang tinggi itu dikarenakan informasi yang didapatkan berasal dari narasumber yang sebagian besar adalah para pelaku sejarah itu sendiri, seperti para mantan anggota PAH I MPR, Ketua MPR, Politisi DPR, Anggota DPD, KPU dan lain sebagainya.
Harus diakui, buku ini berisi informasi yang sangat informatif bagi pembaca terutama pada bahasan mengenai lintasan sejarah yang berkaitan dengan dinamika parlemen Indonesia. Sangat boleh jadi, informasi dari buku ini jarang atau malah belum pernah ditampilkan dalam buku-buku yang lain sehingga ini menjadi nilai lebih buku setebal 601 halaman ini.
Hanya saja, entah disadari atau tidak oleh penulisnya, buku ini ternyata lebih banyak memberikan ruang bagi pemikiran untuk merekonstruksi DPD secara kelembagaan ketimbang lembaga perwakilan DPR atau MPR. Sepertinya penulis cukup dibuat prihatin dan gelisah dengan keterbatasan kewenangan yang dimiliki DPD, sehingga merasa perlu menjadikannya sebagai bahasan atau isu dominan dalam buku ini. Dari total enam bab buku ini, empat bab di antaranya digunakan untuk mengulas kedudukan dan peran DPD yang secara konstitusional memang sangat terbatas. Bahkan pada Bab 5, penulis secara terang-terangan melancarkan kritik terhadap sistem bikameral Indonesia. Penulis mengeksplorasi berbagai sistem bikameral yang berlaku di berbagai negara seperti AS, Inggris, Jerman, Belanda dan Swiss sebagai referensi untuk menunjukkan bahwa sistem bikameral Indonesia memang berbeda dan boleh jadi memang sistem yang tak lazim. Di Bab 6, penulis mengemukakan pemikiran untuk mencapai idealita tertentu dengan berupaya mencari format baru kapasitas dan peran DPD, termasuk juga mengenai langkah-langkah membangun strong bikameral.
Saya sangat mengapresiasi pemikiran-pemikiran semacam itu, apalagi yang datang dari kalangan cendekiawan muda seperti Efriza dan Syafuan Rozi. Pemikiran-pemikiran kritis muncul sebagai ekspresi atas ketidakpuasan akan keadaan atau kondisi yang sedang berlaku. Ketika pemikiran disampaikan secara elegan dengan argumentasi yang kuat, seperti halnya disampaikan dalam buku atau karya ilmiah, maka ia akan sangat membantu menuntun ke arah kebaikan.
Namun demikian, terkait dengan itu, saya hanya ingin sedikit mengingatkan bahwa soal sistem dan lembaga perwakilan lebih khusus lagi mengenai keterbatasan kewenangan DPD semuanya adalah ketentuan konstitusi. Betapapun ketentuan konstitusi yang berlaku sekarang ini tidak sesuai dengan pikiran-pikiran ideal, tidak sama dengan teori tertentu, tidak sejalan dengan yang berlaku di negara lain, tetapi sepanjang sudah disepakati dan ditetapkan dalam konstitusi maka itulah hukum yang berlaku. Menyebut konstitusi kita tak sempurna tentu sah-sah saja, akan tetapi menyebut konstitusi kita lemah hanya karena tak sejalan dengan yang dipraktekkan di negara lain tentu tidak dapat dibenarkan.
Sebagai wacana, boleh saja teori atau pendapat pakar dan sistem yang berlaku di negara lain dikemukakan, sekedar menjadi referensi bagi pembaruan. Tetapi kita tidak wajib mengikutinya karena kita punya tuntutan, situasi dan kebutuhan sendiri sebagaimana yang telah dituangkan dalam konstitusi. Yang perlu diingat, keadaan sistem dan lembaga perwakilan kita sekarang ini, termasuk lemahnya kedudukan dan peran DPD adalah karena konstitusi memang mengatakan demikian. Perbaikan terhadapnya mungkin saja diperlukan dan bukan sesuatu yang mustahil, dengan catatan perubahan itu dilakukan dengan cara dan mekanisme yang juga konstitusional.
Saya menyambut gembira atas terbitnya buku ini dengan dua alasan sekaligus. Pertama, buku ini lumayan sukses memotret secara komplit mengenai dinamika sejarah dan perkembangan parlemen Indonesia sejak Volksraad sampai sekarang. Sehingga dengan membaca buku ini, pembaca akan segera menjumpai tulisan-tulisan yang sangat informatif sifatnya. Kedua, penerbitan buku ini melengkapi segenap ikhtiar yang dilakukan anak-anak bangsa ini dalam rangka membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Saya meyakini dengan diterbitkannya buku PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini dan Nanti ini maka masyarakat yang haus akan pengetahuan dan informasi dari buku ini, akan segera terpenuhi meskipun mungkin belum akan terpuaskan.
Semoga bersama dengan segenap pembacanya, buku ini akan dapat berperan strategis dalam meretas upaya menuju terwujudnya sistem dan lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang lebih demokratis dan benar-benar aspiratif. Selamat membaca.



Jakarta, 27 Juli 2010
Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia



Prof. Dr. Moh. Mahfud MD

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


KATA PENGANTAR
IRMAN GUSMAN
KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, lembaga perwakilan di Indonesia telah mengalami berbagai pergulatan konsep. Berbagai penyempurnaan dan perubahan sesuai dengan konteks zaman, kondisi politik, dan tentunya didasarkan pada konstitusi negara UUD 1945 telah dilakukan. Penyesuaian dari periode ke periode tersebut memberikan pelajaran dan pengalaman bagi terwujudnya sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik dan lebih mapan lagi. Saat ini, lembaga perwakilan Indonesia telah menemukan konsep terbarunya yang disesuaikan dengan tuntutan zaman, dengan melahirkan sebuah lembaga baru yang bertugas mewakili dan menyuarakan aspirasi daerah, dengan nama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia.
Keberadaan lembaga perwakilan merupakan syarat penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Jika kita melihat kembali perjalanan lembaga perwakilan di Indonesia sejak Indonesia belum merdeka pun lembaga perwakilan sudah dibentuk oleh kolonial Belanda yang pada masa itu bernama Volksraad. Ketika negara Indonesia telah berdiri, Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan terbentuknya lembaga perwakilan yang dapat mengaktualisasikan karakteristik Indonesia. Namun, pada saat itu lembaga MPR belum sempat dibentuk dan keberadaannya digantikan dengan Badan Pekerja Komite Nasional. Pada masa Republik Indonesia Serikat 1949, atas keinginan Belanda dibentuk negara Federal dengan struktur organisasi parlemen Bikameral, dengan Senat sebagai perwakilan teritorial.
Memasuki masa UUD Sementara 1950, Indonesia kembali dengan struktur organisasi Parlemen unikameral. Selanjutnya melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 UUD 1945 diberlakukan kembali. Pada masa itu dibentuk MPRS walaupun kedudukannya masih merupakan kepanjangan tangan dari Presiden, tapi Pemerintah Indonesia mulai mengikuti struktur Parlemen yang diperintahkan UUD 1945.
Tekad melaksanakan amanat UUD 1945 pada masa orde baru dilakukan dengan cara mengembalikan memfungsikan MPR. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat secara penuh. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances) pada institusi ketatanegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi pada MPR merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat. Sejalan dengan desakan masyarakat untuk penyempurnaan aturan dasar mengenai tatanan negara dan jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat, maka pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 MPR telah melakukan 4 (empat) kali perubahan UUD 1945. salah satu perubahan penting adalah dibentuknya DPD RI yang anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Kehadiran lembaga legislatif DPD RI, sebagai buah reformasi dan hasil amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, dalam format sistem perwakilan politik menandai fase baru hubungan antara institusi kekuasaan dengan warga negara. Keberadaan DPD telah mengubah sistem perwakilan politik, menegaskan supremasi “kedaulatan rakyat,” serta mengubah pola hubungan antar lembaga negara, termasuk lembaga negara dalam lingkup legislatif.
Namun perubahan UUD 1945 telah menegaskan kesejajaran lembaga-lembaga negara yakni Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, KY, BPK, dan MA. Tiga lembaga negara baru yakni DPD, MK, dan KY merupakan lembaga negara yang lahir dari proses reformasi. Kelahiran lembaga-lembaga negara baru ini menandai era “supremasi konstitusi” bukan lagi “supremasi kekuasaan” seperti yang pernah dipraktekkan di masa Orde Baru. Kekuasaan tidak lagi bersifat mutlak di tangan satu-dua lembaga, melainkan kekuasaan itu di-share bersama pada tiga cabang kekuasaan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan posisi yang sejajar. Hal ini dimaksudkan untuk saling kontrol dan menyeimbangi sehingga terbangun institusi kekuasaan yang kuat.
Dalam konteks perwakilan politik, keberadaan DPD telah memberi warna baru atas perubahan sistem parlemen. Utusan Daerah yang dulunya diangkat untuk duduk di MPR ditransformasi menjadi lembaga perwakilan yang berbasis pada representasi daerah dan keanggotaannya dipilih secara langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilihan umum bersama dengan pemilihan anggota DPR.
Perlahan namun pasti Indonesia melakukan penyempurnaan dalam format lembaga perwakilan politiknya. Jika dilihat secara teoritis, perwakilan politik hadir karena adanya keterbatasan manusia dalam menyalurkan kepentingannya. Lahirnya pandangan-pandangan para pemikir negara seperti J.J. Rousseau, John Lock, Montesquie, Thomas Hobbes, hingga para pemikir demokrasi perwakilan seperti Edmund Burke (1779), John Stuart Mill (1861), Karl Loewistein (1922), Alfred de Grazia (1968) dan Pitkin tak dapat dipisahkan dari semangat membangun institusi negara yang akomodatif terhadap keragaman kepentingan masyarakat modern. Hal ini berkembang karena kelemahan sistem pemerintahan feodal yang hanya menguntungkan para tuan tanah (lords) sementara rakyat kebanyakan hanya menjadi objek.
Dalam konteks perwakilan politik di Indonesia, DPD RI lahir dari konsensus politik nasional untuk memperkuat fungsi perwakilan politik di tingkat nasional, disamping perwakilan politik DPR. Tujuan dari keberadaan DPD adalah menjembatani kepentingan daerah dengan kebijakan nasional sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan langsung dengan daerah.
Salah satu alasan atas penyempurnaan struktur lembaga perwakilan Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah, mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah-daerah secara serasi dan seimbang. Lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum memiliki fungsi yang berkaitan dengan representasi aspirasi masyarakat. Melalui buku ini masyarakat akan memiliki gambaran secara utuh dan jelas tentang pentingnya keberadaan sebuah lembaga legislatif dalam sebuah negara. Dalam konteks Indonesia, MPR, DPR dan DPD merupakan wadah terbaik untuk menyerap aspirasi dalam upaya pemecahan berbagai persoalan bangsa. Lembaga legislatif Indonesia dapat menjadi fasilitator dan mediator berbagai hambatan yang sedang dihadapi oleh masyarakat saat ini.


Jakarta, 21 Juli 2010
Ketua Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia,


Irman Gusman

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


KATA PENGANTAR
DRS. H. WAHIDIN ISMAIL
KETUA KELOMPOK DPD RI

Terbitnya buku “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti” di tengah hiruk pikuk persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini, telah memunculkan harapan baru, bahwa masih ada pihak yang secara serius memperhatikan sistem kelembagaan negara, khususnya sistem perwakilan yang pernah dan tengah ada serta format ideal sistem perwakilan Indonesia di masa yang akan datang.
Melihat ketebalan buku ini, sudah barang tentu penulis hendak menyatakan bahwa dalam buku ini menyajikan uraian secara komprehensif tentang parlemen Indonesia. Hal ini terlihat dari penyusunan buku ini yang menggambarkan keberadaan bentuk perwakilan dari zaman ke zamannya. Mulai dari zaman Hindia Belanda dengan terbentuknya volksraad, sampai terjadinya Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 dengan terbentuknya Komite Nasional Pusat (KNP), kemudian beralih menjadi Sistem Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan terbentuknya semacam SENAT, serta akhirnya kembali ke UUD 1945 dengan terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara definitif.
Tuntutan reformasi yang terjadi pada tahun 1998 telah menjadi momentum penting dalam sistem ketatanegaraan kita, desakan kuat terhadap perubahan UUD 1945, diantaranya karena dalam konstitusi yang ada dianggap tidak memenuhi aspirasi demokrasi, belum mewadahi pluralisme dan kurangnya check and balances.
Implikasi dari amandemen UUD 1945, khususnya pada perubahan ketiga adalah lahirnya DPD sebagai kamar kedua dalam sistem perwakilan di Indonesia. Kehadiran DPD, beriringan dengan kemauan politik untuk melakukan reformasi terhadap konstitusi (constitutional reform), juga reformasi terhadap sistem demokrasi dan politik di Indonesia. DPD hadir sebagai lembaga perwakilan kedaerahan yang mencerminkan keterwakilan daerah-daerah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah, yang diharapkan akan mendorong kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan daerah, serta mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Dalam pandangan kami, buku ini layak menjadi referensi bagi para pelaku dan akademisi dalam melakukan kajian-kajian terhadap konsep yang ada. Buku ini telah menggambarkan secara kelembagaan bagaimana praktek keparlemenan di Indonesia, terlebih setelah adanya DPD. Selain kelembagaan juga dikupas tentang sistem perwakilan yang dijalankan selama ini, termasuk permasalahan-permasalahan dan kekurangannya serta ajakan untuk berfikir terhadap format ideal keparlemenan tersebut dengan memberikan perbandingan yang cukup lengkap tentang sistem perwakilan di beberapa negara besar.
Dalam membahas keberadaan DPD, buku ini mencoba menggambarkan secara lengkap sejak terbentuknya DPD sebagai hasil dari perubahan ketiga UUD 1945 yang tercantum dalam Pasal 22D UUD 1945. Dalam pasal tersebut, secara eksplisit DPD memiliki fungsi-fungsi keparlemenan pada umumnya yakni fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang seharusnya terkait erat dengan sistem Check and Balances yang nyata dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan fungsinya selama hampir enam tahun berjalan, DPD belum mampu “membayar” espektasi masyarakat dan daerah yang menginginkan permasalahan yang ada di daerah dapat diangkat dan diperjuangkan pada level nasional. Ironis memang, lembaga yang notabenenya dibentuk dengan biaya negara yang besar, tetapi kenyataannya belum mampu menjawab artikulasi politik dan aspirasi masyarakat daerah.
Di sinilah kegelisahan penulis melihat potret DPD secara mendalam, hingga memberikan point penting bagi kita tentang pentingnya memperkuat kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan kita sebagai solusi bagi efektifnya keberadaan DPD sebagai kamar kedua. Dengan demikian, keberadaan DPD di tengah masyarakat Indonesia akan terasa lebih bermakna dalam memperkuat ikatan-ikatan daerah dalam wadah NKRI, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam merumuskan kebijakan secara nasional, sehingga proses ini dapat mendorong demokratisasi di Indonesia, dapat memajukan gerak pembangunan dan kemajuan daerah-daerah secara adil serta berkesinambungan.
Terakhir, kami ucapkan SELAMAT atas terbitnya buku ini, apresiasi yang mendalam juga kami sampaikan semoga buku ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak, khususnya dalam menata bangsa dan negara.



Jakarta, 21 Juli 2010





Drs. H. Wahidin Ismail
Ketua Kelompok DPD RI

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


KOMENTAR PEMBACA
“Saya mengenal karya Efriza melalui berbagai tulisannya terkait parlemen. Ketertarikannya yang kuat pada isu parlemen membuat tulisan Efriza selalu sarat dengan informasi dan analisis yang menarik. Dalam buku ini ia menulis berdua dengan dosennya, Syafuan Rozi. Duet guru-murid dalam buku ini menghasilkan ulasan yang menyeluruh tentang DPR, DPD, dan MPR-RI. Buku ini tidak hanya menyajikan teori yang lengkap, namun juga memuat paparan cerita di balik layar mengenai beberapa kebijakan terkait lembaga perwakilan kita. Upaya ini jelas merupakan suatu kontribusi nyata yang bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan tentang parlemen di Indonesia.”
— Eryanto Nugroho
Direktur Eksekutif PSHK - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
“Buku “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti” yang ditulis Sdr. Efriza dan Syafuan Rozi, yang memuat ikhwal seluk beluk dan dinamika pasang surut lembaga perwakilan rakyat yang pernah ada dan masih sedang berjalan di Indonesia, mulai dari sejak volksraad di masa pemerintahan kolonial Belanda hingga era MPR-DPR-DPD di masa pasca reformasi 1998 yang telah hampir berjalan satu dekade lebih, merupakan salah satu karya tulis yang baik dan layak untuk dibaca secara kritis bagi para peminat dan penstudi ilmu pemerintahan, ilmu politik, ilmu hukum, dan ilmu ekonomi politik, serta bidang ilmu lainnya yang secara langsung atau tak langsung berhubungan dengan keberadaan lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Terlepas dari aktivitas bongkar pasang sistem perwakilan tersebut dari zaman ke zaman, dari rezim ke rezim yang mengalami pasang surut, apa pun sistem perwakilan yang dianut: sistem satu kamar, sistem dua kamar, sistem dua setengah kamar, ataupun sistem tiga kamar, maka efektivitas lembaga perwakilan akan sangat bergantung kepada kualitas individu-individu para wakil rakyat yang mengisi lembaga perwakilan tersebut di dalam menyuarakan dan keberpihakannya kepada kepentingan-kepentingan rakyat (public interest). Jadi keberanian dan nurani untuk senantiasa tetap berpihak kepada rakyat yang diwakili merupakan esensi kualitas yang harus dimiliki para wakil rakyat dari setiap zamannya. Buku ini paling tidak, akan dapat dijadikan cermin bagi para wakil rakyat kita untuk mengukur apakah mereka lebih baik daripada para pendahulunya ataukah malahan lebih mundur dari para pendahulunya. Ataukah sudah pas dengan tuntutan zamannya.”
— Prof. Dr. Dede Mariana, M.Si
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran
“Tidak banyak buku yang bisa mengulas metamorfosa parlemen di Indonesia. Buku ini adalah satu yang bisa menggambarkan proses metamorfosa itu, tentunya buku ini akan sangat bermanfaat dalam tumbuh kembangnya sistem demokrasi konstitusionalisme kita, sebagai sebuah inspirasi sejarah dan kontemporer guna memperbaiki benang kusut perilaku ketatanegaraan kita.”
—Dr. Andi Irmanputra Sidin, SH, MH
mantan Koordinator Staf Ahli Mahkamah Konstitusi RI
“Hubungan legislatif-eksekutif Indonesia mengalami fluktuasi akibat politisasi yang tinggi di era reformasi. Buku ini penting dibaca kalangan akademisi, praktisi dan pemerhati politik karena berusaha menempatkan peran dan kedudukan legislatif seperti yang dimaksudkan oleh UUD 1945 hasil amandemen.”
—Valina Singka Subekti
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI dan
mantan Anggota MPR RI Perumus Perubahan UUD 1945
“Sejarah perpolitikan di negeri ini sangat diwarnai oleh dinamika kehidupan parlemennya. Sebab, perubahan politik apapun yang terjadi, sejatinya berasal dari parlemen. Betul di tahun 1998, mahasiswa menggelorakan tuntutan reformasi dan keterbukaan sistem politik, namun itu tidak akan berarti jika parlemennya tidak bersuara sama sekali. Karena itu, kehadiran buku ini amat membantu bagi siapapun untuk memahami kontribusi signifikan dari parlemen terhadap arus dinamika demokrasi di negeri ini. Apalagi, para penulisnya adalah sosok peneliti muda yang begitu dekat dengan kajian aktivitas parlemen, sehingga mampu mencerdaskan siapapun yang membaca buku ini.”
— Dedi Irawan
Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Nasional
“Ketika proses penelusuran terhadap wajah parlemen Indonesia dimulai, maka secara tidak langsung kita akan dihadapkan pada serangkaian fakta yang mengungkapkan karakter demokrasi yang (pernah) muncul dan teradopsi dalam kerja-kerja institusi politik, khususnya setelah kemerdekaan. Bahkan di saat konstitusi mengalami beberapa kali pergantian hingga amandemen, konstruksi parlemen Indonesia turut bergeser. Pilihan sistem politik bukanlah satu-satunya penjelasan terhadap fenomena tersebut. Konteks perjalanan parlemen Indonesia tidak pernah linear, melainkan beragam faktor turut mempengaruhi, mulai dari upaya melepaskan diri dari sisa belenggu penjajah, ekstensialisme ideologi, pengukuhan status quo, hingga proses transisi demokrasi.
Mendokumentasikan dinamika keparlemenan Indonesia dengan merangkum keseluruhan konteks menjadi sebuah identitas tersendiri dari buku PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti. Sebagai sebuah karya, buku ini memperhatikan aspek kronologi serta mengandung sejumlah data dan informasi yang memperkaya wawasan pembaca, meskipun akhirnya tidak ramah untuk “digenggam” karena ketebalannya.
Misi menyingkap sejarah parlemen Indonesia menjadi keunggulan minimalis dari buku ini. Sesuatu yang patut diapresiasi adalah kajian terkini yang mengulas relasi institusi keparlemenan pasca amandemen 1945 yang menjadi tonggak lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Beberapa bagian dari buku ini mencoba mengajak imajinasi pembaca untuk terus menerus terlibat dalam panggung penemuan (discovery) tentang format ideal mekanisme perwakilan di Indonesia.”
—Ronald Rofiandri
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK
“Komprehensif, informatif, dan kritis adalah 3 (tiga) kata kunci yang tepat untuk menggambarkan kekuatan buku yang ditulis oleh saudara Syafuan Rozi dan Efriza ini. Komprehensifitas buku ini tergambar dalam uraian tentang parlemen Indonesia mulai dari masa kolonial (volksraad) sampai sekarang, pasca amandemen UUD 1945. Informatif karena kaya wacana, informasi dan data historis seputar eksistensi lembaga parlemen Indonesia dan juga menyajikan sistem parlemen negara-negara lain sebagai pembanding, sehingga dapat menjadi latar yang inspiratif bagi kajian-kajian lain terkait dengan lembaga perwakilan negeri ini. Disebut kritis karena penulisnya tidak hanya memaparkan realitas eksistensi parlemen tetapi juga mengkritisinya seraya menawarkan alternatif perbaikan bagi sistem bikameral yang dianut Indonesia saat ini. Saya kira buku ini wajib dibaca oleh para akademisi dan mahasiswa, para politisi dan praktisi pemerintahan, serta setiap orang yang ingin memahami sejarah dan sistem parlemen Indonesia.”
— Daryani El-Tersanaei
Kepala Laboratorium Ilmu Politik IISIP Jakarta
“Buku ini sangat informatif dan memberi gambaran terkait keberadaan dan geliat dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, sehingga harapannya masyarakat secara luas mendapat gambaran tentang pentingnya peran DPD dalam konteks check and balances terutama dalam konteks perumusan kebijakan sehingga pandangan dan warnanya tidak semata didominasi oleh kepentingan DPR yang cenderung sarat kepentingan Partai Politik. Terlepas dari minimnya kewenangan dalam buku ini juga cukup diulas geliat DPD dalam berperan sehingga dapat menghasilkan sejumlah produk kebijakan dan pengawasan. Di tengah kewenangannya tersebut buku ini juga secara baik memberikan rekomendasi perbaikan dan peningkatan kapasitas DPD ke depan baik melalui pembaharuan kewenangan di “Konstitusi” maupun peningkatan citra sebagai lembaga tinggi negara di mata publik. Namun dalam sejarah lembaga perwakilan di Indonesia keberadaan perwakilan daerah belum secara banyak diulas baik secara kelembagaan maupun kiprahnya sehingga masyarakat dapat mengetahui bahwa keberadaan perwakilan daerah dalam berbagai bentuk telah mewarnai perjalanan lembaga perwakilan bahkan sejak pendirian Republik ini. Dukungan atau kritik terhadap DPD memang sudah selayaknya lahir dari daerah-daerah di Nusantara sebab dalam kepentingan tersebutlah DPD dilahirkan dan dalam kepentingan tersebut jua DPD seharusnya bekerja sehingga jawaban terhadap peningkatan atau peniadaan murni berasal dari kepentingan tersebut dan bukan karena perasaan “takut tersaingi,” buku ini telah secara baik menjelaskan hal tersebut.
Akhir kata selamat dan sukses kepada para penulis semoga tulisannya dapat menjadi sumbangsih yang berharga bagi perbaikan kiprah DPD ke depan.”
—Sulastio
Direktur Indonesian Parliamentary Center
“Buku ini merupakan buah kerja keras dan ketekunan kedua penulis. Tidak banyak orang yang memiliki kemampuan merajut serpihan sejarah, dokumen yang berserakan dimana-mana, apalagi Indonesia bukanlah negara yang memiliki tradisi dokumentasi yang baik. Penulis berhasil menyajikan informasi yang begitu kaya dokumen sejarah yang penting, karena itu menjadi referensi penting bagi siapapun yang menaruh perhatian pada studi keparlemen di Indonesia. Kerja keras, ketekunan, kajian yang berhasil dirangkai menjadi sebuah buku Parlemen Indonesia merupakan sumbangsih paling berharga bagi proses demokrasi dan upaya mendorong perlemen Indonesia yang fungsional, efektif dan demokratis. Semoga.”
—Sebastian Salang
Koordinator FORMAPPI

TELAH TERBIT


Efriza & Syafuan Rozi
PARLEMEN INDONESIA
GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD
Menembus Lorong Waktu
Doeloe, Kini, dan Nanti
Alfabeta, 2010
(Hal: xxiv-620)
Soft Cover: 125.000; dan Hard Cover: 160.000