Senin, 05 Desember 2011

Menyoal Pencapresan Hatta Rajasa Di Rakernas

Oleh: Efriza, Koordinator Program & Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia/FD.I
Rakernas PAN yang digelar pada Jumat–Sabtu (9-11/2011) di Jakarta, menjadi perhatian publik sebab diwacanakan Hatta Rajasa akan dikukuhkan sebagai calon presiden (capres) dari PAN pada pemilihan presiden 2014.
Langkah ini merupakan terobosan baru dari PAN mengusung calon presiden sejak 3 tahun menjelang pemilu. Berbicara, politik 2014 terutama pemilihan presiden 2014. Merupakan arena pasar bebas, siapa saja berhak mencalonkan, dicalonkan, dan memiliki kans yang sama. Belum ada calon yang telah digandrungi masyarakat, bahkan dianggap sebagai satrio piningit. Terobosan PAN, bukan tanpa pro-kontra dari kader sendiri maupun para pakar politik Indonesia, dan bukan barang baru.
Apa keuntungan dan kerugian atas pencapresan dini tersebut? Bagaimana pola relasi kekuasaan di Pemerintahan jika Hatta Rajasa menerima pencapresan itu? Bagaimana peta perpolitikan Indonesia 3 tahun ke depan dengan hinggar-binggar para calon-calon Presiden yang juga telah dikukuhkan?
Untung-Rugi Pencapresan Dini
Hatta Rajasa dari segi kelayakan, kredibilitas, integritas hingga loyalitas memang sudah layak menjadi calon Presiden. Sampai 2011 ini, sudah empat jabatan menteri hingga yang masih dipegangnya sekarang dan 10 tahun sudah Hatta dipercaya sebagai pembantu presiden dari dua Presiden yakni Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari sisi analisis terhadap tujuh media nasional dan populer, yang dilakukan pada 1 Juli-30 September 2011, hasil penelitian Developing Countries Studies Center (DCSC) Indonesia menyebutkan bahwa dari segi pemberitaan Hatta relatif tidak banyak citra negatif serta popularitas Menko Perekonomian Hatta Radjasa berada di atas 16 tokoh nasional lainnya yang berpeluang menjadi calon presiden pada 2014.
Berbekal pengalaman dan popularitas itu, kader-kadernya memang pantas meinginkan ketua umumnya itu maju dalam pertarungan menuju posisi RI-1 pada 2014. Tetapi pencapresan sejak dini, yang dinilai meniru langkah Golkar mencapreskan Aburizal Bakrie, inilah yang menimbulkan perdebatan mengenai untung-ruginya, untuk itu mari kita lihat perbandingan dari kedua partai itu.
Sosok Hatta Rajasa yang tidak banyak citra negatif itu, kecuali terkait kasus korupsi pengangkutan Kereta Rel Listrik hibah dari Jepang ke Indonesia tahun 2006-2007, meski secara hukum belum tentu bersalah. Jika dicapreskan sejak dini, tidak menjadi boomerang bagi PAN. Berbeda, dengan Partai Golkar, yang figur Aburizal Bakrie (Ical) memiliki citra negatif yang tidak sederhana seperti Ical tersangkut tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur; perusahaan Ical ditengarai kena kasus pajak, memang belum ada bukti; dan Ical juga pernah disebut dalam persidangan Tipikor soal penunjukan langsung pengadaan alat kesehatan pada Menko Kesra Aburizal Bakrie, meski secara hukum juga belum tentu benar, tetapi persoalan ini begitu melekat diingatan masyarakat sehingga Ical kerap dispersepsikan sebagai orang yang kontroversial. Yang justru persoalan-persoalan ini dianggap akan menjatuhkan figur Ical itu.
Pencapresan sejak dini selalu terkait untuk menguatkan konsolidasi partai. Lagi-lagi PAN tidak mengalami kerugian melakukan pencapresan sejak dini, berbeda dengan Partai Golkar, sebab tidak terjadi faksionalisme dibawah kepemimpinan Hatta Rajasa yang terpilih secara aklamasi
PAN sebagai partai yang juga dibangun karena kekuatan elektoral seorang tokoh seperti Amien Rais. Manuver dari Amien yang memberikan dukungan penuh terhadap Hatta Rajasa itu, menjadi bagian magnet penguat infrastruktur di tingkat daerah maupun pusat. Sementara Partai Golkar kekuatan elektoralnya terbentuk dari akumulasi pengaruh bukan seorang tokoh tetapi banyak tokoh di dalam partai itu, bahkan sudah dianggap matang. Sehingga, fokus pada pengkultusan secara dini terhadap seorang tokoh, malah berpotensi mengacaukan konsolidasi Golkar.
Pencapresan dini juga dinilai perlu dilakukan agar PAN tidak kalah langkah. Seperti kasus Golkar yang dinilai telat dalam mengajukan capres pada 2009 lalu.
Tetapi apakah pengkultusan akan berdampak kenaikan suara, ini yang patut dipertanyakan. Keberhasilan pencapresan dini bagi partai-partai lama di era reformasi, memang belum ada literaturnya di Indonesia. Andaipun jika memakai kesuksesan PDIP di tahun 1999 lalu, itu sangat sulit, karena kesuksesan PDIP lebih merupakan hasil dari reformasi menggulingkan rezim otoriter. Berbeda dengan Pencapresan dini pada partai baru, pengkultusan tokoh telah mendongkrak keberhasilan partai-partai baru memperoleh kursi di parlemen seperti Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Sementara itu, dari adanya kekuatan penyatu melalui figur itu, strateginya adalah Perolehan suara PAN dapat mengalami kenaikan secara signifikan, sebab tiga kali Pemilu selama kiprahnya, PAN selalu mengalami penurunan suara. Dari 7,11 persen tahun 1999, di tahun 2004 merosot 6,44%, dan di tahun 2009 ini makin melorot menjadi 6,01%.
Pencapresan dini memang akan menjadi modal tambahan politik Hatta setelah pernikahan anaknya Siti Rubi Aliya Rajasa dengan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pernikahan yang dianggap perkawinan politik ini, selain upaya menghasilkan koalisi permanen antara PAN-Partai Demokrat. Juga upaya menyatukan PAN dari unsur sipil untuk mendapatkan simpatik dukungan militer, melalui popularitas dari SBY dan bahwa telah mendapat “restu” SBY yang selalu didukung militer.
Memang terbuka peluang, bahwa bisa saja Partai Demokrat mendukung Hatta Rajasa sebagai calon Presiden yang diusung PAN. Jika kita telusuri pemberitaan bahwa Presiden SBY beberapa kali menyatakan, bahwa istri, anak, dan keluarganya tidak akan mencalonkan diri di Pemilu 2014, bahkan Ketua Umum Partai Demokrat sepertinya juga tidak akan diusung karena terbelenggu berbagai kasus korupsi yang menyeret namanya. Di sisi lain, tidak ada calon dari Partai Demokrat yang memiliki figur kuat, setelah figur-figur kuat dari keluarganya sendiri dilarang oleh SBY. Sebaliknya, popularitas Hatta Rajasa dinilai lebih populer daripada Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie dari sisi pemberitaan di surat kabar nasional, seperti hasil survei DCSC Indonesia. Bahwa, Hatta Rajasa ditempatkan oleh media dengan porsi terbanyak 24,6%, disusul Abu Rizal Bakrie 21,2%. DCSC Indonesia melakukan analisis terhadap pemberitaan 7 surat kabar nasional sebagai metode surveinya selama periode 18 Oktober hingga 18 Desember 2010.
Apalagi, isu yang dihembuskan Wikileaks dibulan Agustus 2011, bahwa negeri Paman Sam, telah memonitor bahwa Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie akan maju dalam Pilpres 2014, bagaimanapun isu ini sangat perlu diperhatikan karena Pilpres selalu dikaitkan dengan dukungan dari negeri Paman Sam dan isu ini begitu menyita perhatian publik sebab mengapa hanya dua calon presiden ini yang begitu mendapat porsi lebih banyak dari pemantauan mereka.
Namun, sosok Hatta yang dikenal sebagai orang yang manut terhadap Presiden Yudhoyono. Sikap PAN di Parlemen yang selalu mendukung keputusan pemerintah. Akan menjadi boomerang PAN dan calon Hatta Rajasa. Oleh karena itu, semestinya Hatta Rajasa, mundur dari jabatan menteri setelah menjadi besan SBY, apalagi jika memiliki minat dan diusung oleh PAN sebagai capres sejak dini, meski penunjukkan dan pemberhentian seorang menteri itu hak prerogatif Presiden.
Sebab, penilaian objektif terhadap kinerja Hatta akan sulit tercipta di pemerintahan maupun diterima oleh masyarakat setelah Hatta menjadi Besan SBY, ini merugikan figur dari capres PAN, yang semestinya posisi Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian malah yang harus mendapat penilaian objektif dalam kinerjanya menangkal krisis ekonomi global, yang berimbas pada popularitas Hatta Rajasa.
Jika PAN tetap memilih di Pemerintahan, dengan adanya pencapresan dini, semestinya posisi PAN harus berani tidak lagi terikat dengan koalisi maupun di Sekretariat Gabungan (Setgab), kalau tidak ingin mendapatkan penilaian buruk. Menyatir Pakar politik Giovanni Sartori mengingatkan, “The problems of presidentialism are not in the executive arena but in the legislative arena.“ Dengan demikian, keputusan di Parlemen tidak wajib selalu mendukung pemerintahan, malah dengan adanya koalisi menciptakan penilaian negatif bagi PAN yang selalu manut dengan keputusan pemerintah, sementara PAN seharusnya mulai bersikap objektif bukan mencari aman lagi dengan melakukan manuver-manuver menentang Pemerintah jika dianggap buruk kebijakan tersebut.
Perhitungan untung-rugi, yang juga harus dimiliki oleh PAN adalah jangan sampai mempermalukan Hatta dan PAN sendiri. Jika kita simulasi berdasarkan syarat Pilpres 2009 lalu, yang mensyaratkan “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan memperoleh kursi paling sedikit 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 20% (dua puluh persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pilpres.” Setidaknya melihat Pemilu 2009 lalu, hanya akan ada tiga pasangan calon, jika itu tidak mengalami perubahan persyaratan mengusung calon presiden di Pemilu 2014. Kesempatan besar PAN hanya bisa diperoleh jika Partai Demokrat tidak mengajukan pasangan calon presiden, sebab Partai Golkar dan PDIP sudah memiliki capres yang akan diusung di Pemilu 2014. Melihat realitas Pemilu Presiden 2009 lalu, jangan-jangan nasib Hatta dan PAN akan seperti Prabowo Subianto dan Gerindra. Prabowo didorong-dorong menjadi capres tapi faktanya perolehan suara partai kecil sehingga harus puas dan tahan malu atas sejarah yang mencatat Prabowo dari capres menjadi cawapres berpasangan dengan capres Megawati-PDIP di Pilpres 2009 lalu.
Jangan sampai figur Hatta yang saat ini menonjol harus dipermalukan, dengan pencapresan sejak dini. Lebih baik PAN sebagai partai pendukung pemerintah menjalankan kekuasaan yang telah didapatkan secara bersama-sama, dan mulai membicarakan pilpres jika PAN dalam perolehan suara di Pemilu Legislatif mendapatkan kenaikan perolehan suara dibanding tahun 2009 yang semakin melorot menjadi 6,01% dan telah nyata-nyata mendapatkan dukungan dari partai-partai lain. Mengenai isu peluang dan pencapresan Hatta sebaiknya hanya untuk memperkuat konsolidasi internal PAN baik di daerah-daerah hingga pusat saja dalam rangka menaikan perolehan suara PAN di Pemilu 2014 nanti.
Relasi Kekuasaan, Peta Politik 2012 dan Kesimpulan.
Calon-calon presiden yang sudah diajukan sejak dini seperti Prabowo Subianto-Gerindra dan Aburizal Bakrie-Partai Golkar. Manuver yang dilakukan mereka tidak begitu diperhatikan masyarakat. Berbeda jika Hatta yang telah dicapreskan.
Gonjang-ganjing politik dan sentimen negatif berjalan beringinan masuk ke Istana, sehingga pemerintah dipersepsikan telah tidak kompak. Sementara, kebijakan pemerintah mensejahterakan masyarakat belum dirasakan, dan masyarakat yang haus dan membutuhkan kualitas kehidupan politik lebih baik, harus tercederai, dengan manuver-manuver politik saling “menjatuhkan.”
Memang masyarakat mendapatkan pendidikan politik dan dapat melakukan penilaian sejak dini terhadap calon presiden yang terbaik untuk lima tahun mendatang. Namun perpolitikan capres-capresan, seharusnya sekitar tahun 2013, terlebih bagi pendukung pemerintah. Beda dengan Aburizal-Golkar, Prabowo-Gerindra, atau PDIP maupun Hanura dengan manuver-manuver politik maupun mengusung calon-calonnya sejak dini, karena mereka dianggap sebagai calon penantang yang kalah saja dan calon-calon mereka juga berada di luar pemerintahan sehingga wajar bersikap kritis bahkan menjatuhkan untuk merebut kekuasaan.
Akan lebih baik, jika dikala masyarakat telah mendapatkan pendidikan politik yang lebih baik, performa anggota legislatif yang telah memberikan harapan ke depan, setidaknya baru kita membicarakan capres. Kalau sekarang lebih baik para pendukung pemerintah, menjalankan agenda pemerintah yang sedang berjalan, menunjukkan kekompakkan dalam bekerja, dan memelihara kekuasaan dengan bersama-sama. Toh, keberhasilan Pemerintah juga berdampak positif bagi partai-partai pendukung pemerintahan.
Parpol harus menyadari bahwa tingkat partisipasi politik selalu menurun dalam tiga kali pemilu sejak reformasi Kepercayaan publik yang semakin memburuk ini, dapat kita amati dalam persentase angka partisipasi pemilih (voters turn out) di Indonesia terus meluncur turun. Turunnya partisipasi ini tidak tanggung-tanggung. Betapa tidak. Dalam tiga pemilu legislatif terakhir, penurunannya sudah di atas 29-an percentage point. Dari 89,85 persen pada Pemilu 1999, menjadi 60,78 persen pada Pemilu 2009.
Tren penurunan ini diprediksi akan terus berlanjut di Pemilu 2014, sehingga angka partisipasi bisa jadi akan turun mendekai 50 persen. Imbas dari penurunan ini adalah jika sampai 50 persen, maka legitimasi anggota DPR terpilih menjadi rendah, dan penyebabnya adalah jika Pemerintahan dianggap hanya mementingkan mencari, dan merebut kekuasaan bukan menjalankan kekuasaan yang telah didapatkan secara bersama-sama (koalisi di pilpres) dan diamanatkan oleh masyarakat melalui Pemilu itu sendiri untuk memenuhi kesejahteraan mereka seperti yang mereka janjikan (koalisi di pilpres). 

Kamis, 01 Desember 2011

STRATEGI MENYELAMATKAN PARTAI DEMOKRAT, ANAS URBANINGRUM HARUS MUNDUR

Oleh: Efriza, Koordinator Program & Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)
Partai Demokrat (PD) dibawah kepemimpinan Ketua Umum Anas Urbaningrum yang terpilih melalui Pemilihan Demokratis internal pada 23 Mei 2010, di Bandung; semakin hari, bulan hingga tahun makin mendapatkan sorotan, cerca, dan berdampak penurunan popularitas Partai Demokrat.
Untuk mencegah penurunan suara Partai Demokrat secara tajam pada Pemilu 2014 nanti, sudah semestinya Anas Urbaningrum mundur dari kepemimpinan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, karena ketidakmampuannya menakhodai. Lalu, mengapa Penulis mengusulkan pengunduran diri Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat? Untuk memahaminya sebagai berikut.
Tidak Cakap Membentuk Kepengurusan
Belum bekerja kepemimpinan Ketua Umum Anas Urbaningrum sudah menimbulkan permasalahan, seperti pembentukan susunan kepengurusan Partai Demokrat dinilai sangat gemuk, tak kurang, 130 orang duduk sebagai pengurus lengkap Partai Demokrat 2010-2015. Realistis ini menunjukkan Anas tak leluasa menentukan struktur kepengurusan.
Permasalahan lain ternyata membuntuti dari penilaian negatif kepengurusan yang gemuk, yaitu orang-orang yang memegang jabatan prestise tersebut masih terbelit kasus korupsi, sebut saja kasus suap proyek pembangunan pelabuhan kawasan timur Indonesia.yang menyeret Jhonny Allen Marbun pada jabatan DPR periode 2004-2009 lalu, Jhonny Allen Marbun yang dipercaya Wakil Ketua Umum I. Berikutnya, Djufri Ketua Departemen Dalam Negeri, yang juga Anggota Komisi II DPR dan mantan Wali Kota Bukittinggi ini adalah terdakwa kasus korupsi dalam pembelian lahan untuk lahan kantor wali kota dan DPRD Kota Bukittinggi tahun 2009.
Perekrutan komisioner KPU Andi Nurpati oleh Partai Demokrat sebagai Ketua Divisi Komunikasi Politik, yang digambarkan sebagai cermin dari kegagalan praktik politik konstitusional dan sebaliknya memasuki ranah pelanggaran konstitusi. Praktik ini telah mencoreng wajah Partai Demokrat, ditambah lagi kesan yang melekatinya bahwa ini merupakan kebijakan orang-perorang yang memiliki kewenangan untuk memasukkan Andi Nurpati dalam struktur partai.
Lemahnya Kepemimpinan
Permasalahan datang silih-berganti, dan bahkan belum dapat dituntaskan sudah muncul masalah lagi. Tetapi kebijakan tegas Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum, tidak pernah terdengar. Malah, yang merebak adalah isu korupsi yang menyeret Anas Urbaningrum.
Terbongkarnya kasus suap Wisma Atlet SEA Games, Palembang, Sumatera Selatan bukan hanya menjerat Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin. Dalam kasus tersebut Nazaruddin menyebut keterlibatan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga yang juga menjabat Sekretaris Dewan Pembina Andi Mallarangeng, anggota DPR dan Wasekjen I Angelina Sondakh, Wakil Ketua Banggar DPR dan Wakil Bendahara Umum II Mirwan Amir, bahkan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum juga disebut terlibat di dalamnya.
Nazaruddin pun memiliki banyak permasalahan lainnya, seperti Proyek Hambalang. Kasus ini mencuat setelah Nazaruddin mengakui ada aliran uang ke kongres Partai Demokrat di Bandung tahun lalu senilai Rp 50 miliar. Proyek Hambalang dibangun sejak 2010 di atas lahan seluas 30 hektare. Sumber dana proyek senilai hampir Rp 1,2 triliun ini dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Isu ini semakin memanas, ketika Ketua Baleg DPR dari Partai Demokrat Ignatius Mulyono mengakui dirinya pernah dimintai tolong oleh Anas Urbaningrum untuk menghubungi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, untuk mengurus masalah tanah proyek di Desa Hambalang, Sentul, Bogor.
Bukan hanya Nazaruddin, yang terlilit masalah korupsi, kader Partai Demokrat lainnya adalah anggota Komisi II DPR Amrun Daulay melakukan tindak pidana korupsi pada kasus pengadaan mesin jahit dan sapi impor pada tahun 2004. Anggota DPR dan Wakil Ketua Umum II Max Sopacua, diduga ikut menerima aliran dana dari korupsi di Kementerian Kesehatan (dulu Depkes) pada 2007. Kasus terbaru yakni menyeret Anggota DPR dan Ketua Departemen Perekonomian Sutan Bhatoegana, terseret kasus korupsi pengadaan solar home system di Kementerian ESDM tahun 2009. Dan lagi-lagi Jhonny Allen Marbun kasus barunya yakni diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) pada 2008. Masih ada Pengurus Partai Demokrat lainnya yang terlibat dalam kasus pidana namun bukan korupsi seperti Ketua Divisi Informasi dan Komunikasi Partai Demokrat Andi Nurpati yang terlibat dalam kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi.
Juga adanya Pengurus Partai Demokrat yang bermasalah akibat “lidah tidak bertulang-nya” seperti Ruhut Sitompul anggota DPR yang selalu menimbulkan kontroversi sampai digugat istrinya karena berpoligami, selain itu juga Anggota DPR dan Wakil Sekjen IV Ramadhan Pohan yang menyulut perselisihan dengan partai-partai lain karena penyebutan inisial ‘A’ yang dianggapnya sengaja merusak citra Partai Demokrat. Perilaku Pengurus Partai Demokrat ini kontraproduktif dengan Pendiri sekaligus Dewan Pembina Partai Demokrat SBY yang santun dalam bertutur, dan tidak emosional. Realistis ini semakin merugikan Partai Demokrat
Terbelenggunya Partai Demokrat atas permasalahan personal kader-kader yang notabene adalah Pengurus bahkan Ketua Umum menyebabkan terbengkalainya kebijakan-kebijakan dalam kepartaian untuk menangani permasalahan ini. Dipastikan akan berdampak pada penurunan kembali elektabilitas Partai Demokrat yang sekarang 15,5% berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Juni 2011, bahkan dipastikan dapat menambah persentase penilaian responden terhadap partai yang kinerjanya mengecewakan, seperti survey Reform Institute Oktober lalu yang menggelar survei terkait kinerja partai. Salah satu yang ditanyakan pada responden yakni partai yang kinerjanya mengecewakan. Hasilnya, Partai Demokrat berada diurutan teratas dengan persentase 32,64%.
Benahi Partai Demokrat atau Terpuruk
Lemahnya kepemimpinan Anas Urbaningrum, sinyalnya sudah tertangkap jelas. Pada saat penyelenggaraan diskusi serial FD.I, 11 Mei 2011, mengenai “Kiprah Partai Demokrat Di Parlemen” Anggota DPR Partai Demokrat Hayono Isman sebagai pembicara, menyindir kelemahan kepemimpinan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat, atas ketidakmampuannya dalam melakukan perlawanan balik terhadap maneuver fraksi-fraksi di Senayan, sehingga “Imbasnya, Partai Demokrat dikucilkan oleh asumsi isu Century yang berhembus menerpa Partai Demokrat.”
Kelemahan kepemimpinan Anas Urbaningrum semakin kentara, dari banyaknya kader-kader yang dia percayai jabatan kepengurusan, ternyata bermasalah, bahkan hingga dirinya. Tertangkap kesan, bahwa pemilihan kepengurusan lebih karena hutang budi bukan kredibilitas, dan integritas kader tersebut.
Lagi-lagi ketika permasalahan kader ini tidak diselesaikan, mengakibatkan Partai Demokrat dalam rangka menawarkan program dan mensosialisasikan melalui kegiatan-kegiatan kepartaian tidak terdengar kondisi ini kontraproduktif dari dibentuknya 41 Departemen dari Kepengurusan Partai Demokrat, bahkan Perayaan Ulang Tahun Partai Demokrat di tahun ini saja dibatalkan dalam rangka peremenungan dan mencegah apatis publik terhadap Partai Demokrat. Lalu, kondisi yang turut menyertai adalah manuver Fraksi Partai Demokrat juga menjadi samar terdengar dalam rangka pembahasan Undang-Undang di DPR, tertutup oleh berita-berita korupsi kader-kader Partai Demokrat, lagi-lagi seharusnya Partai Demokrat lebih bersuara dan memiliki peluang besar untuk mengawal Kebijakan Presiden SBY apalagi Ketua Badan Legislasi dijabat oleh kader Partai Demokrat.
Melihat kajian ini, sudah sepantasnya Anas Urbaningrum mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat, dan jabatan ini diserahkan kepada Edhie Baskoro Yudhoyono selaku Sekretaris Jenderal. Pengunduran diri Anas Urbaningrum juga dalam rangka membersihkan persoalan yang melibatkan personalnya, bahkan pengunduran diri Anas Urbaningrum tidak merusak momentum kepemimpinan kaum muda karena kaum muda juga bukan hanya bisa merebut tongkat kepemimpinan tetapi juga sanggup mengakui diri jika tidak mampu mengelola kepemimpinan dengan pengunduran diri sejak dini.

Jumat, 18 November 2011

PERKAWINAN POLITIK 2011

Oleh: Efriza, Koordinator Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)

Tepatnya 24 November ini mata masyarakat Indonesia akan tertuju pada perhelatan Pernikahan besar dari orang nomor satu di Indonesia yaitu Pernikahan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Siti Ruby Aliya Rajasa putri sulung Hatta Rajasa.
Pernikahan ini dianggap sebagai perkawinan politik. Pertanyaannya, Apa kesan yang tersurat dari pernikahan ini? Lalu, Mengapa dikatakan perwakinan politik? Dan, Mengapa pernikahan ini dikaitkan dengan politik dan kepemiluan di Indonesia? Tulisan ini mencoba menganalisis pernikahan dikaitkan dengan perkembangan perpolitikan ke depan.
Pernikahan Dua Partai Biru
Jauh-jauh hari rencana pernikahan Ibas-Aliya dikait-kaitkan dengan politik, tidak seperti pernikahan sepasang insan biasa yang memadu kasih lalu menuju sebuah ikatan pernikahan. Tak dapat dipungkiri, pernikahan ini bukan pernikahan biasa dari anak seorang Presiden dengan warga negara biasa atau dari kalangan terhomat seperti pernikahan Anisa Pohan-Agus Yudhoyono.
Pernikahan ini dapat dikatakan perkawinan politik, antara Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Partai Demokrat (PD). Jika saja yang menikah adalah anggota PAN dengan Ketua DPP PD atau sebaliknya, tidak akan dilihat sebagai perkawinan politik. Tetapi ini yang menikah adalah putri sulung dari Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dengan Ibas yang merupakan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat dan adalah putra bungsu dari Presiden SBY sekaligus pendiri Partai Demokrat. Artinya, telah terjadi perkawinan dua partai biru. Kedua partai tersebut juga sama-sama diuntungkan karena berdasarkan struktur partai, posisi Ketua ataupun Sekjen sama-sama pengambil keputusan tertinggi dari Partai.
Koalisi Permanen
Perkawinan politik ini secara tersurat juga menimbulkan asumsi bahwa PAN dengan PD akan melakukan koalisi permanen. Asumsi ini dapat dilihat dari: telah terjadinya ikatan resmi kedua partai tersebut melalui pernikahan dari kedua petinggi partai tersebut ― ikatan ini jika kita andaikan dan kaitan melebihi ikatan dari kontrak politik partai-partai koalisi pendukung SBY-Boediono, sebab tercatat dalam lembaran negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA), tidak seperti kontrak politik yang hanya diketahui oleh segelintir golongan. Secara politis, ikatan ini juga memperlihatkan telah terjadinya ikatan secara ideologis, PAN dengan PD bukan partai yang berbeda ideologi, keduanya sama-sama Nasionalis-Religius.
Sejak 2004 lalu, PAN telah mendukung pemerintahan Yudhoyono bahkan sampai dua periode ini. Dengan peningkatan kerjasama dari asumsi koalisi permanen ini, PD sangat diuntungkan karena efektivitas koalisi dapat lebih terjamin bahwa PAN melalui anggota-anggotanya di Parlemen tidak akan melakukan manuver yang membahayakan kebijakan pemerintah. Di sisi lain, tampak tersurat bahwa PAN dan PD, akan melakukan koalisi di Pemilihan-pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) ke depannya, misalnya saja, Pemilukada DKI Jakarta 2012 ini.
Bahkan, PAN sebagai partai tengah dengan perolehan suara 6.254.580 total suara 6,01% atau (8,21% kursi) akan sangat diuntungkan dengan koalisi permanen bersama PD sebagai partai pemenang dengan perolehan suara 21.703.137 total suara 20,4% atau (26,43% kursi). Koalisi ini juga satu-satunya yang telah meyakinkan melangkah menuju Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), dibandingkan partai-partai lain.
Jika kita simulasi berdasarkan syarat Pilpres 2009 lalu, yang mensyaratkan “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan memperoleh kursi paling sedikit 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 20% (dua puluh persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pilpres.” Kita berandai suara PAN turun menjadi 4,01% sementara suara PD jika merosot tajam menjadi 15%, mereka juga tidak perlu khawatir, sekali lagi perlu ditegaskan, koalisi ini telah meyakinkan melangkah menuju Pilpres, karena PD memiliki “anak emas” di koalisi pendukung pemerintah, yakni PKB. Mengapa PKB dikatakan anak emas, kita lihat saja dari reshuffle hanya PKB saja yang tidak digeser atau diganti maupun dikurangi jatah menterinya, dan bagaimana sikap PKB yang begitu konsisten mendukung Pemerintah di Parlemen. Jika PKB dengan perolehan suara 5,146,122 total suara 4,94% atau (5,00% kursi), kemudian perolehan suara PKB melorot tetapi masih memenuhi pengandaian 3% Parliamentary Threshold (PT) di Pemilu 2014. Andaipun jika PT 4%, lalu terjadi kemerosotan perolehan suara beberapa partai serta penurunan drastis angka partisipasi pemilih, kemudian menyebabkan tersisa 6 partai politik yang berhasil lolos ke parlemen, maka koalisi ini cukup mencari satu partai politik saja untuk diajak berkoalisi yakni antara PPP atau PKS, yang diduga masih merupakan partai papan tengah dan “loyal” kepada pemerintahan selama dua periode sebelumnya.
Koalisi permanen ini juga telah memperlihatkan akan ada kejutan bahwa Presiden 2014, bisa saja PD mendukung Hatta Rajasa sebagai calon Presiden yang diusung PAN. Jika kita telusuri pemberitaan bahwa Presiden SBY beberapa kali menyatakan, bahwa istri, anak, dan keluarganya tidak akan mencalonkan diri di Pemilu 2014, bahkan Ketua Umum Partai Demokrat sepertinya juga tidak akan diusung karena terbelenggu berbagai kasus korupsi yang menyeret namanya. Sementara, popularitas Hatta Rajasa dinilai lebih populer daripada Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie dari sisi pemberitaan di surat kabar nasional, seperti hasil survei Developing Countries Studies Center (DCSC Indonesia). Bahwa, Hatta Rajasa ditempatkan oleh media dengan porsi terbanyak 24,6%, disusul Abu Rizal Bakrie 21,2%. DCSC Indonesia melakukan analisis terhadap pemberitaan 7 surat kabar nasional sebagai metode surveinya selama periode 18 Oktober hingga 18 Desember 2010. Dari survei tersebut, terdapat 1.185 artikel yang terkait sejumlah nama tokoh parpol. Apalagi, isu yang dihembuskan Wikileaks dibulan Agustus 2011, bahwa negeri Paman Sam, telah memonitor bahwa Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie akan maju dalam Pilpres 2014, bagaimanapun isu ini sangat perlu diperhatikan karena Pilpres selalu dikaitkan dengan dukungan dari negeri Paman Sam.
Jika dikaitkan dengan bahasa kekeluargaan, Hatta Rajasa mendapatkan penghargaan dari Ibas (atau Partai Demokrat) sebagai kepatuhan menantu terhadap mertua. Apalagi, Hatta Rajasa sudah menunjukkan loyalitasnya selama dua periode terhadap SBY, Ayah dari Ibas dalam mengemban jabatan Presiden. Bahkan, memungkinkan Ibas dipersiapkan untuk menjadi Calon Presiden (Capres) di Pemilu 2019, sebagai rotasi kepemimpinan dari tokoh tua kepada tokoh muda, apalagi umur Ibas di Pemilu 2019 telah memenuhi persyaratan mengajukan diri sebagai capres yakni: “berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun.”
Antara Politik dan Etika
Jika berbicara etika dan rasa percaya masyarakat yang tinggi terhadap Presiden SBY. Seharusnya Hatta Rajasa, mundur dari jabatan menteri, meski penunjukkan dan pemberhentian seorang menteri itu hak prerogatif Presiden. Sebab, akan sulit Presiden SBY bekerja secara objektif, baik melakukan instruksi, maupun penilaian dan evaluasi kinerja menteri-menteri yang notabene sebagai pembantu presiden, apalagi sampai melakukan reshuffle jika kinerja menteri tersebut tidak mengalami peningkatan berdasarkan hasil penilaian dari Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4R). Ini dikarenakan setelah pernikahan tersebut, posisi Hatta Rajasa adalah Besan dari SBY, meski dalam posisi jabatan negara Hatta Rajasa sebagai menteri dari pemerintahan SBY-Boediono, singkatnya melihat posisi duduk dalam rapat antara menteri dan presiden saja sudah tampak kurang sopan, juga dipastikan akan terjadi perasaan canggung untuk memberi instruksi apalagi menegur, ini terjadi dalam kacamata hubungan kekeluargaan dalam pernikahan tersebut. Kondisi ini sangat riskan dengan posisi Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang harus mendapatkan penilaian objektif, dalam kinerjanya menangkal krisis ekonomi global.
Secara etika pula, ke depannya jika nantinya Aliya Rajasa tertarik untuk terjun ke politik, misal menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg). Semestinya Aliya menjadi anggota atau pengurus dan caleg dari PD bukan PAN, selain karena mengikuti jejak suaminya juga sebagai kepatuhan seorang istri kepada suami.

Menerka Peluang Partai Nasdem di Pemilu 2014

Oleh: Efriza (Koordinator Forum Demokrasi untuk Indonesia/FD.I)

Di era reformasi setelah dibukanya kran kebebasan mendirikan partai politik (Parpol), nuansa politik bangsa sangat disesaki oleh aktivitas parpol. Berbagai motif pendirian parpol mendasari kehadiran partai-partai itu, seperti: (1). Partai hadir atas dasar keinginan orang-orang yang berkuasa dan berduit. (2). Kebutuhan orang untuk berpartai sebagian besar masih didominasi motif ekonomi. Orang masih memimpikan, parpol adalah tempat menggeruk keuntungan dan memperkaya diri, keluarga, dan kelompok. (3). Ingin mendapatkan kekuasaan. Baik itu kekuasaan eksekutif, dan legislatif. Dengan berbagai alasan, misalnya, menawarkan ideologi, gagasan, menawarkan struktur yang baru yang berbeda. Tetapi kembali lagi ujung-ujungnya adalah mendapatkan kekuasaan. Begitu pula, perpecahan dalam internal partai, mengakibatkan terbentuknya partai baru, ujung-ujungnya juga ingin mendapatkan kekuasaan. (4). Transaksional, misalnya jika gagal partai yang didirikannya itu kemudian dijual ke partai lain, dan (5). Bargaining posisition, untuk mendapatkan nomor urut “peci” atau struktur di DPP Partai lain yang dimasuki setelah partainya gagal.
Kondisi ini menyebabkan partai tidak lebih sebagai event organizer dari orang-orang yang ingin jadi pejabat publik, apakah itu untuk anggota legislatif atau eksekutif, termasuk juga sekarang ini untuk anggota yudikatif.
Jika dilihat pada era reformasi, apalagi dua kali Pemilu pada 2004 dan 2009, keberhasilan Partai Demokrat, Partai Hanura, dan Partai Gerindra untuk memperoleh kursi di parlemen. Menyebabkan gejala pendirian partai baru untuk Pemilu 2014 dan harapan dipilihnya partai baru sebagai alternatif dari kurang pekanya partai-partai lama membawa aspirasi rakyat, dianggap masih besar. Pertanyaannya, Apakah Pemilu 2014 akan memunculkan Partai baru yang berhasil meraih kursi di Parlemen?
Adakah Peluang Partai Nasdem?
Munculnya Partai Nasdem tidak terlepas dari diterimanya organisasi masyarakat (Ormas) Nasional Demokrat oleh semua lapisan masyarakat termasuk mereka yang masih aktif di dalam partai-partai politik. Ormas ini baru muncul setelah Surya Paloh kalah dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar.
Dapat dipastikan Partai Nasdem semestinya tetap menggunakan nama Partai Nasional Demokrat, tetapi karena nama Partai Nasional Demokrat telah terdaftar namanya di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengikuti verifikasi parpol pada Pemilu 2009 lalu, dengan nomor urut 80, Ketuanya adalah Drs. Hengki Baramuli, MBA, dan alamat DPP Jalan Jenggala I No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan-12810. Jika tetap dipaksakan didaftarkan maka konsekuensinya jelas harus ganti nama, dan belum tentu masyarakat sadar bahwa Partai Nasional Demokrat adalah embrio dari Ormas Nasional Demokrat, sehingga dengan kesadaran sendiri pemilihan nama Partai Nasdem sebagai langkah menerima pencitraan yang sudah melekat dalam menyingkat Nasional Demokrat menjadi Nasdem. Partai Nasdem pun akhirnya dinyatakan oleh Kementerian Hukum dan HAM lolos sebagai parpol baru yang berhak mengikuti Pemilu 2014.
Geliat Partai Nasdem begitu menyita perhatian publik karena kekuatannya di tingkat infrastruktur partai yang diklaimnya sudah mencapai 100 persen cabang di tingkat kecamatan; kemampuan dalam mengelola partai juga tidak perlu diragukan oleh kehadiran sebut saja Ahmad Rofiq sebagai Sekjen Partai Nasdem, Rofiq bukan orang baru yang mampu menata infrastruktur partai baru sebelumnya dia telah sukses sebagai Sekjen membawa Partai Matahari Bangsa (PMB) lolos sebagai partai peserta pemilu 2009 lalu; di sisi finansial partai tersebut cukup kuat dengan banyaknya kalangan pengusaha yang belakangan juga ikut bergabung; serta sumber daya mobilisasi media yang kuat berkat bergabungnya penguasa MNC Media Harry Tanoesoedibjo yang memperkuat kehadiran Surya Paloh dengan Media Group-nya.
Namun melihat dua kali Pemilu tersebut, sepertinya dewi fortuna diprediksi tidak akan berpihak kepada Partai Nasdem. Sebab, partai ini tidak memiliki tokoh yang sangat populer yang bisa membuat partai itu melonjak dramatis. Ini yang terjadi pada Partai Demokrat di Pemilu 2004 yang memiliki Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Begitu juga, dengan Partai Hanura melalui ketokohan Wiranto, maupun Partai Gerindra dengan ketokohan Prabowo Subianto. Sementara Partai Nasdem memang memiliki figur Surya Paloh dan Harry Tanosoedibjo, namun sulit untuk mengikuti kesuksesan ketiga partai tersebut, Surya Paloh dukungannya masih kecil. Sementara Harry Tanoe malah tidak dikenal oleh masyarakat.
Dukungan Surya Paloh diduga masih tetap kecil, karena kepopuleran dari kemunculan Surya Paloh berbeda dengan ketiga figur di atas. Misal, figur SBY dan Wiranto dapat mendongkrak popularitas partai karena kekalahan mereka yang dianggap sebagai kesuksesan tertunda dalam perebutan jabatan eksekutif. Sementara, Prabowo Subianto, dianggap sebagai tokoh alternatif dan berasal dari figur Cendana, sehingga menyita perhatian publik serta yang rindu tokoh dari Cendana. Sementara Surya Paloh muncul bukan karena kekalahan dalam perebutan jabatan eksekutif, melainkan dalam tataran yang kecil saja, di internal Partai Golkar dalam pemilihan ketua umum, figur Surya Paloh kalah dengan Aburizal Bakrie. Di sisi lain, Surya Paloh juga bukan tokoh alternatif, karena dia tidak begitu mencuri perhatian sejak Pemilu 2009 lalu.
Di samping itu, seperti diungkapkan oleh Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) tidak adanya tokoh dari Partai Nasdem yang dapat menjadi magnet electoral yang kuat, khususnya di wilayah Jawa, padahal jumlah pemilihnya sangat signifikan.
Dapat dipahami bergabungnya Harry Tanosoedibjo, karena Surya Paloh masih malu-malu untuk menyatakan dirinya di Partai Nasdem. Selain itu, popularitas Surya Paloh tidak bisa terus meroket, serta Surya Paloh sulit menarik ketertarikan masyarakat di pulau Jawa terhadap dirinya yang bukan figur dari Jawa, apalagi harapan Surya Paloh yang begitu besar terhadap Sri Sultan Hemengkubuwono X kandas, karena Sri Sultan malah memilih untuk hengkang dari Ormas Nasional Demokrat, karena tidak setuju dengan pembentukan Partai Nasdem. Sehingga Surya Paloh merasa perlunya figur dari Jawa yang kuat atau setidaknya yang mampu memobilisasi dirinya secara terus menerus untuk menjadi daya tarik (atau alternatif) dari figur selain Surya Paloh.
Di sisi lain, solidnya Partai Nasdem diragukan. Sebab, pembentukan Ormas Nasional Demokrat tak bisa dipungkiri terdiri dari beragam unsur politisi yang berasal dari anggota partai-partai politik. Dapat diprediksi, politisi-politisi itu akan memilih kembali ke partainya menjelang Pemilu 2014, karena sebagian dari mereka juga merupakan anggota DPR dan mereka juga akan menghitung kalkulasi bahwa keterpilihan mereka kembali dalam Pemilu lebih penting, apalagi adanya ambang batas parlemen yang mungkin berkisar antara 3 atau 4 persen yang menyulitkan peluang partai baru. Akibatnya, kekisruhan secara internal ini menyebabkan massa terbesar Partai Nasdem yang didapat dari Ormas Nasional Demokrat pun akan pergi, sebab massa tersebut diduga ditempatkan di Partai Nasdem karena didatangkan atas adanya patron tersebut dari beragam unsur politisi, sehingga demikian jika patron itu memilih tidak masuk Partai Nasdem dan kembali ke Partainya, maka massa tersebut juga akan beranjak pergi. Alasan analisis ini adalah, bisa saja para pengurusnya di Partai Nasdem adalah orang yang dibayar untuk dimasukkan sebagai langkah menyiasati aturan dan “bermain” dua kaki di Ormas Nasional Demokrat sehingga tidak menyebabkan politisi itu dipecat dari partainya dibandingkan dia harus bermain langsung di Partai Nasdem.
Politisi itu menganggap yang penting saat ini parpol itu lolos administrasi meski sebenarnya nama pengurus itu adalah orang bayaran. Jika ini yang terjadi, belum tentu nanti para pengurus-pengurus parpol tersebut, yang tetap bertahan di Partai Nasdem, bisa diterima dan dipilih masyarakat. Bisa saja, masyarakat malas memilih, karena tidak adanya partai alternatif, apalagi wakil rakyat di Senayan dengan adanya dua partai baru Hanura dan Gerindra tidak bisa membawa perubahan ke arah perbaikan, kedua hal ini yang memengaruhi jumlah Golput di Pemilu 2014 meningkat, bahkan angka partisipasi bisa jadi akan turun mendekati angka 50 persen.•

Senin, 17 Oktober 2011

Dilema: Presidensiil, Multipartai, dan Sang Presiden

Efriza
Ketua Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) dan Penulis buku Politik
Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem multipartai (multi-party system). Pola sistem multipartai secara teoritis, lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada pola dwi-partai.
Namun, Pertanyaan mendasar yang selalu dikemukakan berkenaan dengan sistem pemerintahan presidensiil berpaduan dengan multipartai adalah: mengapa multipartai dan sistem presidensiil sulit digabungkan? Penulis-penulis mancanegara memang telah menyatakan peringatannya, jika sistem multipartai berpadu dengan sistem presidensiil.
Sistem Presidensiil versus Multipartai
Misal, Juan Linz dan Arturo Velenzuela, dalam The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin Amerika, adalah yang membangun satu tesis menarik, presidensialisme yang diterapkan di atas struktur politik multipartai cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta akan menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Tesis tersebut diperkuat oleh studi Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America, yang berpendapat, kombinasi tersebut akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government), kondisi ketika presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen.
Sementara bagi Scott Mainwaring sendiri menyatakan, sistem multipartai bisa mendorong hubungan eksekutif dan legislatif menjadi deadlock, dibandingkan jika sistem multipartai dipadukan dengan sistem parlementer. Dalam sistem dwi-partai, partai pendukung presiden biasanya merebut suara mayoritas, atau sekurang-kurangnya mendekati hal itu. Ini terjadi jika hanya ada dua partai yang bersaing dalam pemilu. Namun, di dalam sistem multipartai, kejadian seperti itu lebih sulit dicapai.
Kombinasi presidensiil dan multipartisme lebih menyulitkan karena sulitnya membangun koalisi antarpartai. Koalisi multipartai dalam sistem parlementer berbeda dengan koalisi antarpartai dalam sistem presidensiil dalam dua hal pokok, yakni: Pertama, di dalam sistem parlementer, koalisi partai-partai yang memilih kepala pemerintahan dan anggota kabinet tetap bertanggungjawab untuk memberi dukungan terus-menerus kepada pemerintahan yang terbentuk. Sedangkan dalam sistem presidensiil, presiden terpilih membentuk sendiri kabinetnya, dan independen terhadap pengaruh parpol lain maupun lembaga legislatif.
Meski ada sejumlah anggota partai lain yang duduk di kursi kabinet, namun hal itu lebih merupakan ikatan individual, tanpa mengikat komitmen yang lebih permanen dengan parpol asalnya. Jadi, partai-partai sewaktu-waktu bisa menarik dukungan pada pemerintahan tersebut; dan Kedua, faktor pendorong bagi partai-partai untuk memutus koalisi biasanya lebih kuat di dalam sistem presidensiil. Dalam sistem presidensiil, keterlibatan aktivis partai di dalam kabinet akan mengkhawatirkan pudarnya identitas partai di mata publik, karena mereka hanya menjadi bagian dari kabinet, yang menonjol hanyalah partai yang mendukung si presiden. Dengan kondisi seperti ini, wajar jika ada kesempatan partai-partai akan menarik dukungan mereka pada presiden. Ketiga, secara umum, keinginan parpol membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensiil.
Upaya membangun koalisi tetap saja menjadi langkah darurat minority president. David Altman mengemukakan, “coalition are not institutionally necessary” Argumentasi Altman, “sistem presidensiil not conducive to political cooperation.”
Meski demikian, tetap saja dampak sistem multipartai yang penting untuk dicatat adalah keharusan pembentukan pemerintahan koalisi (governing coalition), yang dalam praktik di masa lalu banyak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan strategis karena mempertimbangkan banyak faktor, Milton C. Cumming menulis, “The existence of several parties can make itu more difficult to form a stable governing coalition than is the face in two-party systems.” Selanjutnya, “…such coalition are often fragile. At one extreme, governments fall repeteadly, and a country with a multiparty system may have three, or four, or more governments in one year.”
Banyak kalangan meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintah dalam sistem presidensiil. Misalnya, Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh dalam tulisan “Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialialism and Parliamentarism” mencatat banyak pendapat yang meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem multipartai, seperti: (1) Institutions shape incentives: presidentialism generates fewer or weaker incentives to form coalitions.(2) Coalitions are difficult to form and rarely, ‘only exceptionally,’ do form under presidentialism. (3) When no coalitions is formed under presidentialism, a ‘long-term legislative impasse’ ensues. (4) ‘There is no alternative but deadlock.’ (5) ‘The norm is conflictual government.’ (6) as a result, ‘the very notion of majority government is problematic in presidential systems without a majority party.’ (7) ‘Stable multi-party presidential democracy…is difficult. (8) ‘Presidential systems which consistently fail to provide the president with sufficient legislative support are unlikely to prosper.’
Bahkan, menjawab pertanyaan diatas, Scott Mainwaring dalam “Presidentialism in Latin Amerika” mengatakan: “The combination of fractionalized party system and presidentialism is incoducive to democratic stability because it easily creates difficulties in the relationship between the president and the congress. To be effective, government must be able to push through policy measures, which is difficult to do when the executive faces a sizeable majority opposition in the legislature.”
Dilema Sang Presiden
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampaknya sangat merasakan problematika sistem presidensiil dan multipartai tersebut. Sehingga jauh-jauh hari dalam pemilihan presiden (Pilpres), SBY yang mencalonkan diri kembali menjadi presiden perlu melakukan kontrak politik dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Bandung. Kondisi ini pula yang memperlihatkan, bahwa penyusunan kabinet dan perombakan kabinet yang merupakan hak prerogatif presiden tergadaikan akibat manuver dan desakan sejumlah partai politik.
Problematika ini semakin kentara dengan kelemahan dari karakter Presiden SBY (Moch Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti, Eds, 2009) seperti: (1) Kurang gigih dalam memperjuangkan ide-idenya; (2) Terlalu banyak pertimbangan sehingga lambat mengambil keputusan; (3) Terkesan ragu-ragu karena menunggu banyak masukan dari pihak lain sebelum membuat keputusan; (4) Lambat membuat keputusan; (5) Daftar secara emosional dan emosi tidak lepas; (6) Kurang tegas dan kurang memiliki kontrol terhadap orang; dan (7) Dapat menimbulkan kesan berpura-pura dan tidak menampilkan yang sebenarnya.
Dilema ini, sebenarnya tidak perlu terjadi, jika presiden menyadari, bahwa pertanggungjawaban konstitusional pemerintah, bukan merupakan tanggung jawab partai politik koalisi, tapi tanggung jawab Presiden. Pemerintah adalah pemegang kekuasaan. Ini artinya segala pemenuhan hak asasi warga negara termasuk keamanan, ketertiban, kesejahteran dan layanan umum lainnya adalah menjadi tanggungjawab presiden. Di sisi lain perlu dipahami pula, bahwa para menteri tidak bertanggungjawab secara konstitusi kepada rakyat. Mereka hanya pembantu yang bertanggungjawab kepada presiden.
Dalam UUD 1945 juga telah tegas dinyatakan, tertulis kewenangan mengenai hak prerogatif Presiden yaitu, mengangkat dan memberhentikan menterinya. Seperti tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) berbunyi: “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Bahkan, dengan tegas dikalimat tersebut tidak tercantum bahwa Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara harus melibatkan partai koalisinya.
Oleh karena itu, presiden sebaiknya segera menyadari untuk membuang halusinasi, bahwa mutlipartai sedang mencengkeram presiden. Partai-partai tidak akan bisa berbuat apapun dengan alasan politis. Kalaupun presiden mau diberhentikan dengan alasan politis oleh seluruh parpol, maka tidak serta merta mereka bisa melakukannya, karena dalam sistem presidensiil parpol tidak bisa memberhentikan presiden.
Menutup pembahasan ini, Penulis menyatir kalimat A. Irmanputra Sidin, Pakar Hukum Tata Negara Indonesia, bahwa “Sekarang ini jika kita mempelajari sikap Presiden, penilaiannya adalah Presiden SBY terlalu ragu oleh partai politik. Oleh karenanya, presiden harus keluar dari mainstream dari partai politik pendukungnya. Presiden harus berani meninggalkan partai termasuk Partai Demokrat, untuk menghindari masuknya konflik partai di dalam istana. Bahkan, jabatan partai politik tidak boleh terus melekat pada seorang figur publik. Sebab, segala tindak tanduknya akan dilihat untuk kepentingan partai, bukan rakyat.” •

Kamis, 13 Oktober 2011

MEMILIH SISTEM PEMILU UNTUK 2014

Efriza
Ketua Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)
Meskipun Pemerintah belum juga menyerahkan Daftar Investaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang harus dibahas bersama Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu di DPR. Namun, wacana memilih bentuk sistem pemilu apa yang akan diterapkan dalam Pemilu 2014 nanti, sudah memenuhi kolom-kolom surat kabar.
Sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009 diterapkan sistem baru. Yaitu, sistem pemilu proporsional terbuka, yang memadukan sedikit elemen sistem mayoritas-pluralitas (atau di Indonesia kerap disebut sistem distrik). Saat itu, selain memilih tanda gambar partai pemilih juga berhak memilih langsung caleg.
Sistem ini begitu rumit. Banyak menimbulkan pertentangan antarsesama caleg, antara partai dengan KPUyang tak seluruhnya benar-benar fasih mengartikulasikan resep-resep perhitungan itudll. Bahkan, hingga merebaknya kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa hasil pemilu. Maksud menghadirkan akuntabilitas melalui pemilihan orang, juga tak benar-benar bisa terjadi. Tak banyak masyarakat yang benar-benar mengetahui siapa wakil dari dapilnya. Imbasnya, eksprimen sistem proporsional terbuka pun dipertanyakan.
Usulan-usulan untuk Pansus RUU Pemilu
Sepertinya Indonesia sudah kadung memilih varian-varian yang terdapat dalam sistem representasi proporsional (RP) daftar. Sistem RP setidaknya ada empat jenis: Pertama, Daftar tertutup. Kursi yang dimenangkan parpol diisi dengan kandidat-kandidat sesuai dengan rangking mereka dalam daftar kandidat yang ditentukan oleh partai. Aspek negatif dari sistem daftar tertutup adalah: (1) pemilih tidak dapat menentukan pilihan siapa wakil dari partai mereka. (2) Daftar tertutup juga sangat tidak responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada caleg-calegnya menjelang pemungutan suara. Melewati aspek negatif tersebut, diusulkan, paling tidak, untuk caleg DPR, ditetapkan lewat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang melibatkan pengurus provinsi. Bahkan, jika perlu (melibatkan) pengurus kabupaten/kota, karena dapil adanya di sana.
Kedua, Daftar terbuka. Pemilih memilih parpol yang mereka sukai dan dalam parpol tersebut, juga memilih kandidat yang mereka inginkan untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Dengan sistem ini ada kemungkinan untuk mengubah urutan daftar kandidat di dalam daftar calon. Para pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang tersedia. Memilih kandidat dari partai-partai yang berbeda (ticket splitting) biasanya tidak diperbolehkan.
Sisi yang kurang menguntungkannya adalah: (1) Karena para caleg dari partai yang sama saling bertarung untuk memperoleh suara, jenis daftar terbuka ini dapat mengarah kepada konflik dan fragmentasi dalam partai. (2) Keuntungan dimana partai dapat menyusun daftar yang mencantumkan caleg yang beragam menjadi hilang. (3) Membuka ruang buat tampilnya orang-orang yang populer tapi tidak punya kapasitas politik. Misalnya artis (sebagai vote getter). (4) Dimanapun yang namanya sistem proporsional daftar terbuka (selalu terkait dengan suara terbanyak) itu, aktivitas money politics selalu tambah tinggi. Itu artinya, sistem proporsional daftar terbuka (suara terbanyak) itu membuka ruang yang lebar bagi pemilik untuk menjadi calon terpilih.
Ketiga, Daftar bebas. Tiap-tiap parpol menentukan daftar kandidatnya, dengan partai dan tiap-tiap kandidat ditampilkan secara terpisah dalam surat suara. Pemilih dapat memilih dari daftar partai sebagaimana adanya, atau mencoret atau mengulangi nama-nama, membagi pilihan mereka di antara daftar-daftar partai atau memilih nama-nama dari daftar manapun dengan membuat daftar mereka sendiri dalam sebuah surat suara kosong.
Kesempatan untuk memilih lebih dari seorang caleg dari daftar partai yang berlainan (dikenal sebagai Panachage), atau memilih lebih dari satu suatu untuk seorang caleg yang sangat mereka sukai (dikenal dengan istilah kumulasi).
Keempat, Daftar tetap (closed lists). Proporsional daftar tertutup dan proporsional daftar tetap mempunyai kemiripan. Yaitu pemilih hanya memilih tanda gambar partai. Bedanya, pada proporsional daftar tetap, nama caleg dicantumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sehingga para pemilih bisa melihat nama-nama itu sebelum mencoblos.
Meskipun juga telah ditawarkan usulan lain, seperti Cetro menawarkan penggunaan sistem Mixed Member Proportional (MMP), umumnya memadukan dua sistem besar, yaitu proporsional dan mayoritas/pluralitas. Umumnya varian proporsional daftar list (List PR) dengan varian first past the post (FPTP).
Tampaknya, jika melihat perdebatan di parlemen ada kemungkinan mengerucut terhadap dua pemilihan sistem yaitu, Pertama, dengan memadukan sistem proporsional tertutup dengan terbuka, atau memadukan proporsional tertutup dengan distrik, atau MMP. Atau pilihan Kedua, tetap menggunakan sistem proporsional terbuka (atau lebih dikenal suara terbanyak).
Pada dasarnya Pemilihan Sistem Pemilu, sampai pada kesimpulan para pakarseperti Dieter Nohlenbahwa tak ada satu sistem pemilu pun yang dapat diklaim sebagai paling baik. Tapi, di antara sistem-sistem tersebut, negara-negara yang menerapkannya bisa memilih yang paling cocok sesuai konteks negara tersebut. Asal jangan terulang lagi, seperti Pemilu Legislatif 2009 yang ambigu, dikatakan proporsional dengan daftar calon terbuka tetapi tidak ditetapkan dengan suara terbanyak, sehingga ini yang menimbulkan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan. 

Legitimasi Keterpilihan Anggota DPR Dipertanyakan?

Efriza
Ketua Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)
Pemilu Legislatif 2009 sudah dua tahun berlalu. Tapi borok Pemilu 2009 semakin menyegat tercium. Pada awal tahun 2011, Fernita Darwis, penulis buku “PEMILIHAN SPEKULATIF, Mengungkap Fakta Seputar Pemilu 2009,” me-launching bukunya. Kebetulan saya diminta untuk menjadi koordinator Tim Riset yang terdiri dari Peneliti dan Reporter sebuah Koran ternama di Indonesia.
Kami menemukan fakta bahwa penyelenggaraan Pemilu Legisatif tersebut bermasalah sejak proses data pemilih, penetapan parpol peserta pemilu, pencalonan, pemungutan suara, rekapitulasi dan penghitungan kursi hasil pemilu, hingga penetapan hasil Pemilu 2009. Hasil temuan kami ini ternyata menjadi kenyataan ketika merebak isu anggota-anggota terpilih seharusnya tidak berhak memiliki kursi tersebut, seperti yang sekarang telah bergulir hasil Panja Mafia Pemilu, bahwa memang ditemukan fakta adanya Surat MK yang dipalsukan.
Tapi sangat disayangkan, perjalanan surat palsu tersebut tidak ditelusuri secara benar-benar terang-benderang malah terkesan ingin menjatuhkan image salah satu partai saja, yakni Partai Demokrat. Memang tak bisa dimungkiri, Andi Nurpati, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sekarang menjadi Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat (PD) ditenggarai ikut terlibat pemalsuan surat tersebut yang diperuntukkan bagi kemenangan Dewi Yasin Limpo.
Faktanya, meski telah diketahui Andi Nurpati turut terlibat, tapi kepolisian hingga kini tidak dapat menjerat Nurpati menjadi tersangka. Bahkan, menariknya sebelum penetapan anggota DPR terpilih, beredar isu bahwa adanya 16 surat Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipalsukan terkait hasil sengketa hasil pemilu. Semestinya, persoalan ini ditelusuri, kita sudah mendengar kabar bahwa adanya surat panitera MK yang ditandatangani oleh Zaenal yang lainnya, yang tidak sesuai amar. Seperti, dalam amar putusan MK hanya menyebut suara PPP atau suara partai dan sama sekali tidak menyebut nama Ahmad Yani (PPP). Kondisi ini tak pelak, mengubur keberhasilan Usman M. Tokan (PPP) mendapatkan kursi tersebut. Bahkan, atas kasus ini Usman M. Tokan sudah melaporkan kasus ini pada Juni 2010 ke Bareskrim dengan Nomor LP/396/VI/2010/BARESKRIM.
Perkembangan kasus ini adalah, merebaknya kasus Halmahera Barat. Kasus Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, bermula saat pemilihan legislatif 2009, M Syukur Mandar selaku caleg Partai Hanura, mengklaim mendapat 18.179 suara di Halmahera Barat.
Namun, versi KPU setelah dihitung ulang Mandar hanya memperoleh 12.714 suara. Dampaknya suara Partai Hanura secara keseluruhan di Maluku Utara turun dari 40.175 suara menjadi 35.591 suara. Konsekuensinya, kursi DPR yang seharusnya menurut Syukur menjadi haknya itu berpindah ke orang lain.
Kasus gugatan Syukur mulai disidangkan di MK pada 12 Mei 2009. Setelah serangkaian sidang, pada 22 Juni 2009 MK memutuskan menolak gugatan Syukur. Syukur menuduh KPU menggunakan data rekapitulasi palsu untuk bukti ke MK sehingga dia kalah.
Atas kasus ini, status Ketua KPU sesuai versi Kejaksaan Agung menjadi tersangka. Patokannya adalah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanggal 27 Juli 2011 dari Bareskrim Polri yang diterima Jaksa Agung Muda Pidana Umum. Setelah bocor ke publik, Bareskrim mengklarifikasi status Ketua KPU belum tersangka dan diakibatkan salah ketik dalam penyusunan SPDP, (www.republika.co.id).
Persoalan surat palsu ini harus segera diselesaikan secara terang-benderang. Kasus-kasus seperti ini bukan hanya masalah surat palsu, seperti kasus lainnya yang tidak terekspos adalah, ketika terjadi Hasil Perhitungan Ulang Tulang Bawang, yang menggeser posisi keterpilihan Itet (PDIP) digantikan oleh Erwin (PDIP) dengan selisih suara sekitar 800-900, tapi perkembangan kasus ini Erwin diberhentikan dari PDIP sekitar 3 bulan saja menikmati kursi empuk Senayan, namun sunyi dari pemberitaan media massa. Erwin di PAW menurut sumber Anggota DPR dari PDIP, bahwa, “Ada permasalahan internal partai terkait dengan hasil suara yang bersangkutan saat Pemilu 2009, setelah dilakukan klarifikasi dan pengumpulan data-data melalui Komite Disiplin Partai akhirnya DPP melakukan PAW terhadap yang bersangkutan.” Kasus lainnya, yakni terpidana tetap lolos menjadi anggota DPR, yang akhirnya Izzul Islam (PPP) harus di berhentikan oleh Badan Kehormatan (BK) DPR karena kasus Ijazah Palsu dalam keikutsertaan terdakwa pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bupati Lombok Barat.
Berbagai kasus tersebut memperlihat Pemilu 2009 lalu penuh spekulatif. Dan, derajat legitimasi keterwakilan hasil pemilu tersebut rendah, karena hasil pemilu tidak mewakili rakyat dan kehendak politik pemilih. Bahkan, yang memperihatinkan dari hasil Pemilu 2009 adalah Berapa Banyak Anggota DPR Yang Terpilih Bukan Wakil Rakyat Yang Dipilih Dan Terpilih Pada Pemilu 2009 lalu? Kasus ini harus segera dibongkar, sehingga yang terpilih adalah Wakil Rakyat Yang Dipilih dan Terpilih. 

Kamis, 08 September 2011

DPR Sarang Koruptor

jakartapress.com (09/10/2011)
Dua tahun perjalanan anggota DPR Periode 2009-2014, tampak semakin jelas lembaga DPR telah menjadi sarang koruptor. Banyak anggota DPR terbelit kasus korupsi, uniknya kasus korupsi tersebut juga banyak terjadi sebelum anggota DPR itu terpilih.
Fakta telah membuktikan Pemilu 2009 lalu, partai dalam mengisi calon anggota legislatif lebih mengutamakan, baik para kader maupun kader instan yang populer, yang memiliki uang dan mampu mengumpulkan uang bakal mendapat tempat terhormat. Celakanya, parpol tidak memiliki pola rekrutmen dan pendidikan internal yang memadai.
Keadaan ini menimbulkan riuh oleh isu panas dari korupsi yang telah membelit mereka sebelumnya, sampai dengan korupsi yang baru seperti korupsi proyek pembangunan sampai dugaan korupsi bantuan sosial.
Problematika ini makin kentara seperti dijelaskan oleh W. Riawan Tjandra dalam artikel, “Banalitas (Partai) Politik,” akibat kultur politik yang mendorong terjadinya sistem politik yang korup dan manipulatif. Seperti, sistem kampanye yang lebih diwarnai politik “padat modal” daripada “padat karya,” lalu masalah berikutnya kontestasi politik yang cenderung transaksional daripada profesional (money driven politic) telah mendorong terjadinya sistem pemilu ataupun pemilu kepala daerah yang jauh dari semangat good governance. Tak aneh jika kultur dan sistem politik semacam itu akhirnya menghasilkan banyak elit politik yang “tersandera” biaya kampanye yang tinggi, dan setelah terpilih kebanyakan tersandung berbagai praktek korupsi. Selain itu, sistem pendanaan partai politik yang selama ini tidak transparan tak jarang menjadi ajang transaksi antara pemodal/pengusaha (nakal) dan elit politik.
Rentang waktu tiga tahun menuju Pemilu 2014, menjadi tantangan bagi partai politik membenahi sistem internal partai masing-masing untuk mengembalikan kepercayaan publik. Tantangan ini juga untuk merespon kepercayaan rakyat kepada parpol yang sudah semakin rendah (buruk). Mengingat banyak pengurus parpol yang terjerat kasus korupsi, asusila, dan kegiatan parpol serta anggota legislatif yang berfoya-foya dengan menghambur-hamburkan uang untuk kegiatan pribadi maupun kelompoknya, seperti kasus kunjugan kerja sejumlah anggota dewan ke luar negeri yang menghabiskan biaya hingga miliaran rupiah, tetapi tidak membawa hasil memuaskan bagi kesejahteraan dan nasib rakyat Indonesia.
Kepercayaan publik yang semakin memburuk ini, dapat kita amat dalam persentase angka partisipasi pemilih (voters turn out) di Indonesia terus meluncur turun. Turunnya partisipasi ini tidak tanggung-tanggung. Betapa tidak. Dalam tiga pemilu legislatif terakhir, penurunannya sudah di atas 29-an percentage point. Dari 89,85 persen pada Pemilu 1999, menjadi 60,78 persen pada Pemilu 2009.
Tren penurunan ini diprediksi akan terus berlanjut di Pemilu 2014 , sehingga angka partisipasi bisa jadi akan turun mendekai 50 persen. Imbas dari penurunan ini adalah jika sampai 50 persen, maka legitimasi anggota DPR terpilih menjadi rendah.

Kamis, 21 Juli 2011

Dapatkan Segera Di Gramedia-gramedia



Karya terbaru Efriza & M. Djadijono, "WAKIL RAKYAT tidak MERAKYAT, Evaluasi Kinerja Satu Tahun Wakil Rakyat Indonesia," Alfabeta, 2011, Rp. 58.000

Komentar Pembaca
------------------
"Di tengah sorotan yang tajam terhadap kinerja wakil rakyat, baik DPR, DPD dan MPR (yang isinya anggota DPR dan anggota DPD), buku ini hadir memberikan evaluasi. Belakangan ini wakil rakyat memang lebih mendapatkan sorotan, ketimbang lembaga eksekutif yang sebetulnya lebih memiliki banyak sumber dana dan sumber daya manusia. Besarnya perhatian publik ini, dihadapkan dengan informasi yang kurang memadai menyangkut kelembagaan legislatif itu sendiri. Buku ini berusaha menutupi kekurangan bahan bacaan menyangkut legislatif atau wakil rakyat itu. Sangat layak dimiliki oleh kalangan pengamat, politisi, kelompok-kelompok kritis dan mereka yang peduli pada politik."

Indra J Piliang,
Dewan Penasehat The Indonesian Institute (TII), dan
Ketua Departemen Kajian Kebijakan DPP Partai Golkar

Rabu, 20 Juli 2011

Dapatkan Segera Di Gramedia-gramedia



Karya Terbaru Efriza & M. Djadijono, "WAKIL RAKYAT TIDAK MERAKYAT, Evaluasi Kinerja Satu Tahun Wakil Rakyat Indonesia," Alfabeta, 2011, Rp. 58.000

Komentar Pembaca
--------------------

“Dalam suatu forum blog, saya pernah menulis bahwa reproduksi publikasi terkadang dibutuhkan untuk menghindarkan diri dari penyakit lupa atau pendek ingatan, apalagi kalau sudah akut. Media sebenarnya telah menjalankan sebagian peran tersebut. Tapi tidak dapat diandalkan sepenuhnya karena ada segmentasi dan fokus yang berbeda, termasuk ruang lingkup mendokumentasikan kinerja lembaga-lembaga negara yang berada di kompleks Senayan (MPR, DPR, dan DPD). Atau dengan kata lain, menyangkut bagaimana segelintir orang yang sudah dipilih dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, bekerja dalam kurun waktu lima tahun.

Seperti karya-karya sebelumnya, Efriza, yang kali ini berduet dengan M Djadiono, sangat kaya merangkum data dan informasi pemantauan. Sebagai rujukan dalam menyusuri kinerja ketiga lembaga selama 2010, karya ini layak direkomendasikan. Bahkan di beberapa bagian, muncul pula aspek evaluasi. Sayangnya, evaluasi dimaksud belum menghadirkan sebuah pendekatan tersendiri, yang mensinergikan antara aspek teoritis dengan institusionalisasi parlemen modern. Hal ini penting, mengingat kesadaran untuk bersikap kritis dan mawas yang muncul dari masyarakat pelan-pelan menguat, di berbagai forum dan media. Di sisi lain, kajian keparlemenan sering terpinggirkan dibandingkan partai politik dan sistem kepemiluan. Di luar harapan tersebut, setidaknya dari karya ini akhirnya kita tahu dan selalui bisa tahu apa yang sudah mereka hasilkan, sambil berefleksi kemana sesungguhnya proses demokratisasi mengarah. Selamat atas lahirnya karya ini!”

Ronald Rofiandri,
Direktur Monitoring, Advokasi, dan
Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

Selasa, 19 Juli 2011

Telah Beredar di Gramedia-Gramedia



Karya terbaru Efriza & M. Djadijono, "WAKIL RAKYAT TIDAK MERAKYAT, Evaluasi Kinerja Satu Tahun Wakil Rakyat Indonesia,"Alfabeta, 2011, Rp. 58.0000

Komentar Pembaca
------------------
“Sebagai anggota DPR yang terpilih pada 4 kali pemilu di era reformasi ini, secara jujur saya mengatakan bahwa kualitas anggota dan kinerja lembaga dari pemilu 1999 hingga pemilu 2009 bukannya terjadi peningkatan tapi sebaliknya. Pada pemilu 1999 objektifitas, kejujuran dan motivasi untuk bangkit dan perangi KKN begitu kuat, pada pemilu 2009 yang terjadi sebaliknya. Kematangan dan kedewasaan parpol sebagai pilar demokrasi tidak tumbuh dan berkembang baik, justru sebaliknya, demikian halnya dengan pemilih yang seharusnya makin cerdas dalam memilih justru sebaliknya, semakin tergiur dengan materi.”


Agun Gunandjar Sudarsa
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar

Senin, 18 Juli 2011

Telah Beredar di Gramedia-Gramedia


Karya Terbaru Efriza dan M. Djadijono, "WAKIL RAKYAT TIDAK MERAKYAT, Evaluasi Kinerja Satu Tahun Wakil Rakyat Indonesia," Alfabeta, 2011. Rp. 58.000

Komentar Pembaca
-----------------

“Kelebihan buku ini adalah kemampuannya untuk merekam secara detail tentang peran dan fungsi parlemen di Indonesia, khususnya pada era Reformasi. Uraian yang jernih, mengalir serta terstruktur mengikut kronologi waktu, membuat (kita sebagai) pembaca dengan mudah mengerti dan memahami mengenai paparan serta perbincangan yang ditulis oleh M. Djadijono & Efriza. Selain itu, keduanya menulis dengan penuh ketekunan, komitmen dan kecermatan sehingga membuat buku ini menjadi otoritatif sebagai buku rujukan dan ‘pegangan’ bagi mahasiswa, aktivis, penyelenggara pemerintahan, politisi dan masyarakat awam yang berminat mendalami perihal ini.”

Leo Agustino, Ph.D
Dosen Sains Politik, Universiti Kebangsaan Malaysia

Buku Terbaru Karya Efriza & M. Djadijono


Karya Terbaru Efriza & M. Djadijono, "WAKIL RAKYAT TIDAK MERAKYAT, Evaluasi Kinerja Satu Tahun Wakil Rakyat Indonesia," Alfabeta, Bandung, 2011, Rp. 58.000.

“Cukup menarik membaca buku yang ditulis oleh Saudara Efriza dan M. Djadijono tentang evaluasi kinerja satu tahun wakil rakyat Indonesia yang disajikan secara gamblang. Saya sangat mengapresiasi penerbitan buku ini yang merupakan kritik dari kalangan peneliti atas kinerja DPR periode 2009-2014. Walaupun dengan judul yang terkesan provokatif, namun penulis mampu menampilkan data yang relatif cukup lengkap dan komprehensif. Buku ini merupakan manifestasi peran dari civil society dalam melakukan kritik sosial terhadap negara dalam hal ini DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya merakyat. Buku ini memberikan inspirasi baru bagi kita semua bahwa perlu dibangun budaya “mengkritik berbasis data” bukan sekedar asal mengkritik. Menurut saya buku ini wajib dibaca oleh anggota DPR, DPD dan MPR, calon anggota legislatif, kepala daerah, aktivis politik atau masyarakat pemerhati politik pada umumnya. Tentunya kritik ini bermuara pada harapan agar Kinerja DPR bisa lebih baik dari kondisi sebelumnya.”

Irvansyah,
Anggota DPR RI Fraksi PDIP

Selasa, 07 Juni 2011

Cerita Politik (Cerpol)

BAGIAN I
Daulat Parpol Versus Daulat Rakyat
PrOlUdE….
3 Juni 2011, 15.30 WIB
Ketika Amanda selesai menulis dan mengirimkan karya tulisnya yang berjudul “Kontroversi Recall” via email kepada Pa Irman, Dosen Sistem Perwakilan Politik, di Universitas Politik Indonesia.
Amanda, lalu pergi untuk membeli makan siang.
Sepulang, membeli makan dan menyelesaikan mamamnya. Ia, mengecek kalo-kalo ada SMS.
Ternyata benar, Dosennya Pak Irman, mengirimkan SMS, “Bs ditelp?.”
Amanda mengetik balasan, “Pak, silahkan nelp. “Sy tadi beli makan dulu.”Sebelum dikirim SMS tersebut, Amanda menyiapkan alat rekamannya.
Karena seperti biasanya, Pak Irman jika menelpon selalu banyak ilmu yang bisa didapatkan Amanda dengan cuma-cuma. Sehingga Amanda tak ingin membuang kesempatan itu dengan percuma.
Setelah semua dirasakan siap, dikirimkannya SMS tersebut.
ApA SiH ReCaLL ItU ?
“Hallo,” dosen Irman membuka percakapan.
“Iya, ya Pak,”jawab Amanda, mahasiswi semester dua, sambil menyetel tape recordernya.
“Sudah siap,” tanya Pak Irman.
“Siap Pak,” ujar Amanda.
“Tulisan yang kamu kirim barusan, itu hanya sebagian kecil saja yang tidak terlalu pas.
Pasal yang dikutip dalam Undang-Undang Dasar, bahwa tata cara Pemberhentian Anggota DPR diatur dengan Undang-Undang. Seolah-olah itu kan dijadikan dasar, bahwa, Undang-Undang bebas memuat ketentuan norma atau kebijakan bagaimana cara memberhentikan anggota DPR. Termasuk melalui mekanisme, tanda kutip recall itu.
Padahal tidak!,” tegas Dosen Irman.
“Oh gitu…,”Amanda mencoba tuk mengerti kesalahannya.
Pasal itu bukan seperti cek kosong yang bisa ditulis apa saja oleh DPR dan Presiden.
Yang saya maksud bukan cek kosong karena apa? Dia harus tunduk kepada filosofi yang saya sebut ini prinsip daulat konstitusi itu, daulat rakyat itu.
“Oh…gitu Pak,” Amanda berusaha tuk memahami.
Dia harus tunduk disitu, yang saya bahas itu bahwa dia harus tunduk. Bahwa silahkan atur selama tidak bertentangan dengan daulat rakyat atau daulat konstitusi itu.
Silahkan atur tata cara pemberhentian anggota DPR, tetapi jangan sampai melanggar Pasal 20A ayat (3) itu yang mengatur hak-hak konstitusional anggota DPR.
Pasal 20A ayat (3) berbunyi: “Selain hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.”
“Oh ya…ya…,”ujar Amanda
Yang mana itu hak konstitusional individu anggota DPR, hak menyampaikan pendapatnya, keterangan, pandangan. Itu. Begitu.
Kalau misalkan karena anggota DPR mengemukakan pandangannya, kemudian atas dasar ketentuan diatur Undang-Undang dia bisa diberhentikan. Itu tidak bisa seperti itu.
Jadi ada tetap rambu-rambu konstitusi yang membuat pasal itu bukan cek kosong.
Tata cara pemberhentian silahkan atur tata caranya, selama tidak bertentangan prinsip-prinsip yang diatur dalam konstitusi sendiri. Seperti yang saya sebut, “Pasal 1 ayat (2) bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Kemudian Pasal 20A tentang eksistensi anggota DPR, tadi. Hanya satu jabatan negara di republik ini, yang oleh konstitusi diberikan hak-hak konstitusional secara individu, secara langsung. Yaitu Anggota DPR.
Hak menyampaikan itu pandangannya. Event Wakil Presiden pun tidak diberikan hak-hak itu. Event Menteri sekalipun tidak diberikan hak-hak itu.
“Dalam Undang-Undang Dasar ya Pak?,”tanya Amanda penasaran.
Dalam Undang-Undang Dasar, tidak ada jabatan lain, hanya satu itu. Berarti, Undang-Undang Dasar memang, memberikan peran utama kepada anggota DPR untuk melaksanakan hak-hak individu anggota DPR itu.
Tidak boleh direduksi oleh pranata Partai Politik atas nama, kebijakan partai. Tidak bisa seperti itu.
“Aku tahu, yang Bapak maksud itu adalah Pasal 22B kan?,”tanya Amanda kembali.
Pasal 22B tersebut berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.”
“Iya,” jawab Irman.
“Memang ada beberapa rujukan Penulisan tentang Hak Recall rata-rata pada Pasal 22B,”Amanda menjelaskan kutipan pemikiran yang diambilnya untuk makalahnya tersebut.
“Itu yang makanya saya bilang ada pembedaan pemikiran serius di situ sama Bapak. Seperti ditegaskan dalam penjelasan di dalam email saya itu,” lanjut Amanda.
“Iya itu,” Irman mengiyakan penjelasan Amanda.
“Satu lagi Pak, kan tadi Bapak bilang DPR sangat kuat. Istilahnya diatur lah semuanya di Undang-Undang Dasar. Selain DPR, Mahkamah Konstitusi (MK) juga diatur kok secara rinci kinerjanya?,” tanya Amanda memastikan kebingungannya, untuk mencari jawaban.
“Bukan DPR, tapi Anggota DPR,” tegas Irman.
“Oh…Anggotanya,”Amanda mencoba memahami kembali.
“Kalo MK hakimnya itu tidak diatur hak konstitusionalnya,” ujar Irman kembali.
“Oh…ternyata Mahkamah Konstitusi itu lembaganya, sementara DPR juga dilekatkan kepada Anggotanya,”lanjut Amanda.
“Mahkamah Agung juga sama dengan Mahkamah Konstitusi,” tutur Irman kembali.
“Hanya yang bisa menyaingi lembaga DPR, adalah Presiden saja,” tegas Irman.
Karena Presiden juga diatur hak-hak konstitusionalnya sebagai presiden. Misalnya, menetapkan Perppu, mengangkat kabinet. Itu Presiden, imbangannya itu.
Guna mengimbangi kekuasaan Presiden dahsyat ini, maka Undang-Undang Dasar melekat langsung pada setiap anggota DPR.
Bukan hanya kepada lembaga dilekatkan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, kepada anggotanya langsung. Kan begitu.
Seperti hak mengajukan Rancangan Undang-Undang, dan lain-lain. Supaya bisa mengimbangi Presiden.
“Jadi diatur dalam Pasal 20A ayat (3) itu ya?, Amanda meminta penegasan kepada Sang Dosen.”
Nah di situlah kata kuncinya, anggota DPR memiliki dalam tanda kutip posisi yang sangat kuat di parlemen. Kayak kasus Gus Choi dan Lily Wahid. Kan seperti itu.
Recall yang menimpa dua anggota DPR dari PKB, Lily Chadidjah Wahid (Lily Wahid) dan Effendy Choirie (Gus Choi). Keduanya di-recall dua pekan setelah voting hak angket mafia pajak. Dalam paripurna 22 Februari 2011, keduanya termasuk dalam 264 pendukung hak angket. Sebanyak 26 anggota Fraksi PKB lain yang hadir di paripurna saat itu, masuk dalam barisan penolak hak angket. Pendukung hak angket akhirnya kalah, karena penolak angket berjumlah 266 orang.
Bahwa, soal kemudian, Dia (anggota DPR) berbeda pendapat dengan garis kebijakan partai. Itu urusan internal partai politik.
Kenapa urusan internal partai politik? Yang tidak linear, secara otomatis berimplikasi kepada kedudukannya sebagai anggota DPR.
“Oh Iya, tulisan Pa Irman seperti itu yang sering dimuat berbagai media massa,” sela Amanda.
“Iya,”lanjut Irman.
Filosofinya apa?
Partai Politik hubungan dengan anggotanya adalah hubungan privat politik. Gitu…
Sementara, anggota partai politik yang kemudian, dia menjadi anggota DPR. Makanya dia memiliki fungsi-fungsi publik yaitu fungsi-fungsi negara yang dia jalankan.
Rusaknya hubungan privatnya dengan Partai Politik, tidak otomatis, tidak berbanding lurus, bahwa, dia sebagai anggota DPR dalam menjalankan fungsi negara juga harus rusak.
“Emmmm…,”Amanda mencoba mencernanya.
“Seperti itu,” ujar Irman.
Bahwa misalnya Gus Choi, tanda kutip, anggota DPR berbeda pendapat dengan fraksi. Itu masalah internal mereka. Tapi tidak serta-merta kedudukannya sebagai anggota DPR akan putus.
Kenapa? Karena dia menjalankan fungsi negara disitu.
Dia menjalankan fungsi negara, itu lain soal.
Hubungan dengan konstituennya itu lain soal, sebagai wakil rakyat.
Analog ketika, di lembaga kepresidenan.
Suatu saat presiden kita, ketua dewan pembina partai, dia dipecat sebagai dewan pembina partai itu.
Pertanyaannya, “Apakah otomatis dia berhenti menjadi presiden?,”“Tidak!,”tegas Irman.
Kenapa? Karena itu hubungan privatmu itu, internal kamu itu sebagai Ketua Dewan Pembina Partai. Tetapi hubunganmu dalam menjalankan tugas kepresidenan. Itu adalah hubungan publik dimana kamu menjalankan fungsi negara yang tidak otomatis. Tidak otomatis!
“Emmm…,”Amanda pun mengerti maksud Pak Irman tersebut.
Membuat privat juga untuk kewajiban konstitusionalnya sebagai anggota DPR maupun sebagai presiden. Tidak!.
Bisa saja dia kehilangan, kewajiban dan hak sebagai anggota Partai Politik dalam tubuh Partai Politiknya. Tetapi tidak otomatis dia kehilangan kewajiban dan hak dalam menjalankan fungsi negara, termasuk sebagai anggota DPR maupun Presiden.
”Ya, iya…,”Amanda semakin mengerti.
Lalu bagaimana mekanismenya kalo seperti itu misalnya? Dalam kasus, misalnya, kasus Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, tanda kutip.
Kasus yang menimpa politikus Partai Demokrat M. Nazarrudin, menyebabkannya dilengserkan dari posisinya sebagai bendahara umum Partai Demokrat. Nama Nazaruddin muncul dalam berita acara pemeriksaan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang, tersangka kasus wisma Atlet, Palembang.
Oh silahkan partai politik mengajukan ke DPR, kepada Badan Kehormatan (BK) DPR. Nanti Badan Kehormatan yang memutuskan berhenti atau tidak. Atau melalui mekanisme yang kamu tulis itu Amanda, melalui mekanisme referendum.
Dalam tulisannya, Amanda mengusulkan, untuk menyelesaikan benang kusut perdebatan hak recall, misalnya, mekanisme referendum, dimana rakyat di suatu Dapil bisa saja meminta penggantian anggota DPR yang dinilai kinerjanya tidak memuaskan. Dengan cara, misalnya, anggota dewan dari Dapil Depok dengan 150 ribu suara. Ketika anggota dewan yang bersangkutan melanggar etika, maka ia dapat diberhentikan hanya dengan persetujuan 75 ribu plus 1 suara Dapil anggota dewan yang bersangkutan.
Nanti Badan Kehormatan yang memutuskan berhenti atau tidak, atau mekanisme yang kamu tuliskan itu kan. Itu semua tulisanmu utuh, mengenai referendum itu. Nanti ketemu alurnya di situ, jadi dimix-kan saja itu, dengan kata kuncinya yang saya jelaskan ini.
“Mekanisme recall ya?,”ujar Amanda
“Ya, mekanisme recall yang berbagai varian kamu tuliskan, itu benar.”
“Benar itu.”
“Itu ketemu semua.”
“Kenapa?,”masih lanjut Pak Irman.
Kenapa Referendum? karena saya memilih Misal, Riri sebagai wakil saya untuk lima tahun di Parlemen. Itu kan, saya memilih.
Bukan partainya saja saya pilih, termasuk orangnya saya pilih. Gitu.
Kewajiban saya memilih seperti itu kan.
“Iya,” jawab Amanda.
Tiba-tiba Riri besok diberhentikan sebagai anggota partai politik. Saya sebagai konstituen marah dong.
Eh… ada apa kok tiba-tiba Riri juga berhenti sebagai anggota DPR?
Wong saya sudah capek-capek memilih dia!.
Ada ribuan kawan-kawan saya warga di sini memilih dia. Kok dia tiba-tiba karena pilihan A-nya dalam voting, dalam menjalankan hak konstitusionalnya saya sebagai rakyat dalam memilih wakil saya.
Kok tiba-tiba dianulir begitu saja oleh partai politiknya, atas nama dia diberhentikan sebagai anggota parpol. Begitu kan logikanya, tulisanmu yang menceritakan pemberhentian Gus Choi dan Lily Wahid yang kamu buat.
Bisa, dia diberhentikan atas nama mekanisme internal DPR atau atas nama itu referendum yang kamu tulis itu.
“Itu sudah benar itu, begitu,” tegas Irman kembali.
“Antara tulisan aku dengan pemikiran Bapak ada perbedaan sedikit. Itu istilahnya kan Bapak tidak boleh AD/ART itu mengganggu, misalnya, dia sudah keluar dari partainya masih boleh menjabat sebagai anggota DPR, itu loh.
Cuma kalo aku, tidak boleh begitu, kalo Bapak kan masih boleh menjabat sebagai anggota DPR. Itu gimana tuh jalan keluarnya?,” tanya Amanda kembali.
“Kayak kasusnya apa?,” Irman mencoba bertanya kembali untuk memastikan pertanyaan Amanda.
“Dia keluar dari partai politik?,”lanjut Irman.
“Iya. Atau dia pindah fraksi, nah itu kan pernah terjadi di Partai Bulan Bintang (PBB) pada tahun 1999, seperti itu. Terus menjelang Pemilu kan pada loncat (pindah) partai. Nah kalo aku kan langsung di-recall?,”terang Amanda.
Kasus ini merupakan kejadian pada DPR Periode 1999-2004 yakni, Hartono Mardjono dan Abdul Qadir Djaelani setelah “di-recall” DPP PBB memilih bergabung ke Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (FKKI).
Kalo misalnya anggota partai politik itu pindah fraksi atau pindah partai. Dia bukan diberhentikan karena pindah fraksi atau pindah partai. Dia melanggar kode etik yang bisa disusun di parlemen itu. Gitu.
“Ooh…,”gumam Amanda untuk mencoba mengerti.
“Kenapa?,”tanya Irman.
Karena, tidak ada kewajiban anggota DPR itu anggota parpol oleh Undang-Undang Dasar.
“Emmm…,”Amanda mencoba memahami kembali.
Tidak ada kewajiban disitu. Dalam Undang-Undang Dasar bahwa anggota DPR bukan anggota parpol. Tidak ada!.
“Iya kan?,”tanya Irman.
“Ya iya, memang ada di diktat Bapak. Saya sudah memahami itu,”ujar Amanda.
“Ooohhh…,”Irman mengiyakan.
Jadi, tidak ada. Parpol peserta iya, berarti peserta disitu yaitu mekanismenya hanya pengantar saja disitu.
Bahwa kemudian ia kayaknya, ini orang ini tidak ada politiknya dan lain sebagainya. Toh, nanti dia bisa diberhentikan melalui mekanisme internal DPR atau mekanisme rakyat meminta referendum untuk apa nya, misal, karena dia dianggap kurang aspiratif. Itu soal berikutnya. Tapi bukan karena ia keluar dari partai politik itu.
Jadi pada tahun 1999 pernah terjadi pada kasus seperti ini, kalau tidak salah.
“Iya, ya ada-ada pada kasus Partai Bulan Bintang,” tutur Amanda bersemangat.
“Jadi kira-kira yang sudah bagus dan sesuai dengan pembahasan mata kuliah itu apa saja yang poin-poinnya sama?,”tanya Amanda mencuri kesempatan.
“Kenapa,” tanya Irman.
“Kira-kira yang sudah bagus dan disesuaikan dengan masukan Bapak. Dari bahasan floor crossing kah?,”Amanda terus mencoba mencuri kesempatan agar tulisannya menjadi bagus dan menyenangkan bagi sang dosen.
“Floor crossing apa lagi itu? Saya rada lupa istilah itu,”Irman pun memancing pengetahuan Amanda, atas apa yang telah ditulisnya.
“Floor crossing istilah itu, pada kasusnya si…siapa itu? Lily sama Effendy,”Amanda mencoba mengingat isi tulisannya.
“Kenapa dia itu?,”tes sang Dosen.
“Floor crossing itu istilahnya dia berbeda pendapat sama partai, tapi disaat dalam voting. Gitu loh?,”jelas Amanda.
Kasus recall yang dilatari perbedaan sikap antara anggota DPR dan parpol induknya terkait dengan suatu kebijakan tertentu yang harus diputuskan dalam pemungutan suara (voting) terbuka. Dalam tradisi berparlemen, tindakan seperti ini dikenal dengan istilah floor crossing.
“Oohhh…terus?,”tanya Irman.
“Itu kan, kalau pakai logika Pa Tommy Pakar Parlemen Indonesia. Dia tidak bisa diberhentikan, karena dia merupakan wakil konstituen, gitu loh, bukan wakil partai.”
Dalam tulisan Amanda yang dikutip dari tulisan Pakar Parlemen Tommy A. Legowo, Salah satu praksis floor crossing menyatakan, anggota parlemen tidak harus kehilangan kursi (keanggotaan parlemen) karena menyatakan pendirian yang berbeda dengan parpol induknya, sekalipun kursi itu diperoleh dari sistem pemilu proporsional daftar tertutup.
“Setuju saya, kalau begitu logikanya. Itu memang seperti itu,” ujar Irman.
“Pak Tommy kan ada beberapa syarat tidak setujunya atau tidak bolehnya diberhentikan Lily dan Effendy. Itu menurut Bapak, syarat-syaratnya sesuai tidak dengan Bapak?,”terang Amanda.
Melakukan recall semata-mata karena floor crossing anggota DPR di parlemen, pertimbangan-pertimbangan khusus perlu dicermati, seperti disarankan oleh Tommy A. Legowo Peneliti Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), meski begitu, sarannya tersebut diperjelas lagi oleh Amanda.
Pertama, seorang kader parpol yang menjadi anggota DPR tidak lagi hanya mewakili parpol induknya, tetapi juga entitas lebih luas. Apalagi sistem pemilu telah berubah. Dari sistem proporsional tertutup yang mengandalkan nomor urut berdasar selera pimpinan partai, menjadi sistem proporsional terbuka yang membuat peraih suara terbanyaklah yang mengisi lembaga perwakilan rakyat. Pemilih tak lagi memilih tanda gambar partai, tapi telah memilih orang, sehingga suara konstituen harus dilindungi secara layak. Dan, pemilu proporsional daftar terbuka menghasilkan pada dasarnya dua prinsipal utama yang harus diwakili anggota DPR, yaitu: parpol dan konstituen (pemilih).
Kedua, selain melegitimasi keterpilihan anggota DPR, perolehan suara anggota DPR menyumbang akumulasi perolehan suara parpol. Anggota DPR adalah caleg terpilih karena perolehan suara terbanyak di masing-masing daerah pemilihan. Anggota-anggota DPR pada dasarnya telah berperan sebagai vote getters utama bagi masing parpol-parpol induknya.
Ketiga, mandat konstituen untuk anggota DPR berlangsung lima tahun. Logikanya sederhana saja, yaitu: masa bhakti mereka berlangsung lima tahun. Jika seorang anggota DPR diberhentikan oleh parpol karena perannya mewakili aspirasi konstituen, ini merupakan pencabutan mandat secara sepihak, dan bisa berarti sewenang-wenang.
Bahkan, setiap anggota dewan punya hak dan kedaulatan dalam menyampaikan sikap seperti yang diamanatkan dalam Pasal 20A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Partai, apalagi fraksi, sama sekali tidak memiliki jaminan konstitusi dalam hal menyatakan pendapat atau sikap.
Dengan hak imunitas yang dimilikinya sebagai anggota dewan itu maka Lily dan Gus Choi tidak dapat disanksi apalagi diberhentikan dari anggota DPR.
Jika DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tetap memberi sanksi kepada anggotanya di DPR yang tengah menggunakan hak-hak konstitusinya maka PKB bisa dianggap telah melakukan tindakan atau kegiatan yang bertentangan dengan konstitusi. Konsekuensinya, PKB bisa digugat ke pengadilan sebagai partai yang sudah melanggar konstitusi. Ancamannya jelas, yakni dibubarkan.
Keempat, konstituen parpol bukanlah entitas homogen, apalagi jika dihubungkan dengan isu kebijakan. Floor crossing di parlemen bisa jadi merupakan persepsi visioner anggota DPR terhadap kenyataan konstituen yang heterogen. Ini malahan bisa menguntungkan parpol .
Kelima, jika floor crossing merupakan pendirian anggota DPR karena melaksanakan peran mewakili konstituen, Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) Pasal 196 ayat (3) juga menjaminnya: “Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.” Pendek kata, jika sikap kritis diancam dibungkam dengan recall, maka kepentingan publik dan demokrasilah yang dirugikan. Apalagi jika itu karena sebuah istilah pilihan partai sebagai oposisi atau koalisi, artinya PKB sebagai partai koalisi pemerintahan tidak bisa mereduksi hak-hak anggota DPR. Seolah-olah koalisi jauh lebih perkasa dari anggota DPR yang kita lekatkan hak konstitusionalnya.
“Yang mana itu?,”tanya Irman.
“Ya itu, tentang floor crossing,”jawab Amanda.
“Ya, tampaknya oke-oke saja. Cuma persoalan Pasal 22B saja,”ujar Irman.
“Kalo tentang memasukan Pemikiran Pak Tommy tentang kasus floor crossing bagaimana? Saya takut usulan dari Pak Tommy itu, nanti berbeda pemikiran dengan Bapak, dan aku juga memikirkan kan posisinya Bapak sebagai dosen sekaligus ahli parlemen. Takutnya ahli dengan ahli berantem, berantem secara pribadi gitu loh, egois karena posisi Ahli itu,”ujar Amanda.
“hahahaha…ga papa, itu tulisanmu bagus, diuraikan saja. Nanti terakhirnya di situ kan bisa kita perbaiki, kalau memang ada yang kurang pas dalam pemahaman kamu mengenai Parlemen dibedah secara konstitusional dengan kasus recall.”
Jadi intinya begini, anggota Parpol dengan Parpol itu hubungan lain dengan anggota DPR dengan DPR. Ini tidak berbanding lurus, gitu loh. Tidak boleh berbanding lurus, dia itu.
“Oh…itu kata kuncinya,”Amanda pun semakin memahami.
“Kata kuncinya disitu. Positif dia anggota Parpol, belum tentu dia, positif dia anggota DPR. Iya kan?,”tanya Irman.
“Oh…makanya itu ya, yang Bapak bilang istilah koalisi dan oposisi tidak mempengaruhi anggota DPR, dalam pertemuan pada Rabu pekan lalu?, tanya Amanda.
“Iya,”jawab Irman.
Dalam hubungan dia dengan anggota parpolnya, mesra sekali dia hubungannya kan seperti itu. Tapi dalam posisi dia di DPR, ketika dia melanggar, misalnya kode etik dan lain sebagainya, DPR bisa memberhentikannya.
Termasuk dia dalam mekanisme misalnya refendum atau konstituennya bosan sama dia, karena dia tidak menjalankan fungsi representasi-nya, yang dia dengar suara parpolnya terus, dia tidak pernah mendengar suara konstituennya.
Konstituennya mengajukan referendum untuk me-recall-nya, bisa saja seperti itu. Jadi tidak berbanding lurus dia. Gitu.
Nah begitu pula, karena dia misalnya, dia destruksi, dia diberhentikan dari parpolnya, dia tidak otomatis, dia diberhentikan menjadi anggota DPR. Begitu kata kuncinya disitu.
Disini hubungan privat, disini menjalankan fungsi negara, berbeda begitu. Misal, ketika SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, itu ada soal privasinya dia yakni di Partai Demokrat. Tapi dia sebagai Presiden, dia menjalankan fungsi negara, gitu.
Ketika dia diberhentikan, dia punya masalah di internal Partai Demokrat, misalnya dia diberhentikan sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat atau anggota partai demokrat, tidak otomatis maka status presiden-nya juga harus berhenti.
Begitu pula di DPR, sama. Sama-sama lembaga politik yang dipilih oleh rakyat. Sama-sama statusnya diusulkan dan pesertanya adalah partai politik, sama. Seperti itu.
“Iya…ya,” Amanda pun semakin mengerti mengapa kasus floor crossing, yang dilakukan Lily Wahid dan Effendy Choirie begitu diributkan.
“Oke Pak, untuk saat ini saya sudah memahami. Dan, obrolan ini saya rekam, dan bagus juga nanti saya masukan dalam tulisan revisi saya,”terang Amanda.
“Benar,”ujar Irman.
“Jadi sebenarnya kalau ke depan itu, fraksi itu tidak lagi semacam menjadi instrumen penting dalam tubuh DPR itu. Fraksi itu sebenarnya,”ujar Irman.
“Jadi semacam apa Pak? Posisinya?,”tanya Amanda heran.
“Tidak perlu ada fraksi sebenarnya. Orang bergabung di komisi-komisi saja dia.”
“Kayaknya pembahasan ini, perlu dimasukkan dalam penulisan makalah lainnya deh Pak,”sanggah Amanda.
“Ya memang, agak panjang sub bab yang kamu harus bikin makalahnya,” Irman menyetujui usul Amanda.
“Jadi tugas etika dulu yang telah Bapak berikan,”ujar Amanda.
“Ya memang,.”
Kembali ke permasalahan, jadi harus ada batas demarkasi. Seperti kasus kemarin Aziddin periode 2004-2009. Aziddin Partai Demokrat, seharusnya mekanismenya seperti itu.”
Kasus pemecatan atas putusan BK DPR terjadi pertama kali dalam sejarah legislatif di Indonesia dan menjadi pemberitaan media massa, adalah kasus Aziddin dari Fraksi Partai Demokrat, karena diduga terlibat praktek percaloan pemondokan dan katering haji.
Kasus ini bermula, sejumlah LSM yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Kelompok Kerja Petisi 50, Komite Waspada Orde Baru, Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), Gerakan Rakyat Marhaen, dan beberapa LSM lainnya pada 14 Juni 2006 melaporkan Aziddin Anggota Komisi VIII DPR dari Partai Demokrat ke BK atas praktek percaloan pemondokan dan katering jemaah haji.
Menindaklanjuti laporan itu, BK menggelar Rapat Pleno yang dilaksanakan di Wisma DPR di Kopo, Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, selama tiga hari pada 14-16 Juli 2006. Dalam rapat tersebut BK memutuskan untuk memberikan sanksi terhadap 18 anggota DPR yang disidang. Dari 18 anggota DPR yang dikenai sanksi teguran dan tertulis, satu di antaranya, yakni Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Aziddin dikenai sanksi pemberhentian dari anggota DPR. Keputusan pengenaan sanksi terhadap 18 anggota Dewan itu disetujui 10 anggota BK DPR yang hadir dalam rapat di Kopo, Jawa Barat, pada 14-16 Juli lalu. Namun, tiga anggota BK lainnya, tidak hadir dalam rapat itu.
Berdasarkan hasil pemeriksaan BK, maka BK telah merekomendasikan kepada pimpinan DPR agar Aziddin, anggota Fraksi Partai Demokrat, diberhentikan. Sebab, dalam pemeriksaan BK, Aziddin secara sah telah dinyatakan terlibat dalam kasus percaloan pemondokan dan katering jemaah haji.
Keputusan pemberhentian Aziddin itu juga telah diumumkan Ketua DPR Agung Laksono dalam rapat paripurna tentang Pidato Penutupan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2005-2006, tanggal 21 Juli 2006. Pengumuman itu disampaikan berdasarkan dua buah surat yang diterima Pimpinan Dewan, yaitu: Pertama, Surat dari DPP Partai Demokrat No. 76/EXT/DPP.PD/VII/2006 tertanggal 17 Juli 2006 tentang Penarikan Aziddin sebagai Anggota DPR RI dari F-PD atas nama K.H. Aziddin, SE., M.Sc; dan Kedua, surat dari BK DPR No. 275/SK-BK/VII/2006 tertanggal 20 Juli 2006 perihal Penyampaian Putusan BK DPR RI, tentang pemberian sanksi karena pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR RI kepada K.H. Aziddin, SE., M.Sc berupa pemberhentian sebagai anggota.
Namun, Keppres (Keputusan Presiden) pemberhentian Aziddin–yang merupakan kader partai bentukan Yudhoyono–baru turun pada 21 Desember 2006. Selanjutnya setelah keluarnya Keppres tersebut, maka Jum’at 5 Januari 2007, Ketua DPR Agung Laksono melantik 2 anggota DPR PAW (Penggantian Antarwaktu), diantaranya, Nurul Iman Mustopa mewakili Partai Demokrat, Dapil Jawa Barat X menggantikan Aziddin dari Partai Demokrat, Dapil Jawa Barat X, berdasarkan Keppres No. 65/P Tahun 2006, tanggal 21 Desember 2006.
“Jadi, mekanisme seharusnya kayak Aziddin ya?,”terang Amanda.
Jadi mekanismenya seperti itu. Bukan penarikan sepihak oleh partai politik. Akhirnya apa? Kalo seperti itu mekanismenya, maka inilah yang membuat Parlemen kita itu kehilangan kekuatan konstitusional dihadapan kekuatan-kekuatan lainnya.
Karena apa? Karena seluruh anggota DPR lebih tunduk kepada partai politiknya daripada rakyat diwakilinya. Akhirnya, DPR itu tidak berfungsi sebagai wakil rakyat, tetapi menjadi Dewan Perwakilan Partai Politik.
Itu artinya, fungsi-fungsi DPR di legislasi, anggaran dan pengawasan, tunduk kepada keinginan politik dari partai politik.
Implikasinya apa? DPR itu ternyata hanya menjadi rumah singgah para politisi-politisi itu.
“Kalau Azziddin yang Abang maksud, kasusnya dia dipecat dulu kan baru diberhentikan sebagai anggota DPR?,” tanya Amanda untuk lebih memahami maksud sang dosen.
“Dia dipecat dulu!.”tegas Irman.
“Saya tahu kok, alur pemikiran Bapak tentang hubungan anggota DPR dengan partainya ini, seperti kutipan dari Mannual Luis Quezon, Presiden kedua Filipina yang juga mantan ketua Senat Filipina, yang mengatakan, “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins,”ujar Amanda memberanikan menerka dari hasil obrolannya ini.
“Ya, ya itu. Jadi kira-kira ketika di DPR itu tidak boleh menjadi rumah singgah. Untuk kemudian, ya seperti jadi Minimarket lah Lembaga DPR itu…”
“hahaha…,” tawa Amanda disela pembicaraan itu.
Tiba-tiba ada barang jadi dijual disitu. Tidak bisa seperti itu. Itu yang terjadi sekarang (kasus Lily Wahid dan Gus Choi).
Ibarat pesawat, ternyata kookpit-nya DPR itu bukan di Senayan. Tetapi kookpitnya di DPP-DPP Partai Politik masing-masing.
“Segelintir orang saja kan,” celetuk Amanda.
“Ya, konteks Periode 2009-2014, sekarang ini, 9 orang saja dari 9 partai politik yang ada di parlemen itu karena lolos Parliamentary Thereshold (ambang batas parlemen),” ujar Irman.
Sekarang kalau kita hitung-hitung, ya mungkin, sekitar 9 orang saja, kookpitnya ya disitu. Ya kira-kira seperti itu.
Kookpitnya DPR itu, berada di DPP Parpol masing-masing. Kan artinya anggota DPR, secerdas apapun, sehebat apapun, itu tidak akan bisa mewarnai bahwa DPR itu adalah DPR, Parlemen Rakyat yang hebat. Tidak bisa!
Kenapa? Karena semua kebijakan ditentukan oleh partai politik masing-masing. Bukan individu anggota DPR itu. Gitu.
“Hallo…,” Irman memastikan Amanda tetap menyimak pembicaraannya.
“Ada solusi lagi gak Pak. Dari Bapak kira-kira?,” tanya Amanda merasa telah teramat dibantu dalam pengerjaan makalahnya.
Entar dulu aku baca, ada lagi itu. Pusing aku. Tapi intinya tidak usah lah kita menulis terlalu sempurna. Yang penting ada dulu karyanya, bisa terakomodasi.
Yang penting optimal dulu lah. Tidak perlu maksimal. Karena kalau tidak jadi-jadi itu karya. Kalau kita selalu berusaha maksimal.
“Benar…benar…,” jiwa Amanda muda sebagai mahasiswi mencoba meng-iya-kan.
Karena bathin Amanda, mahasiswa/i telah bekerja maksimal mengerjakan karyanya, itu telah lebih bagus dibanding mereka mengerjakan asal-asal saja yang penting dikumpulkan.
Dan, ini siapapun pasti pernah mengalaminya, bathin Amanda membela diri, mengingat kemalasannya dulu, sebelum bertemu dengan dosen yang begitu aware terhadap karya-karya mahasiswanya, tanpa sungkan dibantu untuk memahami isi tulisannya dengan realitas politik dan solusi ke depan yang lebih baik.
Amanda pun mengakui, tugas Dosen Pak Irman seminggu satu karya diakhir pertemuan, begitu menyita waktu dan pikiran, tetapi Ia mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
“Oke…, intinya Pasal 20A ayat (3) mengenai hak-hak anggota DPR, itu menjadi kuncinya juga. Kenapa hubungan Parpol dan hubungan dengan anggota DPR, itu tidak berbanding lurus gitu loh. Karena dia, dijamin hak konstitusinya sebagai anggota DPR. Kira-kira begitu ya Amanda.
“Oke…oke…saya memahaminya Pak,”ujar Amanda.
“Oke?,”ujar Irman memastikan.
“Oke, thank you…,” tutup Amanda.