Senin, 05 Desember 2011

Menyoal Pencapresan Hatta Rajasa Di Rakernas

Oleh: Efriza, Koordinator Program & Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia/FD.I
Rakernas PAN yang digelar pada Jumat–Sabtu (9-11/2011) di Jakarta, menjadi perhatian publik sebab diwacanakan Hatta Rajasa akan dikukuhkan sebagai calon presiden (capres) dari PAN pada pemilihan presiden 2014.
Langkah ini merupakan terobosan baru dari PAN mengusung calon presiden sejak 3 tahun menjelang pemilu. Berbicara, politik 2014 terutama pemilihan presiden 2014. Merupakan arena pasar bebas, siapa saja berhak mencalonkan, dicalonkan, dan memiliki kans yang sama. Belum ada calon yang telah digandrungi masyarakat, bahkan dianggap sebagai satrio piningit. Terobosan PAN, bukan tanpa pro-kontra dari kader sendiri maupun para pakar politik Indonesia, dan bukan barang baru.
Apa keuntungan dan kerugian atas pencapresan dini tersebut? Bagaimana pola relasi kekuasaan di Pemerintahan jika Hatta Rajasa menerima pencapresan itu? Bagaimana peta perpolitikan Indonesia 3 tahun ke depan dengan hinggar-binggar para calon-calon Presiden yang juga telah dikukuhkan?
Untung-Rugi Pencapresan Dini
Hatta Rajasa dari segi kelayakan, kredibilitas, integritas hingga loyalitas memang sudah layak menjadi calon Presiden. Sampai 2011 ini, sudah empat jabatan menteri hingga yang masih dipegangnya sekarang dan 10 tahun sudah Hatta dipercaya sebagai pembantu presiden dari dua Presiden yakni Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari sisi analisis terhadap tujuh media nasional dan populer, yang dilakukan pada 1 Juli-30 September 2011, hasil penelitian Developing Countries Studies Center (DCSC) Indonesia menyebutkan bahwa dari segi pemberitaan Hatta relatif tidak banyak citra negatif serta popularitas Menko Perekonomian Hatta Radjasa berada di atas 16 tokoh nasional lainnya yang berpeluang menjadi calon presiden pada 2014.
Berbekal pengalaman dan popularitas itu, kader-kadernya memang pantas meinginkan ketua umumnya itu maju dalam pertarungan menuju posisi RI-1 pada 2014. Tetapi pencapresan sejak dini, yang dinilai meniru langkah Golkar mencapreskan Aburizal Bakrie, inilah yang menimbulkan perdebatan mengenai untung-ruginya, untuk itu mari kita lihat perbandingan dari kedua partai itu.
Sosok Hatta Rajasa yang tidak banyak citra negatif itu, kecuali terkait kasus korupsi pengangkutan Kereta Rel Listrik hibah dari Jepang ke Indonesia tahun 2006-2007, meski secara hukum belum tentu bersalah. Jika dicapreskan sejak dini, tidak menjadi boomerang bagi PAN. Berbeda, dengan Partai Golkar, yang figur Aburizal Bakrie (Ical) memiliki citra negatif yang tidak sederhana seperti Ical tersangkut tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur; perusahaan Ical ditengarai kena kasus pajak, memang belum ada bukti; dan Ical juga pernah disebut dalam persidangan Tipikor soal penunjukan langsung pengadaan alat kesehatan pada Menko Kesra Aburizal Bakrie, meski secara hukum juga belum tentu benar, tetapi persoalan ini begitu melekat diingatan masyarakat sehingga Ical kerap dispersepsikan sebagai orang yang kontroversial. Yang justru persoalan-persoalan ini dianggap akan menjatuhkan figur Ical itu.
Pencapresan sejak dini selalu terkait untuk menguatkan konsolidasi partai. Lagi-lagi PAN tidak mengalami kerugian melakukan pencapresan sejak dini, berbeda dengan Partai Golkar, sebab tidak terjadi faksionalisme dibawah kepemimpinan Hatta Rajasa yang terpilih secara aklamasi
PAN sebagai partai yang juga dibangun karena kekuatan elektoral seorang tokoh seperti Amien Rais. Manuver dari Amien yang memberikan dukungan penuh terhadap Hatta Rajasa itu, menjadi bagian magnet penguat infrastruktur di tingkat daerah maupun pusat. Sementara Partai Golkar kekuatan elektoralnya terbentuk dari akumulasi pengaruh bukan seorang tokoh tetapi banyak tokoh di dalam partai itu, bahkan sudah dianggap matang. Sehingga, fokus pada pengkultusan secara dini terhadap seorang tokoh, malah berpotensi mengacaukan konsolidasi Golkar.
Pencapresan dini juga dinilai perlu dilakukan agar PAN tidak kalah langkah. Seperti kasus Golkar yang dinilai telat dalam mengajukan capres pada 2009 lalu.
Tetapi apakah pengkultusan akan berdampak kenaikan suara, ini yang patut dipertanyakan. Keberhasilan pencapresan dini bagi partai-partai lama di era reformasi, memang belum ada literaturnya di Indonesia. Andaipun jika memakai kesuksesan PDIP di tahun 1999 lalu, itu sangat sulit, karena kesuksesan PDIP lebih merupakan hasil dari reformasi menggulingkan rezim otoriter. Berbeda dengan Pencapresan dini pada partai baru, pengkultusan tokoh telah mendongkrak keberhasilan partai-partai baru memperoleh kursi di parlemen seperti Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Sementara itu, dari adanya kekuatan penyatu melalui figur itu, strateginya adalah Perolehan suara PAN dapat mengalami kenaikan secara signifikan, sebab tiga kali Pemilu selama kiprahnya, PAN selalu mengalami penurunan suara. Dari 7,11 persen tahun 1999, di tahun 2004 merosot 6,44%, dan di tahun 2009 ini makin melorot menjadi 6,01%.
Pencapresan dini memang akan menjadi modal tambahan politik Hatta setelah pernikahan anaknya Siti Rubi Aliya Rajasa dengan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pernikahan yang dianggap perkawinan politik ini, selain upaya menghasilkan koalisi permanen antara PAN-Partai Demokrat. Juga upaya menyatukan PAN dari unsur sipil untuk mendapatkan simpatik dukungan militer, melalui popularitas dari SBY dan bahwa telah mendapat “restu” SBY yang selalu didukung militer.
Memang terbuka peluang, bahwa bisa saja Partai Demokrat mendukung Hatta Rajasa sebagai calon Presiden yang diusung PAN. Jika kita telusuri pemberitaan bahwa Presiden SBY beberapa kali menyatakan, bahwa istri, anak, dan keluarganya tidak akan mencalonkan diri di Pemilu 2014, bahkan Ketua Umum Partai Demokrat sepertinya juga tidak akan diusung karena terbelenggu berbagai kasus korupsi yang menyeret namanya. Di sisi lain, tidak ada calon dari Partai Demokrat yang memiliki figur kuat, setelah figur-figur kuat dari keluarganya sendiri dilarang oleh SBY. Sebaliknya, popularitas Hatta Rajasa dinilai lebih populer daripada Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie dari sisi pemberitaan di surat kabar nasional, seperti hasil survei DCSC Indonesia. Bahwa, Hatta Rajasa ditempatkan oleh media dengan porsi terbanyak 24,6%, disusul Abu Rizal Bakrie 21,2%. DCSC Indonesia melakukan analisis terhadap pemberitaan 7 surat kabar nasional sebagai metode surveinya selama periode 18 Oktober hingga 18 Desember 2010.
Apalagi, isu yang dihembuskan Wikileaks dibulan Agustus 2011, bahwa negeri Paman Sam, telah memonitor bahwa Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie akan maju dalam Pilpres 2014, bagaimanapun isu ini sangat perlu diperhatikan karena Pilpres selalu dikaitkan dengan dukungan dari negeri Paman Sam dan isu ini begitu menyita perhatian publik sebab mengapa hanya dua calon presiden ini yang begitu mendapat porsi lebih banyak dari pemantauan mereka.
Namun, sosok Hatta yang dikenal sebagai orang yang manut terhadap Presiden Yudhoyono. Sikap PAN di Parlemen yang selalu mendukung keputusan pemerintah. Akan menjadi boomerang PAN dan calon Hatta Rajasa. Oleh karena itu, semestinya Hatta Rajasa, mundur dari jabatan menteri setelah menjadi besan SBY, apalagi jika memiliki minat dan diusung oleh PAN sebagai capres sejak dini, meski penunjukkan dan pemberhentian seorang menteri itu hak prerogatif Presiden.
Sebab, penilaian objektif terhadap kinerja Hatta akan sulit tercipta di pemerintahan maupun diterima oleh masyarakat setelah Hatta menjadi Besan SBY, ini merugikan figur dari capres PAN, yang semestinya posisi Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian malah yang harus mendapat penilaian objektif dalam kinerjanya menangkal krisis ekonomi global, yang berimbas pada popularitas Hatta Rajasa.
Jika PAN tetap memilih di Pemerintahan, dengan adanya pencapresan dini, semestinya posisi PAN harus berani tidak lagi terikat dengan koalisi maupun di Sekretariat Gabungan (Setgab), kalau tidak ingin mendapatkan penilaian buruk. Menyatir Pakar politik Giovanni Sartori mengingatkan, “The problems of presidentialism are not in the executive arena but in the legislative arena.“ Dengan demikian, keputusan di Parlemen tidak wajib selalu mendukung pemerintahan, malah dengan adanya koalisi menciptakan penilaian negatif bagi PAN yang selalu manut dengan keputusan pemerintah, sementara PAN seharusnya mulai bersikap objektif bukan mencari aman lagi dengan melakukan manuver-manuver menentang Pemerintah jika dianggap buruk kebijakan tersebut.
Perhitungan untung-rugi, yang juga harus dimiliki oleh PAN adalah jangan sampai mempermalukan Hatta dan PAN sendiri. Jika kita simulasi berdasarkan syarat Pilpres 2009 lalu, yang mensyaratkan “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan memperoleh kursi paling sedikit 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 20% (dua puluh persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pilpres.” Setidaknya melihat Pemilu 2009 lalu, hanya akan ada tiga pasangan calon, jika itu tidak mengalami perubahan persyaratan mengusung calon presiden di Pemilu 2014. Kesempatan besar PAN hanya bisa diperoleh jika Partai Demokrat tidak mengajukan pasangan calon presiden, sebab Partai Golkar dan PDIP sudah memiliki capres yang akan diusung di Pemilu 2014. Melihat realitas Pemilu Presiden 2009 lalu, jangan-jangan nasib Hatta dan PAN akan seperti Prabowo Subianto dan Gerindra. Prabowo didorong-dorong menjadi capres tapi faktanya perolehan suara partai kecil sehingga harus puas dan tahan malu atas sejarah yang mencatat Prabowo dari capres menjadi cawapres berpasangan dengan capres Megawati-PDIP di Pilpres 2009 lalu.
Jangan sampai figur Hatta yang saat ini menonjol harus dipermalukan, dengan pencapresan sejak dini. Lebih baik PAN sebagai partai pendukung pemerintah menjalankan kekuasaan yang telah didapatkan secara bersama-sama, dan mulai membicarakan pilpres jika PAN dalam perolehan suara di Pemilu Legislatif mendapatkan kenaikan perolehan suara dibanding tahun 2009 yang semakin melorot menjadi 6,01% dan telah nyata-nyata mendapatkan dukungan dari partai-partai lain. Mengenai isu peluang dan pencapresan Hatta sebaiknya hanya untuk memperkuat konsolidasi internal PAN baik di daerah-daerah hingga pusat saja dalam rangka menaikan perolehan suara PAN di Pemilu 2014 nanti.
Relasi Kekuasaan, Peta Politik 2012 dan Kesimpulan.
Calon-calon presiden yang sudah diajukan sejak dini seperti Prabowo Subianto-Gerindra dan Aburizal Bakrie-Partai Golkar. Manuver yang dilakukan mereka tidak begitu diperhatikan masyarakat. Berbeda jika Hatta yang telah dicapreskan.
Gonjang-ganjing politik dan sentimen negatif berjalan beringinan masuk ke Istana, sehingga pemerintah dipersepsikan telah tidak kompak. Sementara, kebijakan pemerintah mensejahterakan masyarakat belum dirasakan, dan masyarakat yang haus dan membutuhkan kualitas kehidupan politik lebih baik, harus tercederai, dengan manuver-manuver politik saling “menjatuhkan.”
Memang masyarakat mendapatkan pendidikan politik dan dapat melakukan penilaian sejak dini terhadap calon presiden yang terbaik untuk lima tahun mendatang. Namun perpolitikan capres-capresan, seharusnya sekitar tahun 2013, terlebih bagi pendukung pemerintah. Beda dengan Aburizal-Golkar, Prabowo-Gerindra, atau PDIP maupun Hanura dengan manuver-manuver politik maupun mengusung calon-calonnya sejak dini, karena mereka dianggap sebagai calon penantang yang kalah saja dan calon-calon mereka juga berada di luar pemerintahan sehingga wajar bersikap kritis bahkan menjatuhkan untuk merebut kekuasaan.
Akan lebih baik, jika dikala masyarakat telah mendapatkan pendidikan politik yang lebih baik, performa anggota legislatif yang telah memberikan harapan ke depan, setidaknya baru kita membicarakan capres. Kalau sekarang lebih baik para pendukung pemerintah, menjalankan agenda pemerintah yang sedang berjalan, menunjukkan kekompakkan dalam bekerja, dan memelihara kekuasaan dengan bersama-sama. Toh, keberhasilan Pemerintah juga berdampak positif bagi partai-partai pendukung pemerintahan.
Parpol harus menyadari bahwa tingkat partisipasi politik selalu menurun dalam tiga kali pemilu sejak reformasi Kepercayaan publik yang semakin memburuk ini, dapat kita amati dalam persentase angka partisipasi pemilih (voters turn out) di Indonesia terus meluncur turun. Turunnya partisipasi ini tidak tanggung-tanggung. Betapa tidak. Dalam tiga pemilu legislatif terakhir, penurunannya sudah di atas 29-an percentage point. Dari 89,85 persen pada Pemilu 1999, menjadi 60,78 persen pada Pemilu 2009.
Tren penurunan ini diprediksi akan terus berlanjut di Pemilu 2014, sehingga angka partisipasi bisa jadi akan turun mendekai 50 persen. Imbas dari penurunan ini adalah jika sampai 50 persen, maka legitimasi anggota DPR terpilih menjadi rendah, dan penyebabnya adalah jika Pemerintahan dianggap hanya mementingkan mencari, dan merebut kekuasaan bukan menjalankan kekuasaan yang telah didapatkan secara bersama-sama (koalisi di pilpres) dan diamanatkan oleh masyarakat melalui Pemilu itu sendiri untuk memenuhi kesejahteraan mereka seperti yang mereka janjikan (koalisi di pilpres). 

Kamis, 01 Desember 2011

STRATEGI MENYELAMATKAN PARTAI DEMOKRAT, ANAS URBANINGRUM HARUS MUNDUR

Oleh: Efriza, Koordinator Program & Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)
Partai Demokrat (PD) dibawah kepemimpinan Ketua Umum Anas Urbaningrum yang terpilih melalui Pemilihan Demokratis internal pada 23 Mei 2010, di Bandung; semakin hari, bulan hingga tahun makin mendapatkan sorotan, cerca, dan berdampak penurunan popularitas Partai Demokrat.
Untuk mencegah penurunan suara Partai Demokrat secara tajam pada Pemilu 2014 nanti, sudah semestinya Anas Urbaningrum mundur dari kepemimpinan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, karena ketidakmampuannya menakhodai. Lalu, mengapa Penulis mengusulkan pengunduran diri Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat? Untuk memahaminya sebagai berikut.
Tidak Cakap Membentuk Kepengurusan
Belum bekerja kepemimpinan Ketua Umum Anas Urbaningrum sudah menimbulkan permasalahan, seperti pembentukan susunan kepengurusan Partai Demokrat dinilai sangat gemuk, tak kurang, 130 orang duduk sebagai pengurus lengkap Partai Demokrat 2010-2015. Realistis ini menunjukkan Anas tak leluasa menentukan struktur kepengurusan.
Permasalahan lain ternyata membuntuti dari penilaian negatif kepengurusan yang gemuk, yaitu orang-orang yang memegang jabatan prestise tersebut masih terbelit kasus korupsi, sebut saja kasus suap proyek pembangunan pelabuhan kawasan timur Indonesia.yang menyeret Jhonny Allen Marbun pada jabatan DPR periode 2004-2009 lalu, Jhonny Allen Marbun yang dipercaya Wakil Ketua Umum I. Berikutnya, Djufri Ketua Departemen Dalam Negeri, yang juga Anggota Komisi II DPR dan mantan Wali Kota Bukittinggi ini adalah terdakwa kasus korupsi dalam pembelian lahan untuk lahan kantor wali kota dan DPRD Kota Bukittinggi tahun 2009.
Perekrutan komisioner KPU Andi Nurpati oleh Partai Demokrat sebagai Ketua Divisi Komunikasi Politik, yang digambarkan sebagai cermin dari kegagalan praktik politik konstitusional dan sebaliknya memasuki ranah pelanggaran konstitusi. Praktik ini telah mencoreng wajah Partai Demokrat, ditambah lagi kesan yang melekatinya bahwa ini merupakan kebijakan orang-perorang yang memiliki kewenangan untuk memasukkan Andi Nurpati dalam struktur partai.
Lemahnya Kepemimpinan
Permasalahan datang silih-berganti, dan bahkan belum dapat dituntaskan sudah muncul masalah lagi. Tetapi kebijakan tegas Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum, tidak pernah terdengar. Malah, yang merebak adalah isu korupsi yang menyeret Anas Urbaningrum.
Terbongkarnya kasus suap Wisma Atlet SEA Games, Palembang, Sumatera Selatan bukan hanya menjerat Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin. Dalam kasus tersebut Nazaruddin menyebut keterlibatan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga yang juga menjabat Sekretaris Dewan Pembina Andi Mallarangeng, anggota DPR dan Wasekjen I Angelina Sondakh, Wakil Ketua Banggar DPR dan Wakil Bendahara Umum II Mirwan Amir, bahkan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum juga disebut terlibat di dalamnya.
Nazaruddin pun memiliki banyak permasalahan lainnya, seperti Proyek Hambalang. Kasus ini mencuat setelah Nazaruddin mengakui ada aliran uang ke kongres Partai Demokrat di Bandung tahun lalu senilai Rp 50 miliar. Proyek Hambalang dibangun sejak 2010 di atas lahan seluas 30 hektare. Sumber dana proyek senilai hampir Rp 1,2 triliun ini dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Isu ini semakin memanas, ketika Ketua Baleg DPR dari Partai Demokrat Ignatius Mulyono mengakui dirinya pernah dimintai tolong oleh Anas Urbaningrum untuk menghubungi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, untuk mengurus masalah tanah proyek di Desa Hambalang, Sentul, Bogor.
Bukan hanya Nazaruddin, yang terlilit masalah korupsi, kader Partai Demokrat lainnya adalah anggota Komisi II DPR Amrun Daulay melakukan tindak pidana korupsi pada kasus pengadaan mesin jahit dan sapi impor pada tahun 2004. Anggota DPR dan Wakil Ketua Umum II Max Sopacua, diduga ikut menerima aliran dana dari korupsi di Kementerian Kesehatan (dulu Depkes) pada 2007. Kasus terbaru yakni menyeret Anggota DPR dan Ketua Departemen Perekonomian Sutan Bhatoegana, terseret kasus korupsi pengadaan solar home system di Kementerian ESDM tahun 2009. Dan lagi-lagi Jhonny Allen Marbun kasus barunya yakni diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) pada 2008. Masih ada Pengurus Partai Demokrat lainnya yang terlibat dalam kasus pidana namun bukan korupsi seperti Ketua Divisi Informasi dan Komunikasi Partai Demokrat Andi Nurpati yang terlibat dalam kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi.
Juga adanya Pengurus Partai Demokrat yang bermasalah akibat “lidah tidak bertulang-nya” seperti Ruhut Sitompul anggota DPR yang selalu menimbulkan kontroversi sampai digugat istrinya karena berpoligami, selain itu juga Anggota DPR dan Wakil Sekjen IV Ramadhan Pohan yang menyulut perselisihan dengan partai-partai lain karena penyebutan inisial ‘A’ yang dianggapnya sengaja merusak citra Partai Demokrat. Perilaku Pengurus Partai Demokrat ini kontraproduktif dengan Pendiri sekaligus Dewan Pembina Partai Demokrat SBY yang santun dalam bertutur, dan tidak emosional. Realistis ini semakin merugikan Partai Demokrat
Terbelenggunya Partai Demokrat atas permasalahan personal kader-kader yang notabene adalah Pengurus bahkan Ketua Umum menyebabkan terbengkalainya kebijakan-kebijakan dalam kepartaian untuk menangani permasalahan ini. Dipastikan akan berdampak pada penurunan kembali elektabilitas Partai Demokrat yang sekarang 15,5% berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Juni 2011, bahkan dipastikan dapat menambah persentase penilaian responden terhadap partai yang kinerjanya mengecewakan, seperti survey Reform Institute Oktober lalu yang menggelar survei terkait kinerja partai. Salah satu yang ditanyakan pada responden yakni partai yang kinerjanya mengecewakan. Hasilnya, Partai Demokrat berada diurutan teratas dengan persentase 32,64%.
Benahi Partai Demokrat atau Terpuruk
Lemahnya kepemimpinan Anas Urbaningrum, sinyalnya sudah tertangkap jelas. Pada saat penyelenggaraan diskusi serial FD.I, 11 Mei 2011, mengenai “Kiprah Partai Demokrat Di Parlemen” Anggota DPR Partai Demokrat Hayono Isman sebagai pembicara, menyindir kelemahan kepemimpinan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat, atas ketidakmampuannya dalam melakukan perlawanan balik terhadap maneuver fraksi-fraksi di Senayan, sehingga “Imbasnya, Partai Demokrat dikucilkan oleh asumsi isu Century yang berhembus menerpa Partai Demokrat.”
Kelemahan kepemimpinan Anas Urbaningrum semakin kentara, dari banyaknya kader-kader yang dia percayai jabatan kepengurusan, ternyata bermasalah, bahkan hingga dirinya. Tertangkap kesan, bahwa pemilihan kepengurusan lebih karena hutang budi bukan kredibilitas, dan integritas kader tersebut.
Lagi-lagi ketika permasalahan kader ini tidak diselesaikan, mengakibatkan Partai Demokrat dalam rangka menawarkan program dan mensosialisasikan melalui kegiatan-kegiatan kepartaian tidak terdengar kondisi ini kontraproduktif dari dibentuknya 41 Departemen dari Kepengurusan Partai Demokrat, bahkan Perayaan Ulang Tahun Partai Demokrat di tahun ini saja dibatalkan dalam rangka peremenungan dan mencegah apatis publik terhadap Partai Demokrat. Lalu, kondisi yang turut menyertai adalah manuver Fraksi Partai Demokrat juga menjadi samar terdengar dalam rangka pembahasan Undang-Undang di DPR, tertutup oleh berita-berita korupsi kader-kader Partai Demokrat, lagi-lagi seharusnya Partai Demokrat lebih bersuara dan memiliki peluang besar untuk mengawal Kebijakan Presiden SBY apalagi Ketua Badan Legislasi dijabat oleh kader Partai Demokrat.
Melihat kajian ini, sudah sepantasnya Anas Urbaningrum mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat, dan jabatan ini diserahkan kepada Edhie Baskoro Yudhoyono selaku Sekretaris Jenderal. Pengunduran diri Anas Urbaningrum juga dalam rangka membersihkan persoalan yang melibatkan personalnya, bahkan pengunduran diri Anas Urbaningrum tidak merusak momentum kepemimpinan kaum muda karena kaum muda juga bukan hanya bisa merebut tongkat kepemimpinan tetapi juga sanggup mengakui diri jika tidak mampu mengelola kepemimpinan dengan pengunduran diri sejak dini.