Selasa, 22 Februari 2011

Ketika Anggota DPR Bicara Asal Njeplak

lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]
Rabu, 23/02/2011 | 00:05 WIB

Ketika DPR Kuasa Berbicara Tapi Tak Bermanfaat
Oleh: Efriza *)


Ketika Penulis menyaksikan langsung dari “Fraksi Balkon” tampak sekali sikap anggota DPR yang tidak patut ditiru. Mereka tidak mengerti, kehadiran mereka hari itu adalah dalam rangka proses pengambilan keputusan atas hak angket DPR RI.

Mereka cuma memperlihatkan bahwa mereka tempat bicaranya masyarakat, tapi mereka melupakan substansi isi pembicaraannya. Misal, beberapa anggota DPR sibuk berbicara persoalan yang sudah kadaluarsa, karena sudah diputuskan untuk tidak lagi dibicarakan dalam Rapat Paripurna yakni Usul Hak Angket dari Komisi XI, sehingga beberapa kawannya harus menyoraknya.

Contoh lainnya, misal inisial R.S. dari Partai Demokrat ketika diberi kesempatan untuk interupsi atas dua keputusan hasil lobby, bukan membicarakan subtansi setuju atau tidak setuju bahkan jika perlu mendukung opsi kedua yakni jika ditolak akan dibentuknya Rapat Gabungan Komisi, malah sibuk berbicara di luar substansi dengan membandingkan hasil kinerja presiden dari masa Orde Baru hingga periode SBY. Sehingga memancing emosi, ledekan, dari sesama anggota DPR; bahkan jika disaksikan tampak seperti yang dikatakan Alm. Abdurrahman Wahid, DPR adalah Anak Taman Kanak-kanak.

Dalam proses rapat paripurna tersebut juga tampak para anggota Dewan berebut ingin bicara, ketika di kala ini seharusnya Pimpinan DPR, Marzuki Alie bisa mengambil keputusan yang sangat tegas melihat situasi. Misal, ketika sebelum sidang di skors untuk Isoma Maghrib karena tidak ada kesepakatan atas dua keputusan tersebut yang rencananya akan dilakukan pemungutan suara--semestinya Marzuki Alie ketika melihat mayoritas interupsi berbicara tentang seharusnya DPR mengambil keputusan hanya satu setuju atau tidak setuju untuk penggunaan hak angket.

Marzuki pun langsung mengambil keputusan dengan menanyakan ke floor, bukannya kembali memberikan kesempatan setiap anggota fraksi berbicara, yang sudah jelas pembicaraan tersebut tidak mewakili sikap fraksinya. Tetapi nyatanya, Marzukie Ali lebih tegas ketika mengambil keputusan untuk sidang di skors.

Sikap DPR ini yang membuat DPR tidak pernah efektif mengambil keputusan dalam Rapat-rapatnya, perlu waktu yang panjang dan mengorbankan kegiatan DPR lainnya. Misal, anggota-anggota DPR pada saat itu datang ke Rapat Paripurna sebenarnya telah memiliki kegiatan lain di luar dalam kapasitasnya juga sebagai anggota DPR, tapi karena ada kemungkinan voting maka anggota DPR tersebut harus ke tempat penyelenggaraan paripurna dan mengorbankan agenda lainnya yang tidak kalah pentingnya.

Bukti yang jelas disaksikan di depan mata, adalah seorang anggota DPR wanita saat itu sedang mengalami sakit, ia tidak memilih keluar padahal tidak kuat lagi mengikuti sidang, sampai akhirnya staf kesekjenan sempat membawa tabung oksigen, yang akhirnya tidak digunakan dan si wanita tersebut harus meninggalkan ruang paripurna tersebut. Tentunya dapat ditebak, alasan si anggota DPR tersebut bertahan, adalah suara mereka sangat penting dalam voting.

Inilah ketika kuasa berbicara tetapi proses tidak dipahami, bahwa lagi-lagi yang perlu ditekankan adalah ketegasan berbicara, kejelasan sikap. Bukan bertele-tele dengan mengatasnamakan rakyat, tetapi kedatangannya ke rapat paripurna masih karena instruksi partai bukan kesadaran sendiri peduli akan masa depan bangsanya. (•)

*) Efriza - Penulis buku “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD, Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti”.

Selasa, 01 Februari 2011

PEMILIHAN UMUM TETAP GUNAKAN SUARA TERBANYAK

Oleh: Efriza, Peneliti Politik dan Penulis Buku Politik
Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) Suara Terbanyak yang pernah diterapkan pada Pemilu 2009 lalu. Ternyata membawa momok menakutkan bagi calon anggota legislatif (Caleg) yang tidak terpilih. Banyak alasan yang dirumorkan ketika pembahasan revisi RUU Pemilu sekarang ini, misal, tidak ramah terhadap perempuan, akademisi akan kesulitan bersaing dengan politisi tua akibatnya regenerasi tersendat, menelan biaya mahal, dan antarcaleg satu partai politik bersaing ketat bahkan lebih ketat dibanding antarcaleg dari partai lainnya.
Persoalan ini memang tidak bisa dinafikan, tetapi hakikat pemilu yang sebenarnya adalah reward dan punishment dari masyarakat terhadap anggota wakil rakyat yang mewakilinya. Lihat saja, pada Pemilu 2009 lalu, jumlah anggota baru mendominasi DPR periode 2009-2014, yaitu mencapai 70,54%, dengan latar belakang beranekaragam. Ini menyatakan masyarakat tidak percaya terhadap anggota-anggota DPR lalu. Ini membawa konsekuensi anggota masyarakat dengan parlemen setelah pemilu hubungannya dimulai dari nol lagi.
Pernyataan-pernyataan di atas, sebenarnya juga tidak sepenuhnya dapat diterima begitu saja untuk sebuah pembenaran. Perempuan telah mendapatkan kuota 30% perempuan, dan sudah selayaknya perempuan juga berkompetisi bebas. Jika keterpilihan perempuan lebih kecil dibandingkan laki-laki ketika Pemilu 2009 lalu, itu membuktikan perempuan juga belum memberikan kepercayaan yang besar bagi pemilih.
Permasalahan regenerasi tersendat, sebenarnya tidak. Karena keterpilihan berdasarkan faktor usia relatif muda yakni 63,09%. Bahkan, jika kita melihat partai-partai dalam memberikan nomor urut bagi calon anggota legislatif mereka telah menempatkan orang-orang muda dinomor urut kecil, ini yang menyebabkan politisi senior banyak yang meradang kala itu. Artinya, korelasi nomor urut dan sistem pemilu yang dihasilkan karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni suara terbanyak, memiliki hubungan yang saling mengikat satu sama lain, meski tercipta pada waktu tidak bersamaan.
Sementara menyangkut biaya politik mahal, sebenarnya lebih disebabkan karena caleg-caleg tersebut gamang menghadapi sistem pemilihan yang berubah di tengah jalan. Ketika itu, biaya politik mahal disebabkan perebutan nomor urut, tapi saat terjadi perubahan sistem, berubah menjadi ongkos politik untuk mendapatkan suara dari masyarakat. Namun, ongkos politik ini tidak serta-merta diterima oleh masyarakat dengan memilihnya, mungkin saja menerima “hadiah” tersebut tetapi belum tentu memilihnya. Misal, ketika penulis meneliti daerah Sundawenang, Sukabumi, masyarakat kehilangan kepercayaan kepada caleg dari berbagai partai karena mereka sibuk hanya memberikan “hadiah” saat itu saja, tanpa menjelaskan apa yang akan dilakukannya untuk konstituennya ketika terpilih. Kebingungan masyarakat tersebut, diartikan mereka telah sampai kepada pemikiran pentingnya mereka sebagai pemilih untuk memilih caleg yang dapat membawa perubahan.
Terakhir, keputusan MK menggunakan sistem suara terbanyak, sudah dapat dipastikan anggota-anggota parlemen tetap akan menerapkan sistem itu pada Pemilu 2014. Sebab keputusan MK itu final dan mengikat, dan belum pernah ada satu kejadian DPR akhirnya mengabaikan keputusan MK. Jika ini terjadi, merupakan preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan dalam hubungan antarlembaga negara.

NASIONAL DEMOKRAT JANGAN MENJADI PARTAI SEKARANG

Oleh: Efriza, Peneliti Politik dan Penulis Buku Politik
Melihat pembentukan 33 DPD di Provinsi, Nasional Demokrat sangat diidamkan oleh masyarakat jika strategi pembentukan DPD secara transparan dan menjelaskan visi-misi beserta pelantikan kepengurusannya; andai saja ini juga dilakukan oleh Partai Politik seperti yang dilakukan Nasional Demokrat tersebut. Mungkin ini kekagumannya. Pertanyaannya, Apakah Nasional Demokrat harus menjadi Partai Politik? Bagaimana peluang keterpilihannya di Pemilu jika menjadi Partai Politik? Jawabannya, lebih baik JANGAN SEKARANG.
Pertama, Pembentukan Nasional Demokrat tak bisa dipungkiri terdiri dari beragam unsur politisi yang berasal dari anggota partai politik di Indonesia, juga unsur peneliti, pengamat, dan aktivis. Jika, Nasional Demokrat di paksakan menjadi partai politik, akan terjadi yaitu, beragam unsur politisi dari beragam partai tersebut, akan menimbulkan konflik internal di Nasional Demokrat secara berkepanjangan. Penyebabnya, mereka akan memilih kembali ke partainya, karena sebagian dari mereka juga merupakan anggota DPR, dan mereka juga akan menghitung kalkulasi bahwa keterpilihan mereka kembali dalam Pemilu lebih penting, disebabkan adanya ambang batas parlemen 2,5%. Akibat, konflik internal ini menyebabkan, massa terbesar Nasional Demokrat pun akan pergi, karena massa tersebut didatangkan atas adanya patron tersebut dari beragam unsur politisi tersebut.
Kedua, Nasional Demokrat harus berganti nama jika menjadi partai politik atau setidaknya menambah satu kata lagi. Sebab Partai Nasional Demokrat, telah terdaftar namanya di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengikuti verifikasi partai politik pada Pemilu 2009, dengan nomor urut 80 yang mana Ketuanya adalah Drs. Hengki Baramuli, MBA, dan alamat DPP Jalan Jenggala I No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan-12810. Jika tetap dipaksakan dengan ganti nama, belum tentu masyarakat akan sadar bahwa Partai Nasional Demokrat adalah embrio dari organisasi masyarakat Nasional Demokrat.
Ketiga, Partai politik harus memiliki ketokohan yang kuat. Sebab, telah terbukti partai baru yang memiliki ketokohan yang langsung diterima oleh masyarakat adalah Partai Demokrat dengan figur Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6. Sementara itu, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan figurnya Prabowo Subianto tidak dapat memperoleh suara signifikan pada pemilu legislatif, hanya memperoleh 5,36% dibanding dengan Partai Demokrat 7,45%--karena alasan ini pula yang menyebabkan Prabowo Subianto hanya ditempatkan sebagai calon wakil presiden mendamping Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mana perolehan PDIP 16,61%, buktinya perolehan suara pasangan ini dalam Pemilihan Presiden hanya 26,79% yang kemungkinan besar perolehan tersebut masih besar didapatkan dari figur Megawati Soekarnoputri yang berhasil mendapatkan perolehan dari pemilih loyalis Soekarnoisme.
Sementara, figur Surya Paloh atau Sri Sultan Hamengkubowono X, tidak menjual bagi masyarakat. Misal, dalam tataran yang kecil saja, di internal partai golkar dalam pemilihan ketua umum, figur Surya Paloh kalah dengan Aburizal Bakrie. Di sisi lain, Sri Sultan Hamengkubowono X, yang didengung-dengungkan untuk menjadi calon presiden pada pemilu 2009 lalu, tidak sukses, bahkan dipasangkan untuk menjadi wakil presiden pun tidak.
Dari analisis, ini lebih baik Nasional Demokrat lebih berfokus kepada menawarkan ide-ide yang membumi untuk dapat dirasakan masyarakat. Lebih mendekatkan diri ke kampus sehingga Nasional Demokrat dapat dirasakan manfaatnya seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Maupun mengkritisi pemerintah dari luar dengan solusinya sebagai organisasi masyarakat (ormas), yang beberapa tahun belakangan ini kurang kritis dilakukan oleh ormas-ormas yang bergerak di bidang politik. Dan, membangun infrastruktur dan pendidikan kader-kadernya, agar jika 2019 ini menjadi Partai Politik, Nasional Demokrat dapat menjadi partai yang memang didukung oleh masyarakat.