Selasa, 07 Juni 2011

Cerita Politik (Cerpol)

BAGIAN I
Daulat Parpol Versus Daulat Rakyat
PrOlUdE….
3 Juni 2011, 15.30 WIB
Ketika Amanda selesai menulis dan mengirimkan karya tulisnya yang berjudul “Kontroversi Recall” via email kepada Pa Irman, Dosen Sistem Perwakilan Politik, di Universitas Politik Indonesia.
Amanda, lalu pergi untuk membeli makan siang.
Sepulang, membeli makan dan menyelesaikan mamamnya. Ia, mengecek kalo-kalo ada SMS.
Ternyata benar, Dosennya Pak Irman, mengirimkan SMS, “Bs ditelp?.”
Amanda mengetik balasan, “Pak, silahkan nelp. “Sy tadi beli makan dulu.”Sebelum dikirim SMS tersebut, Amanda menyiapkan alat rekamannya.
Karena seperti biasanya, Pak Irman jika menelpon selalu banyak ilmu yang bisa didapatkan Amanda dengan cuma-cuma. Sehingga Amanda tak ingin membuang kesempatan itu dengan percuma.
Setelah semua dirasakan siap, dikirimkannya SMS tersebut.
ApA SiH ReCaLL ItU ?
“Hallo,” dosen Irman membuka percakapan.
“Iya, ya Pak,”jawab Amanda, mahasiswi semester dua, sambil menyetel tape recordernya.
“Sudah siap,” tanya Pak Irman.
“Siap Pak,” ujar Amanda.
“Tulisan yang kamu kirim barusan, itu hanya sebagian kecil saja yang tidak terlalu pas.
Pasal yang dikutip dalam Undang-Undang Dasar, bahwa tata cara Pemberhentian Anggota DPR diatur dengan Undang-Undang. Seolah-olah itu kan dijadikan dasar, bahwa, Undang-Undang bebas memuat ketentuan norma atau kebijakan bagaimana cara memberhentikan anggota DPR. Termasuk melalui mekanisme, tanda kutip recall itu.
Padahal tidak!,” tegas Dosen Irman.
“Oh gitu…,”Amanda mencoba tuk mengerti kesalahannya.
Pasal itu bukan seperti cek kosong yang bisa ditulis apa saja oleh DPR dan Presiden.
Yang saya maksud bukan cek kosong karena apa? Dia harus tunduk kepada filosofi yang saya sebut ini prinsip daulat konstitusi itu, daulat rakyat itu.
“Oh…gitu Pak,” Amanda berusaha tuk memahami.
Dia harus tunduk disitu, yang saya bahas itu bahwa dia harus tunduk. Bahwa silahkan atur selama tidak bertentangan dengan daulat rakyat atau daulat konstitusi itu.
Silahkan atur tata cara pemberhentian anggota DPR, tetapi jangan sampai melanggar Pasal 20A ayat (3) itu yang mengatur hak-hak konstitusional anggota DPR.
Pasal 20A ayat (3) berbunyi: “Selain hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.”
“Oh ya…ya…,”ujar Amanda
Yang mana itu hak konstitusional individu anggota DPR, hak menyampaikan pendapatnya, keterangan, pandangan. Itu. Begitu.
Kalau misalkan karena anggota DPR mengemukakan pandangannya, kemudian atas dasar ketentuan diatur Undang-Undang dia bisa diberhentikan. Itu tidak bisa seperti itu.
Jadi ada tetap rambu-rambu konstitusi yang membuat pasal itu bukan cek kosong.
Tata cara pemberhentian silahkan atur tata caranya, selama tidak bertentangan prinsip-prinsip yang diatur dalam konstitusi sendiri. Seperti yang saya sebut, “Pasal 1 ayat (2) bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Kemudian Pasal 20A tentang eksistensi anggota DPR, tadi. Hanya satu jabatan negara di republik ini, yang oleh konstitusi diberikan hak-hak konstitusional secara individu, secara langsung. Yaitu Anggota DPR.
Hak menyampaikan itu pandangannya. Event Wakil Presiden pun tidak diberikan hak-hak itu. Event Menteri sekalipun tidak diberikan hak-hak itu.
“Dalam Undang-Undang Dasar ya Pak?,”tanya Amanda penasaran.
Dalam Undang-Undang Dasar, tidak ada jabatan lain, hanya satu itu. Berarti, Undang-Undang Dasar memang, memberikan peran utama kepada anggota DPR untuk melaksanakan hak-hak individu anggota DPR itu.
Tidak boleh direduksi oleh pranata Partai Politik atas nama, kebijakan partai. Tidak bisa seperti itu.
“Aku tahu, yang Bapak maksud itu adalah Pasal 22B kan?,”tanya Amanda kembali.
Pasal 22B tersebut berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.”
“Iya,” jawab Irman.
“Memang ada beberapa rujukan Penulisan tentang Hak Recall rata-rata pada Pasal 22B,”Amanda menjelaskan kutipan pemikiran yang diambilnya untuk makalahnya tersebut.
“Itu yang makanya saya bilang ada pembedaan pemikiran serius di situ sama Bapak. Seperti ditegaskan dalam penjelasan di dalam email saya itu,” lanjut Amanda.
“Iya itu,” Irman mengiyakan penjelasan Amanda.
“Satu lagi Pak, kan tadi Bapak bilang DPR sangat kuat. Istilahnya diatur lah semuanya di Undang-Undang Dasar. Selain DPR, Mahkamah Konstitusi (MK) juga diatur kok secara rinci kinerjanya?,” tanya Amanda memastikan kebingungannya, untuk mencari jawaban.
“Bukan DPR, tapi Anggota DPR,” tegas Irman.
“Oh…Anggotanya,”Amanda mencoba memahami kembali.
“Kalo MK hakimnya itu tidak diatur hak konstitusionalnya,” ujar Irman kembali.
“Oh…ternyata Mahkamah Konstitusi itu lembaganya, sementara DPR juga dilekatkan kepada Anggotanya,”lanjut Amanda.
“Mahkamah Agung juga sama dengan Mahkamah Konstitusi,” tutur Irman kembali.
“Hanya yang bisa menyaingi lembaga DPR, adalah Presiden saja,” tegas Irman.
Karena Presiden juga diatur hak-hak konstitusionalnya sebagai presiden. Misalnya, menetapkan Perppu, mengangkat kabinet. Itu Presiden, imbangannya itu.
Guna mengimbangi kekuasaan Presiden dahsyat ini, maka Undang-Undang Dasar melekat langsung pada setiap anggota DPR.
Bukan hanya kepada lembaga dilekatkan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, kepada anggotanya langsung. Kan begitu.
Seperti hak mengajukan Rancangan Undang-Undang, dan lain-lain. Supaya bisa mengimbangi Presiden.
“Jadi diatur dalam Pasal 20A ayat (3) itu ya?, Amanda meminta penegasan kepada Sang Dosen.”
Nah di situlah kata kuncinya, anggota DPR memiliki dalam tanda kutip posisi yang sangat kuat di parlemen. Kayak kasus Gus Choi dan Lily Wahid. Kan seperti itu.
Recall yang menimpa dua anggota DPR dari PKB, Lily Chadidjah Wahid (Lily Wahid) dan Effendy Choirie (Gus Choi). Keduanya di-recall dua pekan setelah voting hak angket mafia pajak. Dalam paripurna 22 Februari 2011, keduanya termasuk dalam 264 pendukung hak angket. Sebanyak 26 anggota Fraksi PKB lain yang hadir di paripurna saat itu, masuk dalam barisan penolak hak angket. Pendukung hak angket akhirnya kalah, karena penolak angket berjumlah 266 orang.
Bahwa, soal kemudian, Dia (anggota DPR) berbeda pendapat dengan garis kebijakan partai. Itu urusan internal partai politik.
Kenapa urusan internal partai politik? Yang tidak linear, secara otomatis berimplikasi kepada kedudukannya sebagai anggota DPR.
“Oh Iya, tulisan Pa Irman seperti itu yang sering dimuat berbagai media massa,” sela Amanda.
“Iya,”lanjut Irman.
Filosofinya apa?
Partai Politik hubungan dengan anggotanya adalah hubungan privat politik. Gitu…
Sementara, anggota partai politik yang kemudian, dia menjadi anggota DPR. Makanya dia memiliki fungsi-fungsi publik yaitu fungsi-fungsi negara yang dia jalankan.
Rusaknya hubungan privatnya dengan Partai Politik, tidak otomatis, tidak berbanding lurus, bahwa, dia sebagai anggota DPR dalam menjalankan fungsi negara juga harus rusak.
“Emmmm…,”Amanda mencoba mencernanya.
“Seperti itu,” ujar Irman.
Bahwa misalnya Gus Choi, tanda kutip, anggota DPR berbeda pendapat dengan fraksi. Itu masalah internal mereka. Tapi tidak serta-merta kedudukannya sebagai anggota DPR akan putus.
Kenapa? Karena dia menjalankan fungsi negara disitu.
Dia menjalankan fungsi negara, itu lain soal.
Hubungan dengan konstituennya itu lain soal, sebagai wakil rakyat.
Analog ketika, di lembaga kepresidenan.
Suatu saat presiden kita, ketua dewan pembina partai, dia dipecat sebagai dewan pembina partai itu.
Pertanyaannya, “Apakah otomatis dia berhenti menjadi presiden?,”“Tidak!,”tegas Irman.
Kenapa? Karena itu hubungan privatmu itu, internal kamu itu sebagai Ketua Dewan Pembina Partai. Tetapi hubunganmu dalam menjalankan tugas kepresidenan. Itu adalah hubungan publik dimana kamu menjalankan fungsi negara yang tidak otomatis. Tidak otomatis!
“Emmm…,”Amanda pun mengerti maksud Pak Irman tersebut.
Membuat privat juga untuk kewajiban konstitusionalnya sebagai anggota DPR maupun sebagai presiden. Tidak!.
Bisa saja dia kehilangan, kewajiban dan hak sebagai anggota Partai Politik dalam tubuh Partai Politiknya. Tetapi tidak otomatis dia kehilangan kewajiban dan hak dalam menjalankan fungsi negara, termasuk sebagai anggota DPR maupun Presiden.
”Ya, iya…,”Amanda semakin mengerti.
Lalu bagaimana mekanismenya kalo seperti itu misalnya? Dalam kasus, misalnya, kasus Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, tanda kutip.
Kasus yang menimpa politikus Partai Demokrat M. Nazarrudin, menyebabkannya dilengserkan dari posisinya sebagai bendahara umum Partai Demokrat. Nama Nazaruddin muncul dalam berita acara pemeriksaan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang, tersangka kasus wisma Atlet, Palembang.
Oh silahkan partai politik mengajukan ke DPR, kepada Badan Kehormatan (BK) DPR. Nanti Badan Kehormatan yang memutuskan berhenti atau tidak. Atau melalui mekanisme yang kamu tulis itu Amanda, melalui mekanisme referendum.
Dalam tulisannya, Amanda mengusulkan, untuk menyelesaikan benang kusut perdebatan hak recall, misalnya, mekanisme referendum, dimana rakyat di suatu Dapil bisa saja meminta penggantian anggota DPR yang dinilai kinerjanya tidak memuaskan. Dengan cara, misalnya, anggota dewan dari Dapil Depok dengan 150 ribu suara. Ketika anggota dewan yang bersangkutan melanggar etika, maka ia dapat diberhentikan hanya dengan persetujuan 75 ribu plus 1 suara Dapil anggota dewan yang bersangkutan.
Nanti Badan Kehormatan yang memutuskan berhenti atau tidak, atau mekanisme yang kamu tuliskan itu kan. Itu semua tulisanmu utuh, mengenai referendum itu. Nanti ketemu alurnya di situ, jadi dimix-kan saja itu, dengan kata kuncinya yang saya jelaskan ini.
“Mekanisme recall ya?,”ujar Amanda
“Ya, mekanisme recall yang berbagai varian kamu tuliskan, itu benar.”
“Benar itu.”
“Itu ketemu semua.”
“Kenapa?,”masih lanjut Pak Irman.
Kenapa Referendum? karena saya memilih Misal, Riri sebagai wakil saya untuk lima tahun di Parlemen. Itu kan, saya memilih.
Bukan partainya saja saya pilih, termasuk orangnya saya pilih. Gitu.
Kewajiban saya memilih seperti itu kan.
“Iya,” jawab Amanda.
Tiba-tiba Riri besok diberhentikan sebagai anggota partai politik. Saya sebagai konstituen marah dong.
Eh… ada apa kok tiba-tiba Riri juga berhenti sebagai anggota DPR?
Wong saya sudah capek-capek memilih dia!.
Ada ribuan kawan-kawan saya warga di sini memilih dia. Kok dia tiba-tiba karena pilihan A-nya dalam voting, dalam menjalankan hak konstitusionalnya saya sebagai rakyat dalam memilih wakil saya.
Kok tiba-tiba dianulir begitu saja oleh partai politiknya, atas nama dia diberhentikan sebagai anggota parpol. Begitu kan logikanya, tulisanmu yang menceritakan pemberhentian Gus Choi dan Lily Wahid yang kamu buat.
Bisa, dia diberhentikan atas nama mekanisme internal DPR atau atas nama itu referendum yang kamu tulis itu.
“Itu sudah benar itu, begitu,” tegas Irman kembali.
“Antara tulisan aku dengan pemikiran Bapak ada perbedaan sedikit. Itu istilahnya kan Bapak tidak boleh AD/ART itu mengganggu, misalnya, dia sudah keluar dari partainya masih boleh menjabat sebagai anggota DPR, itu loh.
Cuma kalo aku, tidak boleh begitu, kalo Bapak kan masih boleh menjabat sebagai anggota DPR. Itu gimana tuh jalan keluarnya?,” tanya Amanda kembali.
“Kayak kasusnya apa?,” Irman mencoba bertanya kembali untuk memastikan pertanyaan Amanda.
“Dia keluar dari partai politik?,”lanjut Irman.
“Iya. Atau dia pindah fraksi, nah itu kan pernah terjadi di Partai Bulan Bintang (PBB) pada tahun 1999, seperti itu. Terus menjelang Pemilu kan pada loncat (pindah) partai. Nah kalo aku kan langsung di-recall?,”terang Amanda.
Kasus ini merupakan kejadian pada DPR Periode 1999-2004 yakni, Hartono Mardjono dan Abdul Qadir Djaelani setelah “di-recall” DPP PBB memilih bergabung ke Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (FKKI).
Kalo misalnya anggota partai politik itu pindah fraksi atau pindah partai. Dia bukan diberhentikan karena pindah fraksi atau pindah partai. Dia melanggar kode etik yang bisa disusun di parlemen itu. Gitu.
“Ooh…,”gumam Amanda untuk mencoba mengerti.
“Kenapa?,”tanya Irman.
Karena, tidak ada kewajiban anggota DPR itu anggota parpol oleh Undang-Undang Dasar.
“Emmm…,”Amanda mencoba memahami kembali.
Tidak ada kewajiban disitu. Dalam Undang-Undang Dasar bahwa anggota DPR bukan anggota parpol. Tidak ada!.
“Iya kan?,”tanya Irman.
“Ya iya, memang ada di diktat Bapak. Saya sudah memahami itu,”ujar Amanda.
“Ooohhh…,”Irman mengiyakan.
Jadi, tidak ada. Parpol peserta iya, berarti peserta disitu yaitu mekanismenya hanya pengantar saja disitu.
Bahwa kemudian ia kayaknya, ini orang ini tidak ada politiknya dan lain sebagainya. Toh, nanti dia bisa diberhentikan melalui mekanisme internal DPR atau mekanisme rakyat meminta referendum untuk apa nya, misal, karena dia dianggap kurang aspiratif. Itu soal berikutnya. Tapi bukan karena ia keluar dari partai politik itu.
Jadi pada tahun 1999 pernah terjadi pada kasus seperti ini, kalau tidak salah.
“Iya, ya ada-ada pada kasus Partai Bulan Bintang,” tutur Amanda bersemangat.
“Jadi kira-kira yang sudah bagus dan sesuai dengan pembahasan mata kuliah itu apa saja yang poin-poinnya sama?,”tanya Amanda mencuri kesempatan.
“Kenapa,” tanya Irman.
“Kira-kira yang sudah bagus dan disesuaikan dengan masukan Bapak. Dari bahasan floor crossing kah?,”Amanda terus mencoba mencuri kesempatan agar tulisannya menjadi bagus dan menyenangkan bagi sang dosen.
“Floor crossing apa lagi itu? Saya rada lupa istilah itu,”Irman pun memancing pengetahuan Amanda, atas apa yang telah ditulisnya.
“Floor crossing istilah itu, pada kasusnya si…siapa itu? Lily sama Effendy,”Amanda mencoba mengingat isi tulisannya.
“Kenapa dia itu?,”tes sang Dosen.
“Floor crossing itu istilahnya dia berbeda pendapat sama partai, tapi disaat dalam voting. Gitu loh?,”jelas Amanda.
Kasus recall yang dilatari perbedaan sikap antara anggota DPR dan parpol induknya terkait dengan suatu kebijakan tertentu yang harus diputuskan dalam pemungutan suara (voting) terbuka. Dalam tradisi berparlemen, tindakan seperti ini dikenal dengan istilah floor crossing.
“Oohhh…terus?,”tanya Irman.
“Itu kan, kalau pakai logika Pa Tommy Pakar Parlemen Indonesia. Dia tidak bisa diberhentikan, karena dia merupakan wakil konstituen, gitu loh, bukan wakil partai.”
Dalam tulisan Amanda yang dikutip dari tulisan Pakar Parlemen Tommy A. Legowo, Salah satu praksis floor crossing menyatakan, anggota parlemen tidak harus kehilangan kursi (keanggotaan parlemen) karena menyatakan pendirian yang berbeda dengan parpol induknya, sekalipun kursi itu diperoleh dari sistem pemilu proporsional daftar tertutup.
“Setuju saya, kalau begitu logikanya. Itu memang seperti itu,” ujar Irman.
“Pak Tommy kan ada beberapa syarat tidak setujunya atau tidak bolehnya diberhentikan Lily dan Effendy. Itu menurut Bapak, syarat-syaratnya sesuai tidak dengan Bapak?,”terang Amanda.
Melakukan recall semata-mata karena floor crossing anggota DPR di parlemen, pertimbangan-pertimbangan khusus perlu dicermati, seperti disarankan oleh Tommy A. Legowo Peneliti Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), meski begitu, sarannya tersebut diperjelas lagi oleh Amanda.
Pertama, seorang kader parpol yang menjadi anggota DPR tidak lagi hanya mewakili parpol induknya, tetapi juga entitas lebih luas. Apalagi sistem pemilu telah berubah. Dari sistem proporsional tertutup yang mengandalkan nomor urut berdasar selera pimpinan partai, menjadi sistem proporsional terbuka yang membuat peraih suara terbanyaklah yang mengisi lembaga perwakilan rakyat. Pemilih tak lagi memilih tanda gambar partai, tapi telah memilih orang, sehingga suara konstituen harus dilindungi secara layak. Dan, pemilu proporsional daftar terbuka menghasilkan pada dasarnya dua prinsipal utama yang harus diwakili anggota DPR, yaitu: parpol dan konstituen (pemilih).
Kedua, selain melegitimasi keterpilihan anggota DPR, perolehan suara anggota DPR menyumbang akumulasi perolehan suara parpol. Anggota DPR adalah caleg terpilih karena perolehan suara terbanyak di masing-masing daerah pemilihan. Anggota-anggota DPR pada dasarnya telah berperan sebagai vote getters utama bagi masing parpol-parpol induknya.
Ketiga, mandat konstituen untuk anggota DPR berlangsung lima tahun. Logikanya sederhana saja, yaitu: masa bhakti mereka berlangsung lima tahun. Jika seorang anggota DPR diberhentikan oleh parpol karena perannya mewakili aspirasi konstituen, ini merupakan pencabutan mandat secara sepihak, dan bisa berarti sewenang-wenang.
Bahkan, setiap anggota dewan punya hak dan kedaulatan dalam menyampaikan sikap seperti yang diamanatkan dalam Pasal 20A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Partai, apalagi fraksi, sama sekali tidak memiliki jaminan konstitusi dalam hal menyatakan pendapat atau sikap.
Dengan hak imunitas yang dimilikinya sebagai anggota dewan itu maka Lily dan Gus Choi tidak dapat disanksi apalagi diberhentikan dari anggota DPR.
Jika DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tetap memberi sanksi kepada anggotanya di DPR yang tengah menggunakan hak-hak konstitusinya maka PKB bisa dianggap telah melakukan tindakan atau kegiatan yang bertentangan dengan konstitusi. Konsekuensinya, PKB bisa digugat ke pengadilan sebagai partai yang sudah melanggar konstitusi. Ancamannya jelas, yakni dibubarkan.
Keempat, konstituen parpol bukanlah entitas homogen, apalagi jika dihubungkan dengan isu kebijakan. Floor crossing di parlemen bisa jadi merupakan persepsi visioner anggota DPR terhadap kenyataan konstituen yang heterogen. Ini malahan bisa menguntungkan parpol .
Kelima, jika floor crossing merupakan pendirian anggota DPR karena melaksanakan peran mewakili konstituen, Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) Pasal 196 ayat (3) juga menjaminnya: “Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.” Pendek kata, jika sikap kritis diancam dibungkam dengan recall, maka kepentingan publik dan demokrasilah yang dirugikan. Apalagi jika itu karena sebuah istilah pilihan partai sebagai oposisi atau koalisi, artinya PKB sebagai partai koalisi pemerintahan tidak bisa mereduksi hak-hak anggota DPR. Seolah-olah koalisi jauh lebih perkasa dari anggota DPR yang kita lekatkan hak konstitusionalnya.
“Yang mana itu?,”tanya Irman.
“Ya itu, tentang floor crossing,”jawab Amanda.
“Ya, tampaknya oke-oke saja. Cuma persoalan Pasal 22B saja,”ujar Irman.
“Kalo tentang memasukan Pemikiran Pak Tommy tentang kasus floor crossing bagaimana? Saya takut usulan dari Pak Tommy itu, nanti berbeda pemikiran dengan Bapak, dan aku juga memikirkan kan posisinya Bapak sebagai dosen sekaligus ahli parlemen. Takutnya ahli dengan ahli berantem, berantem secara pribadi gitu loh, egois karena posisi Ahli itu,”ujar Amanda.
“hahahaha…ga papa, itu tulisanmu bagus, diuraikan saja. Nanti terakhirnya di situ kan bisa kita perbaiki, kalau memang ada yang kurang pas dalam pemahaman kamu mengenai Parlemen dibedah secara konstitusional dengan kasus recall.”
Jadi intinya begini, anggota Parpol dengan Parpol itu hubungan lain dengan anggota DPR dengan DPR. Ini tidak berbanding lurus, gitu loh. Tidak boleh berbanding lurus, dia itu.
“Oh…itu kata kuncinya,”Amanda pun semakin memahami.
“Kata kuncinya disitu. Positif dia anggota Parpol, belum tentu dia, positif dia anggota DPR. Iya kan?,”tanya Irman.
“Oh…makanya itu ya, yang Bapak bilang istilah koalisi dan oposisi tidak mempengaruhi anggota DPR, dalam pertemuan pada Rabu pekan lalu?, tanya Amanda.
“Iya,”jawab Irman.
Dalam hubungan dia dengan anggota parpolnya, mesra sekali dia hubungannya kan seperti itu. Tapi dalam posisi dia di DPR, ketika dia melanggar, misalnya kode etik dan lain sebagainya, DPR bisa memberhentikannya.
Termasuk dia dalam mekanisme misalnya refendum atau konstituennya bosan sama dia, karena dia tidak menjalankan fungsi representasi-nya, yang dia dengar suara parpolnya terus, dia tidak pernah mendengar suara konstituennya.
Konstituennya mengajukan referendum untuk me-recall-nya, bisa saja seperti itu. Jadi tidak berbanding lurus dia. Gitu.
Nah begitu pula, karena dia misalnya, dia destruksi, dia diberhentikan dari parpolnya, dia tidak otomatis, dia diberhentikan menjadi anggota DPR. Begitu kata kuncinya disitu.
Disini hubungan privat, disini menjalankan fungsi negara, berbeda begitu. Misal, ketika SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, itu ada soal privasinya dia yakni di Partai Demokrat. Tapi dia sebagai Presiden, dia menjalankan fungsi negara, gitu.
Ketika dia diberhentikan, dia punya masalah di internal Partai Demokrat, misalnya dia diberhentikan sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat atau anggota partai demokrat, tidak otomatis maka status presiden-nya juga harus berhenti.
Begitu pula di DPR, sama. Sama-sama lembaga politik yang dipilih oleh rakyat. Sama-sama statusnya diusulkan dan pesertanya adalah partai politik, sama. Seperti itu.
“Iya…ya,” Amanda pun semakin mengerti mengapa kasus floor crossing, yang dilakukan Lily Wahid dan Effendy Choirie begitu diributkan.
“Oke Pak, untuk saat ini saya sudah memahami. Dan, obrolan ini saya rekam, dan bagus juga nanti saya masukan dalam tulisan revisi saya,”terang Amanda.
“Benar,”ujar Irman.
“Jadi sebenarnya kalau ke depan itu, fraksi itu tidak lagi semacam menjadi instrumen penting dalam tubuh DPR itu. Fraksi itu sebenarnya,”ujar Irman.
“Jadi semacam apa Pak? Posisinya?,”tanya Amanda heran.
“Tidak perlu ada fraksi sebenarnya. Orang bergabung di komisi-komisi saja dia.”
“Kayaknya pembahasan ini, perlu dimasukkan dalam penulisan makalah lainnya deh Pak,”sanggah Amanda.
“Ya memang, agak panjang sub bab yang kamu harus bikin makalahnya,” Irman menyetujui usul Amanda.
“Jadi tugas etika dulu yang telah Bapak berikan,”ujar Amanda.
“Ya memang,.”
Kembali ke permasalahan, jadi harus ada batas demarkasi. Seperti kasus kemarin Aziddin periode 2004-2009. Aziddin Partai Demokrat, seharusnya mekanismenya seperti itu.”
Kasus pemecatan atas putusan BK DPR terjadi pertama kali dalam sejarah legislatif di Indonesia dan menjadi pemberitaan media massa, adalah kasus Aziddin dari Fraksi Partai Demokrat, karena diduga terlibat praktek percaloan pemondokan dan katering haji.
Kasus ini bermula, sejumlah LSM yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Kelompok Kerja Petisi 50, Komite Waspada Orde Baru, Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), Gerakan Rakyat Marhaen, dan beberapa LSM lainnya pada 14 Juni 2006 melaporkan Aziddin Anggota Komisi VIII DPR dari Partai Demokrat ke BK atas praktek percaloan pemondokan dan katering jemaah haji.
Menindaklanjuti laporan itu, BK menggelar Rapat Pleno yang dilaksanakan di Wisma DPR di Kopo, Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, selama tiga hari pada 14-16 Juli 2006. Dalam rapat tersebut BK memutuskan untuk memberikan sanksi terhadap 18 anggota DPR yang disidang. Dari 18 anggota DPR yang dikenai sanksi teguran dan tertulis, satu di antaranya, yakni Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Aziddin dikenai sanksi pemberhentian dari anggota DPR. Keputusan pengenaan sanksi terhadap 18 anggota Dewan itu disetujui 10 anggota BK DPR yang hadir dalam rapat di Kopo, Jawa Barat, pada 14-16 Juli lalu. Namun, tiga anggota BK lainnya, tidak hadir dalam rapat itu.
Berdasarkan hasil pemeriksaan BK, maka BK telah merekomendasikan kepada pimpinan DPR agar Aziddin, anggota Fraksi Partai Demokrat, diberhentikan. Sebab, dalam pemeriksaan BK, Aziddin secara sah telah dinyatakan terlibat dalam kasus percaloan pemondokan dan katering jemaah haji.
Keputusan pemberhentian Aziddin itu juga telah diumumkan Ketua DPR Agung Laksono dalam rapat paripurna tentang Pidato Penutupan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2005-2006, tanggal 21 Juli 2006. Pengumuman itu disampaikan berdasarkan dua buah surat yang diterima Pimpinan Dewan, yaitu: Pertama, Surat dari DPP Partai Demokrat No. 76/EXT/DPP.PD/VII/2006 tertanggal 17 Juli 2006 tentang Penarikan Aziddin sebagai Anggota DPR RI dari F-PD atas nama K.H. Aziddin, SE., M.Sc; dan Kedua, surat dari BK DPR No. 275/SK-BK/VII/2006 tertanggal 20 Juli 2006 perihal Penyampaian Putusan BK DPR RI, tentang pemberian sanksi karena pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR RI kepada K.H. Aziddin, SE., M.Sc berupa pemberhentian sebagai anggota.
Namun, Keppres (Keputusan Presiden) pemberhentian Aziddin–yang merupakan kader partai bentukan Yudhoyono–baru turun pada 21 Desember 2006. Selanjutnya setelah keluarnya Keppres tersebut, maka Jum’at 5 Januari 2007, Ketua DPR Agung Laksono melantik 2 anggota DPR PAW (Penggantian Antarwaktu), diantaranya, Nurul Iman Mustopa mewakili Partai Demokrat, Dapil Jawa Barat X menggantikan Aziddin dari Partai Demokrat, Dapil Jawa Barat X, berdasarkan Keppres No. 65/P Tahun 2006, tanggal 21 Desember 2006.
“Jadi, mekanisme seharusnya kayak Aziddin ya?,”terang Amanda.
Jadi mekanismenya seperti itu. Bukan penarikan sepihak oleh partai politik. Akhirnya apa? Kalo seperti itu mekanismenya, maka inilah yang membuat Parlemen kita itu kehilangan kekuatan konstitusional dihadapan kekuatan-kekuatan lainnya.
Karena apa? Karena seluruh anggota DPR lebih tunduk kepada partai politiknya daripada rakyat diwakilinya. Akhirnya, DPR itu tidak berfungsi sebagai wakil rakyat, tetapi menjadi Dewan Perwakilan Partai Politik.
Itu artinya, fungsi-fungsi DPR di legislasi, anggaran dan pengawasan, tunduk kepada keinginan politik dari partai politik.
Implikasinya apa? DPR itu ternyata hanya menjadi rumah singgah para politisi-politisi itu.
“Kalau Azziddin yang Abang maksud, kasusnya dia dipecat dulu kan baru diberhentikan sebagai anggota DPR?,” tanya Amanda untuk lebih memahami maksud sang dosen.
“Dia dipecat dulu!.”tegas Irman.
“Saya tahu kok, alur pemikiran Bapak tentang hubungan anggota DPR dengan partainya ini, seperti kutipan dari Mannual Luis Quezon, Presiden kedua Filipina yang juga mantan ketua Senat Filipina, yang mengatakan, “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins,”ujar Amanda memberanikan menerka dari hasil obrolannya ini.
“Ya, ya itu. Jadi kira-kira ketika di DPR itu tidak boleh menjadi rumah singgah. Untuk kemudian, ya seperti jadi Minimarket lah Lembaga DPR itu…”
“hahaha…,” tawa Amanda disela pembicaraan itu.
Tiba-tiba ada barang jadi dijual disitu. Tidak bisa seperti itu. Itu yang terjadi sekarang (kasus Lily Wahid dan Gus Choi).
Ibarat pesawat, ternyata kookpit-nya DPR itu bukan di Senayan. Tetapi kookpitnya di DPP-DPP Partai Politik masing-masing.
“Segelintir orang saja kan,” celetuk Amanda.
“Ya, konteks Periode 2009-2014, sekarang ini, 9 orang saja dari 9 partai politik yang ada di parlemen itu karena lolos Parliamentary Thereshold (ambang batas parlemen),” ujar Irman.
Sekarang kalau kita hitung-hitung, ya mungkin, sekitar 9 orang saja, kookpitnya ya disitu. Ya kira-kira seperti itu.
Kookpitnya DPR itu, berada di DPP Parpol masing-masing. Kan artinya anggota DPR, secerdas apapun, sehebat apapun, itu tidak akan bisa mewarnai bahwa DPR itu adalah DPR, Parlemen Rakyat yang hebat. Tidak bisa!
Kenapa? Karena semua kebijakan ditentukan oleh partai politik masing-masing. Bukan individu anggota DPR itu. Gitu.
“Hallo…,” Irman memastikan Amanda tetap menyimak pembicaraannya.
“Ada solusi lagi gak Pak. Dari Bapak kira-kira?,” tanya Amanda merasa telah teramat dibantu dalam pengerjaan makalahnya.
Entar dulu aku baca, ada lagi itu. Pusing aku. Tapi intinya tidak usah lah kita menulis terlalu sempurna. Yang penting ada dulu karyanya, bisa terakomodasi.
Yang penting optimal dulu lah. Tidak perlu maksimal. Karena kalau tidak jadi-jadi itu karya. Kalau kita selalu berusaha maksimal.
“Benar…benar…,” jiwa Amanda muda sebagai mahasiswi mencoba meng-iya-kan.
Karena bathin Amanda, mahasiswa/i telah bekerja maksimal mengerjakan karyanya, itu telah lebih bagus dibanding mereka mengerjakan asal-asal saja yang penting dikumpulkan.
Dan, ini siapapun pasti pernah mengalaminya, bathin Amanda membela diri, mengingat kemalasannya dulu, sebelum bertemu dengan dosen yang begitu aware terhadap karya-karya mahasiswanya, tanpa sungkan dibantu untuk memahami isi tulisannya dengan realitas politik dan solusi ke depan yang lebih baik.
Amanda pun mengakui, tugas Dosen Pak Irman seminggu satu karya diakhir pertemuan, begitu menyita waktu dan pikiran, tetapi Ia mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
“Oke…, intinya Pasal 20A ayat (3) mengenai hak-hak anggota DPR, itu menjadi kuncinya juga. Kenapa hubungan Parpol dan hubungan dengan anggota DPR, itu tidak berbanding lurus gitu loh. Karena dia, dijamin hak konstitusinya sebagai anggota DPR. Kira-kira begitu ya Amanda.
“Oke…oke…saya memahaminya Pak,”ujar Amanda.
“Oke?,”ujar Irman memastikan.
“Oke, thank you…,” tutup Amanda.