Minggu, 25 November 2012

SUDAH DAPAT DIPESAN

TEENLIT Judul: "SUSAHNYA MENJADI GADIS," Penulis: Ira Puspitasari, Penerbit: Kreasi Cendekia Pustaka (KCP) Tahun Terbit: 2012 Harga: Rp. 25.000

Selasa, 09 Oktober 2012

Risensi Buku

Doktrin Agama dan Pemberontakan Tue, 09/10/2012 - 23:57 WIB http://www.rimanews.com/read/20121009/78031/doktrin-agama-dan-pemberontakan Selama abad ke-19, serentetan pemberontakan di Banten terhadap otoritas kolonial Belanda meletus dalam skala kecil maupun besar, sehingga Banten disebut sebagai tempat persemaian dan gelanggang pemberontakan. Salah satu pemberontakan besar terjadi pada 9 Juli 1888 yang disebut sebagai Pemberontakan Petani Banten. Di tinjau dari segi gerakan sosial, faktor-faktor yang menyebabkan pergolakan dan keresahan sosial sangat kompleks dan beranekaragam. Peristiwa revolusioner itu bisa diletakkan di dalam konteks perkembangan kelembagaan ekonomi, sosial, politik, dan agama. Aspek politik merupakan faktor yang menonjol dalam semua gerakan sosial di Banten, termasuk Pemberontakan Petani Banten 1888. Kebencian rakyat terhadap pamong praja Banten hampir sama mendalamnya dengan permusuhan terhadap penguasa-penguasa asing, yaitu Belanda. Sebab, para pamong praja menjadi agen-agen kolonial sebagai pemungut pajak rakyat Banten. Kegusaran penduduk terhadap pajak berubah menjadi pemberontakan ketika mereka harus menjual hasil pertaniannya dengan harga yang rendah. Ditambah lagi wabah penyakit dan bencana alam menjadi lengkaplah penderitaan rakyat, yang mendorong mereka ingin mengakhiri penderitaan dengan memberontak. Namun, pemberontakan tidak akan pernah meletus, tanpa seorang pemimpin. Para pemimpin pemberontak datang dari kalangan elite agama atau kiai dan kaum aristokrat lama, yang merasa kedudukan istimewanya terancam oleh pemerintah kolonial Belanda. Tersisihnya mereka dari ranah politik rupanya telah menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk melakukan dan menggerakkan pemberontakan, sebagai cara untuk menyalurkan ketidakpuasan dan rasa dendam mereka. Sikap memberontak ini juga diperkuat lagi oleh kebencian religius mereka terhadap kekuasaan “orang-orang kafir.” Tidak disangsikan lagi bahwa hampir semua pemberontakan diwarnai oleh faktor keagamaan. Tokoh penting dalam pemberontakan petani Banten adalah Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani, seorang khalifah tarekat Qadiriyyah-Naqsyabandiyyah. Dia yang lama tinggal dan belajar di Mekah, kembali ke Banten. Dalam waktu tiga tahun di kampung halamannya dia menanamkan doktrin-doktrin agama yang mendorong pecahnya pemberontakan, antara lain kedatangan Imam Mahdi, peringatan terakhir Nabi Muhammad Saw., mendirikan negara Islam (Dar al-Islam), dan Perang Sabil (Jihad fi Sabilillah). Buku karya wartawan majalah Historia ini berusaha menggali peranan Syekh ‘Abd al-Karim dalam menanamkan doktrin-doktrin tersebut. Meskipun Syekh ‘Abd al-Karim tidak ikut dalam pemberontakan karena dipanggil kembali ke Mekah oleh gurunya Ahmad Khatib al-Sambasi, namun dia telah menanamkan doktrin-doktrin keagamaan yang menjadi bekal bagi para pemberontak. Dalam hal ini – meminjam istilah John L. Esposito dalam menjuluki pemikir Iran Ali Syari’ati dalam revolusi Islam Iran – kita bisa menyebut Syekh ‘Abd al-Karim sebagai “perumus dan penyedia ideologi revolusi.” Dengan kata lain, Syekh ‘Abd al-Karim-lah yang telah mempersiapkan doktrin-doktrin agama atau landasan spiritual bagi rakyat Banten untuk melakukan pemberontakan. Doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan Syekh ‘Abd al-Karim kemudian disemaikan oleh murid-muridnya yaitu Haji Marjuki, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid; telah menjadi landasan rasional kepada gerakan pemberontakan. Sehingga mereka memahami pemberontakan tersebut sebagai jalan satu-satunya untuk melakukan protes terhadap penguasa kolonial, di mana sebelumnya mereka tidak memiliki atau tidak tersedia cara-cara yang sah untuk menyatakan protes atau perasaan tidak senang terhadap kebijakan kolonial. Namun yang perlu segera ditegaskan di sini adalah, menukil Endorsment dari Dr. Asvi Warman Adam, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ” Apakah ulama menjadi dalang pemberontakan Banten tahun 1888? Bacalah dalam buku ini. Apakah perlawanan petani terhadap penjajah Belanda yang memakan korban jiwa pada kedua belah pihak kurang dari 50-orang itu dapat dikategorikan sebagai pemberontakan? Renungkanlah setelah membaca buku ini.” Selamat Membaca! *** ________________________________ Peresensi : Efriza, Penulis dan Penikmat Buku, tinggal di Depok II Timur Penulis : Hendri F. Isnaeni Penerbit : Kreasi Cendekia Pustaka Terbit : I, September 2012 Ukuran : 15 x 23 cm Tebal : x + 118 hlm ISBN : 978-602-19987-3-1

Minggu, 30 September 2012

Telah Terbit

Info: Berminat,silahkan pesan. Buku karya Hendri F. Isnaeni Wartawan Majalah HISTORIA "DOKTRIN AGAMA Syekh 'ABD AL-KARIM AL-BANTANI,Dalam Pemberontakan Petani Banten 1888," Penerbit KCP, Jakarta, 2012, Rp. 37.500 Hubungi: 081380570370/Efriza Endorsment: Apakah ulama menjadi dalang pemberontakan Banten tahun 1888? Bacalah dalam buku ini. Apakah perlawanan petani terhadap penjajah Belanda yang memakan korban jiwa pada kedua belah pihak kurang dari 50 orang itu dapat dikategorikan sebagai pemberontakan? Renungkanlah setelah membaca buku ini. Dr. Asvi Warman Adam, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Di Eropa kala senja Abad Pertengahan, agama dikambinghitamkan sebagai pembenar kesewenang-wenangan penguasa, bahkan diusir dari ruang publik, dan fungsi sosial-politiknya dikebiri. Padahal, sejatinya, ruh asli agama hadir sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Ruh inilah yang ditangkap Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani. Dia menafsirkan agama secara kreatif revolusioner, yang diracik menjadi sebuah gugus ideologi perlawanan terhadap kolonial. Racikan ideologi itu –mengutip Ali Shariati– menjelma menjadi “sangkakala Israfil” yang membangkitkan jiwa-jiwa masyarakat Banten untuk berdiri tegak menantang imperialis Belanda. Buku karya Hendri F. Isnaeni ini, layak dicerna bagi siapapun yang ingin belajar dari sejarah bagaimana menjadikan agama sebagai basis pergerakan revolusioner. M. Subhi-Ibrahim, M.Hum, Ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani adalah sosok ulama yang berperan penting dalam menginspirasi rakyat Banten. Kehadiran ajaran-ajarannya yang berasal dari batin Islam mampu menggerakan wong cilik untuk menegakkan keadilan. Meski perannya begitu penting sebagai representasi intelektual Islam di Nusantara, namun sayang kajian yang mendalam mengenai ajaran-ajarannya masih jarang. Kehadiran buku yang ditulis oleh sejarawan muda yang prolifik ini dapat menjadi referensi bagi siapapun untuk melihat khazanah intelektual Islam Nusantara. Aan Rukmana, MA., Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Ketua Harian Nabil Society

Sabtu, 01 September 2012

Kemenangan Suara Rakyat, Tanpa Ambang Batas Nasional

Kemenangan Suara Rakyat, Tanpa Ambang Batas Nasional Oleh: Efriza, Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) Konsep penerapan parliamentary threshold (PT) dalam perkembangannya terdapat peningkatan area ambang batas, tidak hanya di suatu dapil (lokal) namun untuk seluruh dapil (nasional). Memasuki Pemilu 2014, masalah besaran PT menjadi persoalan kunci yang akan menentukan cepat atau lambatnya pembahasan Revisi UU Pemilu Legislatif. Sebab bagi sebagian partai politik besaran PT akan menentukan keberlangsungan mereka ke depan. Terdapat setidaknya 3 (tiga) alternatif usulan dalam pembasan Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan Umum (Pemilu( yaitu: Pertama, usulan mengusulkan agar PT tetap seperti pada Pemilu 2009 yaitu sebesar 2,5%; Kedua, usulan agara PT sebesar 4%; dan Ketiga, PT sebesar 5%. Kalangan partai menengah ke bawah cenderung agar PT tetap 2,5% dengan alasan mengingat luas dan majemuknya bangsa Indonesia maka perlu menjaga keragaman dengan tetap mempertimbangkan efektifitas. Sementara partai besar menginginkan peningkatan besaran PT yaitu 5% dengan alasan untuk meningkatkan efektifitas di parlemen. Di sisi lain, usulan PT 4% dengan alasan kenaikan dibutuhkan namun sebaiknya secara bertahap sehingga kalaupun ada kenaikan tidaklah terlalu tinggi. Menyoal Keputusan MK Perdebatan yang tidak kalah alotnya hingga harus dilakukan pemungutan suara adalah soal penerapan PT. Meski angka 3,5% sudah disepakati untuk tingkat nasional (DPR), namun untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota belum disepakati besarannya. Dari hasil pemungutan suara disepakati bahwa ambang batas 3,5 persen secara nasional, yang didukung oleh 343 suara merupakan dukungan enam fraksi yakni, F-PD, F-PG, F-PPP, F-PKB, F-Hanura dan F-Gerindra. Sementara tiga fraksi lainnya, mendukung ambang batas berjenjang. Misalnya untuk DPR sebesar 3,5%, DPRD provinsi 4% dan kabupaten/kota sebesar 5%. Dengan jumlah sebanyak 187 suara dari tiga fraksi yakni, F-PDIP, F-PKS, dan F-PAN. Upaya DPR tersebut mendapatkan perlawanan dari 14 partai politik gurem dengan mengajukan uji materi. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkannya dengan memutuskan bahwa PT 3,5 persen hanya berlaku untuk DPR. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan kemenangan untuk suara rakyat. Sebab, keputusan itu menyelamatkan suara rakyat. Penerapan ambang batas DPR di Pemilu 2009 lalu saja, menyumbang penurunan partisipasi pemilih terbesar kedua setelah kategori tidak memilih yaitu sebesar 19.086.060 yang disebabkan oleh suara 29 partai yang dihanguskan tersebut. Tak bisa dimungkiri persentase angka partisipasi pemilih (voters turn out) di Indonesia terus meluncur turun hingga sebesar 86.251.717 atau 70,99%. Trend penurunan suara diprediksi masih terus berlanjut bahkan bisa sampai 50 persen pada Pemilu 2014, ini sebelum adanya pengaturan sistem PT flat. Fakta dari hasil Pemilu 2009 juga menunjukkan bahwa pemberlakuan ambang batas parlemen secara flat alias pukul rata bukan solusi tepat. Rekayasa institusional yang dilakukan DPR melalui UU Pemilu perlu dinyatakan dengan tegas merupakan salah kaprah. Lanskap politik nasional dengan lanskap politik di 33 provinsi dan sekitar 500 kabupaten dan kota sangat berbeda. Tak bisa dinafikan bahwa partai politik yang berjaya di DPR belum tentu memperoleh kursi di DPRD. Sebaliknya partai politik yang gagal memenuhi ambang batas DPR tidak sedikit yang meraih suara signifikan di daerahnya. Misalnya berdasarkan hasil simulasi Tim Konsultan Kemitraan bahwa, bagi Partai yang tidak lolos 2,5 PT nasional, berdasarkan penguasaan kursi di DPRD Provinsi setidaknya ada 5 partai terbesar, sebagai berikut: (1) PBB (37 kursi tersebar di 19 DPRD Provinsi atau 58%); (2). PBR (27 kursi tersebar di 16 DPRD Provinsi atau 48%); (3). PDS (37 kursi tersebar di 15 DPRD Provinsi atau 45%); 4. PKPB (21 kursi tersebar di 13 DPRD Provinsi atau 39%); dan 5. PPRN (13 kursi tersebar di 10 DPRD Provinsi atau 32%). Bahkan, partai politik pemenang pemilu DPRD-DPRD di kabupaten dan kota berbeda-beda satu sama lain kendati di provinsi yang sama. Realitas ini juga memperlihatkan tingginya tingkat fragmentasi politik di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, partai politik yang gagal memperoleh dukungan elektoral secara nasional bisa jadi merupakan partai politik harapan masyarakat di provinsi, kabupaten, atau kota. Perbedaan lanskap politik nasional dan daerah ini memperlihatkan, meskipun gagal memenuhi ambang batas DPR, sebagian di antaranya adalah ”partai besar” di tingkat daerah. Realitas politik seperti ini terjadi karena preferensi pilihan masyarakat tidak semata-mata kepada partai politik, tetapi justru kepada para calon anggota legislatif (caleg) yang diajukan partai politik. Semakin populer caleg di suatu dapil, semakin besar pula partai politik yang mencalonkan dapat dukungan. Jangan sampai, Pemilu yang dimaksudkan untuk memilih para wakil melalui berbagai upaya seperti penerapan proporsional terbuka (suara terbanyak), berubah menjadi pemilu untuk memilih partai politik karena kehadiran, kapastitas, dan kualifikasi caleg untuk DPRD dinafikan sistem melalui penerapan PT flat. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini adalah keputusan yang patut diapresiasi, sebab bukan saja menyelamatkan suara rakyat, juga menyelamatkan legitimasi keterpilihan seorang caleg dan legitimasi pemilu itu sendiri. 

Anomali Wajah DPR di Ruang Publik

http://www.rimanews.com/read/20120828/73604/anomali-wajah-dpr-di-ruang-publik Tue, 28/08/2012 - 11:34 WIB Oleh: Efriza* Gagasan ide lembaga perwakilan berkenaan diterapkannya demokrasi tidak lang­sung (indirect democracy) yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan nama parlemen. Fungsi-fungsi utama DPR seperti diatur Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 bahwa ada 3 (tiga) fungsi, yaitu, fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan tiga fungsi ini maka setiap anggota DPR juga diberikan hak-hak langsung oleh konstitusi yaitu Hak mengajukan pertanyaan. Hak menyampaikan usul dan pendapat (termasuk hak mengajukan rancangan undang-undang). Hak imunitas bahwa dia (anggota DPR) tidak bisa dituntut karena pendapat atau pernyataannya baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen berdasar tugas kedewanannya, seperti diatur dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945. Aturan Pasal 20A ayat (3) itu sebagai bukti bahwa satu-satunya jabatan negara yang secara individu langsung diberikan hak-hak oleh konstitusi, itu hanya anggota DPR. Hak menyampaikan pendapat­nya, hak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), dan lain sebagainya. Hanya Presiden saja yang bisa menyaingi lembaga DPR, karena presiden juga diatur hak-hak konstitusionalnya sebagai presiden. Misalnya, menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), presiden mengangkat kabinet, untuk mengimbangi kekuasaan Presiden dahsyat ini, maka Undang-Undang Dasar melekatkan langsung pada setiap anggota DPR. Kenyataannya dominasi partai politik dalam tubuh DPR begitu kuat bahkan boleh dikatakan partai politik sedang mencengkeram gedung perwakilan rakyat ini. Ketika partai politik itu seolah-olah mau dicantolkan seperti sisi mata uang dengan DPR itu. Maksudnya adalah partai politik itu dicangkokkan masuk dalam tubuh DPR itu. Itulah menjadi fraksi. Jadi, salah satu bentuk cengkeraman itu lahirlah yang namanya fraksi dalam tubuh parlemen itu. Sebenarnya istilah fraksi sama sekali tidak dikenal dalam konstitusi. Satu-satunya Pengaturan Konstitusi yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Fraksi hanyalah Pasal 22E ayat (3) yang berbunyi: ”Peserta Pemilu untuk memilih Anggota DPR dan Anggota DPRD adalah partai politik.” Seharusnya anggota dewan itu ketika terpilih, meskipun dia dari partai, dia sudah tidak sepenuhnya menjadi hak partai. Sudah harus dibagi antara untuk partai dan rakyat. Bahkan sebenarnya, kedaulatan ini milik rakyat berdasar UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Partai bukan organisme hidup yang berbicara jasa. Kalau mulai berpikir dan berbicara jasa maka di situlah peluang power tend to corrupt bagi elite-elite partai itu. Akhirnya, negara ini dibajak atas nama partai politik. Dibajak oleh elite atas nama kebesaran partai politik. Itu juga yang terjadi sekarang, DPR dibajak, presiden dibajak, bahkan mungkin kekuasaan kehakiman juga sebentar lagi dibajak atas nama partai politik oleh elite-elite. Misal, kita lihat, presiden saja menentukan kabinet yang notabene prerogatif, nyatanya tidak bisa dia. Presiden, tunduk pada riil politik atas nama koalisi. Ini artinya, negara ini sedang dibajak oleh elite-elite yang mengatasnamakan partai politik. Jadi tidak dibenarkan seperti ini. Jika dibenarkan maka partai mau semau-maunya. Munculnya fraksi ini sebagai kepanjangan tangannya pranata partai politik yang sebenarnya di luar dari parlemen. Ini yang membuat bak siapapun yang terpilih menjadi anggota DPR menganggap meskipun dia terpilih menjabat sebagai anggota DPR maka kerja yang harus dilakukannya adalah kerja kolektif bukan kerja individual. Maka banyak anggota DPR, Saya yakin, tidak menyadari tanggung jawab individualnya sebagai anggota DPR, hak-hak individualnya sebagai anggota DPR. Misalnya, berapa banyak anggota DPR yang memikirkan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang-nya secara personal? Jika sekarang Lembaga DPR menjadi sorotan negatif. Apakah kita salahkan anggota DPR? Tidak, karena sistemnya. Andaikan anggota DPR itu mengajukan usulan secara personal, dan ketika itu kontroversi maka partai politik bisa menegurnya. Ketika paradigma kerja kolektif ini muncul maka mempengaruhi persepsi anggota DPR untuk tidak berlomba-lomba meningkatkan kinerja individualnya. Akhirnya, muncullah impresi atau kesan misalnya, bahwa datang rapat atau tidak datang rapat, bolos atau tidak bolos, toh fraksi yang menentukan. Mereka sudah datang absen sajatoh juga keputusannya di fraksi. Bicara berbusa-busa, berpikir siang-malam yang menentukan juga fraksi. Itu juga fraksi yang menentukan adalah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dari partai politik masing-masing. Di sisi lainnya, jangan sampai fraksi menjadi tempat berlindungnya anggota DPR yang malas. Anggota dewan yang malas akan senang berlin­dung di ‘ketiak-nya’ fraksi. Seperti statement yang sering muncul dan akhirnya menjadi pemakluman bahwa, ‘fraksi saya belum ngomong apa-apa tuh, jadi saya belum bisa ngomong apa-apa.’ Atau sering kita dengar anggota dewan berkata, ‘belum sempat berkonsultasi dengan fraksi.’ Itu artinya proses pengambilan keputusan akan lambat, karena harus melalui fraksi.” Fraksi ini bisa membuat anggota DPR itu merasa terasing sebagai anggota DPR. Anggota DPR menjadi merasa tidak berguna, meski dia berusaha semaksimal mungkin menjalankan fungsinya, nantinya yang menentukan kebijakan adalah partai politik c.q. oligarki c.q. elite, yang kemudian dikeluarkan melalui fraksi. Yang semestinya ini merupakan kerja individual seperti diatur UUD 1945 dalam Pasal 20A ayat (3) itu. Realitas ini, menghadirkan sisi negatif, menyebabkan masyarakat berpikir mengenai kebencian begitu besar kepada DPR. Ini yang harus segera kita luruskan. Harus segera kita cerahkan ke rakyat, tidak boleh melihat DPR dengan kebencian, sebab, walaupun memang benar ada problem di tubuh DPR yang membuat citra DPR buruk, kita tidak bisa nafikan itu atas ulah segelintir oknum, atau bahkan penyebab lainnya ada di dalam sistem ketatanegaraan kita yang salah satu penyebabnya adalah partai politik dicangkokkan masuk di tubuh kekuasaan parlemen kita melalui fraksi itu. Semestinya cengkeraman partai politik melalui fraksi itu harus segera kita putus. Dengan membubarkan fraksi dalam sistem parlemen kita melalui revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). ___________________________________ *Koordinator Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) dan Penulis buku-buku Ilmu Politik.

Rabu, 27 Juni 2012

Info Terbaru

Info: Sudah dapat dipesan dan dimiliki. Karya Saifullah Ma'shum "DPR Terhormat DPR DIHUJAT", Kreasi Cendekia Pustaka (KCP), Jakarta, 2012, Rp.45.000 Lebih lanjut Hub: 0813 80 570 370, Efriza, Komisaris KCP

Minggu, 15 April 2012

Karya ke - 11 (Penyelia, Efriza)! I Made Leo Wiratma, dkk; "DPR GAGAL, Skandal Century Menguap," Penaku, Jakarta, 2012. Dalam kurun waktu November 2009 hingga Maret 2010, kasus mega skandal Bank Century menyita perhatian publik dan menyedot begitu besar energi bangsa Indonesia antara lain karena tingginya ekspektasi publik terhadap pengungkapan kebenaran yang hakiki terkait dugaan terjadinya kekeliruan dalam pengambilan kebijakan bailout bank yang kini berubah nama menjadi Bank Mutiara. Sudah barang tentu, hal ini tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja sebagaimana peristiwa biasa lain yang hanya ramai pada awal namun kemudian dilupakan begitu proses itu selesai dilakukan. Kasus Bank Century hendaknya dijadikan sebuah catatan sejarah yang penting bagi DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Untuk itulah buku—yang merupakan dokumentasi hasil pemantauan dan penilaian FORMAPPI atas pelaksanaan hak angket DPR sejak 16 Desember 2009 pada saat sidang pertama hingga 3 Maret 2010 ketika Sidang Paripurna DPR—ini disusun dan diterbitkan sehingga publik dapat menyimak kembali kasus tersebut dalam kesempatan apa pun. Meski bukan satu-satunya, tetapi buku ini diharapkan dapat menjadi referensi atau inspirasi bagi siapa pun, khususnya DPR, dan berbagai pihak yang menaruh minat dalam masalah keparlemenan.

Karya ke-12 Efriza

Terbit April 2012, Efriza, POLITICAL EXPLORE, Sebuah Kajian Ilmu Politik, Alfabeta, Bandung, 2012, Harga Rp. 75.000. Buku ini memberikan pemahaman menyeluruh dalam setiap pembahasan melalui berbagai penelusuran sejarah mengenai perkembangan pemikiran ilmu politik dan penggambaran dari pemikiran tersebut. Materi yang dibahas merupakan khasanah pemikiran dari para ilmuwan klasik maupun modern, dan implementasi berdasarkan fakta di lapangan yang dihasilkan dari riset. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk menganalisis suatu permasalahan sesuai dengan tema-tema yang disajikan, khususnya kajian pemilu dengan sempurna. Melalui buku ini pembaca diajak untuk mengetahui, menelusuri, dan memahami perkembangan kajian ilmu politik seperti: Sosialisasi Politik, Budaya Politik, Partisipasi Politik, Partai Politik, dan Politik Pemilu: Perekayasaan Sistem Pemilu dan Perilaku Pemilih. Sehingga pembaca dapat memahami penyelenggaraan pemilu yang diterapkan dari suatu negara khususnya Indonesia. Makna dan pesan dari buku ini, agar pembaca memiliki sandaran ilmiah dalam menganalisis kajian Pemilu. Dengan demikian, buku ini sangat penting dibaca oleh kalangan yang terkait erat dengan kehidupan politik, termasuk pengamat, politisi, peneliti, dosen, mahasiswa, dan mereka yang berminat memahami kajian pemilu.

Senin, 05 Maret 2012

Rok Mini di Komplek Senayan

Oleh: Efriza, Koordinator Program dan Riset di Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) DPR ingin mengubah pemandangan di komplek parlemen agar tak tampak seperti Mall. Sehingga, Staf dan sekretaris anggota dewan dilarang berpakaian seksi. Pro-kontra pun menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Minim Kinerja Malah Ributkan Rok Mini Siapa yang memiliki ide pertama mengenai rok mini, Hendri F Isnaeni dari Majalah Historia. Menulis bahwa, namun, Mary Quant-lah yang dianggap berperan besar mempopulerkan rok mini. Pada 1960-an terjadi perubahan drastis ketika Mary Quant mempopulerkan rok mini yang memamerkan lebih banyak bagian-bagian kaki dibandingkan sebelumnya,” tulis Helen Reynolds dalam Mode dalam Sejarah: Gaun dan Rok. “Sejak itu para desainer mengekspos hampir setiap bagian tubuh, termasuk bagian perut. Muncul tren pakaian serba terbuka,” lanjut Helen. Ide tidak membolehkan para Staf dan Sekretaris anggota dewan dilarang berpakaian seksi, bisa dianggap langkah positif. Jika kita lihat tingkah laku DPR, bahwasanya kasus seronok juga telah menjalar bukan hanya persoalan mata memandatang saja tetapi sudah menjadi kelakuan yang tidak terpuji, misal, kasus pemerkosaan oleh anggota dewan periode 2004 maupun periode 2009, begitu juga kasus membuka situs video porno hingga menjadi “artis” video porno. Aturan ini secara tidak langsung juga merupakan evaluasi dan tamparan untuk mereka sendiri. Sebab, tanpa disadari anggota DPR yang berpakaian seksi juga banyak dari anggota DPR periode 2009 ini, seperti disindir oleh Bambang Soesatyo dari Partai Golkar, dikarenakan banyak mantan artis yang menjadi anggota DPR. Meski demikian, di tengah sorotan negatif, semestinya DPR lebih memikirkan bagaimana memperbaiki kinerja. Lihat saja, masih banyak anggota DPR yang mangkir dari Sidang Paripurna. Tidak terpenuhinya target prolegnas setiap tahunnya. Bahkan, lembaga DPR mengalami citra buruk dari tingkah laku segelintir oknum yang bermain diproyek-proyek anggaran. Untuk itu DPR sudah sebaiknya tidak bermain ditaraf yang malah menjauhkan DPR dari memperbaiki kinerja yang semakin melorot dimata masyarakat. Bukan malah meributkan persoalan tentang rok mini yang penting serasa tidak genting itu, sebab bagaimana pun juga menyatir kata Sosiolog Iran, Dr. Ali Syari’ati, jika mereka berpakaian mini mengapa Anda menatapnya? 

Minggu, 04 Maret 2012

DPD Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh: Efriza, Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi Untuk Indonesia (FD.I) Berbicara mengenai lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dua hal yang sulit dipadukan antara Harapan dan Kenyataan. Misal, kita lihat Hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia yang dirilis akhir Februari lalu. Berdasarkan riset LSI tersebut, hanya 24,1 persen dari 1.220 responden yang mengetahui fungsi dan tugas DPD. Adapun 46,2 persen lainnya menjawab tak tahu, dan sisanya (29,7 persen) tak menjawab. Sementara hasil survei itu juga menunjukkan, hampir dua pertiga responden mengetahui DPD dan memilih wakilnya secara langsung dalam pemilu. Warga juga tahu, tugas DPD adalah mewakili rakyat di daerah tingkat pusat. Bahkan, 65 persen mayoritas responden setuju dengan gagasan penguatan DPD meskipun harus dilakukan dengan mengubah UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa masyarakat menaruh harapan besar terhadap lembaga DPD sebagai kamar kedua dari DPR. Di tengah kemerosotan kinerja dan gaya hidup mewah yang menjadi sorotan lembaga DPR. Yang sangat disayangkan adalah, kondisi anomali dari pandangan dan pola pikir masyarakat yakni antara memperkuat dan tidak diketahuinya fungsi DPD itu. DPD diperkuat kewenangannya memang itu sebuah langkah positif. Tetapi memperkuat kewenangan ini membutuhkan banyak energi dan kecerdasan dalam mengelola isu serta menunjukkan peningkatan kinerja mesti dengan kewenangan yang minim tersebut. Ironinya, dengan kewenangan yang minim tersebut DPD malah terjebak dalam pemborosan anggaran negara, seperti juga yang dilakukan oleh DPR. Misalnya saja, pembangunan kantor perwakilan DPD di 33 provinsi daerah, yang dikritisi sebagai pemborosan anggaran (Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat, 2011). Meskipun upaya DPD dalam mengajukan Amandemen Kelima UUD 1945, didukung oleh masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, akademisi kampus, tetapi sosialisasi DPD menggulirkan isu itu minim dan tidak menjadi suatu gerakan yang menganggap amandemen kelima UUD 1945 merupakan kebutuhan mendesak dan penting. DPD tidak belajar dari lembaga MPR. yang begitu cerdas memainkan isu dengan ikon tema Empat Pilarnya. Semestinya DPD membuat ikon tersebut dari kebutuhan-kebutuhan apa saja tentang Amandemen Kelima UUD 1945 itu, layaknya partai-partai menawarkan program dalam kampanyenya agar dapat menguatkan ingatan dan kesadaran (awareness) masyarakat. Sehingga demikian, upaya peningkatan kewenangan DPD mengalami jalan terjal sebab berparalel dengan ketidakmampuan DPD mengelola isu, menarik simpati publik, bahkan terkesan meniru-niru langkah DPR meresahkan hati rakyat melalui pola-pola pemborosan anggaran. Situasi ini mendorong sebuah pertanyaan klasik tentang masa depan DPD, jangan-jangan ketika DPD mendapatkan kewenangan yang besar akan seperti DPR, atau menyatir Adagium klasik Lord Acton bahwa, “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.

FDI : Pengganti WH Harus Birokrat

Minggu, 4 Maret 2012 | 17:54 WIB TANGERANG-Kota Tangerang di bawah kepemimpinan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim (WH) dinilai berkembang pesat, bahkan mampu mengelola keuangan negara dengan baik. Untuk itu, figur pengganti WH kelak yang memimpin Kota Tangerang harus dari kalangan birokrat. Pasalnya, birokrat telah teruji dan terbukti dalam memenej kebijakan dan keuangan negara sehingga pembangunan Kota Tangerang dapat berjalan maksimal, serta layanan masyarakat sudah menyentuh langsung ke problem riil masyarakat. Demikian diungkapkan Patar Nababan, Ketua Forum Demokrasi untuk Indonesia (FDI), usai menggelar diskusi mingguan, di Ciledug, Kota Tangerang, Minggu (4/3). Berdasarkan hasil riset FDI, lanjut Patar, Kota Tangerang memiliki keunikan tersendiri. Kota ini sukses dari sisi pertumbuhan ekonomi (sekitar 6-7 persen) namun diikuti pula dengan angka pengangguran yang juga tinggi (sekitar 12 persen). Meski demikian, kata Patar, Kota Tangerang memiliki sisi nilai optimistis dari pertumbuhan ekonomi itu relatif lebih pasti bagi pelaku usaha dan investor. Tetapi pertanyaannya apa cukup berpuas diri melanjutkan pembangunan kota Tangerang dari asumsi ekonomi tersebut yang berparalel dengan tingginya tingkat pengangguran. "Mendatangkan pelaku usaha dan investor tidak cukup mengandalkan potensi kota, melainkan kepiawaian pemimpinnya dalam meyakinkan investor. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang birokrat yang berpengalaman," kata Patar. Senada diungkapkan Efriza, Sekretaris FDI. Kata Efriza, kalau masyarakat Kota Tangerang salah memilih pemimpin kelak, bisa jadi perkembangan Kota Tangerang akan mengalami kemunduran. "Sosok birokrat berpengalaman seperti WH diperlukan untuk memimpin Kota Tangerang kelak,' kata Efriza seraya menjelaskan bahwa FDI sangat fokus memperhatikan pola dan prilaku politik lokal di Banten terutama di wilayah Tangerang. "Kami sedang melakukan survei sosok siapakah yang layak memimpin di Kota Tangerang juga di Kabupaten Tangerang di Pemilukada nanti," katanya. (YAN)

Sabtu, 18 Februari 2012

Partai Demokrat: Partai Autopilot

Efriza
Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia/FD.I
Beberapa bulan ini kata autopilot sering kita dengar diberbagai perbincangan mengenai situasi negara seperti tanpa pemimpin. Beberapa ruas jalan di Jakarta juga sempat dengan mudahnya kita melihat dan membaca spanduk-spanduk bertuliskan, Negeri Autopilot. Walaupun demikian, kata autopilot yang ingin kita perbincangkan ini, sangat tepat disematkan kepada Partai Demokrat sebagai Partai Autopilot.
Partai Demokrat Tanpa Pemimpin
Sistem pilot otomatis (dari bahasa Inggris: autopilot) pertama diciptakan oleh Sperry Corporation tahun 1912. Lawrence Sperry (anak dari penemu ternama Elmer Sperry) mendemonstrasikannya dua tahun kemudian pada 1914 serta membuktikan kredibilitas penemuannya itu dengan menerbangkan sebuah pesawat tanpa disetir olehnya, (en.wikipedia.org/wiki/Autopilot) .
Melihat situasi Partai Demokrat seperti sekarang, jika Partai Demokrat sebagai sebuah Partai diibaratkan sebuah Pesawat, lengkaplah penilaian kita bahwasanya Partai Demokrat telah kehilangan pilot yang bertugas mengoperasikan mesin Partai.
Sementara itu, jika menggunakan struktur sebuah organisasi, beroperasinya sebuah organisasi dijalankan oleh tiga orang yang memegang jabatan penting seperti Ketua, Sekretaris, dan Bendahara.
Diawali dengan kasus korupsi Wisma Atlet yang menyeret Nazarrudin sehingga dia dipecat sebagai bendahara umum partai demokat. Kasus korupsi Nazaruddin membawa dampak tersangkutnya nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Meskipun Anas tidak dipecat atau diberhentikan sementara atas persoalan personalnya. Permasalahan pribadi Anas telah menciptakan konflik internal di Partai Demokrat dengan mengakibatkan banyak faksi di internal Partai Demokrat.
Situasi semakin keruh karena Edhi Baskoro (Ibas) sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) tidak berani mengambil sikap tegas untuk sementara mengambil alih peran ketua umum, untuk menjaga soliditas partai.
Apalagi hanya posisi Sekretaris Jenderal yang tidak didera masalah personal dan hukum. Semestinya Ibas banyak bekerja secara langsung atau tidak langsung menggantikan Anas, supaya Anas meski tidak diganti tetapi berkonsentrasi tinggi atas masalah pribadinya sehingga tidak mengganggu bekerjanya mesin partai.
Sekali lagi perlu ditegaskan, situasi ini dilakukan dalam rangka menjaga soliditas kader-kader partai yang telah meragukan kepemimpinan Anas, menggeliatkan kembali mesin-mesin partai di pengurus daerah propinsi dan kabupaten/kota, sehingga persoalan personal dan hukum yang mendera para petinggi partai tidak mengganggu kerja kepartaian.
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY yang disimbolkan sebagai pemersatu, tetapi atas sikap SBY yang tetap mempertahankan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum Partai Demokrat dan menyatakan tidak adanya pergantian ketua umum. Maupun tidak mengupayakan memberi kuasa untuk Sekretaris Jenderal mengambil peran sementara dari Ketua Umum, agar Ketua Umum lebih konsentrasi dulu terhadap masalah personalnya. Otomatis, tidak lagi menjadi magnet perekat pemersatu faksi-faksi tersebut.
Malahan gelombang pemecah Partai Demokrat berupa faksi-faksi semakin meluas, saat partai sedang didalam kondisi terpuruk akibat kasus korupsi Wisma Atlet, faksi-faksi ditubuh partai demokrat tidak lagi hanya faksi Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie bahkan ada faksi lain lagi mungkin tiga, empat, mungkin lebih dari lima faksi, disebabkan keinginan merebut jabatan penting yang sedang berada oleh orang-orang yang lagi bermasalah tersebut.
Partai Demokrat sekarang ini sudah mengalami situasi dijalankan dengan autopilot. Jika dibiarkan terus seperti sekarang tanpa adanya penggantian kepengurusan, maupun sikap tegas dari Ibas sebagai Sekjen mengambil alih peran sementara Ketua Umum yang sedang mengalami masalah personal. Bukan hanya penurunan elektabilitas yang terus mengintai, melainkan konflik internal semakin mengganggu kestabilan organisasi kepartaian. Bahkan, ke depan, kemungkinan besar Partai Demokrat mendapatkan hukuman rakyat melalui Pemilu 2014, dengan terjadinya pemerosotan tajam perolehan suaranya. 

Rabu, 15 Februari 2012

PD = PARTAI DISUKAI?

Efriza
Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia/FD.I

Sebuah survei yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa hingga saat ini kepercayaan publik terhadap Demokrat masih tinggi. Dalam survei tersebut disebutkan, setelah Partai Demokrat dengan persentase 12,6 persen, partai Golkar berada di urutan nomor dua dengan 10,5 persen, sedangkan Partai PDI Perjuangan (PDIP) berada di urutan ketiga dengan 7,8 persen. Apakah terus Partai Demokrat perlu mengusungkan “dada” untuk menunjukkan kecongkakkannya? Semestinya, Tidak!

Partai Demokrat Harus Berbenah Diri

Isu korupsi yang menyeret Anas Urbaningrum sepertinya membutuhkan waktu panjang. Meskipun demikian, isu ini ternyata hanya menjadi “dagangan laris” bagi Pers, perbincangan di media jejaring sosial, maupun sekedar bincang di warung kopi. Isu ini tidak lantas menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan untuk menyampaikan kegeramannya, memprotes Partai Demokrat sebagai pemegang kekuasaan sekarang ini, bahkan tidak sampai mengusulkan membubarkan Partai Demokrat seperti kasus Partai Golkar di era reformasi lalu.
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY, juga sangat tegas, dan lugas. Anas tetap sebagai ketua umum Partai Demokrat dan tidak ada pergantian. Sikap SBY seperti ini tidak bedanya dengan sikap orang tua yang membela anak secara membabi buta. Tetapi tidak memberikan teladan yang baik, agar anaknya belajar tanggung jawab atas perbuatannya. SBY rela memasang badan, demi Anas Urbaningrum, sementara telah jelas dampaknya penilaian negatif masyarakat terhadap pemerintahan SBY. Lagi-lagi masyarakat yang harus dikecewakan, konsentrasi dan energi presiden habis untuk mengurusi Partainya bukan rakyatnya.
Sikap SBY yang tidak memberi teladan yang baik, juga diamini oleh DPP, DPD, dan DPC yang tetap mendukung kepengurusan Anas Urbaningrum meski ada riak-riak kecil. Kondisi ini tidak disadari oleh DPD dan DPC Partai Demokrat, bahwa situasi ini yang dibiarkan berlarut panjang, akan menyebabkan kans tokoh-tokoh dari Partai Demokrat sulit untuk memenangkan hati pemilih dalam pemilihan-pemilihan Pilkada.
Lagi-lagi ketika permasalahan kader ini tidak diselesaikan, kita jangan lupa bahwa hasil survey CSIS menyimpulkan popularitas semua partai politik, baik pemerintah ataupun oposisi, anjlok dari perolehan pada Pemilu 2009. Meskipun Demokrat tetap nomor satu, tapi penurunannya (dari 2009) paling absolut. Dari hasil penelitian CSIS tersebut, penurunan dukungan terbesar saat ini dialami Partai Demokrat sebanyak 8,25 persen. Sehingga demikian, sebuah kepastian bahwa elektabilitas Partai Demokrat akan terus menurun, jika persolan ini dibiarkan berlarut-larut.
Melihat kajian ini, sudah sepantasnya Anas Urbaningrum mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Pengunduran diri Anas Urbaningrum juga dalam rangka membersihkan persoalan yang melibatkan personalnya, bahkan pengunduran diri Anas Urbaningrum tidak merusak momentum kepemimpinan kaum muda karena kaum muda juga bukan hanya bisa merebut tongkat kepemimpinan tetapi juga sanggup mengakui diri jika tidak mampu mengelola kepemimpinan dengan pengunduran diri sejak dini.
Jangan menunggu hukuman rakyat melalui Pemilu, jika memang benar Partai Demokrat adalah Partai Disukai, jangan pula nantinya seperti yang telah dialami oleh Partai Golkar dan PDIP sebagai partai yang disukai oleh rakyat tetapi mendapatkan hukuman dua kali pemilu (2004 dan 2009) di era reformasi ini perolehan suaranya terus menurun. 