Senin, 05 Maret 2012

Rok Mini di Komplek Senayan

Oleh: Efriza, Koordinator Program dan Riset di Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) DPR ingin mengubah pemandangan di komplek parlemen agar tak tampak seperti Mall. Sehingga, Staf dan sekretaris anggota dewan dilarang berpakaian seksi. Pro-kontra pun menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Minim Kinerja Malah Ributkan Rok Mini Siapa yang memiliki ide pertama mengenai rok mini, Hendri F Isnaeni dari Majalah Historia. Menulis bahwa, namun, Mary Quant-lah yang dianggap berperan besar mempopulerkan rok mini. Pada 1960-an terjadi perubahan drastis ketika Mary Quant mempopulerkan rok mini yang memamerkan lebih banyak bagian-bagian kaki dibandingkan sebelumnya,” tulis Helen Reynolds dalam Mode dalam Sejarah: Gaun dan Rok. “Sejak itu para desainer mengekspos hampir setiap bagian tubuh, termasuk bagian perut. Muncul tren pakaian serba terbuka,” lanjut Helen. Ide tidak membolehkan para Staf dan Sekretaris anggota dewan dilarang berpakaian seksi, bisa dianggap langkah positif. Jika kita lihat tingkah laku DPR, bahwasanya kasus seronok juga telah menjalar bukan hanya persoalan mata memandatang saja tetapi sudah menjadi kelakuan yang tidak terpuji, misal, kasus pemerkosaan oleh anggota dewan periode 2004 maupun periode 2009, begitu juga kasus membuka situs video porno hingga menjadi “artis” video porno. Aturan ini secara tidak langsung juga merupakan evaluasi dan tamparan untuk mereka sendiri. Sebab, tanpa disadari anggota DPR yang berpakaian seksi juga banyak dari anggota DPR periode 2009 ini, seperti disindir oleh Bambang Soesatyo dari Partai Golkar, dikarenakan banyak mantan artis yang menjadi anggota DPR. Meski demikian, di tengah sorotan negatif, semestinya DPR lebih memikirkan bagaimana memperbaiki kinerja. Lihat saja, masih banyak anggota DPR yang mangkir dari Sidang Paripurna. Tidak terpenuhinya target prolegnas setiap tahunnya. Bahkan, lembaga DPR mengalami citra buruk dari tingkah laku segelintir oknum yang bermain diproyek-proyek anggaran. Untuk itu DPR sudah sebaiknya tidak bermain ditaraf yang malah menjauhkan DPR dari memperbaiki kinerja yang semakin melorot dimata masyarakat. Bukan malah meributkan persoalan tentang rok mini yang penting serasa tidak genting itu, sebab bagaimana pun juga menyatir kata Sosiolog Iran, Dr. Ali Syari’ati, jika mereka berpakaian mini mengapa Anda menatapnya? 

Minggu, 04 Maret 2012

DPD Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh: Efriza, Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi Untuk Indonesia (FD.I) Berbicara mengenai lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dua hal yang sulit dipadukan antara Harapan dan Kenyataan. Misal, kita lihat Hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia yang dirilis akhir Februari lalu. Berdasarkan riset LSI tersebut, hanya 24,1 persen dari 1.220 responden yang mengetahui fungsi dan tugas DPD. Adapun 46,2 persen lainnya menjawab tak tahu, dan sisanya (29,7 persen) tak menjawab. Sementara hasil survei itu juga menunjukkan, hampir dua pertiga responden mengetahui DPD dan memilih wakilnya secara langsung dalam pemilu. Warga juga tahu, tugas DPD adalah mewakili rakyat di daerah tingkat pusat. Bahkan, 65 persen mayoritas responden setuju dengan gagasan penguatan DPD meskipun harus dilakukan dengan mengubah UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa masyarakat menaruh harapan besar terhadap lembaga DPD sebagai kamar kedua dari DPR. Di tengah kemerosotan kinerja dan gaya hidup mewah yang menjadi sorotan lembaga DPR. Yang sangat disayangkan adalah, kondisi anomali dari pandangan dan pola pikir masyarakat yakni antara memperkuat dan tidak diketahuinya fungsi DPD itu. DPD diperkuat kewenangannya memang itu sebuah langkah positif. Tetapi memperkuat kewenangan ini membutuhkan banyak energi dan kecerdasan dalam mengelola isu serta menunjukkan peningkatan kinerja mesti dengan kewenangan yang minim tersebut. Ironinya, dengan kewenangan yang minim tersebut DPD malah terjebak dalam pemborosan anggaran negara, seperti juga yang dilakukan oleh DPR. Misalnya saja, pembangunan kantor perwakilan DPD di 33 provinsi daerah, yang dikritisi sebagai pemborosan anggaran (Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat, 2011). Meskipun upaya DPD dalam mengajukan Amandemen Kelima UUD 1945, didukung oleh masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, akademisi kampus, tetapi sosialisasi DPD menggulirkan isu itu minim dan tidak menjadi suatu gerakan yang menganggap amandemen kelima UUD 1945 merupakan kebutuhan mendesak dan penting. DPD tidak belajar dari lembaga MPR. yang begitu cerdas memainkan isu dengan ikon tema Empat Pilarnya. Semestinya DPD membuat ikon tersebut dari kebutuhan-kebutuhan apa saja tentang Amandemen Kelima UUD 1945 itu, layaknya partai-partai menawarkan program dalam kampanyenya agar dapat menguatkan ingatan dan kesadaran (awareness) masyarakat. Sehingga demikian, upaya peningkatan kewenangan DPD mengalami jalan terjal sebab berparalel dengan ketidakmampuan DPD mengelola isu, menarik simpati publik, bahkan terkesan meniru-niru langkah DPR meresahkan hati rakyat melalui pola-pola pemborosan anggaran. Situasi ini mendorong sebuah pertanyaan klasik tentang masa depan DPD, jangan-jangan ketika DPD mendapatkan kewenangan yang besar akan seperti DPR, atau menyatir Adagium klasik Lord Acton bahwa, “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.

FDI : Pengganti WH Harus Birokrat

Minggu, 4 Maret 2012 | 17:54 WIB TANGERANG-Kota Tangerang di bawah kepemimpinan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim (WH) dinilai berkembang pesat, bahkan mampu mengelola keuangan negara dengan baik. Untuk itu, figur pengganti WH kelak yang memimpin Kota Tangerang harus dari kalangan birokrat. Pasalnya, birokrat telah teruji dan terbukti dalam memenej kebijakan dan keuangan negara sehingga pembangunan Kota Tangerang dapat berjalan maksimal, serta layanan masyarakat sudah menyentuh langsung ke problem riil masyarakat. Demikian diungkapkan Patar Nababan, Ketua Forum Demokrasi untuk Indonesia (FDI), usai menggelar diskusi mingguan, di Ciledug, Kota Tangerang, Minggu (4/3). Berdasarkan hasil riset FDI, lanjut Patar, Kota Tangerang memiliki keunikan tersendiri. Kota ini sukses dari sisi pertumbuhan ekonomi (sekitar 6-7 persen) namun diikuti pula dengan angka pengangguran yang juga tinggi (sekitar 12 persen). Meski demikian, kata Patar, Kota Tangerang memiliki sisi nilai optimistis dari pertumbuhan ekonomi itu relatif lebih pasti bagi pelaku usaha dan investor. Tetapi pertanyaannya apa cukup berpuas diri melanjutkan pembangunan kota Tangerang dari asumsi ekonomi tersebut yang berparalel dengan tingginya tingkat pengangguran. "Mendatangkan pelaku usaha dan investor tidak cukup mengandalkan potensi kota, melainkan kepiawaian pemimpinnya dalam meyakinkan investor. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang birokrat yang berpengalaman," kata Patar. Senada diungkapkan Efriza, Sekretaris FDI. Kata Efriza, kalau masyarakat Kota Tangerang salah memilih pemimpin kelak, bisa jadi perkembangan Kota Tangerang akan mengalami kemunduran. "Sosok birokrat berpengalaman seperti WH diperlukan untuk memimpin Kota Tangerang kelak,' kata Efriza seraya menjelaskan bahwa FDI sangat fokus memperhatikan pola dan prilaku politik lokal di Banten terutama di wilayah Tangerang. "Kami sedang melakukan survei sosok siapakah yang layak memimpin di Kota Tangerang juga di Kabupaten Tangerang di Pemilukada nanti," katanya. (YAN)