Minggu, 30 September 2012

Telah Terbit

Info: Berminat,silahkan pesan. Buku karya Hendri F. Isnaeni Wartawan Majalah HISTORIA "DOKTRIN AGAMA Syekh 'ABD AL-KARIM AL-BANTANI,Dalam Pemberontakan Petani Banten 1888," Penerbit KCP, Jakarta, 2012, Rp. 37.500 Hubungi: 081380570370/Efriza Endorsment: Apakah ulama menjadi dalang pemberontakan Banten tahun 1888? Bacalah dalam buku ini. Apakah perlawanan petani terhadap penjajah Belanda yang memakan korban jiwa pada kedua belah pihak kurang dari 50 orang itu dapat dikategorikan sebagai pemberontakan? Renungkanlah setelah membaca buku ini. Dr. Asvi Warman Adam, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Di Eropa kala senja Abad Pertengahan, agama dikambinghitamkan sebagai pembenar kesewenang-wenangan penguasa, bahkan diusir dari ruang publik, dan fungsi sosial-politiknya dikebiri. Padahal, sejatinya, ruh asli agama hadir sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Ruh inilah yang ditangkap Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani. Dia menafsirkan agama secara kreatif revolusioner, yang diracik menjadi sebuah gugus ideologi perlawanan terhadap kolonial. Racikan ideologi itu –mengutip Ali Shariati– menjelma menjadi “sangkakala Israfil” yang membangkitkan jiwa-jiwa masyarakat Banten untuk berdiri tegak menantang imperialis Belanda. Buku karya Hendri F. Isnaeni ini, layak dicerna bagi siapapun yang ingin belajar dari sejarah bagaimana menjadikan agama sebagai basis pergerakan revolusioner. M. Subhi-Ibrahim, M.Hum, Ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani adalah sosok ulama yang berperan penting dalam menginspirasi rakyat Banten. Kehadiran ajaran-ajarannya yang berasal dari batin Islam mampu menggerakan wong cilik untuk menegakkan keadilan. Meski perannya begitu penting sebagai representasi intelektual Islam di Nusantara, namun sayang kajian yang mendalam mengenai ajaran-ajarannya masih jarang. Kehadiran buku yang ditulis oleh sejarawan muda yang prolifik ini dapat menjadi referensi bagi siapapun untuk melihat khazanah intelektual Islam Nusantara. Aan Rukmana, MA., Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Ketua Harian Nabil Society

Sabtu, 01 September 2012

Kemenangan Suara Rakyat, Tanpa Ambang Batas Nasional

Kemenangan Suara Rakyat, Tanpa Ambang Batas Nasional Oleh: Efriza, Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) Konsep penerapan parliamentary threshold (PT) dalam perkembangannya terdapat peningkatan area ambang batas, tidak hanya di suatu dapil (lokal) namun untuk seluruh dapil (nasional). Memasuki Pemilu 2014, masalah besaran PT menjadi persoalan kunci yang akan menentukan cepat atau lambatnya pembahasan Revisi UU Pemilu Legislatif. Sebab bagi sebagian partai politik besaran PT akan menentukan keberlangsungan mereka ke depan. Terdapat setidaknya 3 (tiga) alternatif usulan dalam pembasan Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan Umum (Pemilu( yaitu: Pertama, usulan mengusulkan agar PT tetap seperti pada Pemilu 2009 yaitu sebesar 2,5%; Kedua, usulan agara PT sebesar 4%; dan Ketiga, PT sebesar 5%. Kalangan partai menengah ke bawah cenderung agar PT tetap 2,5% dengan alasan mengingat luas dan majemuknya bangsa Indonesia maka perlu menjaga keragaman dengan tetap mempertimbangkan efektifitas. Sementara partai besar menginginkan peningkatan besaran PT yaitu 5% dengan alasan untuk meningkatkan efektifitas di parlemen. Di sisi lain, usulan PT 4% dengan alasan kenaikan dibutuhkan namun sebaiknya secara bertahap sehingga kalaupun ada kenaikan tidaklah terlalu tinggi. Menyoal Keputusan MK Perdebatan yang tidak kalah alotnya hingga harus dilakukan pemungutan suara adalah soal penerapan PT. Meski angka 3,5% sudah disepakati untuk tingkat nasional (DPR), namun untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota belum disepakati besarannya. Dari hasil pemungutan suara disepakati bahwa ambang batas 3,5 persen secara nasional, yang didukung oleh 343 suara merupakan dukungan enam fraksi yakni, F-PD, F-PG, F-PPP, F-PKB, F-Hanura dan F-Gerindra. Sementara tiga fraksi lainnya, mendukung ambang batas berjenjang. Misalnya untuk DPR sebesar 3,5%, DPRD provinsi 4% dan kabupaten/kota sebesar 5%. Dengan jumlah sebanyak 187 suara dari tiga fraksi yakni, F-PDIP, F-PKS, dan F-PAN. Upaya DPR tersebut mendapatkan perlawanan dari 14 partai politik gurem dengan mengajukan uji materi. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkannya dengan memutuskan bahwa PT 3,5 persen hanya berlaku untuk DPR. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan kemenangan untuk suara rakyat. Sebab, keputusan itu menyelamatkan suara rakyat. Penerapan ambang batas DPR di Pemilu 2009 lalu saja, menyumbang penurunan partisipasi pemilih terbesar kedua setelah kategori tidak memilih yaitu sebesar 19.086.060 yang disebabkan oleh suara 29 partai yang dihanguskan tersebut. Tak bisa dimungkiri persentase angka partisipasi pemilih (voters turn out) di Indonesia terus meluncur turun hingga sebesar 86.251.717 atau 70,99%. Trend penurunan suara diprediksi masih terus berlanjut bahkan bisa sampai 50 persen pada Pemilu 2014, ini sebelum adanya pengaturan sistem PT flat. Fakta dari hasil Pemilu 2009 juga menunjukkan bahwa pemberlakuan ambang batas parlemen secara flat alias pukul rata bukan solusi tepat. Rekayasa institusional yang dilakukan DPR melalui UU Pemilu perlu dinyatakan dengan tegas merupakan salah kaprah. Lanskap politik nasional dengan lanskap politik di 33 provinsi dan sekitar 500 kabupaten dan kota sangat berbeda. Tak bisa dinafikan bahwa partai politik yang berjaya di DPR belum tentu memperoleh kursi di DPRD. Sebaliknya partai politik yang gagal memenuhi ambang batas DPR tidak sedikit yang meraih suara signifikan di daerahnya. Misalnya berdasarkan hasil simulasi Tim Konsultan Kemitraan bahwa, bagi Partai yang tidak lolos 2,5 PT nasional, berdasarkan penguasaan kursi di DPRD Provinsi setidaknya ada 5 partai terbesar, sebagai berikut: (1) PBB (37 kursi tersebar di 19 DPRD Provinsi atau 58%); (2). PBR (27 kursi tersebar di 16 DPRD Provinsi atau 48%); (3). PDS (37 kursi tersebar di 15 DPRD Provinsi atau 45%); 4. PKPB (21 kursi tersebar di 13 DPRD Provinsi atau 39%); dan 5. PPRN (13 kursi tersebar di 10 DPRD Provinsi atau 32%). Bahkan, partai politik pemenang pemilu DPRD-DPRD di kabupaten dan kota berbeda-beda satu sama lain kendati di provinsi yang sama. Realitas ini juga memperlihatkan tingginya tingkat fragmentasi politik di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, partai politik yang gagal memperoleh dukungan elektoral secara nasional bisa jadi merupakan partai politik harapan masyarakat di provinsi, kabupaten, atau kota. Perbedaan lanskap politik nasional dan daerah ini memperlihatkan, meskipun gagal memenuhi ambang batas DPR, sebagian di antaranya adalah ”partai besar” di tingkat daerah. Realitas politik seperti ini terjadi karena preferensi pilihan masyarakat tidak semata-mata kepada partai politik, tetapi justru kepada para calon anggota legislatif (caleg) yang diajukan partai politik. Semakin populer caleg di suatu dapil, semakin besar pula partai politik yang mencalonkan dapat dukungan. Jangan sampai, Pemilu yang dimaksudkan untuk memilih para wakil melalui berbagai upaya seperti penerapan proporsional terbuka (suara terbanyak), berubah menjadi pemilu untuk memilih partai politik karena kehadiran, kapastitas, dan kualifikasi caleg untuk DPRD dinafikan sistem melalui penerapan PT flat. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini adalah keputusan yang patut diapresiasi, sebab bukan saja menyelamatkan suara rakyat, juga menyelamatkan legitimasi keterpilihan seorang caleg dan legitimasi pemilu itu sendiri. 

Anomali Wajah DPR di Ruang Publik

http://www.rimanews.com/read/20120828/73604/anomali-wajah-dpr-di-ruang-publik Tue, 28/08/2012 - 11:34 WIB Oleh: Efriza* Gagasan ide lembaga perwakilan berkenaan diterapkannya demokrasi tidak lang­sung (indirect democracy) yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan nama parlemen. Fungsi-fungsi utama DPR seperti diatur Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 bahwa ada 3 (tiga) fungsi, yaitu, fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan tiga fungsi ini maka setiap anggota DPR juga diberikan hak-hak langsung oleh konstitusi yaitu Hak mengajukan pertanyaan. Hak menyampaikan usul dan pendapat (termasuk hak mengajukan rancangan undang-undang). Hak imunitas bahwa dia (anggota DPR) tidak bisa dituntut karena pendapat atau pernyataannya baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen berdasar tugas kedewanannya, seperti diatur dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945. Aturan Pasal 20A ayat (3) itu sebagai bukti bahwa satu-satunya jabatan negara yang secara individu langsung diberikan hak-hak oleh konstitusi, itu hanya anggota DPR. Hak menyampaikan pendapat­nya, hak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), dan lain sebagainya. Hanya Presiden saja yang bisa menyaingi lembaga DPR, karena presiden juga diatur hak-hak konstitusionalnya sebagai presiden. Misalnya, menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), presiden mengangkat kabinet, untuk mengimbangi kekuasaan Presiden dahsyat ini, maka Undang-Undang Dasar melekatkan langsung pada setiap anggota DPR. Kenyataannya dominasi partai politik dalam tubuh DPR begitu kuat bahkan boleh dikatakan partai politik sedang mencengkeram gedung perwakilan rakyat ini. Ketika partai politik itu seolah-olah mau dicantolkan seperti sisi mata uang dengan DPR itu. Maksudnya adalah partai politik itu dicangkokkan masuk dalam tubuh DPR itu. Itulah menjadi fraksi. Jadi, salah satu bentuk cengkeraman itu lahirlah yang namanya fraksi dalam tubuh parlemen itu. Sebenarnya istilah fraksi sama sekali tidak dikenal dalam konstitusi. Satu-satunya Pengaturan Konstitusi yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Fraksi hanyalah Pasal 22E ayat (3) yang berbunyi: ”Peserta Pemilu untuk memilih Anggota DPR dan Anggota DPRD adalah partai politik.” Seharusnya anggota dewan itu ketika terpilih, meskipun dia dari partai, dia sudah tidak sepenuhnya menjadi hak partai. Sudah harus dibagi antara untuk partai dan rakyat. Bahkan sebenarnya, kedaulatan ini milik rakyat berdasar UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Partai bukan organisme hidup yang berbicara jasa. Kalau mulai berpikir dan berbicara jasa maka di situlah peluang power tend to corrupt bagi elite-elite partai itu. Akhirnya, negara ini dibajak atas nama partai politik. Dibajak oleh elite atas nama kebesaran partai politik. Itu juga yang terjadi sekarang, DPR dibajak, presiden dibajak, bahkan mungkin kekuasaan kehakiman juga sebentar lagi dibajak atas nama partai politik oleh elite-elite. Misal, kita lihat, presiden saja menentukan kabinet yang notabene prerogatif, nyatanya tidak bisa dia. Presiden, tunduk pada riil politik atas nama koalisi. Ini artinya, negara ini sedang dibajak oleh elite-elite yang mengatasnamakan partai politik. Jadi tidak dibenarkan seperti ini. Jika dibenarkan maka partai mau semau-maunya. Munculnya fraksi ini sebagai kepanjangan tangannya pranata partai politik yang sebenarnya di luar dari parlemen. Ini yang membuat bak siapapun yang terpilih menjadi anggota DPR menganggap meskipun dia terpilih menjabat sebagai anggota DPR maka kerja yang harus dilakukannya adalah kerja kolektif bukan kerja individual. Maka banyak anggota DPR, Saya yakin, tidak menyadari tanggung jawab individualnya sebagai anggota DPR, hak-hak individualnya sebagai anggota DPR. Misalnya, berapa banyak anggota DPR yang memikirkan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang-nya secara personal? Jika sekarang Lembaga DPR menjadi sorotan negatif. Apakah kita salahkan anggota DPR? Tidak, karena sistemnya. Andaikan anggota DPR itu mengajukan usulan secara personal, dan ketika itu kontroversi maka partai politik bisa menegurnya. Ketika paradigma kerja kolektif ini muncul maka mempengaruhi persepsi anggota DPR untuk tidak berlomba-lomba meningkatkan kinerja individualnya. Akhirnya, muncullah impresi atau kesan misalnya, bahwa datang rapat atau tidak datang rapat, bolos atau tidak bolos, toh fraksi yang menentukan. Mereka sudah datang absen sajatoh juga keputusannya di fraksi. Bicara berbusa-busa, berpikir siang-malam yang menentukan juga fraksi. Itu juga fraksi yang menentukan adalah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dari partai politik masing-masing. Di sisi lainnya, jangan sampai fraksi menjadi tempat berlindungnya anggota DPR yang malas. Anggota dewan yang malas akan senang berlin­dung di ‘ketiak-nya’ fraksi. Seperti statement yang sering muncul dan akhirnya menjadi pemakluman bahwa, ‘fraksi saya belum ngomong apa-apa tuh, jadi saya belum bisa ngomong apa-apa.’ Atau sering kita dengar anggota dewan berkata, ‘belum sempat berkonsultasi dengan fraksi.’ Itu artinya proses pengambilan keputusan akan lambat, karena harus melalui fraksi.” Fraksi ini bisa membuat anggota DPR itu merasa terasing sebagai anggota DPR. Anggota DPR menjadi merasa tidak berguna, meski dia berusaha semaksimal mungkin menjalankan fungsinya, nantinya yang menentukan kebijakan adalah partai politik c.q. oligarki c.q. elite, yang kemudian dikeluarkan melalui fraksi. Yang semestinya ini merupakan kerja individual seperti diatur UUD 1945 dalam Pasal 20A ayat (3) itu. Realitas ini, menghadirkan sisi negatif, menyebabkan masyarakat berpikir mengenai kebencian begitu besar kepada DPR. Ini yang harus segera kita luruskan. Harus segera kita cerahkan ke rakyat, tidak boleh melihat DPR dengan kebencian, sebab, walaupun memang benar ada problem di tubuh DPR yang membuat citra DPR buruk, kita tidak bisa nafikan itu atas ulah segelintir oknum, atau bahkan penyebab lainnya ada di dalam sistem ketatanegaraan kita yang salah satu penyebabnya adalah partai politik dicangkokkan masuk di tubuh kekuasaan parlemen kita melalui fraksi itu. Semestinya cengkeraman partai politik melalui fraksi itu harus segera kita putus. Dengan membubarkan fraksi dalam sistem parlemen kita melalui revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). ___________________________________ *Koordinator Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) dan Penulis buku-buku Ilmu Politik.