Sabtu, 18 Februari 2012

Partai Demokrat: Partai Autopilot

Efriza
Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia/FD.I
Beberapa bulan ini kata autopilot sering kita dengar diberbagai perbincangan mengenai situasi negara seperti tanpa pemimpin. Beberapa ruas jalan di Jakarta juga sempat dengan mudahnya kita melihat dan membaca spanduk-spanduk bertuliskan, Negeri Autopilot. Walaupun demikian, kata autopilot yang ingin kita perbincangkan ini, sangat tepat disematkan kepada Partai Demokrat sebagai Partai Autopilot.
Partai Demokrat Tanpa Pemimpin
Sistem pilot otomatis (dari bahasa Inggris: autopilot) pertama diciptakan oleh Sperry Corporation tahun 1912. Lawrence Sperry (anak dari penemu ternama Elmer Sperry) mendemonstrasikannya dua tahun kemudian pada 1914 serta membuktikan kredibilitas penemuannya itu dengan menerbangkan sebuah pesawat tanpa disetir olehnya, (en.wikipedia.org/wiki/Autopilot) .
Melihat situasi Partai Demokrat seperti sekarang, jika Partai Demokrat sebagai sebuah Partai diibaratkan sebuah Pesawat, lengkaplah penilaian kita bahwasanya Partai Demokrat telah kehilangan pilot yang bertugas mengoperasikan mesin Partai.
Sementara itu, jika menggunakan struktur sebuah organisasi, beroperasinya sebuah organisasi dijalankan oleh tiga orang yang memegang jabatan penting seperti Ketua, Sekretaris, dan Bendahara.
Diawali dengan kasus korupsi Wisma Atlet yang menyeret Nazarrudin sehingga dia dipecat sebagai bendahara umum partai demokat. Kasus korupsi Nazaruddin membawa dampak tersangkutnya nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Meskipun Anas tidak dipecat atau diberhentikan sementara atas persoalan personalnya. Permasalahan pribadi Anas telah menciptakan konflik internal di Partai Demokrat dengan mengakibatkan banyak faksi di internal Partai Demokrat.
Situasi semakin keruh karena Edhi Baskoro (Ibas) sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) tidak berani mengambil sikap tegas untuk sementara mengambil alih peran ketua umum, untuk menjaga soliditas partai.
Apalagi hanya posisi Sekretaris Jenderal yang tidak didera masalah personal dan hukum. Semestinya Ibas banyak bekerja secara langsung atau tidak langsung menggantikan Anas, supaya Anas meski tidak diganti tetapi berkonsentrasi tinggi atas masalah pribadinya sehingga tidak mengganggu bekerjanya mesin partai.
Sekali lagi perlu ditegaskan, situasi ini dilakukan dalam rangka menjaga soliditas kader-kader partai yang telah meragukan kepemimpinan Anas, menggeliatkan kembali mesin-mesin partai di pengurus daerah propinsi dan kabupaten/kota, sehingga persoalan personal dan hukum yang mendera para petinggi partai tidak mengganggu kerja kepartaian.
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY yang disimbolkan sebagai pemersatu, tetapi atas sikap SBY yang tetap mempertahankan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum Partai Demokrat dan menyatakan tidak adanya pergantian ketua umum. Maupun tidak mengupayakan memberi kuasa untuk Sekretaris Jenderal mengambil peran sementara dari Ketua Umum, agar Ketua Umum lebih konsentrasi dulu terhadap masalah personalnya. Otomatis, tidak lagi menjadi magnet perekat pemersatu faksi-faksi tersebut.
Malahan gelombang pemecah Partai Demokrat berupa faksi-faksi semakin meluas, saat partai sedang didalam kondisi terpuruk akibat kasus korupsi Wisma Atlet, faksi-faksi ditubuh partai demokrat tidak lagi hanya faksi Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie bahkan ada faksi lain lagi mungkin tiga, empat, mungkin lebih dari lima faksi, disebabkan keinginan merebut jabatan penting yang sedang berada oleh orang-orang yang lagi bermasalah tersebut.
Partai Demokrat sekarang ini sudah mengalami situasi dijalankan dengan autopilot. Jika dibiarkan terus seperti sekarang tanpa adanya penggantian kepengurusan, maupun sikap tegas dari Ibas sebagai Sekjen mengambil alih peran sementara Ketua Umum yang sedang mengalami masalah personal. Bukan hanya penurunan elektabilitas yang terus mengintai, melainkan konflik internal semakin mengganggu kestabilan organisasi kepartaian. Bahkan, ke depan, kemungkinan besar Partai Demokrat mendapatkan hukuman rakyat melalui Pemilu 2014, dengan terjadinya pemerosotan tajam perolehan suaranya. 

Rabu, 15 Februari 2012

PD = PARTAI DISUKAI?

Efriza
Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia/FD.I

Sebuah survei yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa hingga saat ini kepercayaan publik terhadap Demokrat masih tinggi. Dalam survei tersebut disebutkan, setelah Partai Demokrat dengan persentase 12,6 persen, partai Golkar berada di urutan nomor dua dengan 10,5 persen, sedangkan Partai PDI Perjuangan (PDIP) berada di urutan ketiga dengan 7,8 persen. Apakah terus Partai Demokrat perlu mengusungkan “dada” untuk menunjukkan kecongkakkannya? Semestinya, Tidak!

Partai Demokrat Harus Berbenah Diri

Isu korupsi yang menyeret Anas Urbaningrum sepertinya membutuhkan waktu panjang. Meskipun demikian, isu ini ternyata hanya menjadi “dagangan laris” bagi Pers, perbincangan di media jejaring sosial, maupun sekedar bincang di warung kopi. Isu ini tidak lantas menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan untuk menyampaikan kegeramannya, memprotes Partai Demokrat sebagai pemegang kekuasaan sekarang ini, bahkan tidak sampai mengusulkan membubarkan Partai Demokrat seperti kasus Partai Golkar di era reformasi lalu.
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY, juga sangat tegas, dan lugas. Anas tetap sebagai ketua umum Partai Demokrat dan tidak ada pergantian. Sikap SBY seperti ini tidak bedanya dengan sikap orang tua yang membela anak secara membabi buta. Tetapi tidak memberikan teladan yang baik, agar anaknya belajar tanggung jawab atas perbuatannya. SBY rela memasang badan, demi Anas Urbaningrum, sementara telah jelas dampaknya penilaian negatif masyarakat terhadap pemerintahan SBY. Lagi-lagi masyarakat yang harus dikecewakan, konsentrasi dan energi presiden habis untuk mengurusi Partainya bukan rakyatnya.
Sikap SBY yang tidak memberi teladan yang baik, juga diamini oleh DPP, DPD, dan DPC yang tetap mendukung kepengurusan Anas Urbaningrum meski ada riak-riak kecil. Kondisi ini tidak disadari oleh DPD dan DPC Partai Demokrat, bahwa situasi ini yang dibiarkan berlarut panjang, akan menyebabkan kans tokoh-tokoh dari Partai Demokrat sulit untuk memenangkan hati pemilih dalam pemilihan-pemilihan Pilkada.
Lagi-lagi ketika permasalahan kader ini tidak diselesaikan, kita jangan lupa bahwa hasil survey CSIS menyimpulkan popularitas semua partai politik, baik pemerintah ataupun oposisi, anjlok dari perolehan pada Pemilu 2009. Meskipun Demokrat tetap nomor satu, tapi penurunannya (dari 2009) paling absolut. Dari hasil penelitian CSIS tersebut, penurunan dukungan terbesar saat ini dialami Partai Demokrat sebanyak 8,25 persen. Sehingga demikian, sebuah kepastian bahwa elektabilitas Partai Demokrat akan terus menurun, jika persolan ini dibiarkan berlarut-larut.
Melihat kajian ini, sudah sepantasnya Anas Urbaningrum mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Pengunduran diri Anas Urbaningrum juga dalam rangka membersihkan persoalan yang melibatkan personalnya, bahkan pengunduran diri Anas Urbaningrum tidak merusak momentum kepemimpinan kaum muda karena kaum muda juga bukan hanya bisa merebut tongkat kepemimpinan tetapi juga sanggup mengakui diri jika tidak mampu mengelola kepemimpinan dengan pengunduran diri sejak dini.
Jangan menunggu hukuman rakyat melalui Pemilu, jika memang benar Partai Demokrat adalah Partai Disukai, jangan pula nantinya seperti yang telah dialami oleh Partai Golkar dan PDIP sebagai partai yang disukai oleh rakyat tetapi mendapatkan hukuman dua kali pemilu (2004 dan 2009) di era reformasi ini perolehan suaranya terus menurun. 