Senin, 31 Januari 2011

Perdebatan Revisi UU No. 22/2007 Tentang Penyelenggara Pemilu

Oleh: Efriza, Pengamat Politik Parlemen
Saat ini kita terjebak dalam perdebatan yang sengit tentang anggota partai politik (Parpol) bisa atau tidak menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Persoalan ini berawal dari kecemasan anggota-anggota DPR yang merupakan anggota partai-partai politik, ketika untuk kedua kalinya anggota KPU menjadi anggota salah satu partai dari partainya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika Pemilu berakhir. Komisi II DPR telah memutuskan anggota parpol bisa menjadi anggota KPU, meski tidak secara bulat (karena adanya penolakan dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat, yang menginginkan KPU Netral).
Keputusan itu juga ditentang kalangan umum baik dari aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa, maupun masyarakat. Bagi mereka, masuknya unsur parpol menjadi penyelenggara pemilu (KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum/Bawaslu dan Dewan Kehormatan KPU) merupakan ancaman bagi terlaksananya pemilu yang demokratis. Kondisi ini akan menimbulkan tarik menarik kepentingan dalam lembaga pemilu yang seharusnya mandiri dan non partisan. Perwakilan parpol menjadi penyelenggara pemilu juga inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi: “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Bahkan ada gerakan yang menggalang petisi tolak parpol masuk KPU, yang bernama Tolak Parpol Jadi Penyelenggara Pemilu, yang dikoordinatori oleh LSM Centre for Electoral Reform (CETRO)--dan sudah terkumpul 3249 orang yang mengisi petisi ini dari berbagai ragam aspek pekerjaannya, dan masih terus digulirkan yang nantinya akan diserahkan ke DPR.
Masih dari kubu masyarakat yang menolak mengatakan, pada dasarnya perdebatan tentang Revisi RUU Penyelenggara Pemilu, hanya berkutat pada rekrutmen keanggotaan KPU yang independen atau tidak. Kepentingan parpol selain karena kegelisahannya akibat “si kerudung biru” di KPU untuk kedua kalinya menambah daftar anggota KPU menjadi anggota Partai Demokrat, juga karena keinginannya memasukkan anggota partainya yang gagal dalam pemilu legislatif 2009, apalagi anggota partainya yang gagal rata-rata tak bisa dipungkiri merupakan mantan anggota DPR periode 2004 lalu, yang juga merupakan anggota Pansus UU Paket Politik, sebut saja Ferry Mursyidan Baldan dari (Partai Golkar), Syaifullah Mas’hum dari Partai Kebangkitan Bangsa.
Namun, keinginan tersebut ditutupinya dengan argumentasi atas kasus Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati yang merupakan dua mantan anggota KPU yang setelah pemilu langsung duduk sebagai pemimpin partai dalam Partai Demokrat, artinya independensi tidak menjamin ketidakberpihakan.
Permasalahan yang sama tentang independen atau tidak, juga pernah dilakukan oleh parpol yang menginginkan masuk dalam lembaga DPD, akhirnya melalui UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, keinginan tersebut berhasil tercapai hingga sekarang tak dapat diganggu gugat dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa syarat “bukan pengurus dan/atau anggota parpol” untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit.
Lagi-lagi alasannya waktu itu, karena keanggotaan DPD periode 2004 lalu juga tidak sepenuhnya independen. Padahal alasan yang sebenarnya, di partai ada ketentuan yang menyatakan orang yang sudah dua kali di DPR atau lebih, di partai-partai tertentu, dia tidak boleh lagi masuk di DPR, misal di Partai Golkar adanya ketentuan empat periode yang memaksa Rambe Kamarulzaman pindah ke DPD, atau di PAN adanya aturan yang tidak memperbolehkan dua kali menjabat memaksa Patrialis Akbar, AM Fatwa, A. Farhan Hamid, Afni Ahmad, dll. Sementara, kalau misalnya orang ini mau berkiprah lagi di politik, di Senayan. Dia bisa masuk kesempatannya hanya melalui DPD.
Meskipun parpol tetap memiliki dalih dengan adanya ketentuan “…yang berasal dari partai politik, tetapi harus sudah mundur pada saat mendaftar” sesuai kesimpulan rapat intern Komisi II dalam Revisi RUU Nomor 22 Tahun 2007, pada Rabu 24 November 2010. Namun, tidak setegas aturan UU No. 12/2003 tentang Persyaratan menjadi anggota DPD RI pada pemilu 2004, yakni, di dalam UU yang lalu disebutkan ada pasal peralihan. Di pasal peralihan itu disebutkan, tiga bulan sebelum pendaftaran, dia harus berhenti dari pengurus partai (lihat, Pasal 146 Ketentuan Peralihan). Tapi di dalam klausul yang lain juga adanya ketentuan Pasal 63 huruf b, disebutkan bahwa, untuk menjadi anggota DPD harus empat tahun dia berhenti sebagai pengurus parpol.
Keputusan Komisi II belum final. Perubahan masih sangat mungkin pada saat revisi UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu itu dibahas DPR dan pemerintah. UUD 1945 mengatur bahwa setiap rancangan undang-undang yang disahkan presiden harus disetujui bersama oleh DPR dan presiden.
Bagi yang mendukung Parpol menjadi penyelenggara pemilu baik dari parpol-parpol di DPR maupun unsur masyarakat lainnya menyatakan, perdebatan tersebut tidak produktif untuk menghasilkan penyelenggara pemilu yang mandiri sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. KPU yang mandiri hanya mungkin diciptakan kalau orang-orang yang duduk di sana nantinya adalah orang-orang yang mempunyai integritas, pribadi yang kuat, jujur, dan adil.
Kriteria dan parameter penentu apakah seorang calon memenuhi syarat anggota KPU itu yang seharusnya diperdebatkan. Bila perlu, ketentuan yang bersifat teknis operasional diatur dalam Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 sehingga panitia seleksi nantinya tidak mempermainkan celah-celah atau kelonggaran ketentuan untuk memilih calon anggota KPU dengan sesuka hati. Bagaimana mengukur kemandirian, misalnya, perlu diatur. Sebab meski bagaimanapun, pertanyaan adalah Apakah seorang anggota parpol tidak punya kemandirian?
Lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi (MK) terbukti bisa menjalankan tugasnya secara mandiri, meskipun hakimnya berasal dari parpol. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga ada memiliki calon yang berlatar belakang parpol, tapi mereka di sana bekerja bukan mewakili partainya. Keberadaan dua lembaga tinggi negara, yakni MK dan BPK, mematahkan pendapat bahwa untuk menjamin kemandirian sebuah lembaga tidak boleh diisi orang-orang parpol.
Dari masa ke masa, penyelenggara pemilu berubah-ubah. Pada 1955 pemilu diselenggarakan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang diatur dalam Pasal 17-28 UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR RI. PPI berjumlah minimal lima orang dan maksimal sembilan orang yang diangkat dan diberhentikan presiden. PPI Pemilu 1955 diketuai Sujono Hadinoto dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Selanjutnya, selama 16 tahun sejak Pemilu 1955, pemerintahan Presiden Soekarno tidak menggelar pemilu. Pemilu kedua baru dilakukan pada 1971.
Pada Pemilu 1971, PPI berganti nama menjadi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). LPU bertahan hingga pada Pemilu 1977. LPU merupakan bagian dari lembaga pemerintah yang saat itu sudah dikuasai Golongan Karya (Golkar). Pada Pemilu 1984 terjadi revisi UU Pemilu, yakni Pasal 8 ayat (7) huruf b UU Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilu yang mulai mengikutkan wakil parpol sebagai anggota Panitia Pemilihan Indonesia (PPI)--bunyinya: “Dewan Pertimbangan yang terdiri dari seorang Ketua merangkap Anggota yang dijabat oleh seorang Menteri, empat orang Wakil Ketua merangkap Anggota dan beberapa orang Anggota, yang di ambilkan dari Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.” Namun, itu tak berlaku lagi pada Pemilu 1987 karena pemerintahan Orde Baru (Orba) Presiden Soeharto mengesahkan UU Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, yang semakin memperkukuh kekuatan birokrasi sebagai penyelenggara dan pelaksana pemilu. Soeharto menugaskan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dengan anggota-anggotanya terdiri dari beberapa orang Menteri dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); menguasai LPU untuk memperkuat peranan birokrasi sipil dan militer dalam mengendalikan pemilu. LPU bertahan hingga Pemilu 1992 dan Pemilu 1997. Bahkan pada Pemilu 1992, LPU punya kewenangan berkoordinasi dengan penguasa untuk melakukan penelitian khusus (litsus) terhadap calon-calon DPR.
Peran parpol sebagai penyelenggara pemilu baru muncul kembali pada Pemilu 1999. Pasal 8 ayat (2) UU No 3 Tahun 1999 mengatur bahwa penyelenggara pemilu dinamakan KPU yang terdiri atas 48 wakil parpol dan 5 wakil pemerintah (lihat Pasal 9 ayat (1)). Meski jumlah wakil parpol 48 orang, dalam hal suara dalam pengambilan keputusan melalui voting, tiap wakil parpol hanya punya 1 suara. Berbeda dengan suara pemerintah yang tiap wakil memiliki 9 suara. Jadi, total suara wakil parpol 48 suara dan total suara wakil pemerintah 45 suara. Suara wakil parpol hanya 3 suara lebih banyak daripada suara wakil pemerintah.
Ketegangan di tubuh KPU mulai terjadi setelah parpol-parpol mengetahui hasil Pemilu 1999. Sebagian partai pemilu yang tidak berhasil memperoleh dukungan suara yang signifikan mulai menampakkan gejala frustrasi dan hal itu berpengaruh besar terhadap kinerja dan mekanisme pengambilan keputusan di KPU. Yang lebih fatal lagi ialah terjadinya berbagai upaya mendistorsi sejumlah peraturan yang dibuat sendiri oleh KPU dengan motif yang beragam. Kenyataan ini memberikan pemahaman betapa membebaskan institusi KPU dari kepentingan dan intervensi parpol menjadi tuntutan yang mutlak pada pemilu-pemilu berikutnya.
Ternyata, institusi penyelenggara pemilu mandiri dan melepaskan pelaksanaan pemilu dari cengkeraman birokrasi belum bisa diwujudkan ketika itu. Keprihatinan terhadap KPU Pemilu 1999 menjadi dasar untuk menciptakan KPU Pemilu 2004 yang mandiri. UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengatur bahwa KPU harus diisi orang-orang nonparpol. Namun, kemandirian KPU 2004 diragukan karena mantan anggota KPU Hamid Awaluddin menjadi Menteri Hukum dan HAM kabinet Indonesia Bersatu di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Mantan anggota KPU 2004 Anas Urbaningrum pun mengundurkan diri dari KPU karena menjadi Ketua DPP Partai Demokrat sebagai partai pengusung Yudhoyono. Posisi Anas pun semakin berjaya dan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat saat ini.
UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur bahwa KPU hanya bisa diisi nonparpol. Namun, kecurigaan bahwa KPU itu dikuasai parpol tertentu tetap kuat. Fakta yang menunjukkan bahwa KPU 2009 tak mandiri yaitu dipecatnya Andi Nurpati dari anggota KPU karena menjadi pengurus DPP Partai Demokrat.
Fakta dan sejarah penyelenggara pemilu kita ini menjadi pertimbangan untuk menentukan komposisi KPU Pemilu 2014. Dalam sejarahnya, anggota parpol bukanlah sesuatu yang diharamkan masuk sebagai anggota KPU. Namun, masuknya orang parpol jadi anggota KPU bukan solusi karena terbukti pada Pemilu 1999 keberadaan orang parpol membuat ketegangan.
Pemerintah atau birokrasi sebagai penyelenggara juga tidak menjamin kemandirian karena sudah terbukti pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 bahwa mereka memihak penguasa. Begitu juga nonparpol, sudah terbukti pada Pemilu 2004 dan 2009 bahwa mereka mudah diintervensi dan dikuasai parpol berkuasa.
Berdasarkan fakta-fakta ini, sementara ada LSM yang bernama Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP) yang telah mengadakan audiensi dengan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sunardi Ayub, disaat tahap memasuki harmonisasi oleh Baleg DPR--yang menyatakan, komposisi KPU 2014 harus memperhatikan unsur-unsur non-parpol, anggota parpol, dan pemerintah. Komisi II DPR sudah memutuskan anggota parpol bisa menjadi anggota KPU. Namun, DPR dan Presiden harus memasukkan unsur-unsur non-parpol baik itu dari pemerintah maupun dari masyarakat sipil sebagai penyeimbang.
Anggota KPU Pemilu 2014 nanti sebaiknya terdiri atas 9 orang, yaitu 3 dari parpol, 3 dari pemerintah, dan 3 dari aktivis masyarakat sipil atau akademisi. Dengan demikian, jumlah anggota KPU yang diputuskan Komisi II yang berjumlah 7 orang sebaiknya direvisi. Alasannya, pertama agar terjadi keseimbangan ketika seluruh unsur non-parpol memboikot, masih terdapat 6 anggota lagi yakni unsur parpol dan pemerintah yang bisa mengambil keputusan. Begitu juga misalnya ketika unsur parpol yang memboikot masih ada unsur pemerintah dan non-parpol yang mengambil keputusan. Ini penting untuk menghindari deadlock pada Pemilu 2014 terulang kembali seperti pada Pemilu 1999. Alasan kedua, mengingat keputusan Komisi II DPR bahwa anggota Dewan Kehormatan bertambah menjadi 15 orang dari yang sebelumnya hanya 5 orang (atau bertambah 200%). Jumlah itu lebih banyak daripada anggota KPU yang berjumlah 7 orang. Sebaiknya, jumlah Dewan Kehormatan jangan sampai lebih banyak dari anggota KPU. Paling tidak, jumlah anggota KPU relatif berimbang dengan jumlah Dewan Kehormatan.
Yang patut digarisbawahi dari perdebatan dalam pembahasan revisi UU Penyelenggara Pemilu adalah Parpol telah salah dengan mempersalahkan kelembagaan misal KPU yang dianggap tidak netral. Padahal jika dianggap ada yang tidak netral, adalah orangnya bukan institusinya. Pertanyaannya, akan dibawa kemana hasil dari perdebatan ini, Apakah revisi UU No. 22 Tahun 2007 akan tetap memasukkan unsur parpol sesuai dengan keinginan partai-partai politik di parlemen, atau kemenangan bagi yang menolaknya. Kita tunggu saja!


Rabu, 26 Januari 2011

Implikasi UU Parpol Bagi Parpol Non-Parlemen & Parpol Baru

lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]
Kamis, 27/01/2011 | 14:24 WIB

Implikasi UU Parpol Bagi Parpol Non-Parlemen & Parpol Baru
Oleh: Efriza *)

DPR telah menyetujui untuk disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi UU dalam sidang paripurna 13 Desember 2010. RUU Partai Politik (Parpol) mulai dibahas pada pembicaraan tingkat I di Komisi II DPR pada 25 November 2010. Pada Rapat Kerja (Raker) Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Patrialis Akbar 30 November 2010 disepakati 101 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Komisi II mampu menyelesaikan seluruh pembahasan DIM dan menugaskan Panitia Kerja (Panja) membahas 6 (enam) DIM. Proses di Panja juga berlangsung cepat, hanya melalui 4 (empat) kali pembahasan pada tanggal 1, 2 dan 8 Desember 2010. Pada 9 dan 10 Desember, draft RUU sudah masuk ke Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk selanjutnya disahkan dalam Raker Komisi II bersama Mendagri dan Menkumham pada 13 Desember 2010.
Namun, munculnya pengetatan syarat pendirian dan kepengurusan parpol, dan mepetnya waktu verifikasi untuk menjadi badan hukum dalam pasal-pasal perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol tersebut, ditolak parpol non-parlemen dan parpol baru. Ketentuan baru dalam revisi UU Parpol dianggap terlalu berat dan tidak sejalan dengan jaminan berpartai yang diberikan konstitusi.

Partai-partai non-parlemen dan baru berpendapat, “Tidak perlu ada pembatasan atau pemberatan aturan pendirian partai. Dasarnya adalah Pasal 28 UUD 1945 yang memberi jaminan kebebasan berkumpul dan berserikat.” Aturan verifikasi partai guna menyesuaikan dengan ketentuan baru yang ada dalam revisi UU Parpol merupakan “senjata” partai besar membunuh partai kecil dan harapan pendirian partai baru.

Syarat verifikasi terlalu berat bagi partai kecil dan pendirian partai baru. Sekadar diketahui, verifikasi itu dilakukan untuk mengetahui apakah parpol yang ada memiliki kepengurusan di seluruh provinsi (33 Provinsi), di minimal 75 persen dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan – artinya, dari 33 provinsi yang terdiri atas 400 kabupaten, 92 kota, 5 kota administrasi, dan 1 kabupaten administrasi atau berjumlah 498--dengan demikian setidaknya parpol harus memiliki kepengurusan sebanyak 374 sekretariat di kabupaten/kota, dan di minimal 50 persen dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan (total seluruhnya 6.300 kecamatan di Indonesia--memiliki kepengurusan sebanyak 3150 sekretariat)--Pasal 3 ayat (2) huruf c. Selain itu, tenggat waktu verifikasi itu ditetapkan 2,5 tahun sebelum pemilu atau jatuh pada sekitar November 2011--Pasal 51 ayat (1a).

Syarat pendirian kepengurusan tersebut dalam UU Parpol yang baru tidak memberi peluang kepada parpol dengan basis dukungan tertentu untuk tetap “survive,” seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), akan sangat kesulitan untuk mendirikan kepengurusan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Selain itu, parpol non-parlemen maupun baru juga akan kesulitan memenuhi syarat baru, terutama sebaran kepengurusan dan kepemilikan kantor tetap. Yang menjadi persoalan adalah syarat kepengurusan di 75% kabupaten/kota dan 50% kecamatan, sebab persoalan biaya menjadi hambatan membangun kembali infrastruktur untuk memenuhi syarat tersebut dan dalam pemenuhan tersebut misal, bagi parpol non-parlemen harus mengeluarkan biaya sendiri karena tidak mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah--Pemerintah hanya memberikan dana bantuan kepada sembilan parpol yang masuk parlemen, bahkan yang lebih memberatkan adalah tenggat waktu verifikasi tersebut.

Oleh karena itu, UU Parpol yang baru ini selain menyulitkan pendirian bagi parpol baru dan juga parpol non-parlemen. Juga berimplikasi terhadap pembiayaan tinggi dari syarat-syarat pendirian kepengurusan tersebut. Misal, kita hitung saja biaya paling kecil biaya operasional DPC/Kabupaten/Kota sebesar Rp. 1.000.000/bulan, dikalikan 374 kabupaten/kota (75% syarat tersebut) yakni Rp. 374.000.000. Biaya operasional tersebut adalah sebuah kantor cabang yang dipakai oleh ketua, sekretaris, bendahara dalam menjalankan roda organisasi misal rapat-rapat, pengurusan ini dan itu ditingkatan tertentu, contoh kecil untuk Office Boy dalam hal kebersihan 1 juta aja mungkin kurang.

Hitungan ini belum termasuk sewa kantor, listrik, telephone, Alat Tulis Kantor (ATK), maupun biaya lainnya yang signifikan misal, biaya perayaan deklarasi dan pelantikan kepengurusan tersebut, dan penyebaran puluhan bahkan sampai ratusan atribut partai untuk menuju tempat kongres, serta atribut-atribut partai lainnya seperti kaos-kaos partai.

Penghitungan ini pun jika dipaksakan untuk menyebut rentang angka tertentu dan juga telah melingkupi letak geografis, bahwa secara keseluruhan dari DPD, DPC, dan PAC--dapat digeneralisasi menjadi Rp 500.000.000 juta sampai dengan Rp. 1 Miliar, untuk penghitungan seluruhnya berdasarkan komponen-komponen yang telah disebutkan di atas.

Persoalan ini makin lengkap dengan seperti yang dirasakan oleh Parpol Non-parlemen merasa keberatan dengan pencabutan status badan hukum sebagaimana tercantum dalam UU Parpol baru. Pasal 51 ayat (1b) UU Parpol baru menyatakan jika syarat verifikasi tidak dapat dipenuhi parpol baru maupun lama, maka parpol yang bersangkutan tidak mendapatkan status badan hukum baru. Pertanyaannya, Kenapa status badan hukum dapat dicabut dengan UU baru ini? Sementara, Pemilu 2009 lalu, terdapat 74 parpol yang dapat mengikuti verifikasi di KPU dengan tiga kategori, yaitu Pertama, Parpol berbadan hukum berdasarkan UU No. 31/2002 sebagai peserta pemilu 2004; Kedua, Parpol berbadan hukum berdasarkan UU No. 31/2002 bukan peserta Pemilu 2004; dan Ketiga, Parpol berbadan hukum berdasarkan UU No. 2/20008. Bahkan, Depkumham juga pernah menyatakan, status badan hukum setiap parpol tetap berlaku, sepanjang status badan hukum itu tidak dicabut oleh parpol yang bersangkutan. Artinya, status badan hukum parpol tahun 1999 tetap berlaku meski Kementerian Hukum dan HAM (Depkumham, dulu) telah mengubah persyaratan kelengkapan parpol berdasarkan ketentuan UU Parpol saat itu. (**)

*) Efriza - Penulis buku "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Doeloe, Kini, dan Nanti".