Rabu, 26 Januari 2011

Implikasi UU Parpol Bagi Parpol Non-Parlemen & Parpol Baru

lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]
Kamis, 27/01/2011 | 14:24 WIB

Implikasi UU Parpol Bagi Parpol Non-Parlemen & Parpol Baru
Oleh: Efriza *)

DPR telah menyetujui untuk disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi UU dalam sidang paripurna 13 Desember 2010. RUU Partai Politik (Parpol) mulai dibahas pada pembicaraan tingkat I di Komisi II DPR pada 25 November 2010. Pada Rapat Kerja (Raker) Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Patrialis Akbar 30 November 2010 disepakati 101 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Komisi II mampu menyelesaikan seluruh pembahasan DIM dan menugaskan Panitia Kerja (Panja) membahas 6 (enam) DIM. Proses di Panja juga berlangsung cepat, hanya melalui 4 (empat) kali pembahasan pada tanggal 1, 2 dan 8 Desember 2010. Pada 9 dan 10 Desember, draft RUU sudah masuk ke Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk selanjutnya disahkan dalam Raker Komisi II bersama Mendagri dan Menkumham pada 13 Desember 2010.
Namun, munculnya pengetatan syarat pendirian dan kepengurusan parpol, dan mepetnya waktu verifikasi untuk menjadi badan hukum dalam pasal-pasal perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol tersebut, ditolak parpol non-parlemen dan parpol baru. Ketentuan baru dalam revisi UU Parpol dianggap terlalu berat dan tidak sejalan dengan jaminan berpartai yang diberikan konstitusi.

Partai-partai non-parlemen dan baru berpendapat, “Tidak perlu ada pembatasan atau pemberatan aturan pendirian partai. Dasarnya adalah Pasal 28 UUD 1945 yang memberi jaminan kebebasan berkumpul dan berserikat.” Aturan verifikasi partai guna menyesuaikan dengan ketentuan baru yang ada dalam revisi UU Parpol merupakan “senjata” partai besar membunuh partai kecil dan harapan pendirian partai baru.

Syarat verifikasi terlalu berat bagi partai kecil dan pendirian partai baru. Sekadar diketahui, verifikasi itu dilakukan untuk mengetahui apakah parpol yang ada memiliki kepengurusan di seluruh provinsi (33 Provinsi), di minimal 75 persen dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan – artinya, dari 33 provinsi yang terdiri atas 400 kabupaten, 92 kota, 5 kota administrasi, dan 1 kabupaten administrasi atau berjumlah 498--dengan demikian setidaknya parpol harus memiliki kepengurusan sebanyak 374 sekretariat di kabupaten/kota, dan di minimal 50 persen dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan (total seluruhnya 6.300 kecamatan di Indonesia--memiliki kepengurusan sebanyak 3150 sekretariat)--Pasal 3 ayat (2) huruf c. Selain itu, tenggat waktu verifikasi itu ditetapkan 2,5 tahun sebelum pemilu atau jatuh pada sekitar November 2011--Pasal 51 ayat (1a).

Syarat pendirian kepengurusan tersebut dalam UU Parpol yang baru tidak memberi peluang kepada parpol dengan basis dukungan tertentu untuk tetap “survive,” seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), akan sangat kesulitan untuk mendirikan kepengurusan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Selain itu, parpol non-parlemen maupun baru juga akan kesulitan memenuhi syarat baru, terutama sebaran kepengurusan dan kepemilikan kantor tetap. Yang menjadi persoalan adalah syarat kepengurusan di 75% kabupaten/kota dan 50% kecamatan, sebab persoalan biaya menjadi hambatan membangun kembali infrastruktur untuk memenuhi syarat tersebut dan dalam pemenuhan tersebut misal, bagi parpol non-parlemen harus mengeluarkan biaya sendiri karena tidak mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah--Pemerintah hanya memberikan dana bantuan kepada sembilan parpol yang masuk parlemen, bahkan yang lebih memberatkan adalah tenggat waktu verifikasi tersebut.

Oleh karena itu, UU Parpol yang baru ini selain menyulitkan pendirian bagi parpol baru dan juga parpol non-parlemen. Juga berimplikasi terhadap pembiayaan tinggi dari syarat-syarat pendirian kepengurusan tersebut. Misal, kita hitung saja biaya paling kecil biaya operasional DPC/Kabupaten/Kota sebesar Rp. 1.000.000/bulan, dikalikan 374 kabupaten/kota (75% syarat tersebut) yakni Rp. 374.000.000. Biaya operasional tersebut adalah sebuah kantor cabang yang dipakai oleh ketua, sekretaris, bendahara dalam menjalankan roda organisasi misal rapat-rapat, pengurusan ini dan itu ditingkatan tertentu, contoh kecil untuk Office Boy dalam hal kebersihan 1 juta aja mungkin kurang.

Hitungan ini belum termasuk sewa kantor, listrik, telephone, Alat Tulis Kantor (ATK), maupun biaya lainnya yang signifikan misal, biaya perayaan deklarasi dan pelantikan kepengurusan tersebut, dan penyebaran puluhan bahkan sampai ratusan atribut partai untuk menuju tempat kongres, serta atribut-atribut partai lainnya seperti kaos-kaos partai.

Penghitungan ini pun jika dipaksakan untuk menyebut rentang angka tertentu dan juga telah melingkupi letak geografis, bahwa secara keseluruhan dari DPD, DPC, dan PAC--dapat digeneralisasi menjadi Rp 500.000.000 juta sampai dengan Rp. 1 Miliar, untuk penghitungan seluruhnya berdasarkan komponen-komponen yang telah disebutkan di atas.

Persoalan ini makin lengkap dengan seperti yang dirasakan oleh Parpol Non-parlemen merasa keberatan dengan pencabutan status badan hukum sebagaimana tercantum dalam UU Parpol baru. Pasal 51 ayat (1b) UU Parpol baru menyatakan jika syarat verifikasi tidak dapat dipenuhi parpol baru maupun lama, maka parpol yang bersangkutan tidak mendapatkan status badan hukum baru. Pertanyaannya, Kenapa status badan hukum dapat dicabut dengan UU baru ini? Sementara, Pemilu 2009 lalu, terdapat 74 parpol yang dapat mengikuti verifikasi di KPU dengan tiga kategori, yaitu Pertama, Parpol berbadan hukum berdasarkan UU No. 31/2002 sebagai peserta pemilu 2004; Kedua, Parpol berbadan hukum berdasarkan UU No. 31/2002 bukan peserta Pemilu 2004; dan Ketiga, Parpol berbadan hukum berdasarkan UU No. 2/20008. Bahkan, Depkumham juga pernah menyatakan, status badan hukum setiap parpol tetap berlaku, sepanjang status badan hukum itu tidak dicabut oleh parpol yang bersangkutan. Artinya, status badan hukum parpol tahun 1999 tetap berlaku meski Kementerian Hukum dan HAM (Depkumham, dulu) telah mengubah persyaratan kelengkapan parpol berdasarkan ketentuan UU Parpol saat itu. (**)

*) Efriza - Penulis buku "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Doeloe, Kini, dan Nanti".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html