Minggu, 04 Maret 2012

DPD Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh: Efriza, Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi Untuk Indonesia (FD.I) Berbicara mengenai lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dua hal yang sulit dipadukan antara Harapan dan Kenyataan. Misal, kita lihat Hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia yang dirilis akhir Februari lalu. Berdasarkan riset LSI tersebut, hanya 24,1 persen dari 1.220 responden yang mengetahui fungsi dan tugas DPD. Adapun 46,2 persen lainnya menjawab tak tahu, dan sisanya (29,7 persen) tak menjawab. Sementara hasil survei itu juga menunjukkan, hampir dua pertiga responden mengetahui DPD dan memilih wakilnya secara langsung dalam pemilu. Warga juga tahu, tugas DPD adalah mewakili rakyat di daerah tingkat pusat. Bahkan, 65 persen mayoritas responden setuju dengan gagasan penguatan DPD meskipun harus dilakukan dengan mengubah UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa masyarakat menaruh harapan besar terhadap lembaga DPD sebagai kamar kedua dari DPR. Di tengah kemerosotan kinerja dan gaya hidup mewah yang menjadi sorotan lembaga DPR. Yang sangat disayangkan adalah, kondisi anomali dari pandangan dan pola pikir masyarakat yakni antara memperkuat dan tidak diketahuinya fungsi DPD itu. DPD diperkuat kewenangannya memang itu sebuah langkah positif. Tetapi memperkuat kewenangan ini membutuhkan banyak energi dan kecerdasan dalam mengelola isu serta menunjukkan peningkatan kinerja mesti dengan kewenangan yang minim tersebut. Ironinya, dengan kewenangan yang minim tersebut DPD malah terjebak dalam pemborosan anggaran negara, seperti juga yang dilakukan oleh DPR. Misalnya saja, pembangunan kantor perwakilan DPD di 33 provinsi daerah, yang dikritisi sebagai pemborosan anggaran (Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat, 2011). Meskipun upaya DPD dalam mengajukan Amandemen Kelima UUD 1945, didukung oleh masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, akademisi kampus, tetapi sosialisasi DPD menggulirkan isu itu minim dan tidak menjadi suatu gerakan yang menganggap amandemen kelima UUD 1945 merupakan kebutuhan mendesak dan penting. DPD tidak belajar dari lembaga MPR. yang begitu cerdas memainkan isu dengan ikon tema Empat Pilarnya. Semestinya DPD membuat ikon tersebut dari kebutuhan-kebutuhan apa saja tentang Amandemen Kelima UUD 1945 itu, layaknya partai-partai menawarkan program dalam kampanyenya agar dapat menguatkan ingatan dan kesadaran (awareness) masyarakat. Sehingga demikian, upaya peningkatan kewenangan DPD mengalami jalan terjal sebab berparalel dengan ketidakmampuan DPD mengelola isu, menarik simpati publik, bahkan terkesan meniru-niru langkah DPR meresahkan hati rakyat melalui pola-pola pemborosan anggaran. Situasi ini mendorong sebuah pertanyaan klasik tentang masa depan DPD, jangan-jangan ketika DPD mendapatkan kewenangan yang besar akan seperti DPR, atau menyatir Adagium klasik Lord Acton bahwa, “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html