Senin, 27 Desember 2010

Taktik Manipulatif Partai Golkar

lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]
Selasa, 28/12/2010 | 10:47 WIB

Taktik Manipulatif Partai Golkar
Oleh: Efriza *)

Partai Golkar mengusulkan memberlakukan Presidensial Thereshold atau batas minimum perolehan suara partai politik untuk mengajukan calon presiden pada Pemilu 2014 mendatang. Usulan ini memang belum menjadi keputusan partai, masih merupakan usulan yang akan diperjuangkan oleh Tim Kajian dan Pembahasan RUU Paket Politik Fraksi Partai Golkar.

Usulan ini tidak lain adalah untuk memudahkan partai-partai mengajukan calon presiden. Presidensial Thereshold ini digagas agar sejalan dengan pemberlakuan Parliamentary Thereshold atau ambang batas perolehan suara partai politik untuk menempatkan wakilnya di DPR.

Pada dasarnya wacana yang digulirkan oleh Partai Golkar merupakan taktik manipulatif yang dimainkannya alias politik dagang sapi dalam tukar-menukar pasal dalam pembahasan UU Paket Politik, bahwa Partai Golkar menegaskan akan berjuang keras agar ambang batas parliamentary thereshold dapat dinaikkan sesuai keinginan mereka menjadi 5-7 persen. Keuntungan semu yang ditawarkannya, partai yang lolos parliamentary thereshold bisa mengajukan calon presiden.

Revisi UU Paket Politik yang dibahas secara bersamaan, yaitu UU Partai Politik, UU Penyelenggara Pemilu, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden, dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), memang menimbulkan konsekuensi akan terjadi tukar-menukar pasal dalam pembahasannya.

Lagi-lagi taktik manipulatif ini didorong oleh Partai Golkar, sebelumnya ulah Partai Golkar ini pernah dilontarkan oleh Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC) Sulastio, Fraksi di DPR ingin agar pembahasan paket UU itu dibahas secara paralel sehingga lebih mudah untuk melakukan dagang pasal indikasi dagang pasal di paket RUU itu saat pembahasan draf revisi UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang membuka peluang anggota parpol untuk menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), terkait dengan aturan parliamentary threshold dalam revisi UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif. “Jika dulu Golkar ingin ambang batas parlemen hingga 10% bisa menjadi 5% karena telah didukung fraksi lain dalam RUU Penyelenggara Pemilu,” (Media Indonesia, 6 Desember 2010).

Sebelumnya, Partai Golkar juga dalam menggolkan usulan Parliamentary Thereshold melakukan dagang pasal. Misal, pemberitaan di Koran Tempo, 17 Maret 2008, di jelaskan keterlibatan Jusuf Kalla dalam melobi untuk menggolkan usulan tersebut, bahwa keterlibatan Kalla tak hanya menjelang sidang paripurna terakhir. Enam hari sejak 23 Februari lalu Kalla terlibat dalam forum lobi. Tak berada di Indonesia, Kalla menggunakan telepon pribadinya dari Korea dan Jepang. Saat itu Kalla sedang dalam kunjungan dinas di dua negara itu.

Sumber lain menyebut hubungan lewat ponsel saat itu salah satunya dengan petinggi Partai Demokrat. Sumber Tempo tak tahu pembicaraan lewat telepon Kalla itu. Lobi politik ketika itu membicarakan enam pasal krusial. Para pemimpin fraksi selama 12 kali lobi gagal mencari titik temu. Selain dua aturan krusial, keenam pasal antara lain soal parliamentary thereshold dan electoral thereshold serta mekanisme pemungutan suara.

Forum lobi kemudian mengakomodasi kepentingan sejumlah partai politik berkursi di bawah 3 persen electoral thereshold, syarat menjadi peserta pemilu 2009 dalam UU Pemilu Legislatif 2004. Partai yang masuk kategori minim suara adalah Fraksi Partai Bintang Reformasi, Fraksi Partai Damai Sejahtera, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi. “Mereka bermain cantik, mereka mendukung partai besar” kata dia.
Partai politik “minim suara” mendukung setelah UU baru membuat aturan peralihan dari pemberlakuan syarat electoral thereshold dan parliamentary thereshold. Aturan peralihan itu membolehkan partai politik berkursi DPR berhak langsung ikut Pemilu 2009.

Mari kita kembali membedah ide Presidential Thereshold, sebenarnya wacana ini akan melahirkan calon presiden yang sangat banyak, yang mencapai 6 calon dari partai politik yang lolos parliamentary thereshold, jika parliamentary thereshold dinaikkan menjadi 5 persen. Kondisi ini akan menyulitkan pemilih, terlalu ramai, biaya politik tinggi karena pemilu presiden diperkirakan berlangsung dua putaran.

Usulan Partai Golkar juga bias, sebab telah jelas ketentuan yang dimaksud Presidential Thereshold sebagai syarat mengusung calon presiden dan wakil presiden sudah diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dalam Pasal 9 yang berbunyi: “Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”

Sehingga dengan demikian, usulan dari Partai Golkar tersebut tak ada hal yang baru dari gagasan itu, kecuali hanya untuk dagang pasal agar aturan Parliamentary Thereshold sebesar 5-7% didukung partai kecil, tetapi pada dasarnya aturan Parliamentary Thereshold jika dinaikkan sebesar 5% akan melenyapkan Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Kebangkitan Bangsa dan yang sangat kurang pas adalah mengorbankan suara rakyat yang tidak terwakili di parlemen menjadi lebih besar jika sebelumnya Parliamentary Thereshold 2,5% suara yang tidak terwakili adalah 19.086.060 suara (atau 18.33%) menjadi Parliamentary Thereshold 5% suara yang tidak terwakili 32,813,175 suara (atau 31,52%).•

*) Oleh: Efriza - Penulis buku Politik “PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD, Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html