Selasa, 01 Februari 2011

PEMILIHAN UMUM TETAP GUNAKAN SUARA TERBANYAK

Oleh: Efriza, Peneliti Politik dan Penulis Buku Politik
Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) Suara Terbanyak yang pernah diterapkan pada Pemilu 2009 lalu. Ternyata membawa momok menakutkan bagi calon anggota legislatif (Caleg) yang tidak terpilih. Banyak alasan yang dirumorkan ketika pembahasan revisi RUU Pemilu sekarang ini, misal, tidak ramah terhadap perempuan, akademisi akan kesulitan bersaing dengan politisi tua akibatnya regenerasi tersendat, menelan biaya mahal, dan antarcaleg satu partai politik bersaing ketat bahkan lebih ketat dibanding antarcaleg dari partai lainnya.
Persoalan ini memang tidak bisa dinafikan, tetapi hakikat pemilu yang sebenarnya adalah reward dan punishment dari masyarakat terhadap anggota wakil rakyat yang mewakilinya. Lihat saja, pada Pemilu 2009 lalu, jumlah anggota baru mendominasi DPR periode 2009-2014, yaitu mencapai 70,54%, dengan latar belakang beranekaragam. Ini menyatakan masyarakat tidak percaya terhadap anggota-anggota DPR lalu. Ini membawa konsekuensi anggota masyarakat dengan parlemen setelah pemilu hubungannya dimulai dari nol lagi.
Pernyataan-pernyataan di atas, sebenarnya juga tidak sepenuhnya dapat diterima begitu saja untuk sebuah pembenaran. Perempuan telah mendapatkan kuota 30% perempuan, dan sudah selayaknya perempuan juga berkompetisi bebas. Jika keterpilihan perempuan lebih kecil dibandingkan laki-laki ketika Pemilu 2009 lalu, itu membuktikan perempuan juga belum memberikan kepercayaan yang besar bagi pemilih.
Permasalahan regenerasi tersendat, sebenarnya tidak. Karena keterpilihan berdasarkan faktor usia relatif muda yakni 63,09%. Bahkan, jika kita melihat partai-partai dalam memberikan nomor urut bagi calon anggota legislatif mereka telah menempatkan orang-orang muda dinomor urut kecil, ini yang menyebabkan politisi senior banyak yang meradang kala itu. Artinya, korelasi nomor urut dan sistem pemilu yang dihasilkan karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni suara terbanyak, memiliki hubungan yang saling mengikat satu sama lain, meski tercipta pada waktu tidak bersamaan.
Sementara menyangkut biaya politik mahal, sebenarnya lebih disebabkan karena caleg-caleg tersebut gamang menghadapi sistem pemilihan yang berubah di tengah jalan. Ketika itu, biaya politik mahal disebabkan perebutan nomor urut, tapi saat terjadi perubahan sistem, berubah menjadi ongkos politik untuk mendapatkan suara dari masyarakat. Namun, ongkos politik ini tidak serta-merta diterima oleh masyarakat dengan memilihnya, mungkin saja menerima “hadiah” tersebut tetapi belum tentu memilihnya. Misal, ketika penulis meneliti daerah Sundawenang, Sukabumi, masyarakat kehilangan kepercayaan kepada caleg dari berbagai partai karena mereka sibuk hanya memberikan “hadiah” saat itu saja, tanpa menjelaskan apa yang akan dilakukannya untuk konstituennya ketika terpilih. Kebingungan masyarakat tersebut, diartikan mereka telah sampai kepada pemikiran pentingnya mereka sebagai pemilih untuk memilih caleg yang dapat membawa perubahan.
Terakhir, keputusan MK menggunakan sistem suara terbanyak, sudah dapat dipastikan anggota-anggota parlemen tetap akan menerapkan sistem itu pada Pemilu 2014. Sebab keputusan MK itu final dan mengikat, dan belum pernah ada satu kejadian DPR akhirnya mengabaikan keputusan MK. Jika ini terjadi, merupakan preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan dalam hubungan antarlembaga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html