Kamis, 13 Oktober 2011

MEMILIH SISTEM PEMILU UNTUK 2014

Efriza
Ketua Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)
Meskipun Pemerintah belum juga menyerahkan Daftar Investaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang harus dibahas bersama Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu di DPR. Namun, wacana memilih bentuk sistem pemilu apa yang akan diterapkan dalam Pemilu 2014 nanti, sudah memenuhi kolom-kolom surat kabar.
Sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009 diterapkan sistem baru. Yaitu, sistem pemilu proporsional terbuka, yang memadukan sedikit elemen sistem mayoritas-pluralitas (atau di Indonesia kerap disebut sistem distrik). Saat itu, selain memilih tanda gambar partai pemilih juga berhak memilih langsung caleg.
Sistem ini begitu rumit. Banyak menimbulkan pertentangan antarsesama caleg, antara partai dengan KPUyang tak seluruhnya benar-benar fasih mengartikulasikan resep-resep perhitungan itudll. Bahkan, hingga merebaknya kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa hasil pemilu. Maksud menghadirkan akuntabilitas melalui pemilihan orang, juga tak benar-benar bisa terjadi. Tak banyak masyarakat yang benar-benar mengetahui siapa wakil dari dapilnya. Imbasnya, eksprimen sistem proporsional terbuka pun dipertanyakan.
Usulan-usulan untuk Pansus RUU Pemilu
Sepertinya Indonesia sudah kadung memilih varian-varian yang terdapat dalam sistem representasi proporsional (RP) daftar. Sistem RP setidaknya ada empat jenis: Pertama, Daftar tertutup. Kursi yang dimenangkan parpol diisi dengan kandidat-kandidat sesuai dengan rangking mereka dalam daftar kandidat yang ditentukan oleh partai. Aspek negatif dari sistem daftar tertutup adalah: (1) pemilih tidak dapat menentukan pilihan siapa wakil dari partai mereka. (2) Daftar tertutup juga sangat tidak responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada caleg-calegnya menjelang pemungutan suara. Melewati aspek negatif tersebut, diusulkan, paling tidak, untuk caleg DPR, ditetapkan lewat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang melibatkan pengurus provinsi. Bahkan, jika perlu (melibatkan) pengurus kabupaten/kota, karena dapil adanya di sana.
Kedua, Daftar terbuka. Pemilih memilih parpol yang mereka sukai dan dalam parpol tersebut, juga memilih kandidat yang mereka inginkan untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Dengan sistem ini ada kemungkinan untuk mengubah urutan daftar kandidat di dalam daftar calon. Para pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang tersedia. Memilih kandidat dari partai-partai yang berbeda (ticket splitting) biasanya tidak diperbolehkan.
Sisi yang kurang menguntungkannya adalah: (1) Karena para caleg dari partai yang sama saling bertarung untuk memperoleh suara, jenis daftar terbuka ini dapat mengarah kepada konflik dan fragmentasi dalam partai. (2) Keuntungan dimana partai dapat menyusun daftar yang mencantumkan caleg yang beragam menjadi hilang. (3) Membuka ruang buat tampilnya orang-orang yang populer tapi tidak punya kapasitas politik. Misalnya artis (sebagai vote getter). (4) Dimanapun yang namanya sistem proporsional daftar terbuka (selalu terkait dengan suara terbanyak) itu, aktivitas money politics selalu tambah tinggi. Itu artinya, sistem proporsional daftar terbuka (suara terbanyak) itu membuka ruang yang lebar bagi pemilik untuk menjadi calon terpilih.
Ketiga, Daftar bebas. Tiap-tiap parpol menentukan daftar kandidatnya, dengan partai dan tiap-tiap kandidat ditampilkan secara terpisah dalam surat suara. Pemilih dapat memilih dari daftar partai sebagaimana adanya, atau mencoret atau mengulangi nama-nama, membagi pilihan mereka di antara daftar-daftar partai atau memilih nama-nama dari daftar manapun dengan membuat daftar mereka sendiri dalam sebuah surat suara kosong.
Kesempatan untuk memilih lebih dari seorang caleg dari daftar partai yang berlainan (dikenal sebagai Panachage), atau memilih lebih dari satu suatu untuk seorang caleg yang sangat mereka sukai (dikenal dengan istilah kumulasi).
Keempat, Daftar tetap (closed lists). Proporsional daftar tertutup dan proporsional daftar tetap mempunyai kemiripan. Yaitu pemilih hanya memilih tanda gambar partai. Bedanya, pada proporsional daftar tetap, nama caleg dicantumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sehingga para pemilih bisa melihat nama-nama itu sebelum mencoblos.
Meskipun juga telah ditawarkan usulan lain, seperti Cetro menawarkan penggunaan sistem Mixed Member Proportional (MMP), umumnya memadukan dua sistem besar, yaitu proporsional dan mayoritas/pluralitas. Umumnya varian proporsional daftar list (List PR) dengan varian first past the post (FPTP).
Tampaknya, jika melihat perdebatan di parlemen ada kemungkinan mengerucut terhadap dua pemilihan sistem yaitu, Pertama, dengan memadukan sistem proporsional tertutup dengan terbuka, atau memadukan proporsional tertutup dengan distrik, atau MMP. Atau pilihan Kedua, tetap menggunakan sistem proporsional terbuka (atau lebih dikenal suara terbanyak).
Pada dasarnya Pemilihan Sistem Pemilu, sampai pada kesimpulan para pakarseperti Dieter Nohlenbahwa tak ada satu sistem pemilu pun yang dapat diklaim sebagai paling baik. Tapi, di antara sistem-sistem tersebut, negara-negara yang menerapkannya bisa memilih yang paling cocok sesuai konteks negara tersebut. Asal jangan terulang lagi, seperti Pemilu Legislatif 2009 yang ambigu, dikatakan proporsional dengan daftar calon terbuka tetapi tidak ditetapkan dengan suara terbanyak, sehingga ini yang menimbulkan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html