Jumat, 18 November 2011

Menerka Peluang Partai Nasdem di Pemilu 2014

Oleh: Efriza (Koordinator Forum Demokrasi untuk Indonesia/FD.I)

Di era reformasi setelah dibukanya kran kebebasan mendirikan partai politik (Parpol), nuansa politik bangsa sangat disesaki oleh aktivitas parpol. Berbagai motif pendirian parpol mendasari kehadiran partai-partai itu, seperti: (1). Partai hadir atas dasar keinginan orang-orang yang berkuasa dan berduit. (2). Kebutuhan orang untuk berpartai sebagian besar masih didominasi motif ekonomi. Orang masih memimpikan, parpol adalah tempat menggeruk keuntungan dan memperkaya diri, keluarga, dan kelompok. (3). Ingin mendapatkan kekuasaan. Baik itu kekuasaan eksekutif, dan legislatif. Dengan berbagai alasan, misalnya, menawarkan ideologi, gagasan, menawarkan struktur yang baru yang berbeda. Tetapi kembali lagi ujung-ujungnya adalah mendapatkan kekuasaan. Begitu pula, perpecahan dalam internal partai, mengakibatkan terbentuknya partai baru, ujung-ujungnya juga ingin mendapatkan kekuasaan. (4). Transaksional, misalnya jika gagal partai yang didirikannya itu kemudian dijual ke partai lain, dan (5). Bargaining posisition, untuk mendapatkan nomor urut “peci” atau struktur di DPP Partai lain yang dimasuki setelah partainya gagal.
Kondisi ini menyebabkan partai tidak lebih sebagai event organizer dari orang-orang yang ingin jadi pejabat publik, apakah itu untuk anggota legislatif atau eksekutif, termasuk juga sekarang ini untuk anggota yudikatif.
Jika dilihat pada era reformasi, apalagi dua kali Pemilu pada 2004 dan 2009, keberhasilan Partai Demokrat, Partai Hanura, dan Partai Gerindra untuk memperoleh kursi di parlemen. Menyebabkan gejala pendirian partai baru untuk Pemilu 2014 dan harapan dipilihnya partai baru sebagai alternatif dari kurang pekanya partai-partai lama membawa aspirasi rakyat, dianggap masih besar. Pertanyaannya, Apakah Pemilu 2014 akan memunculkan Partai baru yang berhasil meraih kursi di Parlemen?
Adakah Peluang Partai Nasdem?
Munculnya Partai Nasdem tidak terlepas dari diterimanya organisasi masyarakat (Ormas) Nasional Demokrat oleh semua lapisan masyarakat termasuk mereka yang masih aktif di dalam partai-partai politik. Ormas ini baru muncul setelah Surya Paloh kalah dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar.
Dapat dipastikan Partai Nasdem semestinya tetap menggunakan nama Partai Nasional Demokrat, tetapi karena nama Partai Nasional Demokrat telah terdaftar namanya di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengikuti verifikasi parpol pada Pemilu 2009 lalu, dengan nomor urut 80, Ketuanya adalah Drs. Hengki Baramuli, MBA, dan alamat DPP Jalan Jenggala I No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan-12810. Jika tetap dipaksakan didaftarkan maka konsekuensinya jelas harus ganti nama, dan belum tentu masyarakat sadar bahwa Partai Nasional Demokrat adalah embrio dari Ormas Nasional Demokrat, sehingga dengan kesadaran sendiri pemilihan nama Partai Nasdem sebagai langkah menerima pencitraan yang sudah melekat dalam menyingkat Nasional Demokrat menjadi Nasdem. Partai Nasdem pun akhirnya dinyatakan oleh Kementerian Hukum dan HAM lolos sebagai parpol baru yang berhak mengikuti Pemilu 2014.
Geliat Partai Nasdem begitu menyita perhatian publik karena kekuatannya di tingkat infrastruktur partai yang diklaimnya sudah mencapai 100 persen cabang di tingkat kecamatan; kemampuan dalam mengelola partai juga tidak perlu diragukan oleh kehadiran sebut saja Ahmad Rofiq sebagai Sekjen Partai Nasdem, Rofiq bukan orang baru yang mampu menata infrastruktur partai baru sebelumnya dia telah sukses sebagai Sekjen membawa Partai Matahari Bangsa (PMB) lolos sebagai partai peserta pemilu 2009 lalu; di sisi finansial partai tersebut cukup kuat dengan banyaknya kalangan pengusaha yang belakangan juga ikut bergabung; serta sumber daya mobilisasi media yang kuat berkat bergabungnya penguasa MNC Media Harry Tanoesoedibjo yang memperkuat kehadiran Surya Paloh dengan Media Group-nya.
Namun melihat dua kali Pemilu tersebut, sepertinya dewi fortuna diprediksi tidak akan berpihak kepada Partai Nasdem. Sebab, partai ini tidak memiliki tokoh yang sangat populer yang bisa membuat partai itu melonjak dramatis. Ini yang terjadi pada Partai Demokrat di Pemilu 2004 yang memiliki Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Begitu juga, dengan Partai Hanura melalui ketokohan Wiranto, maupun Partai Gerindra dengan ketokohan Prabowo Subianto. Sementara Partai Nasdem memang memiliki figur Surya Paloh dan Harry Tanosoedibjo, namun sulit untuk mengikuti kesuksesan ketiga partai tersebut, Surya Paloh dukungannya masih kecil. Sementara Harry Tanoe malah tidak dikenal oleh masyarakat.
Dukungan Surya Paloh diduga masih tetap kecil, karena kepopuleran dari kemunculan Surya Paloh berbeda dengan ketiga figur di atas. Misal, figur SBY dan Wiranto dapat mendongkrak popularitas partai karena kekalahan mereka yang dianggap sebagai kesuksesan tertunda dalam perebutan jabatan eksekutif. Sementara, Prabowo Subianto, dianggap sebagai tokoh alternatif dan berasal dari figur Cendana, sehingga menyita perhatian publik serta yang rindu tokoh dari Cendana. Sementara Surya Paloh muncul bukan karena kekalahan dalam perebutan jabatan eksekutif, melainkan dalam tataran yang kecil saja, di internal Partai Golkar dalam pemilihan ketua umum, figur Surya Paloh kalah dengan Aburizal Bakrie. Di sisi lain, Surya Paloh juga bukan tokoh alternatif, karena dia tidak begitu mencuri perhatian sejak Pemilu 2009 lalu.
Di samping itu, seperti diungkapkan oleh Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) tidak adanya tokoh dari Partai Nasdem yang dapat menjadi magnet electoral yang kuat, khususnya di wilayah Jawa, padahal jumlah pemilihnya sangat signifikan.
Dapat dipahami bergabungnya Harry Tanosoedibjo, karena Surya Paloh masih malu-malu untuk menyatakan dirinya di Partai Nasdem. Selain itu, popularitas Surya Paloh tidak bisa terus meroket, serta Surya Paloh sulit menarik ketertarikan masyarakat di pulau Jawa terhadap dirinya yang bukan figur dari Jawa, apalagi harapan Surya Paloh yang begitu besar terhadap Sri Sultan Hemengkubuwono X kandas, karena Sri Sultan malah memilih untuk hengkang dari Ormas Nasional Demokrat, karena tidak setuju dengan pembentukan Partai Nasdem. Sehingga Surya Paloh merasa perlunya figur dari Jawa yang kuat atau setidaknya yang mampu memobilisasi dirinya secara terus menerus untuk menjadi daya tarik (atau alternatif) dari figur selain Surya Paloh.
Di sisi lain, solidnya Partai Nasdem diragukan. Sebab, pembentukan Ormas Nasional Demokrat tak bisa dipungkiri terdiri dari beragam unsur politisi yang berasal dari anggota partai-partai politik. Dapat diprediksi, politisi-politisi itu akan memilih kembali ke partainya menjelang Pemilu 2014, karena sebagian dari mereka juga merupakan anggota DPR dan mereka juga akan menghitung kalkulasi bahwa keterpilihan mereka kembali dalam Pemilu lebih penting, apalagi adanya ambang batas parlemen yang mungkin berkisar antara 3 atau 4 persen yang menyulitkan peluang partai baru. Akibatnya, kekisruhan secara internal ini menyebabkan massa terbesar Partai Nasdem yang didapat dari Ormas Nasional Demokrat pun akan pergi, sebab massa tersebut diduga ditempatkan di Partai Nasdem karena didatangkan atas adanya patron tersebut dari beragam unsur politisi, sehingga demikian jika patron itu memilih tidak masuk Partai Nasdem dan kembali ke Partainya, maka massa tersebut juga akan beranjak pergi. Alasan analisis ini adalah, bisa saja para pengurusnya di Partai Nasdem adalah orang yang dibayar untuk dimasukkan sebagai langkah menyiasati aturan dan “bermain” dua kaki di Ormas Nasional Demokrat sehingga tidak menyebabkan politisi itu dipecat dari partainya dibandingkan dia harus bermain langsung di Partai Nasdem.
Politisi itu menganggap yang penting saat ini parpol itu lolos administrasi meski sebenarnya nama pengurus itu adalah orang bayaran. Jika ini yang terjadi, belum tentu nanti para pengurus-pengurus parpol tersebut, yang tetap bertahan di Partai Nasdem, bisa diterima dan dipilih masyarakat. Bisa saja, masyarakat malas memilih, karena tidak adanya partai alternatif, apalagi wakil rakyat di Senayan dengan adanya dua partai baru Hanura dan Gerindra tidak bisa membawa perubahan ke arah perbaikan, kedua hal ini yang memengaruhi jumlah Golput di Pemilu 2014 meningkat, bahkan angka partisipasi bisa jadi akan turun mendekati angka 50 persen.•

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html