Jumat, 18 November 2011

PERKAWINAN POLITIK 2011

Oleh: Efriza, Koordinator Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)

Tepatnya 24 November ini mata masyarakat Indonesia akan tertuju pada perhelatan Pernikahan besar dari orang nomor satu di Indonesia yaitu Pernikahan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Siti Ruby Aliya Rajasa putri sulung Hatta Rajasa.
Pernikahan ini dianggap sebagai perkawinan politik. Pertanyaannya, Apa kesan yang tersurat dari pernikahan ini? Lalu, Mengapa dikatakan perwakinan politik? Dan, Mengapa pernikahan ini dikaitkan dengan politik dan kepemiluan di Indonesia? Tulisan ini mencoba menganalisis pernikahan dikaitkan dengan perkembangan perpolitikan ke depan.
Pernikahan Dua Partai Biru
Jauh-jauh hari rencana pernikahan Ibas-Aliya dikait-kaitkan dengan politik, tidak seperti pernikahan sepasang insan biasa yang memadu kasih lalu menuju sebuah ikatan pernikahan. Tak dapat dipungkiri, pernikahan ini bukan pernikahan biasa dari anak seorang Presiden dengan warga negara biasa atau dari kalangan terhomat seperti pernikahan Anisa Pohan-Agus Yudhoyono.
Pernikahan ini dapat dikatakan perkawinan politik, antara Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Partai Demokrat (PD). Jika saja yang menikah adalah anggota PAN dengan Ketua DPP PD atau sebaliknya, tidak akan dilihat sebagai perkawinan politik. Tetapi ini yang menikah adalah putri sulung dari Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dengan Ibas yang merupakan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat dan adalah putra bungsu dari Presiden SBY sekaligus pendiri Partai Demokrat. Artinya, telah terjadi perkawinan dua partai biru. Kedua partai tersebut juga sama-sama diuntungkan karena berdasarkan struktur partai, posisi Ketua ataupun Sekjen sama-sama pengambil keputusan tertinggi dari Partai.
Koalisi Permanen
Perkawinan politik ini secara tersurat juga menimbulkan asumsi bahwa PAN dengan PD akan melakukan koalisi permanen. Asumsi ini dapat dilihat dari: telah terjadinya ikatan resmi kedua partai tersebut melalui pernikahan dari kedua petinggi partai tersebut ― ikatan ini jika kita andaikan dan kaitan melebihi ikatan dari kontrak politik partai-partai koalisi pendukung SBY-Boediono, sebab tercatat dalam lembaran negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA), tidak seperti kontrak politik yang hanya diketahui oleh segelintir golongan. Secara politis, ikatan ini juga memperlihatkan telah terjadinya ikatan secara ideologis, PAN dengan PD bukan partai yang berbeda ideologi, keduanya sama-sama Nasionalis-Religius.
Sejak 2004 lalu, PAN telah mendukung pemerintahan Yudhoyono bahkan sampai dua periode ini. Dengan peningkatan kerjasama dari asumsi koalisi permanen ini, PD sangat diuntungkan karena efektivitas koalisi dapat lebih terjamin bahwa PAN melalui anggota-anggotanya di Parlemen tidak akan melakukan manuver yang membahayakan kebijakan pemerintah. Di sisi lain, tampak tersurat bahwa PAN dan PD, akan melakukan koalisi di Pemilihan-pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) ke depannya, misalnya saja, Pemilukada DKI Jakarta 2012 ini.
Bahkan, PAN sebagai partai tengah dengan perolehan suara 6.254.580 total suara 6,01% atau (8,21% kursi) akan sangat diuntungkan dengan koalisi permanen bersama PD sebagai partai pemenang dengan perolehan suara 21.703.137 total suara 20,4% atau (26,43% kursi). Koalisi ini juga satu-satunya yang telah meyakinkan melangkah menuju Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), dibandingkan partai-partai lain.
Jika kita simulasi berdasarkan syarat Pilpres 2009 lalu, yang mensyaratkan “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan memperoleh kursi paling sedikit 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 20% (dua puluh persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pilpres.” Kita berandai suara PAN turun menjadi 4,01% sementara suara PD jika merosot tajam menjadi 15%, mereka juga tidak perlu khawatir, sekali lagi perlu ditegaskan, koalisi ini telah meyakinkan melangkah menuju Pilpres, karena PD memiliki “anak emas” di koalisi pendukung pemerintah, yakni PKB. Mengapa PKB dikatakan anak emas, kita lihat saja dari reshuffle hanya PKB saja yang tidak digeser atau diganti maupun dikurangi jatah menterinya, dan bagaimana sikap PKB yang begitu konsisten mendukung Pemerintah di Parlemen. Jika PKB dengan perolehan suara 5,146,122 total suara 4,94% atau (5,00% kursi), kemudian perolehan suara PKB melorot tetapi masih memenuhi pengandaian 3% Parliamentary Threshold (PT) di Pemilu 2014. Andaipun jika PT 4%, lalu terjadi kemerosotan perolehan suara beberapa partai serta penurunan drastis angka partisipasi pemilih, kemudian menyebabkan tersisa 6 partai politik yang berhasil lolos ke parlemen, maka koalisi ini cukup mencari satu partai politik saja untuk diajak berkoalisi yakni antara PPP atau PKS, yang diduga masih merupakan partai papan tengah dan “loyal” kepada pemerintahan selama dua periode sebelumnya.
Koalisi permanen ini juga telah memperlihatkan akan ada kejutan bahwa Presiden 2014, bisa saja PD mendukung Hatta Rajasa sebagai calon Presiden yang diusung PAN. Jika kita telusuri pemberitaan bahwa Presiden SBY beberapa kali menyatakan, bahwa istri, anak, dan keluarganya tidak akan mencalonkan diri di Pemilu 2014, bahkan Ketua Umum Partai Demokrat sepertinya juga tidak akan diusung karena terbelenggu berbagai kasus korupsi yang menyeret namanya. Sementara, popularitas Hatta Rajasa dinilai lebih populer daripada Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie dari sisi pemberitaan di surat kabar nasional, seperti hasil survei Developing Countries Studies Center (DCSC Indonesia). Bahwa, Hatta Rajasa ditempatkan oleh media dengan porsi terbanyak 24,6%, disusul Abu Rizal Bakrie 21,2%. DCSC Indonesia melakukan analisis terhadap pemberitaan 7 surat kabar nasional sebagai metode surveinya selama periode 18 Oktober hingga 18 Desember 2010. Dari survei tersebut, terdapat 1.185 artikel yang terkait sejumlah nama tokoh parpol. Apalagi, isu yang dihembuskan Wikileaks dibulan Agustus 2011, bahwa negeri Paman Sam, telah memonitor bahwa Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie akan maju dalam Pilpres 2014, bagaimanapun isu ini sangat perlu diperhatikan karena Pilpres selalu dikaitkan dengan dukungan dari negeri Paman Sam.
Jika dikaitkan dengan bahasa kekeluargaan, Hatta Rajasa mendapatkan penghargaan dari Ibas (atau Partai Demokrat) sebagai kepatuhan menantu terhadap mertua. Apalagi, Hatta Rajasa sudah menunjukkan loyalitasnya selama dua periode terhadap SBY, Ayah dari Ibas dalam mengemban jabatan Presiden. Bahkan, memungkinkan Ibas dipersiapkan untuk menjadi Calon Presiden (Capres) di Pemilu 2019, sebagai rotasi kepemimpinan dari tokoh tua kepada tokoh muda, apalagi umur Ibas di Pemilu 2019 telah memenuhi persyaratan mengajukan diri sebagai capres yakni: “berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun.”
Antara Politik dan Etika
Jika berbicara etika dan rasa percaya masyarakat yang tinggi terhadap Presiden SBY. Seharusnya Hatta Rajasa, mundur dari jabatan menteri, meski penunjukkan dan pemberhentian seorang menteri itu hak prerogatif Presiden. Sebab, akan sulit Presiden SBY bekerja secara objektif, baik melakukan instruksi, maupun penilaian dan evaluasi kinerja menteri-menteri yang notabene sebagai pembantu presiden, apalagi sampai melakukan reshuffle jika kinerja menteri tersebut tidak mengalami peningkatan berdasarkan hasil penilaian dari Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4R). Ini dikarenakan setelah pernikahan tersebut, posisi Hatta Rajasa adalah Besan dari SBY, meski dalam posisi jabatan negara Hatta Rajasa sebagai menteri dari pemerintahan SBY-Boediono, singkatnya melihat posisi duduk dalam rapat antara menteri dan presiden saja sudah tampak kurang sopan, juga dipastikan akan terjadi perasaan canggung untuk memberi instruksi apalagi menegur, ini terjadi dalam kacamata hubungan kekeluargaan dalam pernikahan tersebut. Kondisi ini sangat riskan dengan posisi Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang harus mendapatkan penilaian objektif, dalam kinerjanya menangkal krisis ekonomi global.
Secara etika pula, ke depannya jika nantinya Aliya Rajasa tertarik untuk terjun ke politik, misal menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg). Semestinya Aliya menjadi anggota atau pengurus dan caleg dari PD bukan PAN, selain karena mengikuti jejak suaminya juga sebagai kepatuhan seorang istri kepada suami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html