Senin, 17 Oktober 2011

Dilema: Presidensiil, Multipartai, dan Sang Presiden

Efriza
Ketua Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) dan Penulis buku Politik
Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem multipartai (multi-party system). Pola sistem multipartai secara teoritis, lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada pola dwi-partai.
Namun, Pertanyaan mendasar yang selalu dikemukakan berkenaan dengan sistem pemerintahan presidensiil berpaduan dengan multipartai adalah: mengapa multipartai dan sistem presidensiil sulit digabungkan? Penulis-penulis mancanegara memang telah menyatakan peringatannya, jika sistem multipartai berpadu dengan sistem presidensiil.
Sistem Presidensiil versus Multipartai
Misal, Juan Linz dan Arturo Velenzuela, dalam The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin Amerika, adalah yang membangun satu tesis menarik, presidensialisme yang diterapkan di atas struktur politik multipartai cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta akan menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Tesis tersebut diperkuat oleh studi Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America, yang berpendapat, kombinasi tersebut akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government), kondisi ketika presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen.
Sementara bagi Scott Mainwaring sendiri menyatakan, sistem multipartai bisa mendorong hubungan eksekutif dan legislatif menjadi deadlock, dibandingkan jika sistem multipartai dipadukan dengan sistem parlementer. Dalam sistem dwi-partai, partai pendukung presiden biasanya merebut suara mayoritas, atau sekurang-kurangnya mendekati hal itu. Ini terjadi jika hanya ada dua partai yang bersaing dalam pemilu. Namun, di dalam sistem multipartai, kejadian seperti itu lebih sulit dicapai.
Kombinasi presidensiil dan multipartisme lebih menyulitkan karena sulitnya membangun koalisi antarpartai. Koalisi multipartai dalam sistem parlementer berbeda dengan koalisi antarpartai dalam sistem presidensiil dalam dua hal pokok, yakni: Pertama, di dalam sistem parlementer, koalisi partai-partai yang memilih kepala pemerintahan dan anggota kabinet tetap bertanggungjawab untuk memberi dukungan terus-menerus kepada pemerintahan yang terbentuk. Sedangkan dalam sistem presidensiil, presiden terpilih membentuk sendiri kabinetnya, dan independen terhadap pengaruh parpol lain maupun lembaga legislatif.
Meski ada sejumlah anggota partai lain yang duduk di kursi kabinet, namun hal itu lebih merupakan ikatan individual, tanpa mengikat komitmen yang lebih permanen dengan parpol asalnya. Jadi, partai-partai sewaktu-waktu bisa menarik dukungan pada pemerintahan tersebut; dan Kedua, faktor pendorong bagi partai-partai untuk memutus koalisi biasanya lebih kuat di dalam sistem presidensiil. Dalam sistem presidensiil, keterlibatan aktivis partai di dalam kabinet akan mengkhawatirkan pudarnya identitas partai di mata publik, karena mereka hanya menjadi bagian dari kabinet, yang menonjol hanyalah partai yang mendukung si presiden. Dengan kondisi seperti ini, wajar jika ada kesempatan partai-partai akan menarik dukungan mereka pada presiden. Ketiga, secara umum, keinginan parpol membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensiil.
Upaya membangun koalisi tetap saja menjadi langkah darurat minority president. David Altman mengemukakan, “coalition are not institutionally necessary” Argumentasi Altman, “sistem presidensiil not conducive to political cooperation.”
Meski demikian, tetap saja dampak sistem multipartai yang penting untuk dicatat adalah keharusan pembentukan pemerintahan koalisi (governing coalition), yang dalam praktik di masa lalu banyak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan strategis karena mempertimbangkan banyak faktor, Milton C. Cumming menulis, “The existence of several parties can make itu more difficult to form a stable governing coalition than is the face in two-party systems.” Selanjutnya, “…such coalition are often fragile. At one extreme, governments fall repeteadly, and a country with a multiparty system may have three, or four, or more governments in one year.”
Banyak kalangan meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintah dalam sistem presidensiil. Misalnya, Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh dalam tulisan “Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialialism and Parliamentarism” mencatat banyak pendapat yang meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem multipartai, seperti: (1) Institutions shape incentives: presidentialism generates fewer or weaker incentives to form coalitions.(2) Coalitions are difficult to form and rarely, ‘only exceptionally,’ do form under presidentialism. (3) When no coalitions is formed under presidentialism, a ‘long-term legislative impasse’ ensues. (4) ‘There is no alternative but deadlock.’ (5) ‘The norm is conflictual government.’ (6) as a result, ‘the very notion of majority government is problematic in presidential systems without a majority party.’ (7) ‘Stable multi-party presidential democracy…is difficult. (8) ‘Presidential systems which consistently fail to provide the president with sufficient legislative support are unlikely to prosper.’
Bahkan, menjawab pertanyaan diatas, Scott Mainwaring dalam “Presidentialism in Latin Amerika” mengatakan: “The combination of fractionalized party system and presidentialism is incoducive to democratic stability because it easily creates difficulties in the relationship between the president and the congress. To be effective, government must be able to push through policy measures, which is difficult to do when the executive faces a sizeable majority opposition in the legislature.”
Dilema Sang Presiden
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampaknya sangat merasakan problematika sistem presidensiil dan multipartai tersebut. Sehingga jauh-jauh hari dalam pemilihan presiden (Pilpres), SBY yang mencalonkan diri kembali menjadi presiden perlu melakukan kontrak politik dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Bandung. Kondisi ini pula yang memperlihatkan, bahwa penyusunan kabinet dan perombakan kabinet yang merupakan hak prerogatif presiden tergadaikan akibat manuver dan desakan sejumlah partai politik.
Problematika ini semakin kentara dengan kelemahan dari karakter Presiden SBY (Moch Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti, Eds, 2009) seperti: (1) Kurang gigih dalam memperjuangkan ide-idenya; (2) Terlalu banyak pertimbangan sehingga lambat mengambil keputusan; (3) Terkesan ragu-ragu karena menunggu banyak masukan dari pihak lain sebelum membuat keputusan; (4) Lambat membuat keputusan; (5) Daftar secara emosional dan emosi tidak lepas; (6) Kurang tegas dan kurang memiliki kontrol terhadap orang; dan (7) Dapat menimbulkan kesan berpura-pura dan tidak menampilkan yang sebenarnya.
Dilema ini, sebenarnya tidak perlu terjadi, jika presiden menyadari, bahwa pertanggungjawaban konstitusional pemerintah, bukan merupakan tanggung jawab partai politik koalisi, tapi tanggung jawab Presiden. Pemerintah adalah pemegang kekuasaan. Ini artinya segala pemenuhan hak asasi warga negara termasuk keamanan, ketertiban, kesejahteran dan layanan umum lainnya adalah menjadi tanggungjawab presiden. Di sisi lain perlu dipahami pula, bahwa para menteri tidak bertanggungjawab secara konstitusi kepada rakyat. Mereka hanya pembantu yang bertanggungjawab kepada presiden.
Dalam UUD 1945 juga telah tegas dinyatakan, tertulis kewenangan mengenai hak prerogatif Presiden yaitu, mengangkat dan memberhentikan menterinya. Seperti tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) berbunyi: “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Bahkan, dengan tegas dikalimat tersebut tidak tercantum bahwa Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara harus melibatkan partai koalisinya.
Oleh karena itu, presiden sebaiknya segera menyadari untuk membuang halusinasi, bahwa mutlipartai sedang mencengkeram presiden. Partai-partai tidak akan bisa berbuat apapun dengan alasan politis. Kalaupun presiden mau diberhentikan dengan alasan politis oleh seluruh parpol, maka tidak serta merta mereka bisa melakukannya, karena dalam sistem presidensiil parpol tidak bisa memberhentikan presiden.
Menutup pembahasan ini, Penulis menyatir kalimat A. Irmanputra Sidin, Pakar Hukum Tata Negara Indonesia, bahwa “Sekarang ini jika kita mempelajari sikap Presiden, penilaiannya adalah Presiden SBY terlalu ragu oleh partai politik. Oleh karenanya, presiden harus keluar dari mainstream dari partai politik pendukungnya. Presiden harus berani meninggalkan partai termasuk Partai Demokrat, untuk menghindari masuknya konflik partai di dalam istana. Bahkan, jabatan partai politik tidak boleh terus melekat pada seorang figur publik. Sebab, segala tindak tanduknya akan dilihat untuk kepentingan partai, bukan rakyat.” •

Kamis, 13 Oktober 2011

MEMILIH SISTEM PEMILU UNTUK 2014

Efriza
Ketua Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)
Meskipun Pemerintah belum juga menyerahkan Daftar Investaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang harus dibahas bersama Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu di DPR. Namun, wacana memilih bentuk sistem pemilu apa yang akan diterapkan dalam Pemilu 2014 nanti, sudah memenuhi kolom-kolom surat kabar.
Sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009 diterapkan sistem baru. Yaitu, sistem pemilu proporsional terbuka, yang memadukan sedikit elemen sistem mayoritas-pluralitas (atau di Indonesia kerap disebut sistem distrik). Saat itu, selain memilih tanda gambar partai pemilih juga berhak memilih langsung caleg.
Sistem ini begitu rumit. Banyak menimbulkan pertentangan antarsesama caleg, antara partai dengan KPUyang tak seluruhnya benar-benar fasih mengartikulasikan resep-resep perhitungan itudll. Bahkan, hingga merebaknya kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa hasil pemilu. Maksud menghadirkan akuntabilitas melalui pemilihan orang, juga tak benar-benar bisa terjadi. Tak banyak masyarakat yang benar-benar mengetahui siapa wakil dari dapilnya. Imbasnya, eksprimen sistem proporsional terbuka pun dipertanyakan.
Usulan-usulan untuk Pansus RUU Pemilu
Sepertinya Indonesia sudah kadung memilih varian-varian yang terdapat dalam sistem representasi proporsional (RP) daftar. Sistem RP setidaknya ada empat jenis: Pertama, Daftar tertutup. Kursi yang dimenangkan parpol diisi dengan kandidat-kandidat sesuai dengan rangking mereka dalam daftar kandidat yang ditentukan oleh partai. Aspek negatif dari sistem daftar tertutup adalah: (1) pemilih tidak dapat menentukan pilihan siapa wakil dari partai mereka. (2) Daftar tertutup juga sangat tidak responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada caleg-calegnya menjelang pemungutan suara. Melewati aspek negatif tersebut, diusulkan, paling tidak, untuk caleg DPR, ditetapkan lewat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang melibatkan pengurus provinsi. Bahkan, jika perlu (melibatkan) pengurus kabupaten/kota, karena dapil adanya di sana.
Kedua, Daftar terbuka. Pemilih memilih parpol yang mereka sukai dan dalam parpol tersebut, juga memilih kandidat yang mereka inginkan untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Dengan sistem ini ada kemungkinan untuk mengubah urutan daftar kandidat di dalam daftar calon. Para pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang tersedia. Memilih kandidat dari partai-partai yang berbeda (ticket splitting) biasanya tidak diperbolehkan.
Sisi yang kurang menguntungkannya adalah: (1) Karena para caleg dari partai yang sama saling bertarung untuk memperoleh suara, jenis daftar terbuka ini dapat mengarah kepada konflik dan fragmentasi dalam partai. (2) Keuntungan dimana partai dapat menyusun daftar yang mencantumkan caleg yang beragam menjadi hilang. (3) Membuka ruang buat tampilnya orang-orang yang populer tapi tidak punya kapasitas politik. Misalnya artis (sebagai vote getter). (4) Dimanapun yang namanya sistem proporsional daftar terbuka (selalu terkait dengan suara terbanyak) itu, aktivitas money politics selalu tambah tinggi. Itu artinya, sistem proporsional daftar terbuka (suara terbanyak) itu membuka ruang yang lebar bagi pemilik untuk menjadi calon terpilih.
Ketiga, Daftar bebas. Tiap-tiap parpol menentukan daftar kandidatnya, dengan partai dan tiap-tiap kandidat ditampilkan secara terpisah dalam surat suara. Pemilih dapat memilih dari daftar partai sebagaimana adanya, atau mencoret atau mengulangi nama-nama, membagi pilihan mereka di antara daftar-daftar partai atau memilih nama-nama dari daftar manapun dengan membuat daftar mereka sendiri dalam sebuah surat suara kosong.
Kesempatan untuk memilih lebih dari seorang caleg dari daftar partai yang berlainan (dikenal sebagai Panachage), atau memilih lebih dari satu suatu untuk seorang caleg yang sangat mereka sukai (dikenal dengan istilah kumulasi).
Keempat, Daftar tetap (closed lists). Proporsional daftar tertutup dan proporsional daftar tetap mempunyai kemiripan. Yaitu pemilih hanya memilih tanda gambar partai. Bedanya, pada proporsional daftar tetap, nama caleg dicantumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sehingga para pemilih bisa melihat nama-nama itu sebelum mencoblos.
Meskipun juga telah ditawarkan usulan lain, seperti Cetro menawarkan penggunaan sistem Mixed Member Proportional (MMP), umumnya memadukan dua sistem besar, yaitu proporsional dan mayoritas/pluralitas. Umumnya varian proporsional daftar list (List PR) dengan varian first past the post (FPTP).
Tampaknya, jika melihat perdebatan di parlemen ada kemungkinan mengerucut terhadap dua pemilihan sistem yaitu, Pertama, dengan memadukan sistem proporsional tertutup dengan terbuka, atau memadukan proporsional tertutup dengan distrik, atau MMP. Atau pilihan Kedua, tetap menggunakan sistem proporsional terbuka (atau lebih dikenal suara terbanyak).
Pada dasarnya Pemilihan Sistem Pemilu, sampai pada kesimpulan para pakarseperti Dieter Nohlenbahwa tak ada satu sistem pemilu pun yang dapat diklaim sebagai paling baik. Tapi, di antara sistem-sistem tersebut, negara-negara yang menerapkannya bisa memilih yang paling cocok sesuai konteks negara tersebut. Asal jangan terulang lagi, seperti Pemilu Legislatif 2009 yang ambigu, dikatakan proporsional dengan daftar calon terbuka tetapi tidak ditetapkan dengan suara terbanyak, sehingga ini yang menimbulkan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan. 

Legitimasi Keterpilihan Anggota DPR Dipertanyakan?

Efriza
Ketua Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)
Pemilu Legislatif 2009 sudah dua tahun berlalu. Tapi borok Pemilu 2009 semakin menyegat tercium. Pada awal tahun 2011, Fernita Darwis, penulis buku “PEMILIHAN SPEKULATIF, Mengungkap Fakta Seputar Pemilu 2009,” me-launching bukunya. Kebetulan saya diminta untuk menjadi koordinator Tim Riset yang terdiri dari Peneliti dan Reporter sebuah Koran ternama di Indonesia.
Kami menemukan fakta bahwa penyelenggaraan Pemilu Legisatif tersebut bermasalah sejak proses data pemilih, penetapan parpol peserta pemilu, pencalonan, pemungutan suara, rekapitulasi dan penghitungan kursi hasil pemilu, hingga penetapan hasil Pemilu 2009. Hasil temuan kami ini ternyata menjadi kenyataan ketika merebak isu anggota-anggota terpilih seharusnya tidak berhak memiliki kursi tersebut, seperti yang sekarang telah bergulir hasil Panja Mafia Pemilu, bahwa memang ditemukan fakta adanya Surat MK yang dipalsukan.
Tapi sangat disayangkan, perjalanan surat palsu tersebut tidak ditelusuri secara benar-benar terang-benderang malah terkesan ingin menjatuhkan image salah satu partai saja, yakni Partai Demokrat. Memang tak bisa dimungkiri, Andi Nurpati, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sekarang menjadi Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat (PD) ditenggarai ikut terlibat pemalsuan surat tersebut yang diperuntukkan bagi kemenangan Dewi Yasin Limpo.
Faktanya, meski telah diketahui Andi Nurpati turut terlibat, tapi kepolisian hingga kini tidak dapat menjerat Nurpati menjadi tersangka. Bahkan, menariknya sebelum penetapan anggota DPR terpilih, beredar isu bahwa adanya 16 surat Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipalsukan terkait hasil sengketa hasil pemilu. Semestinya, persoalan ini ditelusuri, kita sudah mendengar kabar bahwa adanya surat panitera MK yang ditandatangani oleh Zaenal yang lainnya, yang tidak sesuai amar. Seperti, dalam amar putusan MK hanya menyebut suara PPP atau suara partai dan sama sekali tidak menyebut nama Ahmad Yani (PPP). Kondisi ini tak pelak, mengubur keberhasilan Usman M. Tokan (PPP) mendapatkan kursi tersebut. Bahkan, atas kasus ini Usman M. Tokan sudah melaporkan kasus ini pada Juni 2010 ke Bareskrim dengan Nomor LP/396/VI/2010/BARESKRIM.
Perkembangan kasus ini adalah, merebaknya kasus Halmahera Barat. Kasus Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, bermula saat pemilihan legislatif 2009, M Syukur Mandar selaku caleg Partai Hanura, mengklaim mendapat 18.179 suara di Halmahera Barat.
Namun, versi KPU setelah dihitung ulang Mandar hanya memperoleh 12.714 suara. Dampaknya suara Partai Hanura secara keseluruhan di Maluku Utara turun dari 40.175 suara menjadi 35.591 suara. Konsekuensinya, kursi DPR yang seharusnya menurut Syukur menjadi haknya itu berpindah ke orang lain.
Kasus gugatan Syukur mulai disidangkan di MK pada 12 Mei 2009. Setelah serangkaian sidang, pada 22 Juni 2009 MK memutuskan menolak gugatan Syukur. Syukur menuduh KPU menggunakan data rekapitulasi palsu untuk bukti ke MK sehingga dia kalah.
Atas kasus ini, status Ketua KPU sesuai versi Kejaksaan Agung menjadi tersangka. Patokannya adalah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanggal 27 Juli 2011 dari Bareskrim Polri yang diterima Jaksa Agung Muda Pidana Umum. Setelah bocor ke publik, Bareskrim mengklarifikasi status Ketua KPU belum tersangka dan diakibatkan salah ketik dalam penyusunan SPDP, (www.republika.co.id).
Persoalan surat palsu ini harus segera diselesaikan secara terang-benderang. Kasus-kasus seperti ini bukan hanya masalah surat palsu, seperti kasus lainnya yang tidak terekspos adalah, ketika terjadi Hasil Perhitungan Ulang Tulang Bawang, yang menggeser posisi keterpilihan Itet (PDIP) digantikan oleh Erwin (PDIP) dengan selisih suara sekitar 800-900, tapi perkembangan kasus ini Erwin diberhentikan dari PDIP sekitar 3 bulan saja menikmati kursi empuk Senayan, namun sunyi dari pemberitaan media massa. Erwin di PAW menurut sumber Anggota DPR dari PDIP, bahwa, “Ada permasalahan internal partai terkait dengan hasil suara yang bersangkutan saat Pemilu 2009, setelah dilakukan klarifikasi dan pengumpulan data-data melalui Komite Disiplin Partai akhirnya DPP melakukan PAW terhadap yang bersangkutan.” Kasus lainnya, yakni terpidana tetap lolos menjadi anggota DPR, yang akhirnya Izzul Islam (PPP) harus di berhentikan oleh Badan Kehormatan (BK) DPR karena kasus Ijazah Palsu dalam keikutsertaan terdakwa pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bupati Lombok Barat.
Berbagai kasus tersebut memperlihat Pemilu 2009 lalu penuh spekulatif. Dan, derajat legitimasi keterwakilan hasil pemilu tersebut rendah, karena hasil pemilu tidak mewakili rakyat dan kehendak politik pemilih. Bahkan, yang memperihatinkan dari hasil Pemilu 2009 adalah Berapa Banyak Anggota DPR Yang Terpilih Bukan Wakil Rakyat Yang Dipilih Dan Terpilih Pada Pemilu 2009 lalu? Kasus ini harus segera dibongkar, sehingga yang terpilih adalah Wakil Rakyat Yang Dipilih dan Terpilih. 