Sabtu, 01 September 2012

Anomali Wajah DPR di Ruang Publik

http://www.rimanews.com/read/20120828/73604/anomali-wajah-dpr-di-ruang-publik Tue, 28/08/2012 - 11:34 WIB Oleh: Efriza* Gagasan ide lembaga perwakilan berkenaan diterapkannya demokrasi tidak lang­sung (indirect democracy) yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan nama parlemen. Fungsi-fungsi utama DPR seperti diatur Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 bahwa ada 3 (tiga) fungsi, yaitu, fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan tiga fungsi ini maka setiap anggota DPR juga diberikan hak-hak langsung oleh konstitusi yaitu Hak mengajukan pertanyaan. Hak menyampaikan usul dan pendapat (termasuk hak mengajukan rancangan undang-undang). Hak imunitas bahwa dia (anggota DPR) tidak bisa dituntut karena pendapat atau pernyataannya baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen berdasar tugas kedewanannya, seperti diatur dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945. Aturan Pasal 20A ayat (3) itu sebagai bukti bahwa satu-satunya jabatan negara yang secara individu langsung diberikan hak-hak oleh konstitusi, itu hanya anggota DPR. Hak menyampaikan pendapat­nya, hak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), dan lain sebagainya. Hanya Presiden saja yang bisa menyaingi lembaga DPR, karena presiden juga diatur hak-hak konstitusionalnya sebagai presiden. Misalnya, menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), presiden mengangkat kabinet, untuk mengimbangi kekuasaan Presiden dahsyat ini, maka Undang-Undang Dasar melekatkan langsung pada setiap anggota DPR. Kenyataannya dominasi partai politik dalam tubuh DPR begitu kuat bahkan boleh dikatakan partai politik sedang mencengkeram gedung perwakilan rakyat ini. Ketika partai politik itu seolah-olah mau dicantolkan seperti sisi mata uang dengan DPR itu. Maksudnya adalah partai politik itu dicangkokkan masuk dalam tubuh DPR itu. Itulah menjadi fraksi. Jadi, salah satu bentuk cengkeraman itu lahirlah yang namanya fraksi dalam tubuh parlemen itu. Sebenarnya istilah fraksi sama sekali tidak dikenal dalam konstitusi. Satu-satunya Pengaturan Konstitusi yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Fraksi hanyalah Pasal 22E ayat (3) yang berbunyi: ”Peserta Pemilu untuk memilih Anggota DPR dan Anggota DPRD adalah partai politik.” Seharusnya anggota dewan itu ketika terpilih, meskipun dia dari partai, dia sudah tidak sepenuhnya menjadi hak partai. Sudah harus dibagi antara untuk partai dan rakyat. Bahkan sebenarnya, kedaulatan ini milik rakyat berdasar UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Partai bukan organisme hidup yang berbicara jasa. Kalau mulai berpikir dan berbicara jasa maka di situlah peluang power tend to corrupt bagi elite-elite partai itu. Akhirnya, negara ini dibajak atas nama partai politik. Dibajak oleh elite atas nama kebesaran partai politik. Itu juga yang terjadi sekarang, DPR dibajak, presiden dibajak, bahkan mungkin kekuasaan kehakiman juga sebentar lagi dibajak atas nama partai politik oleh elite-elite. Misal, kita lihat, presiden saja menentukan kabinet yang notabene prerogatif, nyatanya tidak bisa dia. Presiden, tunduk pada riil politik atas nama koalisi. Ini artinya, negara ini sedang dibajak oleh elite-elite yang mengatasnamakan partai politik. Jadi tidak dibenarkan seperti ini. Jika dibenarkan maka partai mau semau-maunya. Munculnya fraksi ini sebagai kepanjangan tangannya pranata partai politik yang sebenarnya di luar dari parlemen. Ini yang membuat bak siapapun yang terpilih menjadi anggota DPR menganggap meskipun dia terpilih menjabat sebagai anggota DPR maka kerja yang harus dilakukannya adalah kerja kolektif bukan kerja individual. Maka banyak anggota DPR, Saya yakin, tidak menyadari tanggung jawab individualnya sebagai anggota DPR, hak-hak individualnya sebagai anggota DPR. Misalnya, berapa banyak anggota DPR yang memikirkan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang-nya secara personal? Jika sekarang Lembaga DPR menjadi sorotan negatif. Apakah kita salahkan anggota DPR? Tidak, karena sistemnya. Andaikan anggota DPR itu mengajukan usulan secara personal, dan ketika itu kontroversi maka partai politik bisa menegurnya. Ketika paradigma kerja kolektif ini muncul maka mempengaruhi persepsi anggota DPR untuk tidak berlomba-lomba meningkatkan kinerja individualnya. Akhirnya, muncullah impresi atau kesan misalnya, bahwa datang rapat atau tidak datang rapat, bolos atau tidak bolos, toh fraksi yang menentukan. Mereka sudah datang absen sajatoh juga keputusannya di fraksi. Bicara berbusa-busa, berpikir siang-malam yang menentukan juga fraksi. Itu juga fraksi yang menentukan adalah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dari partai politik masing-masing. Di sisi lainnya, jangan sampai fraksi menjadi tempat berlindungnya anggota DPR yang malas. Anggota dewan yang malas akan senang berlin­dung di ‘ketiak-nya’ fraksi. Seperti statement yang sering muncul dan akhirnya menjadi pemakluman bahwa, ‘fraksi saya belum ngomong apa-apa tuh, jadi saya belum bisa ngomong apa-apa.’ Atau sering kita dengar anggota dewan berkata, ‘belum sempat berkonsultasi dengan fraksi.’ Itu artinya proses pengambilan keputusan akan lambat, karena harus melalui fraksi.” Fraksi ini bisa membuat anggota DPR itu merasa terasing sebagai anggota DPR. Anggota DPR menjadi merasa tidak berguna, meski dia berusaha semaksimal mungkin menjalankan fungsinya, nantinya yang menentukan kebijakan adalah partai politik c.q. oligarki c.q. elite, yang kemudian dikeluarkan melalui fraksi. Yang semestinya ini merupakan kerja individual seperti diatur UUD 1945 dalam Pasal 20A ayat (3) itu. Realitas ini, menghadirkan sisi negatif, menyebabkan masyarakat berpikir mengenai kebencian begitu besar kepada DPR. Ini yang harus segera kita luruskan. Harus segera kita cerahkan ke rakyat, tidak boleh melihat DPR dengan kebencian, sebab, walaupun memang benar ada problem di tubuh DPR yang membuat citra DPR buruk, kita tidak bisa nafikan itu atas ulah segelintir oknum, atau bahkan penyebab lainnya ada di dalam sistem ketatanegaraan kita yang salah satu penyebabnya adalah partai politik dicangkokkan masuk di tubuh kekuasaan parlemen kita melalui fraksi itu. Semestinya cengkeraman partai politik melalui fraksi itu harus segera kita putus. Dengan membubarkan fraksi dalam sistem parlemen kita melalui revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). ___________________________________ *Koordinator Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) dan Penulis buku-buku Ilmu Politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html