Sabtu, 01 September 2012

Kemenangan Suara Rakyat, Tanpa Ambang Batas Nasional

Kemenangan Suara Rakyat, Tanpa Ambang Batas Nasional Oleh: Efriza, Koordinator Program dan Riset Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I) Konsep penerapan parliamentary threshold (PT) dalam perkembangannya terdapat peningkatan area ambang batas, tidak hanya di suatu dapil (lokal) namun untuk seluruh dapil (nasional). Memasuki Pemilu 2014, masalah besaran PT menjadi persoalan kunci yang akan menentukan cepat atau lambatnya pembahasan Revisi UU Pemilu Legislatif. Sebab bagi sebagian partai politik besaran PT akan menentukan keberlangsungan mereka ke depan. Terdapat setidaknya 3 (tiga) alternatif usulan dalam pembasan Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan Umum (Pemilu( yaitu: Pertama, usulan mengusulkan agar PT tetap seperti pada Pemilu 2009 yaitu sebesar 2,5%; Kedua, usulan agara PT sebesar 4%; dan Ketiga, PT sebesar 5%. Kalangan partai menengah ke bawah cenderung agar PT tetap 2,5% dengan alasan mengingat luas dan majemuknya bangsa Indonesia maka perlu menjaga keragaman dengan tetap mempertimbangkan efektifitas. Sementara partai besar menginginkan peningkatan besaran PT yaitu 5% dengan alasan untuk meningkatkan efektifitas di parlemen. Di sisi lain, usulan PT 4% dengan alasan kenaikan dibutuhkan namun sebaiknya secara bertahap sehingga kalaupun ada kenaikan tidaklah terlalu tinggi. Menyoal Keputusan MK Perdebatan yang tidak kalah alotnya hingga harus dilakukan pemungutan suara adalah soal penerapan PT. Meski angka 3,5% sudah disepakati untuk tingkat nasional (DPR), namun untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota belum disepakati besarannya. Dari hasil pemungutan suara disepakati bahwa ambang batas 3,5 persen secara nasional, yang didukung oleh 343 suara merupakan dukungan enam fraksi yakni, F-PD, F-PG, F-PPP, F-PKB, F-Hanura dan F-Gerindra. Sementara tiga fraksi lainnya, mendukung ambang batas berjenjang. Misalnya untuk DPR sebesar 3,5%, DPRD provinsi 4% dan kabupaten/kota sebesar 5%. Dengan jumlah sebanyak 187 suara dari tiga fraksi yakni, F-PDIP, F-PKS, dan F-PAN. Upaya DPR tersebut mendapatkan perlawanan dari 14 partai politik gurem dengan mengajukan uji materi. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkannya dengan memutuskan bahwa PT 3,5 persen hanya berlaku untuk DPR. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan kemenangan untuk suara rakyat. Sebab, keputusan itu menyelamatkan suara rakyat. Penerapan ambang batas DPR di Pemilu 2009 lalu saja, menyumbang penurunan partisipasi pemilih terbesar kedua setelah kategori tidak memilih yaitu sebesar 19.086.060 yang disebabkan oleh suara 29 partai yang dihanguskan tersebut. Tak bisa dimungkiri persentase angka partisipasi pemilih (voters turn out) di Indonesia terus meluncur turun hingga sebesar 86.251.717 atau 70,99%. Trend penurunan suara diprediksi masih terus berlanjut bahkan bisa sampai 50 persen pada Pemilu 2014, ini sebelum adanya pengaturan sistem PT flat. Fakta dari hasil Pemilu 2009 juga menunjukkan bahwa pemberlakuan ambang batas parlemen secara flat alias pukul rata bukan solusi tepat. Rekayasa institusional yang dilakukan DPR melalui UU Pemilu perlu dinyatakan dengan tegas merupakan salah kaprah. Lanskap politik nasional dengan lanskap politik di 33 provinsi dan sekitar 500 kabupaten dan kota sangat berbeda. Tak bisa dinafikan bahwa partai politik yang berjaya di DPR belum tentu memperoleh kursi di DPRD. Sebaliknya partai politik yang gagal memenuhi ambang batas DPR tidak sedikit yang meraih suara signifikan di daerahnya. Misalnya berdasarkan hasil simulasi Tim Konsultan Kemitraan bahwa, bagi Partai yang tidak lolos 2,5 PT nasional, berdasarkan penguasaan kursi di DPRD Provinsi setidaknya ada 5 partai terbesar, sebagai berikut: (1) PBB (37 kursi tersebar di 19 DPRD Provinsi atau 58%); (2). PBR (27 kursi tersebar di 16 DPRD Provinsi atau 48%); (3). PDS (37 kursi tersebar di 15 DPRD Provinsi atau 45%); 4. PKPB (21 kursi tersebar di 13 DPRD Provinsi atau 39%); dan 5. PPRN (13 kursi tersebar di 10 DPRD Provinsi atau 32%). Bahkan, partai politik pemenang pemilu DPRD-DPRD di kabupaten dan kota berbeda-beda satu sama lain kendati di provinsi yang sama. Realitas ini juga memperlihatkan tingginya tingkat fragmentasi politik di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, partai politik yang gagal memperoleh dukungan elektoral secara nasional bisa jadi merupakan partai politik harapan masyarakat di provinsi, kabupaten, atau kota. Perbedaan lanskap politik nasional dan daerah ini memperlihatkan, meskipun gagal memenuhi ambang batas DPR, sebagian di antaranya adalah ”partai besar” di tingkat daerah. Realitas politik seperti ini terjadi karena preferensi pilihan masyarakat tidak semata-mata kepada partai politik, tetapi justru kepada para calon anggota legislatif (caleg) yang diajukan partai politik. Semakin populer caleg di suatu dapil, semakin besar pula partai politik yang mencalonkan dapat dukungan. Jangan sampai, Pemilu yang dimaksudkan untuk memilih para wakil melalui berbagai upaya seperti penerapan proporsional terbuka (suara terbanyak), berubah menjadi pemilu untuk memilih partai politik karena kehadiran, kapastitas, dan kualifikasi caleg untuk DPRD dinafikan sistem melalui penerapan PT flat. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini adalah keputusan yang patut diapresiasi, sebab bukan saja menyelamatkan suara rakyat, juga menyelamatkan legitimasi keterpilihan seorang caleg dan legitimasi pemilu itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html