Senin, 13 April 2009

EFEKTIF KOALISI, DITENTUKAN KONSISTENSI PARTAI

Bicara Koalisi tergantung arena. Arenanya dibagi dalam banyak tingkatan. Setiap arena memiliki insentif, yakni politik maupun material, dan insentif ini berbeda-beda, ada yang insentif besar tapi tidak bisa dibagi namun ada insentif lebih kecil tapi bisa dibagi.
Jika arena pemilihan presiden, koalisinya adalah koalisi yang berbasis pemenangan. Ideologi tidak penting, karena hanya penting sampai pemilu legislatif. Sebab pada pemilu legislatif, partai ingin berbeda satu dengan yang lain.
Ketika berbicara insentif maka menjadi terbatas, cuma ada presiden dan wakil presiden. Jika, 6 (enam) partai berkoalisi, maka tidak bisa jabatan presiden dan wakil presiden dibagi ke enam partai tersebut. Sehingga, partai cenderung membentuk koalisi yang sedikit mungkin, tetapi memiliki kemungkinan menang paling tinggi. Artinya, partai membentuk koalisi yang berbasis kemenangan.
Dari penilaian di atas, bisa menjelaskan, Kenapa kemudian PKS yang sebelumnya menjalin komunikasi dengan Jusuf Kalla untuk koalisi, sekarang ke SBY? Karena, PKS melihat prospek SBY lebih tinggi untuk menang. Sehingga Partai Golkar diupayakan pecah kongsi dengan Partai Demokrat, agar insentif itu dimiliki PKS.
PKS juga merasa lebih bagus kansnya jika koalisi dengan Partai Demokrat ketimbang Partai Golkar. Selain itu, jika Partai Golkar bersama dengan Partai Demokrat, kansnya Partai Golkar pasti lebih besar, maka PKS tidak bisa mendapatkan insentif lebih banyak.
Karena insentifnya tidak banyak, kemudian partai mencoba membikin koalisi pemenangan tersebut. Sehingga partai yang melakukan penjajakan koalisi lebih awal, biasanya harganya lebih tinggi. Artinya, kecil akan lebih berharga, jika partai itu joint ke partai yang kemungkinan menang, dengan cara lebih awal. Inilah yang dilakukan PKS.
Nilai dari pertemuan itu adalah siapa yang duluan dan siapa yang belakangan, sehingga akan mempengaruhi berapa jumlah hadiah yang diberikan oleh partai pemenang, misal, PBB tahun 2004, bisa mendapatkan 2 posisi menteri disebabkan sejak awal mendukung Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, posisi perolehan menteri tersebut, sama dengan PPP yang mendapatkan perolehan suara 8,15% sementara PBB tidak memenuhi electoral thereshold.
Selanjutnya setelah pemilu selesai, pembentukan kabinet. Di kabinet itu ada banyak posisi, sehingga koalisi kemenangan tidak bisa menebak arah perjalanan koalisi. Misal, posisi menteri ada 30, jika dianalogikan cukup semua partai untuk berada di posisi menteri. Seperti tahun 1999 sampai tahun 2004, semua partai politik berada di jajaran kabinet. Ini memperlihatkan, bahwa koalisi kemenangan menjadi tidak penting lagi, ketika masuk ke arena yang lebih besar. Pendek kata, arah koalisi tergantung intensifnya. Makin banyak, maka akan semakin besar koalisinya.

Sikap Pragmatis Partai
Sebetulnya yang namanya office seeking bukan otomatis jelek. Memang partai, harus mencari kekuasaan. Cuma kemudian, office seeking umumnya berkoalisi, setelah itu arenanya berbeda, seharusnya office seeking tetap bertahan.
Office seeking di Indonesia, dengan di negara-negara demokrasi maju, sangat kentara perbedaannya. Di Indonesia, office seeking mengabaikan pengelompokkan yang sebelumnya sudah terjadi. Termasuk minimal winning coalitions.
Tidak ada koalisi setelah pemilihan umum presiden. Dikatakan, tidak ada koalisi, karena semua partai ikut bergabung. Koalisi itu mengandaikan ada kelompok, yakni ada satu kelompok berarti ada kelompok yang lain. Jika tadi di pemilu legislatif bersifat individual yakni partainya. Kemudian masuk ke pemilu presiden menjadi membentuk koalisi yang bisa menang. Masuk ke kabinet, koalisi yang berbasis pemenangan minimal itu sudah hilang. Kemudian menjadi, kalau itu masih bisa disebut, namanya adalah koalisi curah atau oversight coalitions. Artinya, dibagi-bagi, semua ingin dapat akses di pemerintahan.
Di negara maju, biasanya jika mereka yang sama-sama pragmatis, masing-masing kelompok ingin mendapatkan kekuasaan tetapi ternyata kalah. Yang memiliki kekuasaan adalah partai yang menang saja, sementara partai yang kalah, jadi oposisi. Sementara, di Indonesia tidak ada yang namanya oposisi. Jadi, sama pragmatisnya, tapi di negara maju lebih punya konsistensi ketimbang di Indonesia.
Meskipun, PDIP mengaku sebagai oposisi, tetapi motivasinya bukan murni oposisi politik, melainkan karena persoalan personal elite partai. Misal, Kasus BLT yang sekarang membelah Partai Demokrat dengan PDIP. Kasus ini muncul belakangan, hanya menjelang kampanye. Berarti, perbedaan Partai Demokrat dengan PDIP tidak banyak, yakni sama-sama ingin ekonomi kerakyatan. Artinya, sama pragmatisnya, tapi bedanya di negara maju lebih memiliki konsistensi untuk memelihara koalisinya, sementara di Indonesia, kita bisa menyebutnya bahwa etikanya tidak terbentuk, juga bisa menyebutnya pragmatis atau ketidakkonsistenan mereka.
Berbagai contoh ketidakkonsistenan berkoalisi bisa kita lihat, misal, Partai Golkar, PDIP, dan PPP, ketiga partai tersebut menjelang Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 melakukan komunikasi untuk menggagas koalisi yang diberinama Golden Triangle (segitiga emas) sama seperti pada tahun 2004 bernama Koalisi Kebangsaan.
Tapi perkembangannya pada saat Koalisi Kebangsaan, PPP keluar duluan, begitu selesai putaran pertama dan diperkirakan bahwa koalisi tersebut akan kalah. Seandainya ikut menjadi oposisi, diprediksi prosesnya tidak bagus, selain daripada itu tidak akan mendapatkan insentif di Kabinet. Padahal partai-partai tersebut sebelum deklarasi Koalisi Kebangsaan, seperti Ketua Umum PPP Hamzah Haz mengatakan, “Mereka yang tidak ikut konsensus Koalisi Kebangsaan, maka anggota PPP akan dipecat.”
Dalam pada itu, Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung juga mengatakan, “Koalisi ini akan bertahan minimal lima tahun.” Nyatanya, kader-kader Partai Golkar yang dahulu pro terhadap Akbar Tandjung, lalu meninggalkannya dan berpaling ke Jusuf Kalla. Secara kolektif bisa dilihat bahwa, kader-kader Partai Golkar sebetulnya tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap apa yang sudah diputuskan sebelumnya.
Jadi Koalisi lebih bersifat permessive, yakni bagaimana semua partai itu bisa bersama-sama mendapatkan akses ke pemerintahan. Itu kuncinya, bahwa semakin besar insentifnya, kecenderungan berkoalisi semakin permessive, dan semakin orang tidak peduli lagi pada komitmen.
Pertanyaannya, mengapa partai bersifat permessivei? Alasannya, pertama, kekuasaan, dan kedua, sumbangan. Partai itu butuh dana untuk menghidupi kegiatannya. Dana itu bisa diperoleh dari bermacam-macam sumber, misal, iuran anggota, bantuan pemerintah, pengusaha, dan sumber-sumber pemerintahan yang lain.
Tapi jika kita pertimbangkan satu-persatu tentang sumbangan tersebut, Pertama, iuran anggota. Iuran anggota tidak berjalan. Sehingga partai tidak bisa mengandalkan pemasukan dari iuran anggota. Kedua, Subsidi Pemerintah. Tapi itu terlalu kecil, tidak akan bisa mereka untuk menghidupi kegiatan partainya. Misal, kalau kampanye butuh 100 miliar, subsidi pemerintah karena disesuaikan dengan jumlah kursi, maka subsidinya tidak sampai 1/3 untuk kebutuhan yang 100 miliar tersebut. Jadi kemudian dari pemerintah menjadi tidak mencukupi.
Ketiga, Pengusaha. Mereka juga tidak mau menaruh “taruhan” pada satu partai saja, akhirnya mereka harus membagi-bagi ke partai-partai. Jadi kemudian yang paling mendapatkan porsi besar dari dana pengusaha tersebut adalah yang mendapatkan paling banyak perolehan suaran dan kursinya di parlemen. Itupun menjadi tidak besar karena menjadi rebutan semua partai. Kemudian, dana dari pengusaha pun juga tidak akan menutupi, disebabkan jika perusahaan dalam kondisi kritis, maka keuangan juga mepet.
Keempat, sumber dari pemerintahan yang lan. Misal, posisi menteri, yang mempunyai dana taktis, bisa menempatkan orang partai di BUMN, bisa juga untuk urusan yang berhubungan dengan geografi, artinya pengusaha yang juga ke sana bisa ada imbalannya. Sehingga posisi menteri menjadi pintu masuk mendapatkan resources yang dikeluarkan negara. Inilah salah satu yang menjadi sumber keuangan partai.
Jika kemudian, partai tidak ikut masuk ke dalam kabinet, maka bagaimana bisa mendapatkan akses tersebut. Karenanya, semua partai akhirnya kemudian harus mendapatkan akses itu. Sehingga, ideologi menjadi dikorbankan, konsistensi diabaikan, etika pun untuk koalisi partai yang menang yang memerintah dan koalisi partai yang kalah sebagai oposisi akhirnya dilanggar. Artinya, sudah tidak ada yang berharga selain mendapatkan akses pemerintah, akhirnya menjadikan koalisi yang besar tapi tidak ada perbedaan lagi antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.

Menata Kembali Mekanisme Koalisi
Berbicara tentang sesuatu yang normatif sifatnya, maka partai harus berani untuk menjadi oposisi. Oposisi dimaksudkan, partai tersebut harus mengangkat persoalan issu. Misal, bagaimana sikap partai terhadap hutang luar negeri, sikap untuk menanggani pengangguran, sikap terhadap pendidikan. Issu itu harus komprehensif dibicarakan, tidak hanya kita memperjuangkan pendidikan gratis.
Tapi caranya bagaimana? Lalu uangnya darimana? Karena semua pendidikan butuh biaya. Biayanya darimana dong? APBN bukan seperti pohon yang tumbuh sendiri, seandainya ada yang diambil untuk pendidikan, maka ada sektor yang dikurangi. Lalu sektor mana yang dikurangi. Itu harus dibahas partai.
Jadi, kritisnya partai seharusnya ke sana. Yang lebih substantif, kalau bicara pendidikan gratis, maka semua orang juga bisa untuk hanya ngomong tentang pendidikan gratis. Tapi konsekuensinya? Jadi kritikannya seharusnya lebih terarah, layaknya shadow government.
Selain permasalahan tidak adanya koalisi, adalah sistem yang diterapkan sekarang ini juga bikin rapuh. Seolah-olah sistem presidensial tetapi kekuasaan DPR begitu besar. Presiden mau tidak mau, harus merangkul semua partai agar suaranya signifikan. Karena kalau tidak begitu, maka perjalanan pemerintahannya akan tersendat-sendat, misal, Pemerintah bisa di “sabotase” dalam anggaran, UU, dan sebagainya. Berarti, Presiden itu sekarang gaya berpikirnya, adalah sistem presidensialnya berpikir dengan gaya parlementer.
Sehingga demikian, salah satu alternatifnya adalah mengubah desain konsitusinya, berarti pasal-pasalnya diubah. Jangan lagi, DPR itu diberikan kekuasaan yang melampaui kekuasaan presiden, artinya, harus tercipta checks and balances. Jangan semua harus minta persetujuan DPR, misal, kalau pengangkatan Menteri, dan pengangkatan duta besar, itu hak prerogatif presiden. Hanya dibatasi itu saja.
Selanjutnya, partai harus berani untuk konsisten dengan koalisinya. Jika menang maka ikut pemerintahan, dan jika kalah menjadi koalisi. Jadi koalisi diwujudkan bukan hanya melalui penawaran suatu program, misal, jika kita melihat kesepakatan antara Partai Golkar dan PDIP, maka semua partai jika berkoalisi juga sama akan melakukan penawaran suatu program seperti yang dilakukan Partai Golkar dan PDIP tersebut. Artinya, jika koalisi hanya dibangun berdasarkan progam tapi tidak ada konsisten terhadap koalisi tersebut, ibaratnya seperti “Ada Isinya Tapi Tidak Ada Isinya.”

Sanksi Koalisi, Dimiliki Pemilih
Sanksi yang paling efektif, yakni dari Masyarakat. Sanksi bahwa mereka tidak akan memilih lagi karena tidak konsisten. Tapi kalau sanksi itu diberikan kepada partai, toh partai yang lain sama tidak konsisten terhadap koalisinya. Misal, kritikan terhadap pemerintah, ketika pemerintah mencabut subsidi BBM. Padahal semua menteri yang ada di kabinet menyetujuinya, berarti semua partai di sana.
Ketika kebijakan dikeluarkan pada tahun 2002, terjadi demo dimana-mana, seperti di Jakarta sampai ke luar Jawa atau kota-kota besar, semua demonstransi menentang pemerintah. Lalu, DPR kemudian mengkritik pemerintah, bahwa pemerintah harus mengubah kebijakan, kalau tidak maka DPR tidak akan mendukung.
Pertanyaannya, ini partai semua. Partai itu yang mana kemudian, yang di DPR atau yang di pemerintahan. Tidak jelas, karena memang tidak ada oposisi. Jadi partai itu kemudian mengklaim bahwa, kita bersifat kritis terhadap pemerintah, padahal yang memerintah mereka sendiri. Jadi itu tidak ada maknanya, bahasa lugasnya, tipu-tipu. Kalau seandainya pemerintah berhasil, maka partai berganti baju menjadi pemerintah terus mengatakan bahwa saya dipemerintahan dan saya ikut menyumbang kebijakannya. Seandainya, pemerintahan dianggap gagal, maka mereka berganti baju menjadi partai di DPR.
Sementara, reward and punishment akan berjalan efektif jika ada oposisi. Misal, kalau sekarang bahwa pemilih mau menghukum satu partai di DPR, tapi partai yang lain juga sama tidak ada baiknya. Maka situasi tersebut, menyulitkan bagi pemilih.
Penekanannya di sini, koalisi itu sebetulnya partai berarti perilaku partai. Sementara kalau pemilihan presiden adalah perilaku pemilih. Pemilih terserah mereka memilih partai yang mana, misal, jika merasa dekat dengan Partai A, tapi karena partai A tidak punya figur yang kuat untuk menjadi presiden. Kemudian, sudahlah pemilih memilih dari partai yang lain. Ini yang dinamakan click voting dan perilaku ini normal.
Di sisi lain, jika berbicara partai, penilaiannya adalah konsistensi perilaku partai. Berarti, jika partai tersebut sudah mengatakan A, dan memilih berkoalisi dengan kelompok A, maka itu harus dipertahankan dari satu arena ke arena yang lain. Sehingga demikian, partai-partai yang berkoalisi tersebut bisa menunjukkan konsistennya.®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html