Minggu, 03 Oktober 2010

TELAH TERBIT: "PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti"


KATA SAMBUTAN
PROF DR. MOH. MAHFUD MD
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Buku yang sedang berada di tangan pembaca ini merupakan hasil penyajian fenomena tertentu dengan menggunakan dua perspektif sekaligus yakni perspektif das sein dan perspektif das sollen. Perspektif das sein berarti membicarakan kenyataan empiris secara apa adanya terhadap suatu fenomena yang terjadi. Dalam perspektif ini, catatan kronologis sejarah mengenai satu fenomena tersebut dirunut dan dikemukakan apa adanya. Sementara, perspektif das sollen berarti membicarakan fenomena tertentu dalam kerangka “yang seharusnya” atau keadaan baik yang diidealkan di masa mendatang. Dalam perspektif ini tentu saja kenyataan empirik yang terjadi belum dapat mencapai kondisi ideal tersebut.
Dalam buku ini, fenomena yang sedang diminati secara serius oleh kedua penulis buku ini yakni Saudara Efriza dan Syafuan Rozi adalah mengenai sistem perwakilan terutama soal eksistensi lembaga parlemen Indonesia, baik DPR maupun MPR. Kedua penulis buku ini berhasil merunut dan mengemukakan secara baik kenyataan sejarah parlemen Indonesia dulu dan kini. Lintasan sejarah parlemen Indonesia sejak periode Volksraad dan periode-periode di bawah lima konstitusi berbeda yakni UUD 1945 hasil sidang PPKI, Konstitusi RIS, UUD 1950, UUD 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan UUD 1945 Pasca Amandemen. Di samping merekam lintasan sejarah, pada bagian lain tampaknya penulis juga telah secara baik menyulam berbagai gagasan yang berkembang menjadi rekonstruksi atas pikiran-pikiran ideal mengenai bagaimana seharusnya lembaga dan sistem perwakilan di masa-masa mendatang.
Buku ini cukup komprehensif dalam hal menggali dan menampilkan informasi yang boleh dikatakan tingkat otentisitasnya cukup tinggi dan masuk kategori sahih. Tingkat otensitas dan kesahihan yang tinggi itu dikarenakan informasi yang didapatkan berasal dari narasumber yang sebagian besar adalah para pelaku sejarah itu sendiri, seperti para mantan anggota PAH I MPR, Ketua MPR, Politisi DPR, Anggota DPD, KPU dan lain sebagainya.
Harus diakui, buku ini berisi informasi yang sangat informatif bagi pembaca terutama pada bahasan mengenai lintasan sejarah yang berkaitan dengan dinamika parlemen Indonesia. Sangat boleh jadi, informasi dari buku ini jarang atau malah belum pernah ditampilkan dalam buku-buku yang lain sehingga ini menjadi nilai lebih buku setebal 601 halaman ini.
Hanya saja, entah disadari atau tidak oleh penulisnya, buku ini ternyata lebih banyak memberikan ruang bagi pemikiran untuk merekonstruksi DPD secara kelembagaan ketimbang lembaga perwakilan DPR atau MPR. Sepertinya penulis cukup dibuat prihatin dan gelisah dengan keterbatasan kewenangan yang dimiliki DPD, sehingga merasa perlu menjadikannya sebagai bahasan atau isu dominan dalam buku ini. Dari total enam bab buku ini, empat bab di antaranya digunakan untuk mengulas kedudukan dan peran DPD yang secara konstitusional memang sangat terbatas. Bahkan pada Bab 5, penulis secara terang-terangan melancarkan kritik terhadap sistem bikameral Indonesia. Penulis mengeksplorasi berbagai sistem bikameral yang berlaku di berbagai negara seperti AS, Inggris, Jerman, Belanda dan Swiss sebagai referensi untuk menunjukkan bahwa sistem bikameral Indonesia memang berbeda dan boleh jadi memang sistem yang tak lazim. Di Bab 6, penulis mengemukakan pemikiran untuk mencapai idealita tertentu dengan berupaya mencari format baru kapasitas dan peran DPD, termasuk juga mengenai langkah-langkah membangun strong bikameral.
Saya sangat mengapresiasi pemikiran-pemikiran semacam itu, apalagi yang datang dari kalangan cendekiawan muda seperti Efriza dan Syafuan Rozi. Pemikiran-pemikiran kritis muncul sebagai ekspresi atas ketidakpuasan akan keadaan atau kondisi yang sedang berlaku. Ketika pemikiran disampaikan secara elegan dengan argumentasi yang kuat, seperti halnya disampaikan dalam buku atau karya ilmiah, maka ia akan sangat membantu menuntun ke arah kebaikan.
Namun demikian, terkait dengan itu, saya hanya ingin sedikit mengingatkan bahwa soal sistem dan lembaga perwakilan lebih khusus lagi mengenai keterbatasan kewenangan DPD semuanya adalah ketentuan konstitusi. Betapapun ketentuan konstitusi yang berlaku sekarang ini tidak sesuai dengan pikiran-pikiran ideal, tidak sama dengan teori tertentu, tidak sejalan dengan yang berlaku di negara lain, tetapi sepanjang sudah disepakati dan ditetapkan dalam konstitusi maka itulah hukum yang berlaku. Menyebut konstitusi kita tak sempurna tentu sah-sah saja, akan tetapi menyebut konstitusi kita lemah hanya karena tak sejalan dengan yang dipraktekkan di negara lain tentu tidak dapat dibenarkan.
Sebagai wacana, boleh saja teori atau pendapat pakar dan sistem yang berlaku di negara lain dikemukakan, sekedar menjadi referensi bagi pembaruan. Tetapi kita tidak wajib mengikutinya karena kita punya tuntutan, situasi dan kebutuhan sendiri sebagaimana yang telah dituangkan dalam konstitusi. Yang perlu diingat, keadaan sistem dan lembaga perwakilan kita sekarang ini, termasuk lemahnya kedudukan dan peran DPD adalah karena konstitusi memang mengatakan demikian. Perbaikan terhadapnya mungkin saja diperlukan dan bukan sesuatu yang mustahil, dengan catatan perubahan itu dilakukan dengan cara dan mekanisme yang juga konstitusional.
Saya menyambut gembira atas terbitnya buku ini dengan dua alasan sekaligus. Pertama, buku ini lumayan sukses memotret secara komplit mengenai dinamika sejarah dan perkembangan parlemen Indonesia sejak Volksraad sampai sekarang. Sehingga dengan membaca buku ini, pembaca akan segera menjumpai tulisan-tulisan yang sangat informatif sifatnya. Kedua, penerbitan buku ini melengkapi segenap ikhtiar yang dilakukan anak-anak bangsa ini dalam rangka membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Saya meyakini dengan diterbitkannya buku PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD HINGGA DPD; Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini dan Nanti ini maka masyarakat yang haus akan pengetahuan dan informasi dari buku ini, akan segera terpenuhi meskipun mungkin belum akan terpuaskan.
Semoga bersama dengan segenap pembacanya, buku ini akan dapat berperan strategis dalam meretas upaya menuju terwujudnya sistem dan lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang lebih demokratis dan benar-benar aspiratif. Selamat membaca.



Jakarta, 27 Juli 2010
Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia



Prof. Dr. Moh. Mahfud MD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html