Selasa, 23 November 2010

Jakartapress.com

Senin, 22/11/2010 | 15:10 WIB

DPR Terjebak Kepentingan Parpol yang Kemaruk
Oleh: Efriza*)

PERSAINGAN kepentingan partai politik (parpol) terus merebak dalam rangka menggegolkan kepentingan parpol masing-masing dalam perdebatan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu).

Kebuntuan pembahasan muncul karena perbedaan pendapat antar partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PAN menginginkan anggota KPU Netral. Sementara itu tujuh fraksi lainnya yaitu Fraksi Partai Hanura, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PPP, Fraksi PKB, Fraksi PKS, Fraksi PDIP, dan Fraksi Partai Golkar menginginkan keterlibatan partai dalam KPU.

Perdebatan hanya berkutat pada rekrutmen keanggotaan KPU yang independen atau tidak. Kepentingan parpol adalah keinginannya memasukkan anggota partainya yang gagal dalam pemilu legislatif 2009, apalagi anggota partainya yang gagal rata-rata tak bisa dipungkiri merupakan mantan anggota DPR periode 2004 lalu, yang juga merupakan anggota Pansus UU Paket Politik.

Namun, keinginan tersebut ditutupinya dengan argumentasi atas kasus Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati yang merupakan dua mantan anggota KPU yang setelah pemilu langsung duduk sebagai pemimpin partai dalam Partai Demokrat, artinya independensi tidak menjamin ketidakberpihakan.

Permasalahan yang sama tentang independen atau tidak, juga pernah dilakukan oleh Partai Politik yang menginginkan masuk dalam lembaga DPD, akhirnya melalui UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, keinginan tersebut berhasil tercapai hingga sekarang tak dapat diganggu gugat dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit.

Lagi-lagi alasannya waktu itu, karena keanggotaan DPD periode 2004 lalu juga tidak sepenuhnya independen. adahal alasan yang sebenarnya, di partai ada ketentuan yang menyatakan orang yang sudah dua kali di DPR atau lebih, di partai-partai tertentu, dia tidak boleh lagi masuk di DPR. Sementara, kalau misalnya orang ini mau berkiprah lagi di politik, di Senayan. Dia bisa masuk kesempatannya hanya melalui DPD.

Yang patut digarisbawahi dari perdebatan dalam pembahasan revisi UU Penyelenggara Pemilu adalah Partai Politik telah salah dengan mempersalahkan kelembagaan misal KPU yang dianggap tidak netral. Padahal jika dianggap ada yang tidak netral, adalah orangnya bukan institusinya. Bahkan, kita juga telah memahami perdebatan yang dilakukan Komisi II DPR selama ini jelas menunjukkan hanya untuk kepentingan jangka pendek setiap partai politik. (•)

*) Efriza - Penulis buku politik 'Parlemen Indonesia Geliat Volksraad Hingga DPD; Menembus Lorong Waktu'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html