Selasa, 24 Maret 2009

MELIHAT PERJUANGAN CALEG DPR RI DARI PARTAI BURUH BERDASARKAN WAWANCARA

Oleh: Efriza, Penulis Buku “Mengenal Teori-Teori Politik, dan Ilmu Politik”
Bagi Penulis, penulisan ini dilakukan dengan alur cerita sesuai hasil wawancara dengan Ericson Hutabarat, Caleg DPR RI Dapil Jawa Barat VI (Bekasi-Depok), di Leksika, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Dilihat dari profile saya, Pertama, Saya adalah Sarjana Ilmu Politik (IISIP-Jakarta), yang banyak mempelajari ilmu tentang politik. Kedua, dalam akitivitas hari-hari saya, sewaktu di kuliah maupun sebelumnya, sangat berhubungan dengan dunia politik. Seperti, saya aktif di GMNI, Jakarta Raya; kemudian di FPKR (Forum Pemurnian Kedaulatan Rakyat), juga di akitf di Senat IISIP. Terakhir, tahun 1997-1998 terlibat aktif dalam aksi Demo Mahasiswa: Penggulingan Soeharto. Termasuk ikut dalam aksi pembentukan, misal, dari pembentukan Forum Kota (Forkot) sampai aksi demo forkot itu. Walau sebatas di Lenteng Agung, atau Jakarta Selatan. Jadi sudah sangat jelas, bahwasanya sepertinya jalur hidup saya itu ada sekian persen banyaknya di Politik.
Lalu pertanyaannya, mengapa saya memilih Partai Buruh? Pertama, Partai Buruh, partai yang memiliki cita-cita yang sepaham dengan cita-cita saya, bahwa Partai Buruh memiliki cita-cita ingin mensejahterakan rakyat, atau negara yang mensejahterakan rakyatnya. Bagi saya, sekarang ini merupakan bentuk kegagalan dari penyelenggaraan negara adalah menjalankan amanat UUD 1945 tentang mensejahterakan rakyatnya. Dimana yang kaya itu, dan yang miskin, jurangnya sangat tinggi perbedaannya. Sementara, jelas cita-cita kemerdekaan atau cita-cita republik bangsa ini adalah membangun negara yang mensejahterakan rakyatnya. Dan ini yang menganggu hati nurani saya, sehingga saya melihat Partai Buruh ada visi-misi yang sama dengan cita-cita berdirinya republik ini.
Kedua, banyaknya negara-negara maju yang dikelola oleh penguasa atau rezim Partai Buruh itu memperkuat bahwasanya bila sebuah negara dipimpin oleh rezim buruh arahnya akan lebih baik atau katakan menuju negara yang sejahtera.
Alasan yang lainnya, yang teknis ada beberapa, seperti saya ditawarkan beberapa partai lain dalam hal ini ada dua partai. Tapi partai yang satu lagi merupakan partai yang bertentangan dengan cita-cita saya, dan juga bertentangan dengan masa-masa waktu saya aktif di gerakan. Partai itu dimotori dan dikelola rezim yang lalu. Kemudian ada satu lagi partai yang sifatnya menurut saya sangat terbatas, dalam pengertian berideologikan keagamaan.
Sementara jelas di profile, saya sebagai aktivis gerakan mahasiswa nasional. Itu juga menunjukkan sangat berbeda dengan siapa diri saya, dan itu akan bertentangan dengan bathin saya. Sementara di Partai Buruh ini justru banyak hal-hal yang terjadi sekarang ini, itulah yang harus kita banyak diperjuangkan. Di samping di partai buruh ini, saya mengalami kemudahan-kemudahan, baik kemudahan berpartai, mendapatkan dapil, dll. Kemudian, segmennya itu jelas, yaitu buruh. Yang partai lain, tidak bisa mengklaim. Sementara partai buruh bisa mengklaim ini adalah partai satu-satunya yang memperjuangkan buruh. Walau makna buruh di sini tidak boleh dipersempitkan.
Kemudian, kenapa mesti DPR pusat? Pertama, kemampuan pengetahuan saya. Saya pikir sudah cukup. Kedua, kalau di profile diri saya juga jelas bahwa saya pernah menjadi pemantau di DPR selama 7 bulan. Dalam Pemantauan itu saya bersama Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) memantau kinerja DPR, seperti dari kerajinan, materi sidang, bahkan hal-hal yang selama ini juga tidak terlihat dan terungkap oleh media maupun publik. Waktu yang 7 bulan, cukup membekali saya memahami DPR itu seperti apa, baik dari tugas dan fungsinya maupun di luar itu atau ada hal yang lain.
Kita sudah tahu sampai hari ini, Apakah teman-teman sepakat DPR ini sebenarnya di-justice atau dinilai publik bahwa DPR yang sekarang ini adalah DPR yang tidak berwibawa, korup, penuh permainan kotor, yang memiliki istri atau simpanan. Pertanyaannya, Bagaimana kita mau melakukan perubahan kalau situasi dan kondisi DPR kita seperti ini.
Belum lagi DPR kita dianggap agen asing, seperti terlihat dalam pembahasan sebuah Undang-Undang (UU). Agen-agen kepentingan para penguasa, misal, banyak produk hukum DPR lebih berpihak kepada penguasa atau pengusaha.
Belum lagi DPR kita melahirkan satu sistem anggaran, yang anggarannya ini tidak pro-rakyat hanya untuk kepentingan elite. Ini merupakan sebuah realita yang sampai hari ini kita lihat. Sehingga, saya melihat salah satu jalan yang cukup strategis merubah bangsa ini adalah melalui kamar DPR. Yang sekarang ini dengan sistem suara terbanyak, potensi merubah DPR ini semakin nyata dan semakin dekat.
Kita yang muda, dalam pengertian di sini Calon Anggota Legislatif (Caleg) muda, memiliki peluang masuk, memiliki ambisi, dan idealisme. Mengapa saya bilang ambisi? Karena waktu yang kami miliki masih panjang untuk merawat dan menjalankan negeri ini, dibanding mereka yang sudah lalu. Mereka yang sudah lalu, yang dipikirkan adalah menumpuk kekayaan. Kami ini masih ingin menunjukkan eksistensi mengabdi terhadap republik ini.
Selain itu, kenapa juga harus di DPR? Ya salah satunya, untuk menerapkan ilmu yang telah saya emban. Ilmu politik yang telah saya emban pasti akan lebih bermanfaat. Kita tahu banyak sekarang anggota DPR, didominasi yang bukan sarjana ilmu politik. Walau bukan memang harus sarjana ilmu politik. Tapi menurut saya, akan lebih bagus bila anggota DPR itu adalah sarjana ilmu politik. Kenapa? Karena akan memiliki tes politik yang lebih baik, dan lagi ilmu politik sangat jelas diajarkan tentang etika politik, dll.
MEMBACA: PERSOALAN BURUH
Pertama-tama memang yang paling sulit adalah kita melihat kondisi buruh ini dulu. Saya bagi minimal tiga. Pertama, tentang persepsi. Sampai hari ini saya menemukan realita sulitnya bicara buruh, dimana banyak yang menolak dan menentang persepsi tentang buruh. Ada pembagian kelas lagi setelah buruh. Bahwa ada sebagian kecil mereka yang bekerja, mengaku dirinya bukan buruh. Tapi pekerja. Contohnya, kalau yang buruh itu dianggap mereka yang bekerja dimesin-mesin produksi pabrik. Namun bagi mereka yang bekerja di atas meja, duduk, sambil menulis mengunakan komputer atau lap-top mereka menamakan pekerja. Selain itu, mereka yang menamakan dirinya−yang bekerja di tengah perkotaan, menggunakan akses internet tinggi, menggunakan fasilitas yang memadai, berpenampilan cukup high socialty seperti minimal memakai jas atau dasi, dsb; mereka menamakan dirinya bukan pekerja melainkan seorang profesional.
Ini membuat perburuhan kita semakin tercerai-berai dan ini akan menyulitkan. Padahal menurut saya, apapun itu namanya, bagi siapa pun yang masih bekerja, Apakah itu bekerja kepada seseorang atau apakah itu bekerja kepada lembaga atau perusahaan atau lembaga pemerintah dan dia masih menerima upah atau gaji atau honor atau uang lelah, itu semua adalah buruh.
Cuma masalahnya, Apakah mungkin yang seorang manager yang bergaji di atas 7 juta, memiliki karyawan atau bawahan bagian produksi sekitar 100-500 orang, mau dikatakan buruh? Tentu mereka akan menolaknya.
Untuk hal yang terberat adalah mendamaikan tentang persepsi ini dulu. Ke depan mungkin kita akan coba untuk bagaimana mendapatkan satu kesatuan pemahaman tentang adanya pemahaman persepsi buruh itu.
Kalau kita melihat di dunia barat, di Eropa khususnya negara-negara yang maju dengan buruhnya. Bahwa persoalan persepsi tidak ada masalah, banyak yang mengakui mereka itu buruh. Bahkan, ada seorang buruh yang berhasil mencapai kursi untuk menjadi presiden.
Kedua, terpecahnya organisasi buruh. Bahwa Terbagi atas bahkan ribuan organisasi buruh. Baik organisasi besarnya maupun jenisnya di bawah. Kita sampai hari ini, mungkin kalau disuruh sebut nama organisasi buruh, tidak mungkin bisa menyebutnya, karena saking banyaknya. Ini pula yang akan melahirkan kepentingan yang berbeda.
Kedua persoalan tadi, yakni persepsi dan kondisi organisasi, memang itu sebagai rangkaian hasil kerja kejahatan politik di zaman Soeharto. Ketika kekuasaannya dulu dianggap ancaman sehingga kekuatan buruh itu dikondisikan lemah dengan karya politik tadi, yaitu menghancurkan tentang persepsi atau definisi juga tentang struktur buruh tadi.
Padahal kalau kita tahu sejarah republik ini, salah satunya republik ini bisa menggalang kekuatan perlawanan kolonialisme Belanda maupun Jepang. Adalah kekuatan buruh yang pertama yang terorganisir secara rapih disamping ada kekuatan lokal. Tapi yang terorganisir rapih adalah kekuatan buruh. Namun, setelah merdeka, ada sebuah peristiwa yang sampai hari ini saya yakini tidak jelas buruh menjadi kambing hitam dari rezim masa lalu. Itu untuk dua masalah.
Ketiga, adalah ketika Partai Buruh muncul dengan dua hal persoalan di atas. Partai ini belum bisa diterima baik oleh buruhnya, baik yang dibilang sebagai pekerja, kalangan profesional, ditambah masyarakat lain yang merasa tidak merupakan bagian kelas buruh. Kalau kita anggap itu kelas atau kelompok, padahal yang dimaksud buruh di sini, petani pun termasuk buruh yakni petani yang tidak memiliki sawah tapi dia hanya petani penggarap. Begitu juga dengan nelayan, bahwa nelayan yang tidak memiliki kapal tapi dia hanya membawa kapal dari pemilik kapalnya ke tengah laut untuk menangkap ikan, yang selanjutnya untuk diserahkan hasilnya, dan dia hanya mendapatkan upah.
Begitu juga yang lain, termasuk adalah kaum miskin kota. Ini sebenarnya tadi, semuanya masih garapan partai buruh. Ini juga persoalan mensosialisasikan yang saya lihat belum berhasil kepada masyarakat. Itu berjalannya setahap.
Termasuk juga kepada mereka yang masih aktif belajar sebagai mahasiswa. Ini juga sebuah sarana, bahwa mereka juga akan mengalami suatu masa, ketika baru lulus belum tentu dapat pekerjaan. Artinya, dia akan menjadi penggangguran. Penggangguran itu juga adalah titik terberat partai buruh untuk memperjuangkannya.
Bahwa kalau petani, nelayan, buruh atau pekerja tadi, mereka sudah bisa memperjuangkan dirinya minimal mendapatkan upah yang dia bisa dapatkan apa adanya. Tapi kalau penggangguran dia sama sekali belum mendapatkan apa-apa, seperti upah maupun pekerjaannya. Ini juga harus dipikirkan Partai Buruh. Bahwa Bagaimana partai ini bisa memperjuangkan mereka yang sudah sekolah tinggi. Tapi tidak ada sarana pasca sekolah, maksudnya setelah kuliah adalah mengganggur.
Pendek kata, Bagaimana ini butuh kebijakan negara untuk menciptakan lapangan kerja baru? Dan, saya yakini hanya Partai Buruh-lah yang mampu melihat persoalan ini.®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html