Senin, 23 Maret 2009

SEBUAH KETULUSAN

Oleh: Ira Puspitasari, Penerjemah Buku Mengenal Teori-Teori Politik, & Ilmu Politik
Hujan sangat deras di luar, sang ibu dengan wajah penuh harap menatap serius ke arah hujan sambil menyusui anaknya di dada kirinya. Pikirannya menerawang pada keadaan lelaki yang dicintainya di luar sana yang sedang berjualan gorengan. Apakah dia mendapat tempat teduh..apa ada yang membeli jualannya saat hujan begini..
Di bawah jembatan, lelaki itu sedang semangat menggoreng dengan banyaknya. Berpikir hujan-hujan begini orang biasanya senang makan yang hangat-hangat. Tidak lama sebuah mobil panther hitam berhenti. Dari dalam tampak padat dan ramai dengan anak-anak, dan orang tua. Keluarga besar rupanya, pikir Marno. Terdengar saut-sautan dari dalam mobil, saat kaca mobil terbuka.
“Pa, aku pisang goreng!’ saut anak kecil dari bangku bagian belakang.
“Aku bakwan om” saut yang lainnya.
“Borong aja pasemuanya biar kebagian” saut seorang ibu dari bangku tengah.
Dengan semangat Marno mulai melayani pelanggannya. Selesai itu Marno mulai menggoreng lagi untuk pelanggan berikutnya. Tapi rupanya keberuntungan tidak selalu datang berturut-turut, gorengan yang sudah dibuatnya belum juga laku terjual. Sudah tengah hari dan hujan pun sudah reda, Marno memutuskan untuk pulang ke rumah dulu.
Di rumah, Wati yang sedang melamun memikirkan suaminya di luar sana, lalu dia menatap putrinya yang sedang menyusu dan sambil terlelap tidur. Beruntung dia telah memiliki putri cantik dan laki-laki yang dengan sekuat tenaga selalu berusaha membuatnya bahagia dengan segala keterbatasan yang ada.
Wati tersenyum, ditaruhnya si kecil Marni di kasur tipis beralas seprei merah muda yang lusuh. Dibuatnya Marni tidur dengan senyaman mungkin. Mulailah dia membereskan pekerjaan rumahnya, sehingga sesampainya Marno ke rumah, dia bisa makan dengan kenyang. Belum selesai apa yang dikerjakannya, Marni menangis, waktunya minum susu. Kalau pagi memang Marni lebih sering tertidur, apalagi jika perutnya sudah kenyang. Dia akan mulai menangis jika tidurnya tidak nyaman atau dia haus dan lapar. Beruntung air susu Wati selalu tersedia penuh, kapanpun Marni minta minum, Wati selalu sabar memberikan asinya dan membiarkan Marni berlama-lama menghisap putingnya.
Dengan segera Wati mencuci tangannya dan menghampiri Marni. Wati senang melakukan pekerjaanya sebagai ibu rumah tangga sejati, tapi..berat sekali menjalani semua ini. Mengurus rumah, anak, suami. Wati mau semua di jalaninya dengan sempurna, menjadi ibu yang baik untuk anaknya dan menjadi istri yang sesuai seperti yang di inginkan suaminya.
Marni dengan semangat menghisap putingnya. Wati menatap ke arah dapur, masakannya belum matang. Panci, baskom, masih tergeletak tidak beraturan, sayur-sayurannya masih di dalam baskom, belum disentuh sama sekali. Beberapa bumbu sudah disiangkannya tapi belum ada yang siap untuk dimasak, apalagi untuk dimakan. Bagaimana kalau suaminya pulang untuk makan. Marno memang tidak berjualan terlalu jauh dari tempat tinggalnya, jadi setiap jam 12 siang Marno akan pulang untuk makan siang. Rumahnya masih terlihat belum benar-benar rapih, hujan di luar sudah mulai reda, pasti suaminya akan pulang sebentar lagi.
tek..tek..tek..bunyi penggorengan di pukul terdengar, tanda Marno sudah sampai.
"Kamu kehujanan Yah?" sahut Wati dari dalam, tanpa menghampiri ke pintu karena masih menggendong Marni.
"Tidak. Aku berteduh di bawah jembatan pada saat hujan turun" jawab Marno sambil tersenyum ke arah Wati, lalu meletakkan pikulannya. Wati menaruh Marni lagi karena sudah tertidur kembali, lalu menghampiri Marno di pintunya menemani suaminya masuk. Di ikutinya Marno dari belakang. Pundaknya basah..
Wati mengambilkan baju kering dari dalam lemari dan memberikannya pada Marno. Marno langsung tersenyum, dalam hatinya berkata, istriku paling tahu apa yang aku butuhkan, dan dia tidak pernah marah dengan kesalahan-kesalahan kecilku.
Selesai mengenakan baju keringnya, Marno duduk disamping Marni dan menatapnya dengan senyum. Marni lucu sekali sewaktu tidur, mulutnya sambil kenyot-kenyot seolah-olah dia masih dalam dekapan ibunya sambil menyusu. Wati masih berkutat di dapur mencoba memasak seadanya.
“Bu, Marni ngapain aja hari ini?”
“Dia tidur terus, lumayan minumnya banyak, jadi tidurnya nyenyak banget”
“Ayah jualannya gimana?’ lanjut Wati sambil mengiris bumbu untuk tumisan.
“Yah lumayanlah” jawabnya datar.
“Kalau di luar jualannya tidak terlalu ramai jangan terlalu dipaksain yah, kan ibu juga jualan di depan rumah, lumayan, ibu-ibu pada suka jajan. Kata mereka gorengan ku berasa bumbunya” sambil mengulek sambel Wati tersenyum bangga. Lalu disingkirkannya bumbu-bumbu dan mengambil piring untuk wadah sambelnya.
“Alhamdulillah deh. Maaf ya bu, ayah tidak bisa banyak membantu untuk pengeluaran rumah, cuma seadanya, gak bisa kasih banyak-banyak supaya ibu bisa leluasa untuk belanja ataupun menabung untuk kita nanti”
“Yah, ibu sudah bersyukur ayah sudah memberikan yang tidak kurang”
“Ah ibu bisa saja” Marno menghampiri Wati dan mengacak-acak rambut Wati yang sedang menumis sayur dengan mesra.
“Kamu masak apa untuk aku bu?”
“Tumis kangkung dan tempe goreng kesukaan kamu”
“Asiik..jadi laper aku” senyum sumringah keluar dari bibir Marno.
“Harap tunggu ya, setengah jam lagi deh”
“Aku bantu boleh?”
“Nggak usahlah, kamu jaga Marni aja yah, takut ada lalet nemplok”
“Ok!” Marno langsung menghampiri Marni dan mengambil kipas.
“Bu, apa kamu bahagia dengan keadaan kita sekarang yang serba kekurangan”
Wati tersenyum sambil menggoreng tempe kesukaan suaminya
“Yah, kebahagian itu tidak bisa diukur dengan harta atau keberadaan kita sekarang. Aku sudah sangat bahagia dengan keadaan ini. Karena aku punya suami yang sayang sama keluarga, baik, soleh, bertanggung jawab, dan pekerja keras. Dan satu lagi yang paling penting, aku punya putri cantik yang bikin aku merasa sempurna menjadi wanita”
Senyum ikhlas terlihat dari bibir Wati. Makanan pun sudah jadi lalu ditaruhnya di meja kayu dekat dapur. Wati mengambil piring dan gelas untuk tempat suaminya makan.
“Ayo Yah, sudah siap makanannya” Wati sambil merapikan meja makan kecil di pinggir ruangan di antara kamar tidur dan dapur.
Tempat tinggal mereka sebenarnya bukan rumah, tapi hanya kamar yang mereka bentuk sedemikian rupa sampai ada kamar, dan dapur, juga meja kecil yang mereka taruh untuk meja makan. Pembatas kamarnya Marno taruh triplek saja. Tapi kamar itu mereka sebut ‘rumah kita’.
“Beneran nih ibu ngga nyesel dengan keadaan kita sekarang? Rumah kontrakan yang murahan, jelek, suaminya tukang gorengan, makanannya nggak bisa mewah-mewah dan banyak gizinya” Marno mulai mengambil nasi dan menaruh lauknya ke nasi.
Wati tertawa geli, menganggap suaminya terlalu melebih-lebihkan keadaannya.
“Ayah nggak perlu khawatir, aku bahagia lahir batin deh. Walaupun kita tinggal di rumah yang biasa saja, tapi kita selalu bahagia, penuh dengan tawa kita dan si kecil Marni. Lagi pula, kebahagian itu karena kita senang, bukan karena kita kaya. Satu lagi, makan tempe juga bergizi lho..tinggal bagaimana kita ngolahnya aja, enak apa nggak”.
“Ah kalau masalah enak sih ibu jagonya bikin makanan yang enak-enak…” Marno mulai menikmati makannya sambil menaikkan satu kakinya di atas kursi seperti makan di warteg.
Wati melanjutkan merapihkan dapurnya terlebih dahulu dan mulai membereskan bagian rumah lainnya. Selesai merapihkan dapurnya Wati menghampiri Marno untuk ikut makan.
“Kita harus menerima dengan keadaan kita yang sekarang, karena kebahagiaan itu dari kita sendiri. Sambil gak lupa berusaha dan berdoa supaya keadaan kita nggak gini-gini aja, tapi terus berjalan ke arah yang lebih baik” ucap Wati tersenyum sambil menatap ke arah Marni, berharap di kemudian hari anaknya bisa merasakan kebahagiaan dan tercukupi segala kebutuhan hidup dan pendidikannya.
“Yah semoga semua berjalan dengan baik ya bu”
“Amin..”
Dengan lahapnya Marno menghabiskan makan, dan Wati memulai makan dengan semangat karena sudah lapar. Marni yang sudah berusia 4 bulan masih tertidur nyenyak di atas tempat tidur mereka sekeluarga dalam kamar yang mereka sebut rumah kita, namun keindahan sentuhan Wati membuat rumah sempit itu terasa lega dan indah. Apalagi ada kesetiaan dan ketulusan dari penghuni rumahnya. Marni si kecil pun terkenal anak yang jarang terdengar rewel atau sering menangis oleh para tetangganya. Kata Wati, Marni hanya menangis jika dia mengantuk atau haus, jika sudah diberikan yang dia mau, Marni akan tenang. Wati sudah mengerti benar irama kehidupan Marni bayi mungilnya, buah cintanya dengan Marno.◘

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html