Kamis, 01 Juli 2010

PRESS RELEASE - Peran dan Keberpihakan Kaum Intelektual Dalam Pembangunan Tangerang Selatan -

Sebagai daerah baru, Kotamadya Tangerang Selatan (Tangsel) harus dikelola secara baik agar tidak terjadi kemacetan dalam pembangunan. Momentum ini tentunya harus mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak dalam kerangka menciptakan dinamika pembangunan yang berkesinambungan. Proses yang berlangsung baik diharapkan memunculkan hasil yang baik, dan pengawalan terhadap keberlangsungan proses ini menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Salah satu pihak yang harus mengambil peran dalam suksesi ini adalah kaum cendikiawan atau intelektual.

Keberadaan kaum cendikiawan atau intelektual di Tangsel diharapkan tidak hanya menjadi kelompok pengamat ataupun penduduk pasif yang monoton. Di sisi lain, tenaga dan pikiran kelompok tersebut dapat bermanfaat dalam proses pembangunan Kota Tangsel. Sebagian bahkan berpendapat bahwa harus ada komposisi yang pas dari perwakilan kelompok untuk memimpin Tangsel agar terhindar dari pertarungan ekonomi politik yang negatif. Komposisi yang dimaksud misalnya, pengusaha dengan birokrat, pengusaha-tokoh masyarakat, birokrat-tokoh masyarakat ataupun sebaliknya. Salah satu intelektual yang berpendapat demikian adalah Amarno Y. Wiyono, seorang Direktur kelas non regular Universitas Pamulang serta anggota Dewan Kota Tangsel yang berharap muncul pasangan enterpreuner (pengusaha) dengan birokrat dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Tangsel 2010.

Sementara itu, unsur birokrat harus berani mengambil tantangan bersinergi dengan unsur-unsur yang ada, termasuk pengusaha dalam hal menjalankan program pembangunan Tangsel. Beberapa mengatakan persolan Tangsel yang meliputi; perbaikan jalan, pembangunan gedung pemerintahan, tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, penataan birokrasi perlu segera dibenahi termasuk didalamnya program-program pro rakyat. Karena jika tidak sesegera mungkin dibenahi, kemungkinan besar Tangsel tidak akan bergerak maju arah pembangunannya bahkan dapat dikatakan mundur ataupun mengalami stagnasi. Apalagi faktanya, sejak Pemilukada di Indonesia, para pejabat pemerintah atau birokrat banyak yang turut ambil bagian. Mereka meninggalkan jabatannya untuk meraih jabatan yang lebih tinggi. Dari hasil pemilukada sejak Juni 2005 yang sudah berlangsung 343 pemilihan, hampir 40 persen dimenangkan kalangan birokrat. Tak dapat dipungkiri, gaya kepemimpinan seorang birokrat kerapkali mengacu kepada sistem dan pola yang sudah ada, sehingga mereka condong mengendalikan, mengarahkan, menjelaskan, dan memberi instruksi sangat pas untuk mengembangkan daerah yang baru berdasarkan kesepakatan awal untuk pemekaran.

Kesimpulannya adalah, kaum cendikiawan atau intelektual harus berani mengambil peran yang lebih maju, dalam arti mampu melibatkan diri sejauh mungkin dalam melakukan praktek pembangunan kota Tangsel. Sementara unsur birokrat harus mempraktekkan kemampuannya ditengah—tengah masyarakat dengan terjun langsung melihat keluhan, kekurangan pembangunan, kondisi kesejahteraan dan melaksanakan amanah yang telah diberikan masyarakat. Bahkan dalam Pemilukada Tangsel 2010, kalangan birokrat dari daerah induk yang mengerti maksud dan tujuan pemekaran harus berani terlibat dalam pertarungan tersebut tanpa meninggalkan kaum cendikiawan atau intelektual dan mampu bergandengan tangan dengan kelompok-kelompok lain seperti pengusaha dalam menjalankan roda pemerintahan di Kota Tangsel. Hal ini diusulkan guna menjaga stabilitas ekonomi politik Tangsel lima tahun kedepan sebagai sebuah daerah yang baru dimekarkan.


Ciputat, 1 Juli 2010

Hormat Kami,


Efriza, S.IP
(Direktur Program dan Riset)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html