Kamis, 09 Juli 2009

ANALISIS: KEKALAHAN JK



Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik”
JK sangat menarik dalam setiap penampilan didebat, sosoknya penuh humor, tidak jaim (jaga image), dan penampilannya sangat sederhana. Tanggal 8 Juli kemarin, Pemilih telah menentukan pilihannya dalam Pilpres, dengan memilih SBY kembali. Dari proses pemilu telah jelas bahwa JK kalah. Lalu apa yang menyebabkan kekalahannya? Berikut ini adalah realitasnya.
JK memang pantas diacungkan jempol. Ia telah menjalankan demokrasi yang lebih maju, dengan sangat beraninya ia yang berada di pemerintahan sebagai wakil presiden memilih bertarung dengan presiden. Namun sayang, langkah JK menjadi calon presiden dianggap oleh masyarakat kita yang berbudaya timur sebagai tindakan tidak etis, juga telah menjadi momok menakutkan karena memiliki sifat “ambisius” akan kekuasaan. Bahkan, tampaknya masyarakat begitu memperlihatkan sikap kekecewaannya terhadap JK, dimana ia suaranya menduduki peringkat ketiga (dari polling/exit poll, karena belum diumumkan KPU). Yang secara logika ia seharusnya peringkat kedua karena masih dipemerintahan, penyebabnya tak lain adalah sebelum JK memutuskan menjadi presiden masyarakat mengharapkan SBY berpasangan lagi dengan JK.
Pemilih tidak menentukan pilihannya terhadap JK, juga disebabkan masyarakat menginginkan kestabilan pemerintahan. Patut diingat setelah Presiden Soeharto lengser, pemerintahan selalu berganti-ganti presiden. Hingga akhirnya rakyat sendiri yang menentukan pilihannya melalui Pilpres tidak lagi suara rakyat diserahkan kepada MPR. Namun dalam kurun waktu sampai 2004 lalu, kondisi pemerintahan selalu diwarnai penerapan kebijakan yang selalu berubah-ubah dikarenakan berganti-gantinya presiden. Kondisi inilah yang dinilai oleh masyarakat, bahwa jika ingin pemerintahan fokus dalam langkah mensejahterakan masyarakat, maka kebijakan presiden perlu dilanjutkan kembali untuk kedua kalinya supaya upaya mensejahterakan rakyat bisa dikedepankan dan kondisi inipun didukung oleh Konstitusi bahwa jabatan presiden dapat dua periode.
Misal, langkah BLT yang seharusnya tidak pantas lagi dari segi peraturan karena program BLT dilakukan sebagai dampak dari kenaikan BBM, sementara BBM sudah turun 3x. Tapi upaya pemerintah untuk terus melanjutkan program BLT melalui visi yang baru yakni untuk membantu rakyat miskin, akhirnya mengandung pencitraan positif karena sangat membantu dan telah lama juga dinikmati oleh mereka.
Isu SARA. Seperti pentingnya ibu negara menggunakan jilbab, dan Istri Boediono, Herawati yang di “isu” kan beragama kristen. Entah darimana asalnya, pelan tapi pasti telah menjerumuskan kampanye JK penuh nuansa negative campaign bahkan black campaign. Meski bangsa Indonesia mayoritas masyarakatnya adalah Islam, tapi masyarakat secara tersurat telah menempatkan agama sebagai pembeda yang jelas dengan politik, sebagai wujud semangat pluralisme. Jadi isu ini malah mengurangi simpatik masyarakat.
JK yang telah memilih menjadi rival SBY, mencoba untuk menawarkan perubahan dengan jargon “Lebih Cepat Lebih Baik”. Tampaknya, jargon ini kurang diperhatikan oleh Tim Sukses JK. Jargon tersebut banyak membuka peluang untuk diperbaiki dan disinergikan dengan jargon dari rivalnya. Sehingga menunjukan jargon JK “Lebih Cepat Lebih Baik” diartikan penuh kekhawatiran, bahwa pengambilan keputusan akan bersifat terburu-buru. Dibandingkan dengan jargon tandingan dari rivalnya, “Lebih Tepat, Lebih Baik, dan Lebih Amanah”.
Bahkan, jargon “Lebih Cepat Lebih Baik” memiliki citra negatif bagi aparat birokrasi. Diartikan akan ada reformasi birokrasi besar-besaran, sementara selama ini birokrasi kita telah lama mengidap penyakit “Kalau Bisa Diperlambat Buat Apa Dipercepat”.
Pencitraan JK yang dianggap terburu-buru oleh rivalnya, secara tak langsung juga ada benarnya. Misal, ketika JK secara terburu-buru melakukan kebijakan konversi gas. Terlihat bahwa program ini yang begitu digaung-gaungkan sebagai keberhasilan JK, kurang diperhatikan, bahwa program ini sejatinya terlampau dipaksakan atau terlalu dini sehingga “amat” memberatkan masyarakat. Dimana masyarakat harus mengganti kompornya dengan gas, bahkan pertama-tama program ini digulirkan tabung gas penuh dengan resiko kebocoran dan kebakaran, lebih dari itu bagi masyarakat miskin minyak tanah lebih murah dibandingkan gas karena jika mereka tidak memiliki uang maka minyak tanah bisa membeli dengan harga per-liter sementara gas setiap pembeliannya harus memiliki uang sebesar 15 ribu untuk 3 kilo-nya, belum lagi proses pembakarannya yang lebih bagus adalah minyak tanah.
Kesuksesan JK dalam mendamaikan Aceh, bagi masyarakat secara keseluruhan juga tidak menjadi poin penting menggiring untuk memilihnya. Bagi masyarakat kesuksesan di Aceh terjadi tanpa bisa dilepaskan dari campur tangan presiden. Analisis ini ada benarnya, karena tanpa bisa dimungkiri bahwa wakil presiden selalu diposisikan sebagai “ban serep” bukan the real president. Bahkan, masyarakat menganggap bahwa keberhasilan itu hanya sebuah kesuksesan untuk daerah itu saja, maksudnya tidak menyentuh secara keseluruhan bahwa NKRI tidak akan lagi dirong-rong disintegrasi lagi. Misal, uniknya, di Aceh sendiri masyarakatnya “memberikan” dukungan terbesar untuk pasangan SBY-Boediono, karena mereka merasakan kedamaian tak bisa dilepaskan dari campur tangan Presiden Yudhoyono.
JK sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan terobosan baru agar orang-orang dari Indonesia Timur pun bisa menjabat sebagai presiden. Tapi lagi-lagi dampaknya tidak terlalu besar, karena orang-orang dari Indonesia Timur yang berada di daerah Jawa kurang menjadi garapan yang penting bagi Tim Sukses JK.
Sehingga mereka pun “kurang” yakin JK yang berasal dari Kawasan Timur Indonesia yang sama seperti mereka, mampu menjadi Presiden. Apalagi jargon JK hanya “Pasangan Nusantara” atau hanya ‘menjual’ kesuksesan karena berhasil mendamaikan kawasan Indonesia Timur yang berkonflik seperti Aceh, Maluku, dsb. Sementara yang diperlukan adalah kebijakan konkrit bagi Pembangunan yang lebih maju di Kawasan Indonesia Timur, atau dalam bahasa Penulis adalah langkah kedua setelah berhasil mendamaikan.
Dukungan terhadap JK juga sulit diberikan oleh masyarakat, karena Wakil Presidennya adalah Wiranto yang “masih” membawa beban masa lalu akan isu Pelanggaran HAM. Meski, kebenarannya belum terbukti.
JK yang sebagai saudagar, tampak secara tak langsung juga “menghilangkan” nilai penting untuk memilihnya. Bagi masyarakat, saudagar tetap dianggap akan menyebabkan pertarungan kepentingan antara bisnis dan jabatan sebagai presiden, jika ia dipilih. Momok menakutkan itu pun juga membawa “citra” akan munculnya Orba Jilid II, yang telah menyengsarakan kehidupan masyarakat.
Partai-partai di DPR sekarang, tampaknya juga telah melakukan hukuman untuk JK karena partai-partai tersebut akhirnya tersingkir dari DPR disebabkan aturan parliamentary thereshold (PT). Sehingga, caleg-calegnya yang gagal juga melakukan langkah menggiring massanya untuk tidak memilih JK–apalagi JK juga dalam kampanyenya berniat menaikan parliamentary thereshold menjadi 5 persen pada Pemilu Legislatif berikutnya.
Tanpa bisa dimungkiri, proses parliamentary thereshold yang melalui bargaining politics dengan adanya Aturan Peralihan (pasal 316 huruf d) di UU No. 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, yang membolehkan parpol berkursi DPR berhak langsung ikut pemilu 2009 (meski pada akhirnya MK dalam Keputusan No. 12/PUU/VI/2008 tanggal 11 Juli 2008, mengabulkan permohonan hak uji materi terhadap Pasal 316 huruf d UU No. 10/2008 tentang Pemilu Legislatif). Juga terjadi karena adanya campur tangan JK.
Sedikit mengulas perjalanan peristiwa ini sebelum memasuki judicial review di MK. Diakhir pembahasan, dua pasal krusial usul Partai Golkar masih ditolak, yakni sisa suara ditarik ke provinsi dan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Upaya kompromi terancam gagal karena F-PAN, F-PD, dan F-PPP berkukuh kursi sisa suara habis di daerah pemilihan, dan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Namun, meskipun setuju voting, upaya JK Ketua Umum Partai Golkar sekaligus wakil presiden, untuk berkompromi belum berhenti. Malamnya pada ahad bulan Maret itu, sebelum sidang paripurna terakhir, JK menggelar “hajatan besar” secara tertutup di rumah dinas Jalan Diponegoro No. 2, Menteng, Jakarta Pusat. Politikus teras di parpol dan empat menteri masuk daftar hadir seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Widodo A.S, Mensesneg Hatta Rajasa, Mendagri Mardiyanto, serta Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta. Acara selama empat setengah jam menghasilkan satu keputusan. “Penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut telah disepakati semalam,” kata Ketua DPR Agung Laksono dalam rapat paripurna 3 Maret lalu.
Bahkan, keterlibatan JK tak hanya menjelang sidang paripurna terakhir. Enam hari sejak 23 Februari lalu JK terlibat dalam forum lobi. Tak berada di Indonesia, JK menggunakan telepon pribadinya dari Korea dan Jepang. Saat itu JK sedang dalam kunjungan dinas di dua negara itu. “Suatu Ketika sempat baterai handphonenya habis,” kata sumber Tempo peserta rombongan Kalla.
Sumber lain menyebut hubungan lewat ponsel saat itu salah satunya dengan petinggi Partai Demokrat. Sumber Tempo tak tahu pembicaran lewat telepon JK itu. Lobi politik ketika itu membicarakan enam pasal krusial. Para pemimpin fraksi selama 12 kali lobi gagal mencari titik temu. Selain dua aturan krusial, empat pasal lainnya antara lain soal besaran parliamentary thereshold dan electoral thereshold, alokasi kursi daerah pemilihan, jumlah kursi di DPR, serta mekanisme pemungutan suara.
Forum lobi kemudian mengakomodasi kepentingan sejumlah parpol berkursi di bawah 3 persen electoral thereshold, syarat menjadi peserta pemilu 2009 dalam UU Pemilu Legislatif 2004. Partai yang masuk kategori minim suara adalah PBR, PDS, dan PBR. “Mereka bermain cantik,” kata sumber Tempo yang hadir. Mereka mendukung partai besar, “Sebelum pertemuan di rumah dinas JK.”
Partai politik “minim suara” mendukung setelah UU baru membuat aturan peralihan dari pemberlakuan syarat electoral thereshold dan parliamentary thereshold. Aturan peralihan itu membolehkan parpol berkursi DPR berhak langsung ikut pemilu 2009.
Terhadap dua pasal krusial ini, suara partai kecil beralih mendukung PDIP, Partai Golkar, dan PKB. Andi Yuliani Paris dari PAN membenarkan usaha partai kecil menggolkan aturan peralihan dengan mendukung tiga fraksi besar. “Padahal aturan ini menguntungkan Partai Golkar dan PDIP,” kata dia (Koran Tempo, 17/3/2008/h. A.4).
Terakhir faktor terbesar kekalahan JK adalah tidak solidnya mesin Partai. Harapan dulang suara terbesar untuk JK adalah solidnya mesin Partai Golkar. Tetapi harapan tinggal harapan.
Partai Golkar sebagai partai terbuka, memiliki masalah klasik, ia memiliki 5 faksi seperti JK, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung. Sehingga tidak bisa dimungkiri setiap “keputusan” JK dapat menimbulkan konflik, seperti penolakan JK, terhadap arus kepentingan daerah ditubuh partai golkar yang meminta Golkar untuk bersikap sebagai oposisi.
Keputusan Tim 7 yang dipimpin JK dalam proses pencalegan juga menimbulkan konflik, karena beberapa orang yang berjasa (dalam proses UU Paket Politik) tidak mendapatkan nomor urut peci bahkan dipindahkan dari dapil tempat ia semula dipilih. Ini sangat menyakitkan bagi mereka, karena sebelum keluarnya Keputusan MK tentang suara terbanyak, yang diterapkan adalah nomor urut.
Analisis dari mereka yang tersingkir adalah hanya karena mereka sempat menjadi pendukung Akbar Tandjung. Atau sebuah “konflik pribadi” antara JK dan Akbar Tandjung dalam perebutan Ketua Umum Partai Golkar dalam Rapimnas lalu, yang dimenangkan JK. Maupun JK menerima berpasangan dengan Yuhoyono dalam Pilpres 2004 lalu, meski Partai Golkar telah memilih Wiranto dalam mekanisme konvensi.
Faksi-faksi tersebut bersaing keras bahkan bila kita amati secara seksama dari luar begitu kentara perpecahannya. Misal, ketika JK memutuskan untuk tidak menggunakan Konvensi dalam penjaringan presiden melainkan diganti riset. Telah menimbulkan konflik. Apalagi pada akhirnya, sebelum riset digunakan, entah berawal darimana, tiba-tiba riset yang nantinya akan mengerucut kepada 7 nama akhirnya dihapuskan, dan JK dimajukan sebagai calon presiden tunggal dari partai golkar. Hingga akhirnya timbul juga penolakan “ibarat api dalam sekap” dari arus bawah partai golkar.
Lainnya, jika Aburizal Bakrie telah yakin akan pendiriannya untuk tidak lagi memilih berpartisipasi dalam pemerintahan ke depan, sementara faksi Akbar Tandjung telah memilih SBY melalui organisasi Barisan Indonesia (Barindo)-nya.
Hanya tersisa tiga faksi, yang diharapkan mendukung penuh JK. Namun lagi-lagi faksi ini perlahan tapi pasti mulai mengendur kekuataannya dengan keluarnya ketetapan keputusan MK agar KPU merevisi Penentuan Perolehan Kursi Legislatif. Dampak dari Keputusan MK adalah Agung Laksono terancam gagal menjabat kembali sebagai anggota DPR. Akibatnya, Agung Laksono yang sekarang menjabat Ketua DPR, dapat dikatakan sulit merangkul anggota-anggotanya di DPR untuk mendukung JK secara penuh.
Sehingga tampak di media elektronik maupun media cetak, bahwa Anggota-anggota DPR sekarang yang terpilih kembali tetapi sempat “sakit hati” akibat nomor urut buncit (disingkirkan), dapat dipastikan tidak solid mendukung JK. Bahasa lugasnya, jika dapat dikatakan merupakan dukungan, itu disebabkan kepatuhan mereka terhadap Keputusan DPP Partai Golkar untuk mendukung JK.
Akibatnya, pendukung JK sekarang ini adalah yang fanatik dengan JK dan anggota-anggota DPR yang gagal terpilih (baik yang gagal meskin nomor urut peci maupun yang gagal karena “disingkirkan” dengan diberi nomor urut buncit). Namun lagi-lagi, JK juga tidak sepenuhnya didukung oleh anggota-anggota DPR yang gagal terpilih itu, sebab jika mereka merenung diri dalam kesendirian khususnya bagi yang disingkirkan, dihatinya mendukung isu untuk rapimnas khusus mencopot JK dari kursi Ketua Umum akibat kegagalan JK dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Lebih dari itu, anggota-anggota dari Partai Golkar yang tidak solid itu juga bukan tidak mungkin akan memilih mendukung Yudhoyono di DPR nanti. Bahkan, tahun 2014, penulis memprediksi anggota-anggota DPR dari Partai Golkar yang karena sakit hati akibat (disingkirkan) nomor urut buncit maupun yang gagal, akan berbondong-bondong memilih mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Meskipun bagi mereka yang pemilu 2014 masih memiliki kesempatan untuk dicalonkan kembali sebagai anggota DPR (baca: akibat aturan regenerasi berbeda-beda disetiap partai).®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html