Sabtu, 04 Juli 2009

KAMPANYE...OH KAMPANYE


Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik”
Tak bisa dimungkiri, dianggap tertindas dan teraniaya, menyebabkan salah satu pemicu peningkatan popularitas Yudhoyono dalam pemilihan presiden tahun 2004 lalu. Dengan mengambil sepenggal ucapan dari pasukan musuhnya, seperti, Taufiq Kiemas, Suami Megawati, menyatakan Yudhoyono sebaiknya segera melapor dan meminta izin kepada Presiden Megawati jika memang ingin mencalonkan diri dan tidak usah ribut-ribut di koran. “Jenderal bintang empat kok seperti anak kecil,” begitu kira-kira ucapan Taufik (Koran Tempo, 3 Juli 2009).
Pemilu 2009 pun kembali strategi ini ingin dimanfaatkan. Tapi bedanya dua pasangan dari incumbent dipemerintahan yang pernah satu pasangan pada tahun 2004 SBY-JK, sama-sama berusaha memanfaatkan atau sama-sama memahami perlunya pemanfaatan issu tersebut berdasarkan pengalaman tahun lalu.
Bermula dari kampanye pasangan JK di Medan, dimana terjadi insiden adanya kampanye black campaign yang menyerang kubu SBY-Boediono, “Apakah PKS Tidak Tahu Bahwa Istri Boediono Katolik?” Sehingga, memicu kedua tim saling mengadukan laporan ke polisi. Lalu, pertanyaannya siapakah yang bisa memanfaatkannya?
Tak lain adalah Boediono. Bagi pasangan JK-WIN issu ini menyebabkan pencitraan dimasyarakat sebagai pihak yang terlampau optimistis dan tidak egaliter. Meskipun, jika ternyata bukan Tim Kampanye JK-WIN yang melakukannya. Namun, resiko fatalnya, pasangan JK-WIN kurang mendapat simpatik. Sementara Boediono menanggapi serangan itu dengan tidak melawan, akibatnya dapat menyebabkan simpatik publik.
Ternyata, usaha pencitraan lewat tertindas. Diserang balik oleh kubu JK-WIN dengan menyerang soal iklan ajakan menggelar pemilihan umum presiden satu putaran, karena iklan itu dibuat sukarelawan pendukung calon presiden Yudhoyono. Serangan ini dilancarkan JK sejak awal kepada Yuhoyono, yakni ketika JK diberi kesempatan menyampaikan visi-misinya tentang tema “Negara Kesatuan Republik Indonesia, Demokrasi, dan Otonomi Daerah”, JK mengatakan, “Iklan satu putaran untuk menghemat itu sama halnya memandang demokrasi sama dengan uang. Nanti 2014, saya khawatir ada iklan ‘[Lanjutkan]’, terus tanpa pilpres demi menghemat Rp 25 Triliun.” Di sini terlihat, bahwa JK ingin memanfaatkan issu bahwa pasangan SBY-Boediono sebagai pasangan yang memanfaatkan segala cara (unfair) demi terpilih kembali sebagai presiden untuk kali keduanya.
Menariknya lagi, dua kubu SBY-Boediono dengan JK-WIN juga memainkan strategi kampanye saling menggembosi. Misal, meski pasangan SBY-Boediono didukung oleh Partai Islam seperti PKS, PAN, PPP. Namun, JK-WIN ingin menunjukan kekuatan tandingan dengan didukung FPI yang merupakan Ormas Islam yang selalu melakukan action untuk menunjukkan kepeduliannya akan kemaslahatan umat Islam. Misal spanduk FPI, “Ayo…, Pilih JK-Wiranto Lebih Cerdas, Tegas & Lugas.”
Lalu, bagaimana strategi kampanye Mega-Prabowo? Rupanya, pasangan ini memanfaatkan strategi kampanye yang sama dengan JK. Tetapi Mega-Prabowo tidak membawa issu sebagai pihak tertindas melainkan memainkan issu menggiring opini sebagai pasangan yang layak terpilih dan pengembosan suara dari koalisi pasangan SBY-Boediono sebagai berikut: Pertama, menggiring opini sebagai pasangan yang layak terpilih, “Pilpres Satu Putaran, Pilih Nomor 1 Saja Mega-Prabowo” Kedua, penggembosan suara dari koalisi pasangan SBY-Boediono yakni dengan membuat spanduk (dari sukarelawan) yang menonjolkan, misal, lambang mirip dengan PAN yakni “Prabowo Amanat Nasional.” Lainnya, menonjolkan bahwa pasangan Megawati dan Prabowo sebagai pasangan yang sama-sama tangguh, misal, spanduk (dari sukarelawan) “Ingin Perubahan? PRABOWO, Solusinya.” Namun disatu sisi kampanye ini sangat rentan karena bisa mencitrakan dualisme kepemimpinan, sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa mungkinkah pasangan ini akan akur dipemerintahan nanti? .◘

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html