Jumat, 10 Juli 2009

KEMENANGAN YUDHOYONO & PEMERINTAHAN KE DEPANNYA


Oleh: Efriza, Penulis buku “Menembus Lorong Waktu Parlemen Indonesia”
SELAMAT & HARUS DI AWASI. Kalimat ini sudah pasti ditujukan kepada pemenang SBY-Boediono, yakni berupa pujian beserta peringatan setelah perhelatan besar Pemilu Presiden. Tulisan ini juga ingin menggambarkan dua untaian kalimat tersebut.
Program debat yang diselenggarakan KPU tampaknya hanya kecil menambah lumbung suara pasangan SBY-Boediono. Hanya swing voter yang dapat dipengaruhi sementara sisanya hanya memperteguh keyakinan pemilih yang telah memiliki ketetapan hati memilih SBY.
Dipilihnya Yudhoyono kembali, karena masyarakat menginginkan kestabilan dalam kebijakan pemerintah. Sangat jelas kestabilan didapatkan jika yang menjalankan pemerintahan adalah presiden itu kembali.
Memang kesempatan menjabat presiden hanya dua kali, seperti diamanatkan UUD 1945 Pasal 7 amandemen pertama, yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Kesempatan itu pertama kalinya direngkuh oleh Yudhoyono.
Image SBY yang santun adalah kunci kemenangannya. Meski, rivalnya maupun persepsi segelintir orang menganggap ia sebagai sosok yang jaim ataupun kaku. Namun bagi sebagian besar orang, itu adalah pembawaan Yudhoyono yang santun dan patut diteladani karena ia tidak ambisi kekuasaan.
Sikap santun Yudhoyono, ditampilkan dari sikapnya yang selalu ingin membuka komunikasi pertama kali dengan Megawati maupun digulirkannya wacana koalisi dengan PDIP. Ini yang tersimpan diingatan masyarakat. Namun akan berbeda jika kita bicara dari kacamata pengamat politik. Tindakan Yudhoyono itu merupakan strategi memperkecil gerak PDIP sebagai oposisi dan menegatifkan Megawati sebagai sosok orang jawa yang dipenuhi dendam dan penuh ambisi kekuasaan.
Citra santun Yudhoyono juga menggiring opini yang sama bahwa Prabowo sebagai sosok ambisius kekuasaan. Lagi-lagi citra santunnya juga menghadirkan citra negatif bagi JK. Pandangan mengenai ketidaketisan begitu melekat kuat, akibat sikap JK yang masih sebagai wakil presiden menantang pasangannya yakni Yudhoyono diarena Pilpres. Meski hal ini, juga membawa image positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Masih mengenai santunnya Yudhoyono. Ia tidak menampakan sebagai sosok yang ambisi kekuasaan. Misal, ketika media mulai gencar mencari info tentang siapa calon presiden dari Partai Demokrat, Yudhoyono masih belum bergeming untuk membuat pernyataan melainkan pernyataannya adalah ia ingin tetap fokus dalam masa tugasnya. Sehingga deklarasi Yudhoyono sebagai calon presiden dari Partai Demokrat juga mengalami beberapa kali penundaan.
Yudhoyono juga pandai memadukan strategi politik dengan kultur jawa. Seperti Yudhoyono adalah sosok presiden yang selalu mengindari perselisihan dalam memerintah. Tampak dalam setiap menangani perselisihan dengan parlemen, Yudhoyono lebih menggunakan pendekatan kompromi politik. Sehingga, kegarangan pengawasan parlemen baik yang dilakukan oleh oposisi maupun koalisi pemerintahan yang kritis, selalu berhasil dijinakkan Yudhoyono ditengah jalan, akhirnya DPR dianggap sebagai “banci tampil” oleh sebagian masyarakat.
Yudhoyono juga mahir menampilkan dirinya sebagai sosok penyayang keluarga dan kepala keluarga yang sukses membangun keluarga harmonis. Misalnya, disetiap beliau tampil dalam berbagai event, keluarga, mantu beserta cucunya selalu diikutsertakan.
Pemilihan Boediono sebagai wakil presiden mendampingi Yudhoyono, tanpa bisa dimungkiri juga mendongkrak suara. Meski juga masih diperbedebatkan, seperti jika kita melihat dari kacamata apatisme sebagian orang terhadap partai, misal Pileg 2009 lalu, Partai Demokrat mendesain pendongkrakan suaranya melalui sosok SBY bukan dari calegnya maupun visi-misi serta ideologi yang ditawarkan oleh Partai Demokrat itu sendiri. Namun sebaliknya, akan berbeda jika kita melihat dari sisi sebagian orang yang masih mengganggap mesin partai tetap menjadi handalan, malah yang terjadi adalah Boediono dianggap menurunkan perolehan suara dalam Pilpres itu.
Intinya, Boediono dipilih oleh masyarakat karena memang masyarakat membutuhkannya. Pasangan itu dianggap sanggup menghadapi tantangan perekonomian Indonesia ke depan. Meski Boediono diterpa image sebagai penganut Neolib, tapi tak bisa disangkal sosoknya sebagai seorang profesional ekonom sangat dibutuhkan.
Keyakinan besar masyarakat terhadap sosok Boediono (maupun dipilihnya Boediono oleh Yudhoyono), juga karena ulah DPR yang mendukung Boediono sebagai Gubernur BI pada waktu lalu. Sebelumnya pada saat pemilihan Gubernur BI, mulanya DPR menolak dua pasangan calon yang diajukan SBY karena dianggap tidak layak oleh DPR. Sehingga, nama Boediono akhirnya muncul, selanjutnya DPR pun menyetujuinya untuk menjadi Gubernur BI.
Dukungan terhadap Boediono juga disebabkan oleh sosoknya yang berasal dari profesional dan merupakan calon wakil presiden independen, sehingga dipersepsikan sebagai pembuka trend bagi orang-orang yang profesional tapi independen (baca: maupun apatis terhadap partai) untuk bisa duduk menjadi wakil presiden.
Sikap Boediono yang pemaaf menambah daya tarik, seperti ketika muncul isu yang menerpa istrinya, berupa, “Herawati adalah kristen”. Boediono tidak bergeming untuk menyerang balik penyebar isu tersebut. Sikap Boediono itu dari kacamata politik dianggap sebagai sosok yang memahami kultur masyarakat kita yang berbudaya timur, bahwa dengan tenang menghadapi penghinaan akan melonjakan dukungan.
Program-program SBY yang pro rakyat juga bagian kemenangannya, seperti BLT, Pendidikan Sekolah Gratis, dan program penurunan BBM sampai ketiga kali juga menjadi poin pilihan masyarakat. Yang terbaru adalah Jembatan Suramadu, yang membuat Yudhoyono dianggap berhasil menjalankan program dibidang ekonomi, pendidikan, dan pembangunan sekaligus.
Pilihan terbesar masyarakat terhadap SBY, juga disebabkan keberhasilannya dalam memberantas korupsi. Dengan mempersilahkan KPK untuk memeriksa besannya yakni Aulia Pohan, dan menjelang pemilu akhirnya besannya pun dijatuhi hukuman 4,5 tahun. Kejadian ini semakin memperteguh keyakinan masyarakat bahwa Yudhoyono adalah bapak anti korupsi. Kasus besannya Yudhoyono pun, secara tidak langsung memberikan image negatif bagi pasangan Megawati-Prabowo, karena kasus ini terkait dengan korupsi PDIP dalam proses pencalonan Miranda Goeltom sebagai Gubernur BI waktu lalu.
Di sisi lain lumbung suara SBY-Boediono, juga datang dari kawasan Indonesia timur yang menunjukan sikap “perlawanan” terhadap pernyataan JK yang selalu mengganggap dirinya adalah the real president dalam kasus perdamaian di Aceh, Maluku, atau Kawasan Indonesia Timur; karena bagaimanapun bagi masyarakat kebijakan JK terjadi karena mendapat restu dari presiden Yudhoyono.
Iklan satu putaran dari sukarelawan SBY-Boediono tanpa bisa dimungkiri juga turut membantu, karena telah mengarahkan penggiringan opini masyarakat dalam memilih. Apalagi ditambah dengan hasil survey yang menunjukan kemenangan SBY mutlak hanya melalui satu putaran.
Lanjutkan, Dengan Pengulangan Strategi Dalam Memerintah
Pasangan SBY-Boediono memang sudah menang dan terlihat begitu mudah menang hanya dengan satu putaran. Tetapi kemudahan tidak akan terjadi dalam pemerintahan 5 tahun ke depan. Pasangan ini akan mengalami serangan demi serangan yang sangat dahsyat dari lawan politiknya.
Partai Golkar mungkin sangat sulit memilih menjadi oposisi, karena telah terbiasa dipemerintahan. Tetapi, kemungkinan bergabungnya Partai Golkar dalam koalisi besar antara PDIP, Gerindra, dan Hanura juga kemungkinan dapat terjadi.
Sehingga demikian menghadapi itu semua, maka setelah Agung Laksono kemungkinan besar tidak lagi terpilih sebagai anggota DPR, idealnya kursi pimpinan DPR harus bisa direbut oleh Partai Demokrat sebagai partai yang memperoleh suara terbesar.
Keinginan itu sepertinya telah disiapkan dengan mengajukan Syarief Hasan atau Anas Urbaningrum. Tampaknya, Anas Urbaningrum diberikan jabatan sebagai Ketua Fraksi untuk mengawasi dan mengawal sikap dari anggota-anggota F-PD supaya tetap mendukung presiden. Sementara posisi Ketua DPR, sepertinya Partai Demokrat mempersilahkan Syarief Hasan untuk merebutnya.
Jika peluang pimpinan DPR bandulnya lebih berat ke Partai Golkar. Tampaknya Yudhoyono akan memainkan politik “merebut simpatik”. Partai Golkar yang dipenuhi faksi, seperti JK, Agung Laksono, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Akbar Tandjung. Akan sangat mudah bagi Yudhoyono menarik simpatik dari salah satu faksi, dengan melalui mendukung calon dari faksi tersebut. Dan/atau jika memang sulit menembus diwilayah DPR, maka permainan akan dilakukan diwilayah Rapimnas dalam proses pencarian Ketua Umum.
Jika bandul berada diwilayah koalisi dukungannya. Maka Yudhoyono hanya perlu melakukan komunikasi yang baik dengan rekan koalisinya.
Tetapi, akan berbeda jika bandulnya ke PDIP. Satu-satunya cara membungkam ruang gerak oposisi, adalah Yudhoyono akan selalu menjaga setiap keluaran kebijakan melalui yang terbaik untuk rakyat dan negara. Karena, pengalaman tahun 2004 lalu, oposisi tidak pernah bisa mendapatkan fakta yang jelas-jelas bahwa kebijakan presiden Yudhoyono ada yang membahayakan bagi bangsa dan negara.
Memang F-PD akan sangat sulit untuk menghadapi oposisinya jika ditambah kekuatan Partai Golkar. Meski Partai Demokrat sekarang sebagai peraih suara terbanyak. Tetapi anggota-anggota DPR terpilih mayoritas merupakan pemain baru, sehingga kegamangan berpolitik akan terlihat jelas.
Kalau hanya PDIP, Gerindra, dan Hanura, tidak begitu merisaukan karena hanya PDIP saja yang kawakan. Sementara Gerindra dan Hanura adalah pemain baru sehingga kegamangan berpolitik jelas kentara.
Tantangan terberat adalah jika ditambah dengan Partai Golkar. Meski Partai Golkar diragukan kemampuannya sebagai oposisi tetapi pengalaman Partai Golkar sebagai dedengkotnya partai telah membuat arus keputusan DPR sangat kental akibat dari ‘permainan cantik’ Partai Golkar mempengaruhi keputusan.
Ditambah lagi jika PDIP dan Partai Golkar memainkan peran “menarik simpatik” dengan memasuki wilayah koalisi pemerintahan kemungkinan perpecahan koalisi bisa terjadi atau setidaknya koalisi pemerintahannya akan memilih menjadi partai pendukung kritis seperti pengalaman tahun lalu.
Koalisi Partai Demokrat yang lolos Parliamentary Thereshold yang loyal kemungkinannya hanya PKB. Seperti, Senin 1 Juni 2009, PKB mencopot Effendy Choirie dari jabatan Ketua F-KB DPR, dan digantikan kembali oleh Ida Fauziah. Alasan pencopotannya menurut Muhaimin Iskandar, penggantian ini merupakan rotasi rutin. Apakah pencopotan terkait dengan dukungan F-KB terhadap Hak Angket Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Selasa 25 Mei 2009? Perbedaan pendapat dalam tubuh PKB adalah variasi internal. “Tapi tidak dimungkiri kami memang ingin solid betul mendukung SBY-Boediono dalam Pilpres,” katanya, (Koran Tempo, 2 Juni 2009).
Sementara PKS kemungkinan untuk solid diragukan. Kekecewaan terjadi karena Yudhoyono memilih Boediono sebagai wakil presiden yang bukan dari unsur partai yang berkoalisi. Sementara PKS sudah terlanjur membusungkan dada bahwa kadernya akan ‘dipilih’ oleh Yudhoyono untuk mendampinginya, “kami partai politik peraih kursi ke-4 sudah selayaknya juga berhak menjadi wakil presiden, karena partai politik peraih kursi 1, 2, & 3 juga mempunyai kesempatan untuk menjadi presiden atau wakil presiden”.
PPP juga diragukan komitmennya. Sebab, sebelum menyatakan bergabung dalam koalisi pasangan SBY-Boediono, Ketua Umumnya Suryadharma Ali berupaya untuk mewujudkan koalisi besar bersama Partai Golkar, dan PDIP yakni golden triangle. Bahkan, akibat sikap Suryadharma Ali itu sempat terjadi konflik antara faksi Suryadharma Ali dan Bachtiar Chamsyah.
PAN lebih diragukan lagi. Karena kemungkinan tidak solid begitu besar, seperti Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir secara tersurat telah beberapa kali melakukan manuver untuk menolak berkoalisi mendukung SBY, misal terjadi perang urat saraf antara Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir dengan Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Amien Rais dalam mendukung SBY.
Soetrisno pun sepertinya didera kekecewaan yang dalam. Kekecewaan ini terjadi, karena Soetrisno telah habis-habisan dalam membelanjakan iklan untuk pencitraan dirinya agar masuk dalam daftar peluang menjadi presiden atau wakil presiden, seperti “Hidup Adalah Perbuatan”. Bahkan jika saja PAN sabar, kemungkinannya Soetrisno memiliki peluang menjadi pasangan ke-4 bersama Prabowo dalam pilpres.
Kemungkinan besar PAN untuk tidak solid juga ketika PAN memikirkan “politik balas budi”. Sebab, Ketua Tim Sukses Pemenangan SBY-Boediono adalah Hatta Radjasa yang merupakan kader PAN, sehingga PAN akan mengalami rentan konflik ketika keinginan mengakomodasi permintaan jabatan menteri lebih banyak tidak ditanggapi Yudhoyono. Singkatnya, PAN sangat mudah di”bujuk” misal, untuk bergabung menjadi oposisi atau setidaknya pendukung kritis pemerintahan.
Masih terkait dengan Hatta Radjasa. Jika memang Hatta Radjasa akan berbeda pandangan dengan Soetrisno Bachir tentang koalisi ini (sepertinya mereka ibarat “bara dalam sekap”). Maka kemungkinan pengalaman tahun 2004 dengan mewakafkan kembali menterinya (salah satunya Hatta Radjasa) juga bisa kembali dilakukan PAN. Seperti, Rabu 15 Agustus 2007, dalam acara refleksi kemerdekaan di Rumah PAN di Warung Buncit, Jakarta Selatan. Soetrisno Bachir, mengatakan, “Partainya resmi mencabut dukungan kepada SBY. Alasan pencabutan dukungan itu antara lain partai-partai pendukung SBY mengalami penurunan dukungan dari rakyat. Hasil survei menunjukan partai-partai pendukung pemerintah mengalami penurunan dukungan”, (Warta Kota, 16 Agustus 2007).
Dari berbagai kemungkinan diatas, Yudhoyono akan menggunakan kembali taktik kompromi politik, yakni melalui komunikasi dalam pertemuan-pertemuan penyelarasan pendapat dengan mitra pengawasnya yakni DPR.
Di sisi lain, perjalanan kali kedua Yudhoyono untuk lima tahun ke depan tampaknya akan mengalami surutnya pemberantasan korupsi. Karena langkah-langkah untuk mengebiri kewenangan KPK telah mulai dilakukan. Padahal ini juga merupakan “malaikat penyelamat” bagi Yudhoyono ketika berhadapan dengan DPR. Karena penyelidikan KPK secara langsung maupun tak langsung telah menjadi momok menakutkan bagi anggota-anggota DPR dan partai, sehingga pengawasan terhadap pemerintah akan cepat mengendur karena partai akan fokus menangani masalah anggotanya yang tertangkap KPK.
Dari persaingan antara F-PD dengan oposisi hingga KPK, ke depannya Yudhoyono sifatnya tampak akan lebih ragu-ragu. Karena, tantangannya ke depan adalah bagaimana membuat oposisinya lemah, dan juga tak bisa dimungkiri Yudhoyono telah memikirkan bahwa koalisinya sangat rapuh.
Karena itu, ia lebih memilih Boediono yang profesional dan independen ketimbang kader-kader yang ada dari partai-partai koalisinya. Ini strateginya untuk menghindari adanya dua nakhoda dalam satu kapal, dan “kecemburuan” dari partai koalisinya.
Sehingga partai-partai koalisinya ditempatkan setara hanya menjabat posisi menteri (tidak bicara jumlah), bahkan jika partai itu membangkang akan mudah didepak kader-kadernya yang diposisi menteri, ketimbang diposisi wapres yang ke depannya akan dapat bertarung melawan Yudhoyono seperti telah dilakukan Jusuf Kalla.
Strategi memerintah Yudhoyono untuk kalinya keduanya tampaknya adalah pengulangan (lanjutkan) yakni kompromi politik, kebijakan-kebijakan pro rakyat yang bisa menyelamatkannya, dan pemberantasan korupsi secara besar-besaran dan tidak tebang pilih. Lainnya, Yudhoyono pun akan mengulangi kembali dukungannya untuk Amandemen kelima UUD’ 45 yang akan digulirkan DPD untuk kali keduanya.◘

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html