Sabtu, 04 Juli 2009

BINGGUNG, PILIH YANG MANA?


Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik”
Pertanyaan dari judul diatas, pasti menghinggapi kepala pemilih. Meski kita disuguhi oleh media cetak dan media elektronik tentang siapa dan apa yang akan dilakukan oleh tiga pasangan itu.
Bagi saya ada yang sangat krusial yakni, pertimbangan memilih lebih diukur dari sekecil mungkin kerugiannya. Karena pertanyaan ini sangat minim didapatkan jawabannya dari penyampaian kampanye saja atau dari dialog para capres maupun cawapres yang diselenggarakan KPU. Sebab hakikat jawabannya hanya bisa dirasakan setelah dijalankan oleh pasangan capres-cawapres terpilih.
Ketiga pasangan calon memiliki masalah yang mengitarinya. Meski SBY telah mengantisipasi dualisme kepemimpinan dengan dipilihnya Boediono yang independen sebagai wakil presiden. Tetapi pasangan SBY-Boediono, akan tetap mengalami kesulitan dengan koalisi cair dari partai pendukungnya apalagi secara limitatif akan diatur dalam UU Susduk bahwa jumlah fraksi disepakati sama dengan partai politik yang memperoleh suara 2,5 persen dari suara.
Pengalaman pahit pada tahun 2004 kemungkinan akan kembali dihadapi pasangan ini. Seperti karena polling partainya menurun, maka partai itu langsung beralih menjadi oposisi dan selanjutnya mewakafkan anggotanya yang menjadi menteri. Disini, saya bukan ingin mengatakan bahwa DPR harus kembali lagi menjadi stempel pemerintah. Tetapi hubungan eksekutif dan legislatif dilakukan dalam rangka checks and balances bukan hanya teater semata.
Belum lagi, pasangan ini sama-sama lamban dan penuh kehati-hatian. Jika memerlukan langkah cepat dalam situasi tertentu, kita sulit berharap dari mereka, karena “sense of urgency-nya, kurang.” Sehingga kembali diwarnai kekisruhan hubungan eksekutif-legislatif, yang juga berasal dari koalisi cair tersebut. Harapan digantungkan dari Fraksi Partai Demokrat yang sekarang menduduki peringkat pertama dalam perolehan kursi untuk bermain cantik menghadapi gempuran-gempuran dari Senayan. Dan, kemampuan presiden untuk kompromi politik dengan legislatif kembali menjadi harapan terakhir. Jika itu semua gagal, wacana presiden untuk melepaskan jabatan struktur partai menjadi “semestinya”.
Di sini memang tampak anggota DPR membela kepentingan partai politiknya bukan membuat UU Paket Politik untuk jangka panjang. Seharusnya, jika DPR konsisten terhadap semangat penyederhanaan partai, maka UU Susduk dalam pengaturan pembentukan fraksi adalah terdiri dari tiga fraksi berdasarkan peta koalisi terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusungnya, misal, fraksi SBY-Boediono, fraksi JK-Win, dan fraksi Mega-Pro. Sehingga ke depannya hubungan eksekutif dan legislatif dilakukan dalam rangka checks and balances bukan hanya teater semata.
Sementara bagi Mega-Pro, akan kembali terjadi dualisme kepemimpinan seperti pengalaman tahun 2004 lalu. Tanpa dimungkiri, Megawati dan Prabowo merupakan dua pasangan ibarat bara dalam sekap. Layaknya pasangan SBY-JK tahun lalu. Sehingga demikian, diprediksikan pemerintahan akan mulai tidak efektif memasuki tahun ketiga menjelang persiapan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Dimana, Prabowo mempersiapkan diri menjadi calon presiden dari Partai Gerindra.
Beda pasangan akan beda pula tantangannya. Meskipun bagi JK-WIN, juga sangat rentan terjadi dualisme kepemimpinan seperti pengalaman tahun 2004 lalu. Namun, bagi JK-WIN masalahnya yang terpenting adalah Apakah akan muncul Orde Baru Jilid II? Jusuf Kalla dan Wiranto meski diusung dari dua partai berbeda yakni Partai Golkar dan Partai Hanura. Tapi, kita sudah mengetahui bahwa Partai Hanura bukan semata berasal dari orang awam melainkan lebih utama (besar) berasal dari kader-kader Partai Golkar. Di sini, sangat sulit membedakan diantara kedua partai itu atau bisa saja anggapan yang berkembang menjadi dibenarkan bahwa Partai Hanura merupakan ‘sekoci’ dari Partai Golkar.
Dari elemen ini mungkin tidak begitu menakutkan karena adanya penerapan secara limitatif dari UUD tentang masa jabatan presiden untuk dua periode. Tapi, ingatan kolektif kita akan Orde Baru dengan Partai Golkar tidak sekejap mata terlupakan. Karena bagaimanapun Orde Baru melalui Partai Golkarnya berhasil menguasai seluruh pemerintahan.
Belum lagi kita menyadari bahwa JK ‘dituding’ membawa semangat double kepentingan antara jabatan publik dan pebisnis. Mungkinkah pernyataan Yudohoyono yang mengkritik bisnis keluarga pejabat itu menjadi kenyataan. “Ingat, gurita bisnis pejabat masa lampaulah (Orde Baru, pen) yang membuat kita semakin terpuruk ekonominya,” (Koran Tempo, 6 Juni 2009).
Pendek kata, dari kedua elemen itu gejala Orde Baru Jilid II sangat mungkin terwujud, meski waktunya yang tidak akan lebih dari dua kali periode jabatan presiden itu.◘

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html