Selasa, 22 Juni 2010

Detikcom/jakartapress.com-Kamis, 24/06/2010 18:55 WIB Mencermati Parliamentary Threshold Efriza - suaraPembaca


Jakarta - Usulan Parliamentary Threshold (PT) dari 2,5 persen menjadi 5 persen pada Pemilihan Umum 2014 perlu diperhatikan dengan cermat. Bukan hanya untuk logika pembenaran argumentasi bahwa multipartai menyebabkan pemerintahan tidak efektif. Sebab, kualitas dari pemilu terkait partisipasi di pemilu sangat dipertanyakan.

Misalnya berdasarkan hasil simulasi Cetro dengan memakai hasil pemilu 2009 mengakibatkan anjloknya jumlah suara pemilih yang terwakili di parlemen. Dari total suara sah yang diraih 38 partai politik nasional pada pemilu 2009 sekitar 104.099.785 suara, yang terwakili dalam ambang batas 2,5% adalah 81,67%. Sedangkan pada ambang batas 5%, suara yang terwakili hanya 68,48% sekitar 71.286,610 suara. Jika kualitas pemilu semakin dipertanyakan berarti legitimasi dari setiap anggota dewan terpilih juga dipertanyakan.

Jangan sampai usulan PT ini juga hanya untuk menyingkirkan tiga partai yang saat ini berada di urutan bawah. Seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 4,95 persen, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 4,48%, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 3,77 persen. Sehingga, dengan menaikkan ambang batas perolehan suara menjadi 5 persen hanya enam partai besar yang akan bertahan di DPR.

Urutannya dan prediksi dari simulasi itu adalah Partai Demokrat dengan asumsi dari 148 kursi (26,4%) menjadi 173 kursi (30,9%), Partai Golkar 106 kursi (18,9%) menjadi 123 kursi (21,9%), PDIP 94 kursi (16,6%) menjadi 110 kursi (19,6%), PKS 57 kursi (10,18%) menjadi 65 kursi (11,6%), PAN 46 kursi (8,2%) menjadi 48 kursi (8,6%), dan PPP 38 kursi (6,8%) menjadi 41 kursi (7,3%).

Semestinya PT tetap 2,5 persen tapi di legislatif daerah PT perlu diterapkan. Misalnya 2,5% meski akan terjadi anjloknya suara di daerah-daerah. Kondisi ini tidak bisa dihindari karena memang itu yang telah kita pilih dan disepakati sejak pemilu 2009. Tapi, kualitas partisipasi masih besar, dan legitimasi dari setiap anggota dewan terpilih juga masih cukup besar.

Namun, yang pasti adalah penerapan ini memberikan dua efek positif sekaligus. untuk menyederhanakan partai dan mempererat hubungan pusat-daerah. Sebab, jika Partai Gurem masih diberikan kesempatan mendapatkan kursi legislatif di daerah-daerah proses penyederhanaan partai tidak mungkin tercapai. Karena, partai-partai itu akan cenderung berpikir tetap eksis meski hanya di daerah.

Lagi-lagi efektivitas kinerja pemerintah dalam menyosialisasikan kebijakannya untuk diimplementasikan di daerah-daerah akan terbentur oleh berbedanya struktur partai koalisi di legislatif tingkat nasional dan legislatif di tingkat daerah. Ini artinya lagi-lagi penyederhanaan partai tetap gagal.

Efek lainnya adalah di pemilukada Partai Gurem tidak lagi diperhitungkan oleh para calon kepala daerah. Tidak seperti sekarang yang memberikan dampak ketidakjelasan antara elite partai pemegang kekuasaan di tingkat pusat dengan di tingkat daerah-daerah. Kondisi ini, menyebabkan pemerintah akan carut-marut mengelola hubungan pusat-daerah.

Efriza
Jl Musi I No 28 RT 006 RW 013 Depok
efriza_riza@yahoo.com
08561378307

Penulis buku politik "Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan".



(msh/msh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html