Selasa, 22 Juni 2010

Rabu, 09/06/2010 09:07 WIB Pancasila Setelah 65 Tahun Indonesia Merdeka Efriza S IP - suaraPembaca


Jakarta - Memaknai Pancasila merupakan pekerjaan partai politik dan pemerintah dalam merealisasikannya melalui kebijakan publik. Bagi partai politik seharusnya menyibukkan diri dalam selera publik. Ironis ini merupakan sebuah pekerjaan partai politik tapi gagal melaksanakan perannya.

Partai politik tidak memikirkan azas dari Pancasila. Tapi, hanya memikirkan kekuasaan melalui bentuk keberhasilan memenangkan pemilu. Partai politik tampaknya tidak memiliki ideologi yang bisa diimplementasikan sesuai kebutuhan masyarakat melalui kinerja-kinerjanya.

Misal, para anggota Dewan dari Partai Politik tidak memiliki kepekaan terhadap masyarakat. Seperti di saat masyarakat kita sedang merasakan betapa sulitnya untuk membiayai sekolah anak tapi mereka malah sibuk untuk menambah pundi-pundi kantongnya dengan mengatasnamakan rakyat.

Seperti partai politik meminta dana untuk konstituen sebesar 15 miliar per anggota. Tanpa disertai kejelasan program apa yang akan diberikan oleh anggota dewan kepada konstituennya. Setelah misal mereka mendapatkan dana tersebut? Tidak adanya kejelasan program.

Ini artinya tidak adanya pendidikan politik. Dan, tanpa adanya pendidikan politik berarti anggota dewan telah absen sebagai wakil rakyat untuk menjalankan tugas dan wewenang kepada konstituen yaitu menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat (UU MD3, Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang, Pasal 71 butir (s)).

Posisi masyarakat hanya dianggap sebagai pemilik suara dalam pemilu saja. Dengan demikian pemilu hanya ritualistik berkala saja. Dari para pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Tanpa makna lain yang terkandung di harapan masyarakat memilih itu sendiri yakni "proses mewakili dengan mana wakil bertindak dalam rangka bereaksi kepada kepentingan terwakil berdasarkan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil pada saat kampanye".

Di sisi lain sorotan dari sisi pemerintahan. Bahwa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan kebijakan baru kebutuhan masyarakat dan pasar. Pandangan ekonomi baru yang mungkin bisa diimplementasikan dalam Pancasila. Tapi, ekonomi jalan tengah yang ditawarkan oleh SBY perlu mendapatkan jawaban untuk tujuan kesejahteraan rakyat?

Jangan-jangan konsep jalan tengah yang ditawarkannya ditemukan Partai Demokrat hanya karena adanya pandangan dalam melihat kurva yang terbanyak adalah di tengah. Karena, keberhasilannya meraih 20,85% suara pada pemilu 2009.

Belum lagi ditambah hambatan yang terjadi di Pemerintah. Bahwa kondisi partai politik mengarah pada kartelisasi politik pada aspek politik? Sehingga, partai politik menjadi benalu dalam pemerintahan. Misal, munculnya Seketariat Gabungan (Setgab) menjadi dilematis karena dianggap hanya menjadi alat bagi partai politik pendukung pemerintah untuk melakukan transaksional dalam mengawal setiap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Ke depan yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menawarkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Dan, kebijakan ini tidak perlu selalu memerlukan pengawalan oleh partai pendukung pemerintah jika akan dijadikan alat untuk proses transaksional mereka. Sebab, bagaimanapun Presiden harus berani untuk menghadapi serangan-serangan dari partai politik pendukung pemerintahan.

Keberanian presiden ini seharusnya dipahami bahwa ia telah dipilih oleh rakyat, dan secara langsung rakyat mempercayakan kebijakan-kebijakan yang diharapkan oleh presiden terpilih tersebut. Dari perspektif pemikiran di atas Pancasila setelah 65 tahun dimaknai bagaimana partai politik, parlemen, dan pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Inilah makna yang terkandung dalam Pancasila.

NB: Tulisan ini merupakan hasil intisari diskusi terbatas yang ditulis oleh penulis dan juga berdasarkan analisa penulis sendiri. Dengan tema: "Pancasila Setelah 65 Tahun Kemerdekaan: Apakah Keadilan dan Kesejahteraan Sudah Tercapai?" pada Sabtu, 5 Juni 2010, di Bakoel Koffie Cikini Jakarta Pusat yang diselenggarakan oleh FD.I (Forum Demokrasi untuk Indonesia) yang dihadiri oleh 12 orang yakni: Panangian Simanungkalit (Wakil Dewan Pakar Partai Demokrat), Direktur Eksekutif FD.I, hingga anggota-anggota. Aktivis NU Halim Pohan, Aktivis Prodem, Anggota-anggota Partai Demokrat Miftah Pohan, dan Media yakni Arjuna, Jurnas, Agus Koran Jakarta.

Efriza S IP
Jl Musi I No 28 RT 006/013 Depok II Timur
efriza_riza@yahoo.com
08561378307

Direktur Program dan Riset FD.I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html