Sabtu, 24 Oktober 2009

detikcom


Opini Anda
Selasa, 27/10/2009 18:11 WIB
'Api dalam Sekam' di KIB II Harus Tetap Terjaga
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - Pada 21 Oktober 2009 Presiden Yudhoyono telah mengumumkan susunan kabinet dan selang sehari kemudian calon menteri dilantik. Susunan menteri dan pos menteri tak ada perubahan signifikan dari prediksi di media cetak maupun elektronik kecuali dibatalkannya calon Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek akibat dianggap gagal dalam tes kesehatan dan digantikan oleh Endang Rahayu Sedyaningsih.

Namun, tiga hari terhitung sejak diumumkan komposisi kabinet pemberitaan pesimistis lebih cenderung muncul disebabkan keraguan publik akan penempatan menteri beserta pos menteri yang akan ditempati mereka. Bukan itu saja. Pemilihan calon menteri yang berasal dari partai politik pendukungnya pun mulai memanaskan suhu konflik internal partai. Hal ini dikarenakan gesekan konflik kepentingan diinternal partai tersebut.

Dari persoalan ini memicu pertanyaan mengapa Yudhoyono memilih kebijakan yang tidak populis. Dan, apakah menguntungkan atau rugi?

Yudhoyono pada periode 2009-2014 ini merupakan kali terakhirnya memangku jabatan sebagai Presiden seharusnya tidak lagi memikirkan kompromistis dengan partai pendukungnya dalam menentukan menteri. Apalagi Partai Demokrat merupakan partai pemenang di pemilu legislatif kemarin. Analisis maupun komentar ini banyak disuarakan dari kalangan pengamat hingga masyarakat.

Ketidaknyamanan Presiden Yudhoyono sehingga begitu kompromistis tampaknya lebih disebabkan tak ingin selesai masa jabatannya di tengah jalan. Yudhoyono juga ingin meraih sukses sebagai presiden agar jabatan presiden selanjutnya dapat dipegang kembali oleh Partai Demokrat di mana Yudhoyono sebagai Dewan Pembina. Untuk meraih mimpi tampaknya Yudhoyono menggunakan strategi yang berbahaya namun menguntungkan jika dapat mengelolanya.

Sun Tzu ahli strategi menegaskan "Bentuk yang terbaik dalam memimpin perang adalah menyerang strategi lawan." Sepertinya strategi ini yang dimainkan Yudhoyono. Yudhoyono telah mengenali strategi lawannya. Lihat saja, bagaimana Yudhoyono telah memanaskan situasi ditubuh PKB.

Penunjukan Helmi Faisal Zaini sebagai Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) menyebabkan 12 DPW melakukan penolakan tehadap penunjukannya sebagai menteri karena pencalonannya tidak dikonsultasikan dengan Dewan Syuro PKB KH Azis Mansyur. Kasus ini sepertinya mengulang sejarah KIB I. Syaifullah Yusuf dan Lukman Edi sebagai Menteri PDT tidak didukung Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid hingga konflik meluas.

Di sisi lain Yudhoyono juga menempatkan partai-partai pendukungnya di pemerintahan dengan pos-pos kementerian yang strategis. Yudhoyono memahami akan diperolehnya keuntungan dari apa pun situasi yang terjadi. Misal jika Menteri dari partai itu gagal menjalankan tugasnya sebagai menteri maka Yudhoyono akan melakukan reshuffle kabinet. Ini berarti kegagalan menteri itu akan berimbas turunnya popularitas si menteri yang ke depannya dapat menyebabkan turun pula perolehan suara partainya.

Jika sebaliknya menteri itu berhasil maka klaim-mengklaim keberhasilan menteri yang dibawa partai ketika kampanye nanti sepertinya tidak akan berdampak terhadap rasionalitas pemilih dalam memilih disebabkan asumsi mereka bekerja di bawah kendali presiden. Kenyataan ini yang mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat hingga menjadi pemenang pertama.

Bahkan, situasi ini terjadi secara kasat mata, ketika pemilihan presiden terjadi saling klaim dalam Perdamaian Aceh antara JK dengan Yudhoyono dalam Pilpres. Namun, ternyata meski JK dianggap sebagai orang yang di balik perdamaian itu dan didukung partai lokal (Partai Aceh) peraih suara terbanyak di Pemilu Legislatif kenyataannya Yudhoyono yang memenangkan perolehan suara terbanyak di NAD.

Namun, strategi di atas tidak mudah. Seperti Presiden Yudhoyono tidak dapat menerapkannya terhadap Partai Golkar. Karena Partai Golkar telah memahami situasi tersebut. Misal ketika partai-partai pendukung pemerintah Ketua Umumnya dijadikan sebagai Menteri tampaknya Partai Golkar telah memahami sehingga kebijakan internal partai setelah Aburizal Bakrie terpilih sebagai Ketua Umum. Tidak memperkenankan Ketua Umum menjadi menteri.

Bukan hanya itu saja. Jika kita menilik tempo lalu Partai Golkar begitu terampil memecah ketahanan partai pendukung untuk akhirnya kritis terhadap pemerintah. Dan, Partai Golkar secara lugas sebagai partai tengah telah berhasil menjadi partai pendukung pemerintah yang kritis.

Bila kita melihat perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I akan terulang di KIB II. Seperti reshuffle kabinet yang akan menyebabkan partai-partai yang sebelumnya konsisten akan berbalik arah. Contohnya PBB mulai bersikap kritis ketika Yusril Ihza Mahendra di-reshuffle dari posisi Sekretaris Negara. Bahkan, di tahun III partai-partai pendukung akan mulai melakukan posisi kritis terhadap pemerintah seperti pengalaman tempo lalu.

PAN pada 15 Agustus 2007 dalam acara refleksi kemerdekaan di Rumah PAN di Warung Buncit Jakarta Selatan. Secara resmi mengumumkan partainya mencabut dukungan kepada SBY. Alasan pencabutan dukungan itu antara lain partai-partai pendukung SBY mengalami penurunan dukungan dari rakyat.

Hasil survei menunjukkan partai-partai pendukung pemerintah mengalami penurunan dukungan. Sehingga, sepertinya Yudhoyono akan selalu memilih kebijakan tidak populis demi tetap menjaga 'Api dalam Sekam'. Bahkan, ia akan mencoba supaya api tersebut lebih menyala-nyala. Seperti tersulutnya Partai Golkar akibat diprediksi suaranya dapat menurun hingga 2,5%. Melalui strategi ini keuntungan Yudhoyono maupun Partai Demokrat akan berlanjut di periode tahun 2014-2019.

Efriza
Jl Musi I No 28 Depok
efriza.riza@gmail.com
081380570370

Penulis buku "Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan".



(msh/msh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html