Senin, 26 Oktober 2009

Lanjutkan, Tradisi Tidak Rangkap Jabatan

Oleh: Efriza, Penulis buku “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
PKS menjalankan tradisi yang positif yaitu melepaskan jabatan di partai untuk menjalankan jabatan publik, langkah ini ditunjukkan dengan dialihkannya jabatan Presiden PKS dari Tifatul Sembiring yang sekarang menjabat Menteri Komunikasi dan Informasi kepada Lutfi Hasan Ishaaq yang sebelumnya menjabat Ketua Badan Hubungan Luar Negeri DPP PKS.
Tindakan ini juga dilakukan atas dua anggota PKS lainnya yang menjadi menteri seperti Suharna Surapranata Menteri Riset dan Teknologi yang juga menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) DPP PKS diganti oleh Untung Wahono yang sebelumnya sebagai Ketua Bidang Polhukam DPP PKS, Suswono Menteri Pertanian yang juga menjabat Wasekjen Bidang Organisasi DPP PKS dan Ketua Wilayah Dakwah Jateng dan DIY, diganti oleh dua kader lainnya, yaitu untuk Jabatan Wasekjen Bidang Organisasi diisi Budiyanto yang sebelumnya mejabat Sekretaris Biro Hubungan Luar Negeri (BHLN) PKS sedangkan jabatan Ketua Wilayah Dakwah Jateng dan DIY diganti oleh Agus Purnomo yang sebelumnya menjabat Wasekjen PKS. Sementara, Salim Segaf Al Jufri Menteri Sosial salah satu pendiri PKS yang jabatan sebelumnya adalah Duta Besar Republik Indonesia untuk negara Arab Saudi dan Oman, sehingga tidak menduduki kursi jabatan struktural di kepengurusan partai, maka tidak ada kader lain yang menggantikannya.
Menteri yang sekaligus ketua umum atau pengurus partai politik adalah sumber awal konflik. Konflik tersebut terjadi bukan saja di internal partai melainkan juga berdampak menghilangkan daya kritis Anggota Dewan dari partai tersebut. Konflik bisa meluas hingga mengganggu stabilitas kabinet, misal ketika terjadi reshuffle terhadap Yusril Ihza Mahendra yang menjabat Sekretaris Kabinet hingga dampaknya menganggu hubungan sinergis Pemerintah dengan Menteri dari Partai Bulan Bintang (PBB) lainnya yaitu M.S. Kaban yang menjabat Meteri Kehutanan. Bahkan, dampak luas dari konflik ini menteri tersebut tidak bisa total bekerja untuk Negara.
Sebuah tradisi yang pertama kali ditunjukan PKS, seharusnya juga dilakukan partai lain. Sebut saja PKB, perlu mencontohnya, jika partai tersebut tak ingin terjebak lagi dalam konflik internal, solusi ini cukup manjur bagi PKB yang telah menunjukkan gejala perpecahan akibat penunjukan wakil sekretaris jenderal Helmy Faishal Zaini untuk dicalonkan menjadi menteri yang dianggap dilakukan oleh pimpinan partai tanpa pembahasan terbuka.
Tradisi ini semestinya juga diterapkan bagi Presiden dan Wakil Presiden, tapi saat ini hanya Presiden SBY karena Boediono sebagai Wakil Presiden bukan dari partai politik. Meski Yudhoyono hanya sebagai Dewan Pembina di Partai Demokrat, tapi Partai Demokrat seharusya menempatkan Yudhoyono menjadi milik publik bukan milik partai. Agar bukan saja konflik internal bisa dihindari melainkan juga persepsi negatif di masyarakat, seperti kepentingan partai akan lebih didahulukan ketimbang kepentingan publik dalam kebijakan pemerintah.
Tradisi tidak merangkap jabatan juga akan menyelamatkan partai dari kecenderungan Presiden mengintervensi partai yang nantinya berdampak buruk bagi daya kritis anggotanya yang pada akhirnya partai terkungkung dalam arus persepsi partai ketokohan. Di sisi lain, Presiden Yudhoyono juga akan lebih total dalam bekerja tanpa harus tersangkut paut atas setiap kelakuan anggota partainya maupun setiap keputusan partainya yang mungkin malah membuat citra buruk bagi Presiden. Misal, kasus pemecatan anggota DPR atas putusan BK DPR, yakni kasus Aziddin dari F-PD, karena diduga terlibat praktek percaloan pemondokan dan katering haji. Namun, Keppres pemberhentian Aziddin baru turun pada 21 Desember 2006. Akibat kasus ini sempat tersebar isu, lamanya proses ini yang memakan waktu 6 bulan dimulai dari pengaduan sejumlah LSM pada 14 Juni 2006 hingga keluarnya Keppres pada 21 Desember 2006, akibat adanya “campur tangan” Presiden yang tidak lain adalah Dewan Pembina Partai Demokrat.
Ini kesempatan besar bagi Yudhoyono untuk mencatatkan dirinya dengan tinta emas dalam segi positif sebagai Presiden “milik publik bukan milik partai,” lebih dari itu Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu dan juga sebagai Ketua DPR akan tampak obyektifitasnya ketika berhadapan dengan pemerintah. Sehingga demikian, persepsi negatif yang mulai hadir di masyarakat bahwa DPR ke depan akan menjadi stempel pemerintah, tidak akan disematkan kepada Partai Demokrat dan Presiden Yudhoyono, melainkan jika DPR sebagai pengawas pemerintah tidak bisa kritis itu dikarenakan anggota dewannya yang tidak memiliki kepiawaian ketika berhadapan dengan pemerintah, seperti tempo lalu.®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html