Rabu, 14 Oktober 2009

detikNews


Opini Anda
Senin, 12/10/2009 18:17 WIB
Menyoal MPR
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - Selama perjalanan parlemen periode 2004-2009 hingga pilpres 2009 PDIP begitu kukuh menyatakan sebagai partai oposisi. Namun, pasca pilpres 2009 cercaan negatif menghampiri PDIP yang dianggap "bergabung" bersama kelompok pemenang pemilu 2009 yakni kubu SBY - Boediono.

PDIP dipandang sangat pragmatisme politik sehingga mengecewakan grass root maupun masyarakat Indonesia yang tetap menginginkan PDIP sebagai oposisi pemerintah agar tercipta keberimbangan kekuasaan. Apakah PDIP begitu dangkal pemikirannya sehingga lebih memilih sebagai pendukung pemerintah. Atau PDIP sedang memainkan smart politics.

Rapat Paripurna MPR pada 3 Oktober 2009 secara aklamasi dipilih paket pimpinan MPR. Mereka adalah Ketua MPR Taufiq Kiemas dengan empat wakil ketua yakni Hajriyanto Thohari (Golkar), Melani Lemeina Suharli (Demokrat), Lukman Hakim Saefuddin (PPP), dan Ahmad Farhan Hamid (DPD). Di mana Farhan Hamid adalah anggota PAN di DPD.

Dari sinilah muncul anggapan PDIP bersikap pragmatisme melalui dukungan Partai Demokrat keterpilihan PDIP begitu mudah dan sukes. Namun, tidak semudah seperti kita membalikkan telapak tangan bahwa PDIP akan mendukung setiap kebijakan pemerintah. Atau berhenti sebagai oposisi. Sebab, dengan didapatkannya jabatan Ketua MPR sulit bagi kita terburu-buru membenarkan kesimpulan tersebut.

Presiden dan wakil presiden terpilih juga belum dilantik dan kabinet belum tersusun. Sehingga, masih menyisakan pertanyaan. Apakah Kabinet akan terdiri dari partai-partai pendukung sebelum pilpres atau partai-partai yang pada pilpres kemarin merupakan rival politiknya juga mendapatkan posisi di kabinet.

Secara gamblang PDIP juga tidak terlihat sangat pragmatis. Bisa saja PDIP mengambil posisi seperti musang berbulu domba. Di mana PDIP untuk menggolkan agenda tersembunyi mereka maka bersikap lunak terlebih dahulu kepada SBY dan Partai Demokrat sampai waktunya menunjukkan perjuangan yang sebenarnya.

Jabatan Pimpinan MPR begitu strategis sehingga menjadi alat bagi perjuangan PDIP ke depan. Pimpinan MPR memiliki kewenangan yang diatur dalam UUD 1945. Pertama, MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD; Kedua, MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan Ketiga, MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

Melalui kewenangan ini telah jelas PDIP lebih menegaskan posisinya berhadapan dengan pemerintah. Melalui kewenangan MPR mengenai memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, atau istilah populernya impeachment.

Demi menyukseskan misi impeachment PDIP melalui anggotanya di DPR akan kerap kali menggunakan hak angket. Seperti kita ketahui dari empat hak yang digunakan DPR periode 2004-2009 lebih banyak DPR menggunakan hak angket, dengan perincian: hak menyatakan usul dan pendapat sebanyak 4 kasus, 5 kasus tentang hak mengajukan pertanyaan, 11 kasus adalah hak interpelasi, dan hak angket sebanyak 13 kasus.

Dari 13 kasus hak angket, sebanyak 6 kasus masih dalam proses atau dapat dilanjutkan DPR periode 2009-2014, yakni Hak Angket Penyelesaian Kasus Kredit Likuiditas BI dan BLBI; Hak Angket BBM; Hak Angket Kenaikan Harga BBM Bersubsidi; Hak Angket terhadap Kebijakan Pemerintah menaikkan Harga BBM tanggal 23 Mei 2008; Hak Angket terhadap Dugaan Penyelidikan terjadinya Pengabaian dan Pelanggaran atas Kewenangan Konstitusional KPU dengan diterbitkannya Keppres Nomor 85/P tanggal 27 September tentang Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara.

Hak Angket terhadap Pelaksanaan Penyelengaraan Ibadah Haji Tahun 1429 H/2008 M (Kasus Pemondokan dan Transportasi Jemaah Haji Indonesia dan Arab Saudi); dan Hak Angket atas Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara untuk memilih. Meskipun hanya satu kasus yang tidak melibatkan PDIP, yakni Hak Angket terhadap Kebijakan Pemerintah Menaikan Harga BBM tanggal 23 Mei 2008.

Memang dalam proses impeachment tidak mudah karena juga melibatkan MK. Di mana DPR secara kelembagaan dapat mengajukan kepada MK agar dilakukan pemeriksaan dan pengadilan. Keputusan untuk meminta proses tindak lanjut kepada MK ini harus diambil dengan dukungan minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Selanjutnya apabila setelah maksimal 90 hari MK memutuskan bahwa presiden dan/ atau wakil presiden bersalah. Di sinilah DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna DPR untuk menindaklanjuti secara politis putusan dari MK. Berupa pengajuan secara kelembagaan kepada MPR untuk melakukan Sidang MPR.

Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Menghadapi dilema prosedur impeachment, PDIP telah "mengamankannya". Lihat saja, setelah Partai Demokrat menunjukkan dukungannya kepada Taufik Kiemas dalam Pemilihan Pimpinan MPR, koalisi pendukung pemerintah "melakukan" intropeksi terhadap kesepakatan mendukung pemerintah seperti dilakukan PKS dan PKB. Sehingga, kedua partai tersebut ke depannya akan kembali menjadi pendukung pemerintah yang kritis. Artinya, ada kemungkinan menerima keputusan MPR jika Presiden dianggap telah bersalah.

Partai-partai lain juga tidak terlampau sulit diajak bermitra dengan PDIP. Semisal Partai Gerindra, dan Partai Hanura sebagai partai baru akan lebih memilih mengenai pilihan mana yang lebih menguntungkan bagi kelangsungan partai ke depan. Sementara PPP, dan PAN telah jelas dari awal sikapnya tidak "tertarik" bermitra dengan pemerintah, kecuali keuntungan pragmatis saja. Begitu juga, Partai Golkar cenderung bersikap kritis, jika perlu bermain "dua" kaki.

Ketiga partai ini akan menggunakan hitung-hitungan yang tidak terlampau berliku dan
menguras waktu. Apalagi ketiga partai ini merupakan bagian dari Pimpinan MPR, cenderung keputusannya pragmatis demi kepentingan partai, dengan catatan PAN tidak secara lugas menyatakan dukungan kepada Farhan Hamid yang merupakan anggota DPD.

Begitu pula, jika kita melihat perkembangan ke depan yang bersifat "politik bebas", di mana SBY tidak bertanding lagi sebagai calon presiden 2014-2019. Cukup mudah bagi 8 partai politik di parlemen untuk mengambil keputusan pragmatis, yang mungkin menyetujui eksekusi politik impeachment di paripurna MPR. Di sisi lain mengenai impeachment, anggota DPD tidak terlibat dalam proses pembahasan dan pengusulan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebelum proses perkara tersebut diproses di MPR.

Pada Pasal 7B disebutkan, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diajukan oleh DPR. Namun, mungkin DPR dapat meminta DPD memberikan pertimbangannya, berkaitan dengan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Khususnya jika usul DPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan daerah, misalnya dugaan penyuapan yang melibatkan pejabat daerah, atau dugaan korupsi dana APBN untuk daerah tertentu.

Pertimbangan DPD ini diberikan apabila DPR memintanya. Pertimbangan DPD tidak bersifat mengikat dan dilaksanakan dengan tidak mengurangi sedikit pun wewenang DPR untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam Pasal 7A dan 7B dalam UUD 1945.

Ketidakseimbangan wewenang DPD dalam konteks impeachment begitu kentara. Gagasan awal proses ini adalah adanya joint session agar keputusan akhir yang penting diambil kedua kamar. Seharusnya tampak posisi DPD sebagai penyeimbang dalam MPR, karena awalnya DPR yang berinisiatif menginisiasi proses impeachment.

Namun, UUD hanya mengatur. Persetujuan mengenai impeachment diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, tanpa adanya sebaran kuorum antara DPR dan DPD.

Sementara, Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 menyatakan: "Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga anggota DPR." Sehingga, tanpa adanya keseimbangan antara suara DPR dan DPD, keputusan untuk memecat presiden dan/ atau wakil presiden dapat diambil. Bahkan, dalam bentuk yang ekstrim, tanpa adanya kehadiran anggota DPD pun, DPR dapat memecat presiden/ wakil presiden dalam Sidang Paripurna MPR.

Di sinilah terlihat strategi perjuangan baru PDIP dengan menempatkan Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR. Agar memudahkan proses impeachment yang telah berubah dari proses hukum menjadi proses politik melalui "palu" pimpinan MPR. Di kala seluruh proses telah dilalui dengan sukses.

Efriza
Jl Musi I No 28 RT 006 RW 013 Depok
efriza.riza@gmail.com
081380570370

Penulis buku Ilmu Politik, dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html