Minggu, 18 Oktober 2009

detikNews


Senin, 19/10/2009 08:29 WIB
Perjalanan Pemangku Jabatan Presiden
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 20 Oktober 2009 dilantik untuk kedua kalinya sebagai presiden. Itu berarti perjalanan pemegang jabatan presiden sampai dengan 20 Oktober akan datang tersebut adalah untuk ke-7 kalinya.

Namun, pada dasarnya jabatan presiden telah disematkan sebanyak 10 kali. Oleh 9 orang berbeda yakni, Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Soesilo Bambang Yudhoyono. Sementara ke-3 orang lainnya adalah Sjarifuddin Prawiranegara, Mr Assat, dan Mr Sartono.

Dalam perjalanan Soekarno memegang jabatan presiden ia telah tiga kali menyerahkan jabatannya sebagai presiden kepada ketiga orang yang disebutkan terakhir untuk menangani situasi darurat kala itu.

Ini adalah fakta sejarah yang tidak boleh kita lupakan. Meskipun, memang tak bisa dipungkiri ke-3 orang yang pernah memegang jabatan presiden pada akhirnya hanya bersifat sementara yang kemudian dikembalikan lagi kepada Soekarno sehingga demikian mereka bertiga "tidak" dianggap sebagai Presiden kecuali pernah memangku jabatan Presiden.

Sjarifuddin Prawiranegara
Perubahan politik yang berdampak pada perubahan sistem pemerintahan adalah diberlakukannya K-RIS yang menggantikan UUD 1945. Dengan K-RIS, Indonesia menjadi negara federasi dengan sistem parlementer.

Perubahan politik itu terjadi sebagai hasil diadakan perundingan Ronde Tofel Conferentie atau Konferensi Meja Bundar (KMB) di Ridderzaal, Den Haag, Belanda, 23 Agustus - 29 Oktober 1949 antara Delegasi Republik Indonesia dan sejumlah negara bentukan Belanda yang tergabung dalam Bijeenkomst Federal Overleg (BFO–Pertemuan Musyawarah Federal); dan dalam perundingan itu juga dihadiri Nederland serta sebuah komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Indonesia.

Sebelum diadakan perundingan tersebut Belanda melakukan penyerangan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1945 (agresi militer Belanda kedua) dan menahan pimpinan RI. Hatta, Mr Assaat, MR AG Pringgodirdo, Suryadharma, Mohammad Rum, dan Ali Sastroamidjojo dibuang ke Bangka. Sementara Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim dibuang ke Brastagi Sumatera Utara.

Jika sebelumnya pada hari itu presiden dan wakil presiden tidak mengirimkan telegram kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi maka pemerintahan ini akan bubar. Namun, telegram dengan maksud yang sama, yaitu agar membentuk pemerintahan di pengasingan juga dikirimkan kepada Dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis yang sedang berada di India.

Tapi, telegram yang ditujukan kepada Sjafruddin tidak sampai ke Bukittinggi. Namun, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin telah mengambil inisiatif yang senada. Dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat pada 19 Desember 1948 untuk menunjukkan Republik Indonesia masih eksis meskipun para pemimpinnya telah ditangkap Belanda.

Setelah pendudukan berakhir gencatan senjata terjadi. Presiden dan wakil presiden serta pimpinan republik kembali ke Yogyakarta. Pada 23 Juli 1949 Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan mandatnya kembali. Dengan demikian PDRI berakhir dalam masa tugasnya selama 7 bulan dalam melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.

Acting Presiden Mr Assat
Pada 16 Desember 1949, wakil-wakil negara bagian–sesuai kewenangan yang diberikan K-RIS dalam Pasal 69 ayat (2) berbunyi: Beliau dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam pasal 2. Dalam memilih Presiden, orang-orang yang dikuasakan itu berusaha mencapai kata sepakat menetapkan Presiden Republik Indonesia Soekarno menjadi Presiden RIS dalam sidang Senat RIS yang diselenggarakan di Kepatihan Yogyakarta. Kemudian, Presiden Republik Indonesia Soekarno mengangkat sumpahnya menurut K-RIS pada 17 Desember 1949.

Dalam ketatanegaraan RIS tidak ada jabatan Wakil Presiden. Pada hari itu juga Presiden Soekarno menunjuk empat orang formatur kabinet untuk membentuk pemerintahan RIS, dua dari Republik Indonesia, yaitu Moh Hatta dan Sri Sultan Hamengkubowono IX, dan dua orang dari negara bagian bentuk Belanda, yakni Anak Agung Gde Agung (Indonesia Timur) dan Sultan Hamid II (Kalimantan Barat). Kemudian Moh Hatta ditunjuk sebagai Perdana Menteri RIS pada 19 Desember 1949.

Karena kekosongan jabatan Presiden Republik Indonesia (negara bagian), berkenaan dengan Soekarno ditetapkan menjadi Presiden RIS maka Negara Republik Indonesia dipimpin Acting Presiden Mr Assat (Ketua KNP, istilah yang masih dipakai untuk Negara Republik Indonesia). Prosedur tersebut berdasarkan UU No 7/1949 (Republik Indonesia negara bagian) tentang Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, yang terdiri dari dua pasal: "satu-satunya pasal, 1. Jika Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka Ketua DPR menjalankan kewajiban itu sampai ada ketentuan tentang penggantian pemangku jabatan Presiden. 2. Jika Ketua DPR tidak dapat pula menjalankan kewajiban itu, maka ia digantikan oleh Wakil Ketua DPR; dan Pasal Penutup, UU ini mulai berlaku pada hari diumumkan."

Namun, pada 15 Agustus 1950 (setelah dinyatakan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan) jabatan Presiden yang dipegang Mr Assat selama 8 bulan tersebut diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno.

Mr Sartono
Pemegang jabatan presiden berikutnya Mr Sartono terjadi dalam perkembangan perpolitikan Indonesia tahun 1955. Dengan adanya pemikiran Soekarno tentang demokrasi terpimpin. Secara jelas Moh Hatta mulai menampakkan perbedaannya dengan Soekarno melalui jalan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956, dengan tujuan memberi kesempatan (fair chanche) kepada Soekarno untuk melaksanakan gagasannya.

Akibat adanya kekosongan kursi Wakil Presiden maka DPR hasil Pemilu 1955 bersama Pemerintah berusaha mencari solusi apabila presiden berhalangan sedang wakil presiden tidak ada. DPR dan Pemerintah berhasil mencari solusi tersebut dengan membentuk UU No 29/1957 tentang Pejabat Yang Menjalankan Pekerjaan Jabatan Presiden, Jika Presiden Mangkat, Berhenti Atau Berhalangan, Sedang Wakil Presiden Tidak Ada Atau Berhalangan.

Pasal 1 yang terdiri dari dua ayat pada UU itu menyatakan: ayat (1) Dalam hal Wakil Presiden tidak ada atau berhalangan, maka jika Presiden berhalangan, Ketua DPR menjalankan pekerjaan jabatan Presiden sehari-hari. Ayat (2) Dalam hal Wakil Presiden tidak ada, maka jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, Ketua DPR menjalankan pekerjaan jabatan Presiden hingga ada Presiden.

Ketentuan tersebut telah dijalankan dalam dua kali kesempatan yakni Ketua DPR Sartono menduduki Jabatan sebagai Pejabat Presiden ketika Presiden Soekarno mengadakan perjalanan ke luar negeri pada 6 Januari - 21 Februari 1959, dan pada 23 April - 2 Juli 1959 karena ke luar negeri juga.

Efriza
Jl Musi I No 28 Depok
efriza.riza@gmail.com
081380570370

Penulis buku "Mengenal Teori-Teori Politik, Dari Sistem Politik sampai Korupsi".



(msh/msh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html