Kamis, 29 Oktober 2009

Hanya Untuk Tetap Eksis Di Politik

Oleh: Efriza, Penulis buku, “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
Perpolitikan di Indonesia tidak mengenal batas waktu bahkan tidak pula mengenal level jenjang kekuasaan. Para politisi di negara kita tampak kasat mata memperlihatkan nafsu kekuasaan berjalan beriringan dengan hasrat diri untuk tetap eksis dalam panggung politik.
Lihat saja, tingkah laku politisi kita yang terpilih di KIB II sebut saja Agung Laksono. Tanpa malu Agung mengemban jabatan Menteri, memang tak ada yang salah! Ia terpilih atas hak prerogatif presiden, tapi jika kita telusuri semestinya Agung Laksono berhenti untuk tampil di panggung politik bukan saja karena tak dikehendaki lagi oleh rakyat dengan bukti konkrit kegagalannya untuk kembali menduduki kursi parlemen, di sisi lain ia telah “mencibirkan” dirinya secara tak langsung, lihat saja dari jabatan Ketua DPR dimana ia berperan sebagai pengawas presiden bahkan dalam negara-negara berbahasa Inggris ketua parlemen biasanya disebut “speaker” of the parliament/house, begitu prestise-nya, tapi demi hasrat untuk tidak terlupakan dipanggung politik ia rela untuk menjadi pembantu presiden.
Pola politisi seperti ini banyak dinegara kita, ada Muhaimin Iskandar Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Industri, Perdagangan dan Pembangunan (Korindagbang), ia pun merelakan dirinya sebagai pembantu presiden. Hidayat Nur Wahid yang merupakan Ketua MPR pun rela untuk menjadi Ketua BKSAP (Badan Kerjasama Antar Parlemen) DPR. Begitu pula bekas Calon Wakil Presiden yang diusung PAN yaitu Siswono Yudhohusodo, agar tetap eksis ia memilih menjadi Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah I.
Tersebut lainnya, Patrialis Akbar yang memilih menempuh jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) disebabkan peraturan internal PAN yang membatasi setiap anggota untuk dicalonkan kembali sebagai anggota DPR, ia memilih hijrah ke DPD, namun sayang ia gagal merebut suara rakyat Provinsi Sumatera Barat, lagi-lagi demi nafsu kekuasaan pula ia memilih sebagai pembantu presiden. Begitu pula, Hemy Faisal Zaini memilih sebagai pembantu presiden ketika gagal terpilih kembali dikursi DPR melalui Daerah Pemilihan Jawa Barat IX.
Fenomena seperti ini bukan hanya di level DPR saja, tapi juga dilevel struktur lembaga lainnya, misal Taufiequrrahman Ruki ketika gagal di DPD memperebutkan suara rakyat Provinsi Banten melalui pemilu akhirnya memilih jalur BPK karena dianggap lebih “mudah” hanya memperebutkan suara anggota DPR. Ditingkat BPK juga ada Ali Masykur Musa, akibat konflik internal PKB, ketika ia tidak lagi menjadi calon legislatif maka jalur BPK dipilih melalui bantuan kawan-kawannya di Partai tempat dimana ia pernah menandingi partai tersebut, maka terpilihlah ia dengan cara yang sedikit “cacat,” dimana DPR sendiri akhirnya menganulir fit and proper test demi masuknya kawan lainnya dari DPR ke BPK.
Tingkah laku ini juga diperlihatkan dalam perebutan kekuasaan di Daerah, sebut saja Nurmahmudi Ismail setelah tak lagi menjabat Menteri Perkebunan & Kehutanan (era Abdurrahman Wahid) pilihannya beralih ke level daerah dengan terpilih menjadi Walikota Depok. Level daerah juga menjadi pilihan bekas Calon Wakil Presiden yang diusung PPP pada tahun 2004 yaitu Agum Gumelar, dimana akhirnya ia gagal dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat.
Tampaknya politisi kita lupa akan batas waktu, suara rakyat, bahkan level jenjang kekuasaan, baginya pilihan tetap eksis menjadi pilihan utama.®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html