Jumat, 23 Oktober 2009

detikNews


Kamis, 22/10/2009 17:56 WIB
Strategi Politik Baru SBY
Efriza - suaraPembaca

Jakarta - Susilo Bambang Yudhoyono dilantik kedua kalinya sebagai presiden. Tampaknya dalam memerintah ke depan ia memainkan strategi politik baru. Belajar dari pengalaman buruknya periode lalu. Yudhoyono tak ingin salah langkah.

Dalam memilih wakil presiden ia mengutamakan tidak ada dua nahkoda dalam satu perahu. Pilihan terhadap Boediono tampak jelas maksud dan tujuannya. Selain Boediono bukan dari kalangan partai juga diharapkan dia sebagai wapres tidak dianggap the real president seperti tempo lalu. Hal ini terlihat dari sikap santun Boediono yang enggan mendahulukan pemberitaan terhadap suatu masalah sebelum disampaikan Yudhoyono.

Dalam memilih dan menempatkan menteri sebagai pembantu presiden dalam pemerintahan Yudhoyono tampak hati-hati. Jika periode lalu Yudhoyono tak melibatkan banyak ketua umum partai. Misal dari Ketua Umum Partai, Meutia Hatta (PKPI); MS Kaban (PBB); dan Suryadharma Ali (PPP). Sementara sekarang untuk mencegah partai-partai koalisi balik haluan menjadi kritis terhadap pemerintah maka dipilih Ketua Umum partai dari mitra koalisinya seperti, A Muhaimin Iskandar (PKB), Tifatul Sembiring (PKS), dan Suryadharma Ali.

Bukan hanya itu saja. Menteri yang dipilih juga dari pejabat teras partai seperti Sekjen PAN Zulkifli Hasan, Wasekjen PKB Helmy Faishal, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono, dan Ketua MPP PKS Suharna Surapranata. Yudhoyono pun telah berhitung. Bahwa, anggota kabinet dari partai koalisinya ada yang memiliki kans besar sebagai Ketua Umum. Seperti Hatta Rajasa memiliki kans besar di PAN.

Bahkan, Yudhoyono juga telah berhitung dari kebijakannya memilih menteri. Namun, tidak populis. Seperti dipilihnya calon menteri yang gagal dalam perebutan kursi anggota DPR di Pileg, semisal Agung Laksono yang gagal di DKI I (Jakarta), dan Helmy Faishal gagal di Jabar IX.

Aspek mereka dipilih lebih dikarenakan jabatan strategis di Partai yang dapat mengontrol anggota DPR. Lagi pula jika kebijakannya harus populis cenderung sia-sia meski calon tersebut menang di Pileg tapi mereka akan mengalami Pengganti Antarwaktu di DPR dan MPR akibat rangkap jabatan.

Langkah Yudhoyono bukan hanya dalam memilih tapi juga penempatan para petinggi partai di kabinet. Wilayah yang strategis yaitu pos-pos di bidang perekonomian. Di kelompok ini fungsi koordinasi akan dipegang Hatta Rajasa, politikus PAN. Dia diproyeksikan menjabat Menteri Koordinator Perekonomian.

Tiga belas (13) menteri atau pejabat setingkat menteri juga akan diisi wakil-wakil partai politik. Misalnya, Menko Kesra Agung Laksono (PG), Menteri Agama Suryadharma Ali (PPP), Menkominfo Tifatul Sembiring (PKS), Mensos Salim Segaf al-Jufri (PKS), Menakertrans Muhaimin Iskandar (PKB), Menteri Perindustrian MS Hidayat (PG), Menristek Suharna Surapranata (PKS), Menkumham Patrialis Akbar (PAN), Menteri Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah Zulkifli Hasan (PAN), Menteri PPDT Helmy Faisal (PKB), Menpera Suharso Monoarfa (PPP), Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (PG), dan Menteri Pertanian Suswono (PKS).

Strategi baru lainnya, ketika Yudhoyono menghadapi PDIP yang telah menyatakan sebagai "oposisi." Tampaknya PDIP akan disulitkan untuk memperoleh hasil memuaskan dari setiap proses pengajuan hak-hak anggota dewan seperti Interpelasi maupun Hak Angket.

Jika selama ini hak interpelasi dan hak angket DPR baru dapat dilumpuhkan melalui komunikasi Yudhoyono. Misalnya, dari kedua hak tersebut, dapat dikatakan DPR periode 2004-2009 telah menggunakan sebanyak 24 kali haknya, yakni 11 Kali digunakan untuk hak interpelasi, 13 kali untuk hak angket.

Berikut perinciannya: Pertama, DPR menggunakan hak interpelasi sebanyak 11 kali. Dengan ragam proses yaitu 6 hasil yang diperoleh dari pengajuan hak interpelasi tersebut: Pertama, Diterimanya Keterangan Pemerintah 4 Kasus; Kedua, Prosesnya tidak berlanjut 2 Kasus; Ketiga, Menolak hak Interpelasi 2 Kasus, Keempat, Menolak Hak Interpelasi dan Hak Angket 1 Kasus; Kelima; Jumlah Pengusul tidak lengkap 1 Kasus; dan Keenam, 1 Kasus yang masih dalam proses tentang Hak Interpelasi terhadap Kasus Lumpur Lapindo Brantas.

Kedua, Hak Angket digunakan oleh DPR sebanyak 13 kali dengan 5 Kasus, berikut perinciannya: Pertama, 2 Kasus keputusannya menyerahkan kepada alat kelengkapan yang memprosesnya; Kedua, 2 Kasus menerima laporan hasil pengawasan; Ketiga, 2 Kasus Menolak Hak Angket; Keempat, 1 Kasus menolak Hak Angket dan Hak Interpelasi; dan Kelima; 6 Kasus Hak Angket yang Masih Dalam Proses yakni Hak Angket tentang Penyelesaian Kasus Kredit Likuiditas Bank Indonesia dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia; hak angket tentang BBM, yakni Hak Angket terhadap Kenaikan Harga BBM Bersubsidi, Hak Angket terhadap Kebijakan Pemerintah menaikkan Harga BBM tanggal 23 Mei 2008; Hak Angket terhadap Dugaan Penyelidikan terjadinya Pengabaian dan Pelanggaran atas Kewenangan Konstitusional KPU dengan diterbitkannya Keppres Nomor 85/P tanggal 27 September tentang Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara; Hak Angket terhadap Pelaksanaan Penyelengaraan Ibadah Haji Tahun 1429 H/2008 M (Kasus Pemondokan dan Transportasi Jemaah Haji Indonesia dan Arab Saudi); dan Hak Angket atas Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara untuk memilih.

Namun, sekarang ini PDIP untuk menggalang dukungan terhadap anggota partai lainnya dalam pengajuan hak anggota dewan saja tidak mudah kecuali Partai Hanura, dan Partai Gerindra yang tidak diikutkan dalam kabinet. Bukan hanya itu saja. Strategi menjinakkan PDIP juga diubah.

Bila sebelumnya Presiden Yudhoyono menjadikan Amris Hassan sebagai Dubes Selandia Baru dan Samoa yang bukan merupakan pejabat teras partai hanya sebagai Balitbang DPP untuk menjinakkan PDIP. Tapi, sekarang Yudhoyono menggunakan politik "pecah belah" dengan memberikan dukungan kepada Dewan Pertimbangan Pusat PDIP Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR.

Strategi ini dilakukan agar seumpamanya dari Hak Angket telah berubah menjadi proses pemakzulan presiden di Paripurna MPR, PDIP kemungkinan besar akan mengalami konflik internal, karena Taufik Kiemas akan mengalami dilema, di mana dia terpilih merupakan hasil bermitra dengan Partai Demokrat namun di sisi lain PDIP segala keputusannya tergantung dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang tak lain adalah istrinya yang "cenderung" keputusannya kontra dengan Yudhoyono dilatarbelakangi bebas psikis atas kekalahannya di pilpres hingga dua kali. Sehingga demikian, keputusan pemakzulan memakan proses berkepanjangan.

Efriza
Jl Musi I No 28 RT 006/013 Depok
efriza.riza@gmail.com
081380570370

Penulis Buku "Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan".



(msh/msh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html