Rabu, 21 Oktober 2009

Mencegah Pengguntingan Redaksional Atas Legislasi

Oleh: Efriza, Penulis Buku “Ilmu Politik; Dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan”
DPR periode 2004-2009 tidak bernafas lega dari purna tugasnya, diakhir masa jabatan terkuak kisah penghilangan ayat tembakau. Tak dipungkiri perjalanan produk legislasi DPR periode itu banyak menjadi sorotan publik.
Diawali dari kisruh tentang legislasi dalam prolegnas, misalnya DPR mentargetkan sebanyak 284 RUU akan dibahas hingga akhir masa jabatannya pada September 2009. Namun, secara prinsipil jika kita menilik 284 RUU Prolegnas tersebut. Kita temukan keteledoran DPR maupun staf pegawai DPR memverifikasi data RUU dengan sempurna.
Karena, angka 284 tersebut jika kita hilangkan keteledorannya akan mengalami pengurangan jumlah menjadi 279 RUU Prolegnas. Seperti, RUU Kembar, RUU Perkreditan Perbankan nomor 13 dalam Daftar Prolegnas juga tertulis hal yang sama dinomor 127. Begitu juga RUU Badan Hukum Pendidikan, ada dinomor 30 dan 195. Selanjutnya Pengesahan Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dinomor 180 dan 206.
Di sisi lain juga terdapat RUU yang kalimatnya bergabung tapi juga ada yang terpisah, misal, RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan dinomor 227 menjadi RUU Peternakan dinomor 230 dan RUU Kesehatan Hewan dinomor 231.
Dari mulai perencanaan yang kisruh, berlanjut hingga diakhir masa jabatan terkait dengan hilangnya ayat dalam UU kesehatan, yang pada 14 September lalu, telah disahkan dalam sidang Paripurna. Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan menyebutkan “Zat adiktif sebagaimana disebutkan pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, produk yang mengandung zat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya.” Ketentuan itu hilang saat soft copy UU tersebut diterima Setneg. Namun, dalam bagian Penjelasan UU tersebut, Pasal 113 masih tetap memiliki 3 ayat penjelasan pasal.
Hilangnya ayat dalam sebuah UU bukan kali ini saja terjadi. Kejadian serupa antara lain terjadi pada 2 UU yang terdaftar dalam Prolegnas misal, Perubahan UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, berubah judul menjadi Perkeretaapian; Perubahan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Sementara itu diluar prolegnas atau biasa disebut non-prolegnas terjadi pada, Perubahan UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam sebuah document, terungkap pernyataan Ribka Tjiptaning bahwa kesalahan teknis seperti ini bukan baru pertama terjadi. Dia mencontohkan RUU Transmigrasi. Setelah disahkan Sidang Paripurna DPR menjadi UU dan draftnya dikirim ke Setneg untuk dicatat di lembaran negara, ternyata ada kesalahan redaksional. “'Dalam hal Sanksi, lima juta ditulis lima miliar rupiah. Tapi, nggak sampai ribut-ribut. Kalau UU Kesehatan kan dari awal sudah diributkan,” ujarnya.
Skandal besar juga terjadi saat proses pembentukan UU Pemilu Anggota Legislatif 2009. Berdasarkan penelusuran Cetro, Pasal RUU yang disetujui berjumlah 316, tapi yang kemudian diserahkan ke presiden, ditandatangani, dan kemudian diundangkan berjumlah 320. Meski tidak ada menambah substansi, penambahan pasal jelas mengubah struktur yang telah ditetapkan paripurna. Penyebab dari penambahan pasal tersebut, adalah sinkronisasi yang dilakukan tim sinkronisasi.
Seusai paripurna juga terjadi penambahan kata “sisa” dalam UU Pemilu Legislatif 2009. Dikarenakan, ditemukan ada kekurangan kata “sisa” pada penghitungan perolehan kursi tahap kedua bagi anggota DPRD. Sehingga Pasal 212 ayat (3) menjadi, “…maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.” Sehingga penambahan kata sisa, untuk “merapikan” hasil paripurna, maka dilakukan penyisipan kata “sisa” tersebut. Celakanya, penambahan itu menjadi misteri sebab kata “sisa” tidak muncul untuk penghitungan perolehan kursi tahap kedua anggota DPR.
Lalu, tindakan apa yang perlu dilakukan menghadapi kisruh pengguntingan redaksional setelah rapat paripurna selesai? Pertama, Badan Kehormatan yang sekarang periode 2009-2014 dipegang PDIP diketuai Topanne Gayus Lumbun harus mengusut tuntas anggota DPR dan staf Sekretariat DPR yang berpotensi terlibat. Sanksi tegas harus dikenakan terhadap personel tersebut yang bertindak sembrono dan jahat.
Kedua, aparat kepolisian maupun KPK perlu mengusut kasus ini, sebab kasus ini bukan sekedar kasus alasan teknis administratif semata, patut diduga ada hidden agenda yang bertujuan menumpuk pundi-pundi diakhir masa jabatan.
Bahkan, penambahan pundi patut dicurigai dilakukan industri rokok, mereka khawatir usahanya akan tergopoh-gopoh ketika WHO membeberkan penelitiannya terkait dengan 10 Negara dengan jumlah Perokok Terbesar di Dunia. Dalam penelitian tersebut, Negara Indonesia tercatat sebagai 65 juta perokok atau 28 % per penduduk (225 miliar batang per tahun). Sebuah dokumen juga mengungkapkan, sejarah berulang tidak dimasukkannya istilah tembakau, karena istrilah tembakau juga tidak masuk UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Ketiga, pencegahan terjadinya pengguntingan redaksional dilakukan pemerintah sebelum disahkan presiden, lalu diundangkan di Lembaran Negara. Pada tahap ini, saat RUU di tangan pemerintah, DPR sulit mengecek. Mengingat ini adalah tahap akhir, kemungkinan terjadi pengguntingan redaksional baru terlacak setelah diberlakukan UU tersebut. Karena itu, pencegahan dilakukan dengan cara UU yang disahkan dibacakan secara utuh dalam sidang paripurna, misal kita mencontoh di Mahkamah Konstitusi semua putusan ­ setebal apapun ­ akan dibacakan secara terbuka, bahkan saat itu juga soft copy putusan langsung bisa diakes oleh publik di website mahkamah.
Keempat, untuk mencegah pengguntingan redaksional dilakukan di DPR. Perlu dilakukan dengan dua cara, Pertama, menjelang rapat paripurna seharusnya semua draft telah sempurna. Tidak hanya jumlah pasal dan kata-kata yang tercantum dalam pasal, bahkan sampai titik dan koma, termasuk huruf kapital dan huruf kecil. Titik-koma dan penggunaan huruf kapital-huruf kecil bukan perkara sepele dalam legal drafting. Penggunaan tanda baca yang berbeda akan menimbulkan arti yang berbeda pula. Kedua, tindakan jangka panjang namun secara menyeluruh, yakni adanya perubahan dalam pengaturan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam UUD 1945. Misalnya, Pasal 20 ayat (5) “Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjadi RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.” Aturan tersebut adalah pasal dilematis, sebab justru membuat hak veto (hak tolak) Presiden terhadap sebuah RUU menjadi tidak berarti.
Sehingga demikian, untuk melakukan pencegahan tersebut perlu adanya perubahan amandemen kelima atas UUD 1945. Karena kenyataannya, DPR bisa saja mengacuhkan hak veto dari presiden, dan DPR cenderung memaksakan keinginan kepada pemerintah untuk tercapainya tujuan bersama, misal tidak adanya kewajiban memberikan keterangan ketika sebuah RUU tidak ditandatangani oleh Presiden (baca: sikap presiden tidak menandatangani RUU yang sudah disetujui legislatif ini disebut “hak veto,”); misal setidaknya ada empat UU terlanjur diundangkan pada periode 1999-2004 meski tanpa pengesahan Presiden,UU tentang Kepulauan Riau; UU tentang Penyiaran; UU tentang Keuangan Negara; dan UU tentang Advokat.
Begitu juga diperiode tersebut DPR cenderung memaksakan keinginannya kepada pemerintah seperti, kasus RUU Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Pemerintah melalui Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra telah menolak dengan tegas, namun Rapat Paripurna 14 September 2004 RUU tersebut disetujui secara bulat oleh kesembilan fraksi yang ada di DPR.
Dengan demikian, mekanisme “persetujuan bersama” “presiden dan DPR” di Indonesia tidak diadopsi secara penuh, karena tidak adanya proses pembahasan ulang di parlemen ketika jatuh veto dari presiden, akibatnya hak veto yang dimiliki presiden layaknya macan tidak bergigi, tidak memiliki daya paksa atau implikasi apapun, terhadap kekuasaan DPR.®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

html